Do not read this blog if not useful for you, because it will only spend your time, your energy, and spend your money.
Thursday, July 31, 2008
Wednesday, July 30, 2008
Pengaruh Kapitalisme Global bagi Indonesia
Keberadaan negara bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari konstelasi global internasional. Bahkan bisa dikatakan, sejarah Indonesia merupakan perpanjangan tangan dari pertarungan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang bermain di dunia internasional. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada negara-bangsa Indonesia dan para pendirinya, dapat dikatakan bahwa nama Indonesia adalah temuan linguistik-filologis dari seorang ilmuwan Jerman yang bernama A. Bastian. Ini berarti, setiap upaya untuk memberikan diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan. Hal ini terlihat dari kemacetan berbagai analisis dan gerakan yang dilakukan oleh para aktivis maupun intelektual dalam menuntut dan menyikapi perubahan di Indonesia. Kebanyakan mereka melihat Indonesia sebagai entitas tersendiri yang lepas dari konstelasi internasional. Akibatnya mereka hanya melihat persoalan secara parsial dan sektoral, sehingga tidak bisa menemukan akar persoalan yang sebenarnya.
Upaya negara-negara Barat dengan ideologi kapitalismenya guna mempertahankan kepentingan di negeri-negeri dunia ketiga melalui ideologi developmentalisme (pemba-ngunan) dapat dilihat dalam buku karya Vandana Shiva yang berjudul “Bebas dari Pembangunan”, penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Di sini dijelaskan bahwa
“pembangunan tidak lain dari sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan oleh bangsa asing dari negeri‑negeri Utara atas bangsa-bangsa di negeri-negeri Selatan. Proyek ini ditawarkan sebagai sebuah model yang berlaku universal; bahwa kemajuan gaya Barat dapat pula dicapai di semua bidang oleh negara-negara berkembang, cukup dengan mengembangkan kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan di Barat.”
Dengan cara ini negara-negara kapitalis berhasil memperkokoh pengaruhnya di Indonesia. Hal ini terus dipelihara oleh negara kapitalis disamping sebagai upaya mencari keuntungan secara ekonomis, juga sebagai upaya menangkal pengaruh kekuatan komunisme internasional.
Berakhirnya Perang Dingin
Pada tahun 1989 terjadi peristiwa yang monumental yaitu runtuhnya negara komunis Uni Sovyet. Peristiwa ini menandai berakhirnya era perang dingin, karena sejak saat itu berguguran pula negara-negara komunis di Eropa Timur. Peristiwa ini memberi-kan dampak yang cukup besar pada negara-negara dunia ketiga, khususnya yang memiliki hubungan dengan Amerika, termasuk Indonesia di bawah pemerintahan Orba.
Dengan berakhirnya perang dingin, maka negara-negara kapitalis tidak lagi membu-tuhkan buffer (tameng) untuk menghadapi komunisme. Akibatnya negara-negara dunia ketiga yang selama ini menjadi buffer lantas kehilangan peran. Karena hal ini menyebab-kan pemerintah Orba menjadi rapuh. Dengan hilangnya peran negara dunia ketiga sebagai buffer, maka negara-negara kapitalis hanya memiliki kepentingan bisnis dengan Indo-nesia. Oleh karena itu pemerintahan yang tidak menjalankan prinsip ekonomi pasar yang benar harus disingkirkan. Di lain pihak, sebagai dampak dari pembangunan ekonomi selama 32 tahun, timbul satu segmen masyarakat yang memiliki harapan-harapan berlebihan (rising expectations) atas kehidupan material yang bercorak konsumtif yang gagal dipenuhi oleh pemerintah Orba. Ketika dua keadaan ini bertemu, terjadilah gejolak sosial politik di Indonesia yang pada ujungnya bermuara pada proses lengsernya Soeharto, yang secara euphoria digembar-gemborkan sebagai reformasi.
Hal itu menunjukkan bahwa terjadinya proses reformasi sebenarnya bukan semata-mata merupakan perjuangan rakyat Indonesia, namun ada tangan-tangan gaib yang ikut bermain sehingga kekuatan politik Soeharto yang begitu kuat dan mengakar bisa runtuh hanya dalam waktu tiga bulan. Tangan-tangan gaib dimaksud adalah kekuatan kapitalis-me global internasional. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat dalam Francis Fukuyama; The End of History dan Kenichi Ohmae; Borderless Capital, dimana oleh Ohmae diprediksikan akan terjadi Nation of Corporations (bangsa perusahaan) dan State of Markets (negara pasar).
Strategi Mempertahankan kepentingan
Setelah negara-negara dunia ketiga tidak dibutuhkan lagi oleh negara kapitalis, maka selanjutnya dibuat proyek sosial baru yaitu mengembangkan kepentingan kapitalisme internasional. Kembali di sini negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia menjadi sasaran dari proyek tersebut. Strategi untuk merealisasikan gagasan tersebut dilakukan dengan cara menghancurkan struktur dan fondasi ekonomi Indonesia. Pertama-tama hal ini ditandai dengan tekanan untuk melakukan liberalisasi sektor perbankan pada tahun 1988 yang mengakibatkan munculnya puluhan bank swasta. Pada tahun 1992 pengusaha swasta melakukan pinjaman devisa secara besar-besaran dengan menggunakan bank-bank swasta sebagai kendaraan. Meskipun pemerintah Orba membentuk Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) untuk mengontrol pinjaman luar negeri tersebut namun tetap terjadi pembengkakan utang swasta. Sementara PKLN hanya berhasil menahan pertumbuhan utang BUMN.
Mayoritas utang pengusaha swasta Indonesia dijamin oleh commercial paper yang memiliki jatuh tempo 5 tahun. Ketika jatuh tempo pembayaran lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1997, terjadi gejolak moneter yang dahsyat, sehingga para pengusaha tersebut tidak dapat mengembalikan utangnya yang mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah.
Untuk mengatasi krisis moneter tersebut, pada Januari 1998, Managing Director IMF, Michael Camdessus, berhasil "memaksa" Soeharto untuk menandatangani letter of intent yang menyangkut restrukturisasi perekonomian Indonesia, hal mana disambut dengan sorak-sorai para birokrat moneter dan para pakar ekonomi Indonesia yang bernaung di bawah wacana developmentalisme-modernisme. Apa yang terjadi tersebut, mengingatkan pada paralel sejarah ketika para priyayi birokrat yang bernaung di bawah payung kapital Belanda bersorak menyambut runtuhnya priyayi kraton sekian dasa warsa yang lalu.
Gejolak ini akhirnya bermuara pada terjadinya krisis sosial dan politik sehingga terpentaskanlah "opera sabun reformasi" yang menurunkan Soeharto dari tahta kekuasa-an yang telah dilestarikannya selama 32 tahun (lihat C. Geertz dalam Nagara: The State and Theatre in Bali).
Jelas di sini terlihat bahwa terjadinya reformasi bukanlah semata-mata keberhasilan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kepentingannya melawan rezim hegemo-nik Soeharto. Lebih dari itu, reformasi adalah sebagai bagian dari skenario dunia internasional dalam mempertahankan kepentingannya di Indonesia. Karena ada kesama-an kepentingan antara kapitalisme global internasional dengan kekecewaan sebagian rakyat Indonesia yang mengalami rising expectations maka proses reformasi dapat berjalan. Hal ini tidak terjadi dalam dua puluh tahun terakhir, ketika rakyat memper-juangkan haknya yang telah dirampas oleh Soeharto. Ini terjadi karena Soeharto pada waktu itu masih dibutuhkan oleh rezim moneter kapitalisme internasional.
Disamping menggunakan strategi ekonomi, juga digunakan ekspansi wacana dan rekayasa sosial. Hal ini terlihat dalam berbagai teori sosial politik yang diluncurkan pasca-Perang Dingin. Pada tahun 1994, seorang intelektual Amerika, Samuel P. Huntington menulis sebuah buku yang berjudul Clash of Civilization. Dalam buku ini Huntington menjelaskan bahwa periode pasca-Perang Dingin akan diwarnai pertarungan peradaban antara peradaban Barat (WASP) dengan peradaban Timur (Islam dan Confucian). Pengaruh paling terasa dari antisipasi benturan peradaban tersebut adalah terjadinya sentimen anti Cina yang berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia, hingga berujung pada terjadinya kerusuhan yang menuntut korban jiwa sebagaimana terjadi pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Demikian pula, dari perspektif ini, kerusuhan di Ambon pada pertengahan Januari 1999 dapat dipahami sebagai konflik buatan antara Islam sebagai cermin budaya Timur dengan Kristen sebagai cermin budaya Barat. Jika dianalisis lebih dalam, hal ini bukan suatu kebetulan, karena masalah ini sudah ada sejak lama, lalu mengapa baru meletup sekarang?
Sementara itu pada tahun 1997 dua sosiolog Inggris, A. Giddens dan R. Dahrendorf mulai mensosialisasikan konsep supremasi sipil yang terdidik. Konsep-konsep dan pemikiran ini memiliki dampak dan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Dampak dari pemikiran supremasi sipil yang terdidik adalah munculnya hujatan terhadap militer Indonesia secara berlebihan di satu sisi serta menjamurnya program diploma luar negeri. Semua ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan kapitalisme internasional di Indonesia. Isu supremasi sipil diambil karena militer sudah tidak dibutuhkan lagi, dan justru dianggap sebagai faktor yang menghambat tumbuhnya ekonomi yang sehat dan dinamis. Proses penyingkiran ABRI ini dimulai sejak awal dekade 90-an dan mulai terasakan sejak tahun 1996, khususnya ketika bantuan pendidikan militer AS atas Indonesia mulai dihentikan.
Inilah beberapa strategi kapitalisme-global internasional yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia dalam konteks kekinian. Apa yang terjadi menunjukkan bahwa semua peristiwa itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan memiliki keterkaitan kuat dengan kepentingan kapitalisme internasional dalam konteks borderless‑capital.
Tangan‑tangan Gaib di Balik Pemilu
Dalam rangka mempertahankan kepentingannya di Indonesia, kapitalisme inter-nasional tidak ingin melakukan perubahan yang mendasar atas sistem politik dan ekonomi yang ada di Indonesia. Agar hal itu bisa berjalan dengan baik, maka dibuatlah sebuah skenario yang bisa mengganti aktor-aktor yang sedang bermain. Dengan cara ini, secara retorik dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah terjadi reformasi di Indonesia melalui pergantian sejumlah tokoh yang bermain. Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, maka negara-negara Barat menyokong terjadinya Pemilu di Indonesia, sebagai mekanisme yang legal dan konstitusional untuk melakukan pergantian pemain. Maka bisa kita maklumi kalau dunia internasional memiliki antusiasme tinggi atas pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Namun satu hal yang perlu diingat, melihat hasil pemilu yang ada, nampaknya hampir bisa dipastikan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang mendasar dalam sistem ekonomi dan politik Indonesia. Tokoh-tokoh yang akan naik dalam tampuk kepemimpinan masih didominasi oleh mereka-mereka yang mempertahankan wacana developmentalisme-modernisme. Melihat hal ini maka wajar-wajar saja bila para penga-mat, funding-agencies dan pemantau pemilu internasional pagi-pagi mengatakan bahwa pemilu di Indonesia sudah berjalan secara Jurdil dan Luber, penuh keterbukaan, bersih meski masih ada beberapa catatan di sana-sini.
Semua ini mengindikasikan adanya kenyataan buatan (virtual reality) yaitu suatu penampakan semu demokrasi dimana terdapat partai-partai peserta pemilu, panitia pemilu, pengawas pemilu, para pemilih, bahkan ada pula demonstrasi yang menuntut diusutnya kecurangan-kecurangan pemilu, yang semuanya itu hanya melegitimasi demokrasi prosedural tanpa membahas substansi kedaulatan rakyat itu sendiri (lihat Jean Baudrillard; Simulations, 1983). Dengan demikian, pemilu lebih merupakan mekanisme "pemutihan" politik dan pembaharuan aktor untuk mengokohkan kebijakan kapitalisme global di Indonesia.
Setelah berhasil melakukan mobilisasi massa untuk melakukan reformasi dan menjalankan pemilu dengan "baik", kini kekuatan kapitalisme global di Indonesia hampir tidak dapat dibendung lagi. Mereka tinggal membuat strategi-strategi lanjutan untuk memperkokoh posisinya. Pertama-tama yang akan dilakukan para pemilik modal negara-negara kapitalis adalah mengambil alih perusahaan-perusahaan Indonesia yang telah bangkrut dan tidak mampu membayar utang melalui sistem debt-to-equity swap. Dengan cara ini mayoritas saham perusahaan nasional akan jatuh ke tangan asing. Sementara itu, mayoritas negara-negara yang akan mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut adalah negara dari blok Allies yakni AS dan Inggris. Gejala ini terlihat dari besarnya peran dan pengaruh Citibank dan Standard Chartered Bank (masing-masing perusahaan dari AS dan Inggris) dalam proses penanganan restrukturisasi perbankan dan utang-utang perusahaan yang dilakukan oleh BPPN.
Sebagai ilustrasi, dari 60 bank nasional Thailand yang mengalami kebangkrutan, 58 diantaranya diambil alih sahamnya hanya oleh satu perusahaan keuangan Amerika bernama GE Capitals. Perusahaan yang sama tengah berusaha untuk mengambil alih saham Bank Niaga. Dapat pula dilihat kasus Bank Bali yang saat ini tengah diupayakan untuk diambil alih seluruh sahamnya oleh Standard Chartered Bank. Ilustrasi tersebut membuat kita layak berpikir bahwa pola pengambilalihan yang sama akan terjadi di negeri kita.
Disamping itu, untuk memperkuat pengaruhnya di Indonesia, negara-negara kapi-talis akan terus memberlakukan sistem demokrasi formal-prosedural, sementara pendi-dikan untuk membangun tradisi demokrasi yang benar, tampaknya belum akan dilakukan dalam tempo dekat. Dampak dari hal itu adalah bukan tidak mungkin akan terjadi pergantian pemenang pada setiap pemilu. Akan tetapi, selanjutnya akan sulit bagi partai-partai politik untuk melakukan konsolidasi kekuasaan.
Strategi lain yang tampaknya bakal digunakan untuk memperkokoh posisi kapitalis-me global di Indonesia adalah restrukturisasi di tubuh militer. Melihat gejala yang ada bukan tidak mungkin akan terjadi penghilangan atas jabatan Panglima TNI untuk diganti dengan jabatan Kepala Staf Gabungan yang akan dijabat secara bergiliran oleh masing-masing pimpinan dari ketiga angkatan. Dengan cara ini maka TNI tidak pula akan memiliki kemampuan untuk melakukan konsolidasi kekuasaan politik. Jika partai-partai politik dan TNI tidak mampu melakukan konsolidasi politik, rasanya akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan kebijakan pengembangan masyarakat dan pengem-bangan ekonomi yang baik, terpadu, dan berkesinambungan untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Keadaan yang demikian hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan nasional jangka pendek yang bersifat adhoc, dan akibat logis berikutnya seluruh aspek kehidupan negara-bangsa Indonesia akan didikte oleh aktor-aktor kapitalisme global yang bergerak di pasar modal, pasar financial, pasar komoditi dan pasar informasi /media.
Membangun Masyarakat Baru
Menghadapi situasi yang demikian memang sulit, sebab kita tidak mungkin keluar dari cengkeraman kapitalisme global karena Indonesia telah ikut menjadi penandatangan APEC dan telah pula terdaftar sebagai anggota organisasi perdagangan dunia WTO . Yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menerima keberadaan kapitalisme global secara sadar, kritis dan cerdas. Setelah itu langkah selanjutnya adalah merumuskan kepentingan kolektif nasional dengan melihat potret besar konstelasi politik internasional sebagai acuan, dengan tetap menjadikan kepentingan dan cita-cita kemerdekaan bangsa sebagai-mana dirumuskan dalam pembukaan UUD 45 sebagai titik pijak bersama.
Secara konseptual ada beberapa model sosio-ekonomi-politik yang saat ini berkem-bang di dunia, seperti bentuk welfare-state ala Eropa Barat daratan, the third-way ala Inggris, sosialisme-pasar ala Cina dengan pola satu negara dua sistem, kapitalisme-industrial-progresif ala Amerika Serikat, kapitalisme-retail ala India dan lain sebagainya.
Semua konsep dan model di atas bisa dipilih untuk menjawab tantangan berat yang dihadapi oleh negara-bangsa Indonesia saat ini. Semua terpulang kembali pada setiap elemen dari warga bangsa Indonesia untuk menentukan pilihan, sudah tentu dengan memperhitungkan pula keberadaan sumber daya alam dan manusia, keadaan geografi, demografi, kultur, sistem nilai, kondisi sosial dan infrastruktur yang ada.
Sumber:Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, oleh Hasyim Wahid, dkk. 1999 LKiS Yogyakarta.
Tuesday, July 29, 2008
Bangsa Kuli
Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa- bangsa lain!
Nyinyir rasanya mengutip ucapan yang sudah puluhan, ratusan, atau malahan mungkin ribuan kali dilontarkan oleh Soekarno agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain.
Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu, the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda.
Berbagai penulis menyebut ucapan eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen itu aslinya dilontarkan oleh Helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah Emil atau Theodor Helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke Pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Tahun 1928, Emil dan Theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kebun teh itu kemudian diambil alih Belanda tahun 1939 setelah Jerman menginvasi Belanda, tetapi tahun 1943 dikembalikan oleh tentara pendudukan Jepang kepada sekutunya, Jerman.
Jika benar yang mengucapkan kalimat ”bangsa kuli” itu adalah Emil atau Theodor Helfferich, tak jelas kapan diucapkan dan pada kesempatan apa. Hanya, menurut Soekarno, waktu itu bangsa Indonesia hidup dengan 2,5 sen seorang sehari sehingga tak bisa mempunyai rumah yang layak, tak bisa mengirim anak ke sekolah sehingga tetap akan menjadi bangsa kecil dan bodoh.
Pledoi Soekarno Indonesia Menggugat mencoba menjelaskan bahwa memang imperialisme Belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang percaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan yang menjadi kenyataan. Menurut Hatta, seperti dikutip menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai Hatta sebagai ”kerusakan sosial” akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam pelaksanaan Agrarische Wet 1870.
Jika Anda membaca buku tipis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) karya Pramoedya Ananta Toer, ada kutipan ucapan ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain” yang dicantumkan di awal pengantar penerbit dan pada sampul belakang, tetapi tak tercantum dalam isi buku. Itu tak lain adalah ucapan tokoh Minke (personifikasi tokoh pers nasional RM Tirto Adhisoerjo) dalam tetralogi Bumi Manusia. Pada saat bangsa Indonesia tahun ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan tepat 200 tahun mulai dibangun/dilebarkannya Jalan Pos Anyer-Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels, penolakan terhadap ”kutukan” dan stigma ”bangsa kuli” menjadi relevan.
Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, dan diperkosa sebagai tenaga kerja di luar negeri. Kisah dramatis seperti yang dialami Nirmala Bonat hingga Ceriyati seperti tak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun ke depan. Impian Soekarno ketika merumuskan Pancasila tentang satu masyarakat bangsa dan tatanan dunia yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme agaknya bagaikan suatu utopia yang jauh dan nyaris muskil jadi kenyataan.
Apa sebab? Jawabnya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang pernah tercantum dalam buku teks ekologi Fundamentals of Ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an, ”Suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem di sekitarnya yang kurang tertata.” Implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi, dan kemampuan sumber daya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diperdaya dieksploitasi oleh individu yang licik dan culas. Para TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya para TKW (tenaga kerja wanita), adalah sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi, Deplu), biro penyaluran tenaga kerja di luar negeri, hingga majikan yang bengis. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pembantu rumah tangga yang kurang terampil.
Seperti halnya kekayaan hutan, tambang, dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik di dalam maupun di luar negeri, jutaan pekerja migran kita juga menjadi sumber korupsi.
Masuk di nalar kitakah jika penyusunan UU Pertambangan kita dibuat dan didiktekan sebuah negara asing dan dicantumkan dalam situs web mereka? Hasilnya, sewa lahan hutan lindung cuma beberapa ratus rupiah per meter persegi dan bisa disewa sampai 90 tahun!
Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa- bangsa lain!
Irwan Julianto,KOMPAS, 28 Juli 2008
Nyinyir rasanya mengutip ucapan yang sudah puluhan, ratusan, atau malahan mungkin ribuan kali dilontarkan oleh Soekarno agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli bangsa-bangsa lain.
Namun, ketika memberikan amanat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, Soekarno justru pesimistis bahwa bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang dikhawatirkannya itu, the Indonesian people have become a nation of coolies and a coolie amongst nations. Soekarno mengatakan, ia mencupliknya dari seorang sarjana Belanda.
Berbagai penulis menyebut ucapan eine Nation von Kuli und Kuli unter den nationen itu aslinya dilontarkan oleh Helfferich, warga Jerman. Tidak jelas apakah ia adalah Emil atau Theodor Helfferich, dua orang Jerman bersaudara yang datang ke Pulau Jawa pada awal tahun 1900-an dan membeli tanah seluas 900 hektar di daerah Cikopo, Bogor, dan menjadikannya kebun teh. Tahun 1928, Emil dan Theodor kembali ke Jerman dan menyerahkan pengelolaan kebun teh kepada seorang warga Jerman lain. Kebun teh itu kemudian diambil alih Belanda tahun 1939 setelah Jerman menginvasi Belanda, tetapi tahun 1943 dikembalikan oleh tentara pendudukan Jepang kepada sekutunya, Jerman.
Jika benar yang mengucapkan kalimat ”bangsa kuli” itu adalah Emil atau Theodor Helfferich, tak jelas kapan diucapkan dan pada kesempatan apa. Hanya, menurut Soekarno, waktu itu bangsa Indonesia hidup dengan 2,5 sen seorang sehari sehingga tak bisa mempunyai rumah yang layak, tak bisa mengirim anak ke sekolah sehingga tetap akan menjadi bangsa kecil dan bodoh.
Pledoi Soekarno Indonesia Menggugat mencoba menjelaskan bahwa memang imperialisme Belanda membutuhkan bangsa Indonesia yang bodoh agar bisa diperlakukan sebagai kuli yang percaya bahwa hanya bangsa kulit putih yang mampu berbuat benar. Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia seolah terjebak pada situasi self fulfilling prophecy, ramalan atau kutukan yang menjadi kenyataan. Menurut Hatta, seperti dikutip menantunya, Sri-Edi Swasono, stigma sebagai bangsa kuli yang inferior seolah dipercaya memang sudah suratan takdir oleh bangsa Indonesia sendiri dan hal ini dinilai Hatta sebagai ”kerusakan sosial” akibat penindasan VOC, cultuurstelsel, dan kebengisan dalam pelaksanaan Agrarische Wet 1870.
Jika Anda membaca buku tipis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) karya Pramoedya Ananta Toer, ada kutipan ucapan ”Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain” yang dicantumkan di awal pengantar penerbit dan pada sampul belakang, tetapi tak tercantum dalam isi buku. Itu tak lain adalah ucapan tokoh Minke (personifikasi tokoh pers nasional RM Tirto Adhisoerjo) dalam tetralogi Bumi Manusia. Pada saat bangsa Indonesia tahun ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan tepat 200 tahun mulai dibangun/dilebarkannya Jalan Pos Anyer-Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels, penolakan terhadap ”kutukan” dan stigma ”bangsa kuli” menjadi relevan.
Sudah cukup banyak kisah tragis warga Indonesia yang tewas, dihukum mati, dipenjara, disiksa, dan diperkosa sebagai tenaga kerja di luar negeri. Kisah dramatis seperti yang dialami Nirmala Bonat hingga Ceriyati seperti tak ada habisnya diberitakan, tetapi tetap saja akan terjadi hingga kini dan mungkin belasan tahun ke depan. Impian Soekarno ketika merumuskan Pancasila tentang satu masyarakat bangsa dan tatanan dunia yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme agaknya bagaikan suatu utopia yang jauh dan nyaris muskil jadi kenyataan.
Apa sebab? Jawabnya dapat diterangkan oleh sebuah aksioma atau dalil yang pernah tercantum dalam buku teks ekologi Fundamentals of Ecology karya Eugene P Odum pada awal tahun 1970-an, ”Suatu ekosistem yang lebih tertata akan mengambil keuntungan dari ekosistem di sekitarnya yang kurang tertata.” Implikasinya, kota yang lebih tertata ketimbang desa akan menyedot sumber daya desa-desa di sekitarnya. Negara yang maju akan menyedot potensi negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Sejarah umat manusia telah membuktikan, eksploitasi komunitas atau bangsa yang lebih kuat (secara militer, ekonomi, hingga teknologi, dan kemampuan sumber daya manusianya) terhadap komunitas-komunitas dan bangsa-bangsa lain telah terjadi sejak zaman prasejarah dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Individu yang tak/kurang berdaya akan diperdaya dieksploitasi oleh individu yang licik dan culas. Para TKI (tenaga kerja Indonesia), khususnya para TKW (tenaga kerja wanita), adalah sasaran empuk eksploitasi, penipuan, hingga pemerkosaan para calo, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal, petugas pemerintah (kantor tenaga kerja, imigrasi, Deplu), biro penyaluran tenaga kerja di luar negeri, hingga majikan yang bengis. Apalagi, mayoritas pekerja migran Indonesia adalah pembantu rumah tangga yang kurang terampil.
Seperti halnya kekayaan hutan, tambang, dan lautan Indonesia yang menjadi sumber penjarahan pihak-pihak yang serakah, baik di dalam maupun di luar negeri, jutaan pekerja migran kita juga menjadi sumber korupsi.
Masuk di nalar kitakah jika penyusunan UU Pertambangan kita dibuat dan didiktekan sebuah negara asing dan dicantumkan dalam situs web mereka? Hasilnya, sewa lahan hutan lindung cuma beberapa ratus rupiah per meter persegi dan bisa disewa sampai 90 tahun!
Sesungguhnya, kedaulatan dan martabat kita sebagai negara dan bangsa merdeka perlu kita gugat lagi jika kita memang menolak menjadi kuli bangsa- bangsa lain!
Irwan Julianto,KOMPAS, 28 Juli 2008
Friday, July 25, 2008
Thursday, July 24, 2008
Etika Islam
Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwasanya beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Juga banyak ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hal itu. Pengertian akhlaq sendiri amat luas sekali. Karena itu yang penting bagi kita adalah bagaimana melihat dan menerangkan isi al‑Quran itu secara keseluruhan. Jangan hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi harus kita tatap dalam satu keutuhan ajaran.
Kita akan keliru manakala mendekati al‑Quran dari ayat ke ayat, sepotong‑sepotong. Dengan cara itu, sesungguhnya kita sedang mengeksploitir al‑Quran untuk kita gunakan dalam rangka mengaplikasikannya dalam pemikiran kita. Cara itu tidak adil.
Baru dapat dikatakan adil, apabila kita memperlakukan al-Quran dan mendekatinya secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan ajaran. Dengan jujur bisa kita katakan, cara ini belum dilakukan. Bahkan sampai hari ini methodologinya pun belum dirumuskan. asumsi‑asumsi dasarnya perlu dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi satu sistem yang dapat dipraktekkan.
Dalam rangka ini dapat kita pertanyakan, apakah Islam mempunyai sistem pandangan tersendiri. Kalau memang kita yakin bahwa Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap seluruh aspek hidup dan kehidupan ini, maka kita dapat menyusun satu "Etik Islam". Apabila kita sudah dapat menyusun etik Islam, maka persoalannya akan lebih mudah untuk menyusun sistem apa pun. Tetapi secara jujur memang harus kita akui bahwa sudah seribu tahun kita berhenti berfikir.
Pada beberapa buku klasik dikatakan bahwa pintu ijtihad itu sudah ditutup, sehingga kita tidak berhak lagi untuk memformulasikan apa pun di bidang hukum di bidang yurisprudensi. Kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan dulu. Padahal apakah salahnya jika kita pun merumuskan hal yang sama. Kenapa tidak berhak. Apa bedanya kita dengan para Imam dulu. Sehingga sesungguhnya kita pun dapat menyusun Syari'ah sebagaimana para Imam dulu, sebab bukankah syari'ah yang dirumuskan para Imam itu pun merupakan hasil ijtihad mereka. Para yurist pada abad IX dan X Hijriah, tentu sifat ijtihadnya pun terikat oleh masanya, oleh tantangan‑tantangan sejarahnya.
Soalnya sekarang adalah, mari kita pertanyakan apakah kita pada abad XV Hijriah ini sudah mempunyai methodologi untuk merumuskan Sistem Nilai Islam yang bersumber pada al‑Quran yang dapat kita namakan pandangan bersama tentang Islam, sehingga di atas itu kita dapat membangun segala macam sistem.
Jika kita bicara tentang rekonstruksi masyarakat Islam, rekonstruksi tata politik Islam, kesemuanya tidak akan mungkin apabila "the world view" itu belum dibuat secara sistematis.
Al‑Quran surat At‑Taubah ayat 60 menegaskan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk dapat menginterpretasikan al‑Quran. Karena jika kita terus menerus mengikuti para yurist yang dulu-dulu, maka Islam akan cenderung untuk begitu‑begitu saja. Kita hanya bangga dalam bayang‑bayang, tetapi dalam kenyataan kita hidup dalam kegetiran yang luar biasa.
Kita harus melakukannya sekarang. Jika tidak, kita akan dalam kebingungan intelektual keagamaan terus menerus sampai hari kiamat nanti.
Sumber: Dr. A Syafi’I Ma’arif, dalam Mencari Sistem Ekonomi Islam, editor: Djawahir Thontowi, SH dan Lukman Hakiem. Penerbit: LPPM UII (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia Yogyakarta). Cetakan pertama, September 1985. Hal. 25 – 26.
Kita akan keliru manakala mendekati al‑Quran dari ayat ke ayat, sepotong‑sepotong. Dengan cara itu, sesungguhnya kita sedang mengeksploitir al‑Quran untuk kita gunakan dalam rangka mengaplikasikannya dalam pemikiran kita. Cara itu tidak adil.
Baru dapat dikatakan adil, apabila kita memperlakukan al-Quran dan mendekatinya secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan ajaran. Dengan jujur bisa kita katakan, cara ini belum dilakukan. Bahkan sampai hari ini methodologinya pun belum dirumuskan. asumsi‑asumsi dasarnya perlu dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi satu sistem yang dapat dipraktekkan.
Dalam rangka ini dapat kita pertanyakan, apakah Islam mempunyai sistem pandangan tersendiri. Kalau memang kita yakin bahwa Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap seluruh aspek hidup dan kehidupan ini, maka kita dapat menyusun satu "Etik Islam". Apabila kita sudah dapat menyusun etik Islam, maka persoalannya akan lebih mudah untuk menyusun sistem apa pun. Tetapi secara jujur memang harus kita akui bahwa sudah seribu tahun kita berhenti berfikir.
Pada beberapa buku klasik dikatakan bahwa pintu ijtihad itu sudah ditutup, sehingga kita tidak berhak lagi untuk memformulasikan apa pun di bidang hukum di bidang yurisprudensi. Kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan dulu. Padahal apakah salahnya jika kita pun merumuskan hal yang sama. Kenapa tidak berhak. Apa bedanya kita dengan para Imam dulu. Sehingga sesungguhnya kita pun dapat menyusun Syari'ah sebagaimana para Imam dulu, sebab bukankah syari'ah yang dirumuskan para Imam itu pun merupakan hasil ijtihad mereka. Para yurist pada abad IX dan X Hijriah, tentu sifat ijtihadnya pun terikat oleh masanya, oleh tantangan‑tantangan sejarahnya.
Soalnya sekarang adalah, mari kita pertanyakan apakah kita pada abad XV Hijriah ini sudah mempunyai methodologi untuk merumuskan Sistem Nilai Islam yang bersumber pada al‑Quran yang dapat kita namakan pandangan bersama tentang Islam, sehingga di atas itu kita dapat membangun segala macam sistem.
Jika kita bicara tentang rekonstruksi masyarakat Islam, rekonstruksi tata politik Islam, kesemuanya tidak akan mungkin apabila "the world view" itu belum dibuat secara sistematis.
Al‑Quran surat At‑Taubah ayat 60 menegaskan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk dapat menginterpretasikan al‑Quran. Karena jika kita terus menerus mengikuti para yurist yang dulu-dulu, maka Islam akan cenderung untuk begitu‑begitu saja. Kita hanya bangga dalam bayang‑bayang, tetapi dalam kenyataan kita hidup dalam kegetiran yang luar biasa.
Kita harus melakukannya sekarang. Jika tidak, kita akan dalam kebingungan intelektual keagamaan terus menerus sampai hari kiamat nanti.
Sumber: Dr. A Syafi’I Ma’arif, dalam Mencari Sistem Ekonomi Islam, editor: Djawahir Thontowi, SH dan Lukman Hakiem. Penerbit: LPPM UII (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia Yogyakarta). Cetakan pertama, September 1985. Hal. 25 – 26.
Wednesday, July 23, 2008
Tuesday, July 22, 2008
Enam Bersaudara
Kipti Rochayati [alm.], Rochana Hayati, Adib Susila, Ajib Setya Budi, Ilmi Jazmiyati, Puji Wahyuningsih.
Isteri dan tiga anak-anakku
Wahai isteri dan anak-anakku janganlah sekali-kali kalian syirik kepada Allah, karena syirik itu adalah kejahatan terbesar dan subversif terhadap ke-Maha Kuasaan Allah.
LAA ILAAHA ILLALLAAH MUHAMMAD RASUULULLAAH
Tidak ada Penguasa penggerak kehidupan apapun di semesta raya kecuali ALLAAH, dan Muhammad adalah Rasul utusan ALLAAH. [Kaligrafi karya Adib Susila Siraj]
IMAN Tak Cukup dengan PERCAYA
“Yang Penting Iman, Bukan Agama.” Kata Budayawan Romo Mangunwijaya, dalam majalah UMMAT, No. 14 Thn. I, 8 Januari 1996, hal. 45.
Menurut Romo Mangun, agama itu bagaikan sebuah perkawinan, sifatnya sangat eksklusif. Sementara itu, iman memiliki sifat yang inklusif. Karenanya, seharusnya warga negara Indonesia dituntut bukan hanya bagaimana beragama, tetapi bagaimana seharusnya beriman. Karena, orang beragama itu belum tentu beriman.
Agama itu eksklusif, memang begitu karakternya. Sama dengan perkawinan. Agar tidak eksklusivistik, diperlukan iman dalam beragama. Sebab, iman itu inklusivistik, merangkul. Iman merupakan tujuan atau sasaran orang beragama. Agama itu hanya jalan saja.
Orang beriman itu melihat manusia lain sebagai makhluk Tuhan yang perlu disayang, dimengerti, dan dihormati. Kita harus sadar, dalam praktik sehari-hari, orang beragama itu belum tentu beriman.
Di dalam wacana umum yang kita kenal perbedaan orang beriman (Mukmin) dan orang yang tidak beriman (biasanya disebut dengan Kafir), adalah bahwa Mukmin itu orang yang percaya akan adanya Tuhan. Sebaliknya orang Kafir adalah mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Namun di dalam realitas sosial, secara obyektif kita nyaris tidak mudah menemukan perbedaan di antara orang-orang yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Terutama hal itu tampak jelas di dalam aspek perilaku sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Orang akan sulit membedakannya kecuali dari aspek-aspek fisik yang tampaknya (semakin) cenderung lebih bersifat artifisial daripada esensial, sebagaimana dikemukakan di atas.
Keimanan merupakan sebuah kata atau istilah yang sudah demikian sangat lumrah diucapkan maupun didengar dalam kehidupan sehari-hari. Karena sudah sangat lumrahnya itulah barangkali yang menyebabkan hampir tidak ada lagi orang yang peduli dan mau memikirkan atau merenungkan (kembali) apa sebenarnya makna hakiki dari istilah “iman” tersebut. Sehingga tidak mustahil bahwa arti dari kata atau istilah “iman” itu sendiri mengalami perkembangan (sesuai dengan “kodrat” bahasa), pergeseran bahkan penyimpangan yang bisa jadi justru berlawanan dengan makna ketika awal mulanya kata atau istilah itu diciptakan (diucapkan, dimengerti). Sehingga tak pelak, kita mengalami semacam kebingungan atau kerancuan dalam memahami atau memaknai istilah “iman” (semantic confusion).
Dalam kenyataannya, keimanan difahami sebagai perasaan (kepercayaan) hati yang terdalam dari diri seseorang. Jadi, ruang-lingkup iman yang telah disama-artikan dengan “percaya” tersebut, semata-mata adalah di dalam hati. Atau dengan kata lain, keimanan adalah urusan (yang letaknya di) hati sehingga hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang mengetahuinya. Seolah-olah iman “tidak berkaitan langsung” dengan ucapan maupun perilaku pribadi maupun sosial. Sehingga tidak mengherankan bila sampai terjadi peristiwa orang berantem atau bahkan berperang saling bunuh dan menghancurkan, sama-sama atas Nama Tuhan yang sama (religious violence), sebagaimana hal itu terjadi di dalam sejarah agama-agama besar dunia.
Kalau kita tinjau kembali pengertian “iman” sebagaimana yang diajukan dalam al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw., maka “iman” adalah “Ikatan hati yang diikrarkan melalui lisan dan diamalkan melalui laku-perbuatan” (HR. Ibnu Majah) atau dengan redaksi yang lain, “Iman” dapat didefinisikan sebagai keyakinan hati atau dasar pendirian yang menggema dalam ucapan dan kemudian menjelma dalam tindakan (laku perbuatan). Jadi dengan kata lain ruang-lingkup pengertian “iman” menurut Hadits tersebut meliputi isi hati, ucapan, dan perbuatan (meliputi seluruh aspek hidup seseorang).
Apa yang ada dalam hati seseorang bila diungkapkan atau dinyatakan dengan lisan biasanya disebut sebagai pendapat atau pandangan orang tersebut. Sedangkan suatu tindakan atau perbuatan yang didahului oleh pandangan tertentu biasanya disebut dengan sikap. Hal ini untuk menegaskan perbedaan antara sebuah sikap dengan yang sekedar gerak refleks yaitu gerak tak sadar alias spontan. Sehingga secara lebih komprehensif keimanan seseorang berarti merepresentasikan pandangan dan sikap hidup orang tersebut.
Kemudian, apa yang menjadi isi hati yang menjadi ikatan hidup seseorang? Di dalam al-Qur’an, antara lain dijelaskan, “yukminuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika” (Q.S. al-Baqarah: 4). Beriman dengan apa yang diturunkan kepada Anda dan dengan apa yang diturunkan sebelum Anda. Apa yang diturunkan kepada kita adalah al-Qur’an, dan yang diturunkan kepada umat sebelum kita adalah Taurat, Zabur, Injil dll. Namun dalam ayat yang lain (Q.S. al-‘Ankabut: 52) disebutkan bahwa alternatif iman tidak hanya dengan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan saja, tetapi bisa dengan selain ajaran Tuhan yang disebut dengan ajaran bathil. Bahkan dalam surah an-Nisa’: 51 dinyatakan bahwa ada manusia yang menanggung derita sosial akibat beriman dengan ajaran jibti (wishful thinking spiritualism) dan ajaran thaghut (overdose materialism).
Jadi, “iman” secara umum adalah pandangan dan sikap hidup berdasarkan ajaran yang diturunkan dari Tuhan dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya. Sedang secara khusus dapat disebut bahwa mereka yang beriman dengan ajaran Allah (al-Qur’an) sebagaimana diujudkan dan dibuktikan dalam kehidupan para Rasul-Nya adalah Mukmin haq (Q.S.al-Baqarah: 119,213; al-Imran:2, 86) atau biasanya cukup disebut dengan Mukmin saja. Sedang mereka yang tidak beriman dengan al-Qur’an sebagaimana Sunnah para Rasul, disebut Mukmin bahtil (Q.S. Maryam: 84; al-Baqarah:168, 208; al-An’am:142) atau yang biasa disebut dengan istilah Kafir. Lalu kalau kita benar-benar telah menyatakan diri sebagai Mukmin sejati, apakah layak melakukan tindakan bermusuhan, apalagi berperang dengan sesama orang yang juga menyatakan diri beriman, menodai keadilan, mengabaikan musyawarah, merusak lingkungan (sosial dan alam), korupsi, dan lain-lain, dimana hal itu semua bertentangan dengan perintah di dalam al-Qur’an? Bahkan bertentangan dengan seluruh Kitab Suci yang kita imani, yang kita percayai dengan sepenuh-penuhnya, yang menjadi pandangan dan sikap hidup para Mukmin sejati.
Menurut Romo Mangun, agama itu bagaikan sebuah perkawinan, sifatnya sangat eksklusif. Sementara itu, iman memiliki sifat yang inklusif. Karenanya, seharusnya warga negara Indonesia dituntut bukan hanya bagaimana beragama, tetapi bagaimana seharusnya beriman. Karena, orang beragama itu belum tentu beriman.
Agama itu eksklusif, memang begitu karakternya. Sama dengan perkawinan. Agar tidak eksklusivistik, diperlukan iman dalam beragama. Sebab, iman itu inklusivistik, merangkul. Iman merupakan tujuan atau sasaran orang beragama. Agama itu hanya jalan saja.
Orang beriman itu melihat manusia lain sebagai makhluk Tuhan yang perlu disayang, dimengerti, dan dihormati. Kita harus sadar, dalam praktik sehari-hari, orang beragama itu belum tentu beriman.
Di dalam wacana umum yang kita kenal perbedaan orang beriman (Mukmin) dan orang yang tidak beriman (biasanya disebut dengan Kafir), adalah bahwa Mukmin itu orang yang percaya akan adanya Tuhan. Sebaliknya orang Kafir adalah mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Namun di dalam realitas sosial, secara obyektif kita nyaris tidak mudah menemukan perbedaan di antara orang-orang yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Terutama hal itu tampak jelas di dalam aspek perilaku sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Orang akan sulit membedakannya kecuali dari aspek-aspek fisik yang tampaknya (semakin) cenderung lebih bersifat artifisial daripada esensial, sebagaimana dikemukakan di atas.
Keimanan merupakan sebuah kata atau istilah yang sudah demikian sangat lumrah diucapkan maupun didengar dalam kehidupan sehari-hari. Karena sudah sangat lumrahnya itulah barangkali yang menyebabkan hampir tidak ada lagi orang yang peduli dan mau memikirkan atau merenungkan (kembali) apa sebenarnya makna hakiki dari istilah “iman” tersebut. Sehingga tidak mustahil bahwa arti dari kata atau istilah “iman” itu sendiri mengalami perkembangan (sesuai dengan “kodrat” bahasa), pergeseran bahkan penyimpangan yang bisa jadi justru berlawanan dengan makna ketika awal mulanya kata atau istilah itu diciptakan (diucapkan, dimengerti). Sehingga tak pelak, kita mengalami semacam kebingungan atau kerancuan dalam memahami atau memaknai istilah “iman” (semantic confusion).
Dalam kenyataannya, keimanan difahami sebagai perasaan (kepercayaan) hati yang terdalam dari diri seseorang. Jadi, ruang-lingkup iman yang telah disama-artikan dengan “percaya” tersebut, semata-mata adalah di dalam hati. Atau dengan kata lain, keimanan adalah urusan (yang letaknya di) hati sehingga hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang mengetahuinya. Seolah-olah iman “tidak berkaitan langsung” dengan ucapan maupun perilaku pribadi maupun sosial. Sehingga tidak mengherankan bila sampai terjadi peristiwa orang berantem atau bahkan berperang saling bunuh dan menghancurkan, sama-sama atas Nama Tuhan yang sama (religious violence), sebagaimana hal itu terjadi di dalam sejarah agama-agama besar dunia.
Kalau kita tinjau kembali pengertian “iman” sebagaimana yang diajukan dalam al-Qur’an dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw., maka “iman” adalah “Ikatan hati yang diikrarkan melalui lisan dan diamalkan melalui laku-perbuatan” (HR. Ibnu Majah) atau dengan redaksi yang lain, “Iman” dapat didefinisikan sebagai keyakinan hati atau dasar pendirian yang menggema dalam ucapan dan kemudian menjelma dalam tindakan (laku perbuatan). Jadi dengan kata lain ruang-lingkup pengertian “iman” menurut Hadits tersebut meliputi isi hati, ucapan, dan perbuatan (meliputi seluruh aspek hidup seseorang).
Apa yang ada dalam hati seseorang bila diungkapkan atau dinyatakan dengan lisan biasanya disebut sebagai pendapat atau pandangan orang tersebut. Sedangkan suatu tindakan atau perbuatan yang didahului oleh pandangan tertentu biasanya disebut dengan sikap. Hal ini untuk menegaskan perbedaan antara sebuah sikap dengan yang sekedar gerak refleks yaitu gerak tak sadar alias spontan. Sehingga secara lebih komprehensif keimanan seseorang berarti merepresentasikan pandangan dan sikap hidup orang tersebut.
Kemudian, apa yang menjadi isi hati yang menjadi ikatan hidup seseorang? Di dalam al-Qur’an, antara lain dijelaskan, “yukminuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika” (Q.S. al-Baqarah: 4). Beriman dengan apa yang diturunkan kepada Anda dan dengan apa yang diturunkan sebelum Anda. Apa yang diturunkan kepada kita adalah al-Qur’an, dan yang diturunkan kepada umat sebelum kita adalah Taurat, Zabur, Injil dll. Namun dalam ayat yang lain (Q.S. al-‘Ankabut: 52) disebutkan bahwa alternatif iman tidak hanya dengan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan saja, tetapi bisa dengan selain ajaran Tuhan yang disebut dengan ajaran bathil. Bahkan dalam surah an-Nisa’: 51 dinyatakan bahwa ada manusia yang menanggung derita sosial akibat beriman dengan ajaran jibti (wishful thinking spiritualism) dan ajaran thaghut (overdose materialism).
Jadi, “iman” secara umum adalah pandangan dan sikap hidup berdasarkan ajaran yang diturunkan dari Tuhan dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya. Sedang secara khusus dapat disebut bahwa mereka yang beriman dengan ajaran Allah (al-Qur’an) sebagaimana diujudkan dan dibuktikan dalam kehidupan para Rasul-Nya adalah Mukmin haq (Q.S.al-Baqarah: 119,213; al-Imran:2, 86) atau biasanya cukup disebut dengan Mukmin saja. Sedang mereka yang tidak beriman dengan al-Qur’an sebagaimana Sunnah para Rasul, disebut Mukmin bahtil (Q.S. Maryam: 84; al-Baqarah:168, 208; al-An’am:142) atau yang biasa disebut dengan istilah Kafir. Lalu kalau kita benar-benar telah menyatakan diri sebagai Mukmin sejati, apakah layak melakukan tindakan bermusuhan, apalagi berperang dengan sesama orang yang juga menyatakan diri beriman, menodai keadilan, mengabaikan musyawarah, merusak lingkungan (sosial dan alam), korupsi, dan lain-lain, dimana hal itu semua bertentangan dengan perintah di dalam al-Qur’an? Bahkan bertentangan dengan seluruh Kitab Suci yang kita imani, yang kita percayai dengan sepenuh-penuhnya, yang menjadi pandangan dan sikap hidup para Mukmin sejati.
Monday, July 21, 2008
Binatang ini bernama "AGAMA"
Agamas are about 60 species of Old World lizards in the genus Agama, family Agamidae, order Squamata. These rough-scaled lizards have more or less flattened, robust bodies, well-developed limbs, and moderately long tails. They feed on insects and other small animals; some also consume vegetation. Most small species are ground-living. The large species often live on rocky cliffs or in trees. They are found in southeastern Europe and in the jungles, steppes, savannas, and desert regions of Africa, the Middle East, and Southwest and Central Asia.
Steven C. Anderson
Bibliography: Halliday, T., and Adler, K., eds., The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians (1986); Mattison, C., Lizards of the World (1989).
Saturday, July 19, 2008
Thursday, July 17, 2008
Monday, July 14, 2008
Sunday, July 13, 2008
7 LAPIS MEMBACA
Oleh: Adib Susila
Pengertian "membaca", sebenarnya bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis. Paling tidak ada tujuh tingkat kemampuan seseorang dikala membaca.Pertama adalah tingkatan membaca yang paling dasar, yakni membaca sebagai kegiatan melafalkan huruf dan rangkaian huruf. Dalam tahap ini, arti atau makna suatu kata belum menjadi ukuran bagi seseorang untuk bisa melakukan pembacaan. Contohnya seperti anak kecil yang sedang belajar membaca. Juga seperti halnya seekor burung beo yang mampu mengucapkan kata-kata tertentu. Bagi anak kecil, kandungan makna dari kata atau kalimat yang terucap tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting adalah lancar dan tidaknya seorang anak melafalkan huruf, kata, dan kalimat. Ukuran membaca pada tahap ini adalah seberapa jauh kelancaran dan ketepatan lidah dalam mengeluarkan bunyi ujaran.
Namun perlu diingat bahwa karena lambang-lambang huruf (tulisan) di dunia ini beraneka ragam, maka tidak semua orang mampu membaca seluruh lambang-lambang huruf yang ada. Ada huruf Latin, huruf Arab, huruf Jawa, huruf Kanji dll. Bahkan kadang-kadang bahasa dari suatu bangsa menggunakan huruf yang bukan milik bangsa tersebut. Misalnya bangsa Indonesia dan Inggris yang memakai huruf Latin. Oleh karena itu dalam kenyataannya, banyak sekali orang yang dianggap sudah mampu membaca namun dalam arti sekadar melafalkan huruf, kata atau kalimat bahasa tertentu (misalnya bahasa Arab), dengan tidak disertai pemahaman arti dari huruf, kata atau kalimat yang dibacanya.
Kedua, adalah membaca suatu teks tertulis sekaligus memahami arti atau makna yang dikandungnya. Inilah kemampuan membaca yang sebenarnya. Jadi membaca pada tingkatan kedua ini adalah kemampuan membaca tekstual (tersurat), yakni ketika seseorang membaca suatu teks sekaligus memahami arti yang dibacanya.
Ketiga, adalah kemampuan membaca tekstual dari ungkapan-ungkapan sastra dan metafor-metafor yang eksplisit. Yakni kemampuan membaca sebuah teks yang mempunyai kandungan sastra yang disertai oleh tanda-tanda tertentu secara eksplisit, yakni: seperti, umpama, misal, ibarat, bagaikan, penaka, dll. Contoh: “Hati-hati dalam memilih jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung.”
Keempat, adalah kemampuan membaca ungkapan-ungkapan sastra dan metafor-metafor yang tidak eksplisit, dalam arti tidak ada tanda-tandanya yang jelas. Bisa dikatakan dalam teks ini terkandung sastra tinggi, sehingga untuk membacanya dibutuhkan kemampuan ekstra hati-hati dan waspada, tidak boleh gegabah. Contohnya dalam kalimat: "Walaupun orangtuaku sudah membanting tulang, memeras keringat dan memutar otak, tetapi kehidupan kami masih saja senin-kamis."
Kelima, adalah kemampuan membaca yang tersirat dari suatu yang tersurat, atau konteks yang lebih luas di dalam suatu teks. Kemampuan membaca hal-hal yang tersirat dari suatu teks tertulis ini merupakan tingkatan yang tertinggi dalam membaca suatu teks tertulis, karena sudah dikaitkan dan dipersentuhkan dengan realitas dan aktualitas kehidupan, baik dengan sejarah masa lalu maupun keadaan saat ini. Oleh karena itu selain harus mempelajari sastra dari suatu bahasa, pemahaman pada budaya dari suatu bangsa yang memakai bahasa tersebut amat membantu dalam upaya memahami makna atau arti yang tersirat dari suatu bahasa. Misalnya sebuah judul berita dalam surat kabar harian KOMPAS (23 Desember 2003): “TNI AD Akan Turun jika Pemilu Berdarah.”
Bahasa dalam buku ilmiah berbeda dengan bahasa dalam buku sastra atau bahasa dalam surat kabar. Bahasa di dunia hukum tidak sama dengan bahasa di bidang ekonomi atau bahasa di lingkungan politik. Misalnya kita ambil contoh istilah “partai”. Ada partai politik, partai tambahan, dan ada pula partai kecil (eceran) atau partai besar (kulakan).
Rambu-rambu lalu lintas, simbol-simbol dalam ilmu kimia, atau lambang-lambang matematika dan sebagainya mempunyai makna sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Perlambang, simbol, metafor, logo, signage, kode, sandi, tanda, rambu dan sebagainya hanya bisa dibaca dengan benar apabila seseorang memahami sastra dan budaya dari suatu bangsa yang bersangkutan (dunianya masing-masing), karena sudah masuk ke dalam wilayah semiotik dari suatu bangsa atau lingkungan masing-masing. Contoh dalam al-Quran diantaranya adalah fawatikhus suwar (huruf-huruf dalam ayat pembuka suatu surat).
Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa suatu bahasa, yang paling sederhana sekalipun, sebenarnya adalah "perlambang". Dan dari pembuktian sejarah, ada dua macam bentuk tulisan, yaitu pictogram (berbasis gambar) dan ideogram (berbasis ide), yang dalam perkembangannya saat ini bahkan muncul icon-icon (lambang-lambang visual) sebagai bentuk bahasa yang relatif baru.
Keenam, adalah kemampuan membaca fakta-fakta non tekstual (tanda-tanda atau ayat di alam semesta). Dalam kaitan ini perlu difahami bahwa ada dua macam ayat, yakni ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah (qur'aniyah). Ayat kauniyah adalah ayat non tekstual yang tersembunyi di balik fenomena kenyataan alam semesta (sunnatullah) sedangkan ayat qauliyah adalah ayat tekstual (qur'aniyah) yang sudah terdokumentasi dalam muskhaf ‘Utsmany, yakni kitab suci al-Quran.
Ketujuh, adalah kemampuan membaca fakta-fakta non tekstual baik yang sudah berlangsung (masa lalu), yang sedang berlaku (masa kini), dan yang akan datang (masa depan). Tentu saja kemampuan membaca yang terakhir ini adalah kemampuan membaca yang paling sulit karena merupakan kemampuan yang paling tinggi, yang biasanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Tanpa melalui tahapan atau tingkatan membaca sebelumnya, tidak mungkin seseorang akan mempunyai kemampuan membaca tingkat terakhir ini. Bagi manusia biasa (yang bukan Nabi), untuk mencapai kemampuan membaca yang seperti ini maka harus betul-betul disiplin ilmiah secara total, karena yang bisa mewarisi para Nabi hanyalah ulama (para ahli ilmu).
Bagi seseorang yang sudah sampai pada kemampuan membaca tingkat ketujuh ini maka apabila dia disiplin dalam keilmuannya (disiplin ilmiah) dan diberi izin oleh Allah, dia akan mampu membaca berbagai macam fenomena (kasyaf) untuk membuka kunci-kunci rahasia yang tersembunyi (mafatikhul ghaib), membuat sinyalemen-sinyalemen maupun prakiraan-prakiraan (prediksi) masa depan, serta kemungkinan-kemungkinan dan alternatif-alternatif tentang masa depan (futurologi).Demikian itulah tujuh tingkatan membaca yang apabila manusia mau meningkatkan kemampuannya setahap demi setahap maka seakan-akan cakrawala kesadarannya akan naik menembus tujuh lapis langit menuju ke ufuk yang paling tinggi (al-ufuq al-a’laa). Wallahu a’lamu bishawaab.
Subscribe to:
Posts (Atom)