Sebatang kayu itu menjadi Pinokio, yang kisah menariknya berhasil ditransformasikan sebagai karya sastra pertama bagi anak-anak Italia. Inilah kisah terlaris tentang boneka kayu yang hidungnya memanjang setiap kali dia berbohong. Kebohongan adalah karakter Pinokio.
Dari Florence, saya membawa kisah Pinokio ke tanah Jawa. Di sini lahir Pinokio Jawa (Javanese Pinocchio). Ia bermula dari tukang kayu dan berakhir sebagai penguasa tiran populis. Ia mempraktikkan kebohongan dalam politik melalui tampilan kepribadian Jawa yang santun dan merakyat. Mayoritas rakyat pun tertipu oleh kebohongan yang diekspresikan dengan kesantunan dan kebaikan politik yang karikatural.
Di ujung kekuasaannya, Pinokio Jawa mewariskan kultur kebohongan dalam politik. Tanpa tersisa sedikit pun rasa bersalah dalam hidupnya, ia mempraktikkan kebohongan demi kebohongan dalam politik sebagai strategi permainan kotor untuk kekuasaan.
Dalam realisme politik, tulis Michael Walzer (1973), “Tak ada seorang pun yang berhasil dalam politik tanpa berkotor tangan.” Realpolitik yang dipraktikkan dan dirutinkan selama ini melalui politik kebohongan menempatkan Pinokio Jawa sebagai ikon pembohong terbesar, yang diilustrasikan seniman monolog Butet Kartaredjasa (2024) dalam bentuk “patung Petruk berhidung panjang”.
Berbeda dengan genre umum Mirrors for Princes yang berisikan nasihat luhur kepada penguasa agar bertindak ideal sesuai dengan ajaran Kristen, Machiavelli justru menjadikan The Prince sebagai the Bible of realpolitik —meminjam istilah Tim Parks (2009)— untuk memandu penguasa dalam meraih kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara, termasuk dengan kebohongan.
Nasihat Machiavelli kepada penguasa untuk menjadi pembohong hebat sejalan dengan pandangannya tentang karakter manusia, yakni “manusia pada umumnya tak tahu berterima kasih, plinthat-plinthut, egois, dan serakah”. Semua ini merefleksikan karakter Pinokio Jawa. Ia tak pernah berterima kasih kepada perjuangan partai, Seorang Ibu, dan semua yang berjasa membesarkannya; punya kebiasaan plinthat-plinthut; berorientasi sempit pada kepentingan diri sendiri dan keluarganya; serta bersikap serakah pada kekuasaan.
Inilah yang menjadi kegelisahan intelektual Benedict R. Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990 : 170): “Di masa modern, lakon Petruk Dadi Ratu telah menjadi pepatah umum untuk menggambarkan kondisi sosial dan politik nyata yang penuh kekacauan, korupsi, dan tontonan jahat.”
Kegelisahan Ben Anderson menjadi kenyataan hari-hari ini ketika republik dipimpin bukan dengan keutamaan publik, melainkan dengan kebohongan, korupsi, nepotisme, dan berbagai praktik kejahatan lain. Praktik yang sudah telanjur banal ini diterima luas sebagai kewajaran tanpa terlihat “sikap hidup dengan rasa malu selamanya” —Long Live Shame, meminjam slogan kecil Ben Anderson dalam pidato ulang tahun Tempo ke-28 di Hotel Borobudur, 4 Maret 1999.
Kekuasaan negara jatuh terlampau dalam di tangan seorang Pinokio Jawa dan aliansi jahatnya. Ia menikmati dominasi kekuasaan yang tiranik melalui aliansi jahat, relasi kuasa, dan dukungan rakyat luas.
Sebagaimana Shakespeare, saya pun masygul saat melihat mayoritas rakyat, terutama kaum intelektual dan “ulamā” yang tersihir oleh fatamorgana duniawi, menerima banalitas kebohongan, nepotisme, dan otoritarianisme Pinokio Jawa sebagai kebiasaan dan kewajaran umum.
Sukidi
Pemikir Kebhinekaan,
Alumni Program Doktor Harvard University
TEMPO, 4 Agustus 2024