Wednesday, May 15, 2024

Tak Terjebak Ilusi Artificial Intelligence


Mendorong pemahaman artificial intelligence (AI), membangun hubungan dan ketahanan manusia, serta mempercepat aksi terhadap isu perubahan iklim merupakan tema yang akan disampaikan dalam Education World Forum 2024 (Forum Pendidikan Dunia 2024) pada Mei ini. Dalam konteks Indonesia, apakah hal tersebut sudah relevan?

Dari tiga poin itu, AI menjadi salah satu pembicaraan yang sangat mudah kita temukan dalam berbagai artikel di internet, koran, artikel jurnal, seminar-seminar (atau webinar), dan perbincangan keseharian. Bagi dunia pendidikan, AI cukup mengguncang stabilitas, terutama bagi sekolah atau universitas.


Dalam pandangan UNESCO, AI disebut memiliki potensi untuk mengatasi beberapa tantangan terbesar dalam pendidikan, menginovasi praktik pembelajaran dan kemajuan menuju Sustainable Development Goal 4 (SDG4). Meski demikian, UNESCO juga memberi imbauan terhadap ragam risiko dan tantangan, terutama memastikan prinsip-prinsip inklusi dan kesetaraan menjadi pemandu dalam pemanfaatan AI.

Untuk konteks Indonesia, kita tampak masih kekurangan arah dalam memahami tantangan dan dampak pemanfaatan AI dalam pendidikan. Ketika memanfaatkan AI, cenderung dilakukan pada pemahaman personal tiap aktor melalui pembelajaran mandiri di internet. Ketika penulis berdiskusi dengan para guru, ada kekhawatiran anak-anak menelan mentah-mentah informasi yang dihadirkan AI tanpa proses verifikasi.


Kekuatan Verifikasi
Periode keakraban masyarakat Indonesia dengan buku sebagai sumber informasi memang terbilang sangat singkat. Mengapa buku penting? Sebab, untuk mencari informasi di buku dibutuhkan ketekunan untuk membaca lembar demi lembar, mencari argumen kunci, dan menyintesiskan berbagai informasi sehingga didapat jawaban yang utuh berdasar berbagai perspektif.

Hadirnya internet, disusul AI, membuat proses pencarian informasi menjadi lebih cepat lagi. Guna menjamin validasi, tetap diperlukan stock of knowledge memadai untuk menilai informasi yang diberikan AI. Intelektualitas guru dan siswa menjadi peranti utama dalam memverifikasi berbagai informasi yang diperoleh.

Jika kita menelusuri ragam media sosial, dengan mudah ditemukan berbagai video yang mempromosikan tawaran produktivitas ketika menggunakan AI. Dalam konteks akademik: mencari referensi aktual, meringkas artikel, membuat artikel ilmiah atau populer, esai, dan makalah tampak menjadi sangat mudah. Jelas, ada daya tarik yang kuat disajikan oleh video-video itu untuk menunjukkan bahwa siapa pun yang menonton dapat dengan mudah melakukan kerja-kerja akademik tersebut.


Akan tetapi yang sering dilupakan, kemudahan-kemudahan yang ditampilkan dapat membuai dan menjadikan ketergantungan tinggi pada AI. Sebab, AI seolah menawarkan produktivitas bagi para penggunanya. Dalam konteks pendidikan, jika tidak disikapi dengan bijak, ketergantungan itu membuat anak-anak menjadi kurang awas terhadap proses. Sebab, tahapan-tahapan proses itulah yang dengan mudah dikerjakan AI.

Dalam konteks membaca artikel ilmiah misalnya, jika sebelumnya untuk memahami artikel jurnal berbahasa asing dibutuhkan kecakapan berbahasa, pemahaman substansi, dan kemampuan menyintesis, AI dengan mudah mempersingkat waktu untuk memberikan poin-poin kunci yang dipilihnya. Lantas ditampilkan untuk para pembaca. AI juga memberikan ruang kepada pembaca untuk mengelaborasi dengan ragam pertanyaan, yang juga bisa dijawabnya dengan merujuk artikel tersebut.


Tantangan
Jadi, apa yang perlu dilakukan? Teknologi merupakan alat untuk memudahkan manusia, maka kita perlakukan AI seperti itu. Tetapi, dalam proses pendidikan, upaya untuk melatih pikiran anak-anak lebih kritis menjadi tugas besar. Dan, untuk tugas itu tak bisa semata mengandalkan teknologi.

Saat ini ragam pengetahuan dengan mudah ditemukan di internet. Namun tetap, beragam sumber pengetahuan tersebut harus dibaca secara tekun, dikuliti kata per kata, dikritisi, dibandingkan dengan referensi lain, dan kemudian didiskusikan. Pada proses itulah pembelajaran berlangsung dan budaya ilmiah dibangun.

Dalam konteks pembelajaran, budaya ilmiah yang mengandalkan pola pikir kritis dibangun tahap demi tahap. Ada proses pengulangan, pengujian, rasa skeptis, dan proses perenungan. Tak mudah percaya terhadap apa yang dibaca, selalu mencoba membandingkan satu temuan dengan temuan lain, demikianlah scientific method diterapkan. Jangan sampai, seperti yang seorang kolega katakan, hanya semata semua paparan ilmiah diunduh di dalam gawai atau laptop dan kita dapat menggunakan AI, maka kita sudah merasa pintar.

Maka, kembali pada hal-hal fundamental menjadi penting. Ketekunan menelaah, lalu mempertanyakan setiap narasi menjadi hal utama. Karena itu, apa pun yang diproduksi AI, pada tahap awal perlu diragukan kebenarannya, dipertanyakan ulang, dan ditelusuri sumber referensi utamanya. Pada titik ini, peran pendidik menjadi penting untuk membangun kekuatan pikiran anak-anak agar tak mudah terjebak pada jawaban memesona yang diproduksi AI. Jawaban yang tampak seperti kebenaran, tetapi perlu dikurasi lebih ketat akurasinya.


Berpikir kritis, pada akhirnya, tetap menjadi peranti utama yang wajib dimiliki anak-anak. Latihan tersebut ada di ruang pendidikan. Efek latihan itu adalah kemampuan anak-anak kita agar peka terhadap segala hal yang ditawarkan dunia. Sehingga tak mudah terseret arus, terjerumus pada iming-iming beragam berita palsu, pseudosains, ataupun jeratan kata-kata elok yang menyesatkan.

Apalagi, setiap hari kita dibombardir ratusan klip singkat di medsos yang validitasnya perlu diragukan. Jika video-video tersebut mendominasi dan dijadikan rujukan kebenaran, tentu itu sangat berbahaya bagi masyarakat. Pendidikan merupakan aktivitas moral dan politis, untuk mengejar kebaikan bagi umat manusia (Kemmis dan Groves, 2017).

Keduanya juga menekankan bahwa mendidik juga berarti sebagai upaya melawan penderitaan individu, irasionalitas, kesengsaraan, dan ketidakadilan di dunia. Pada titik ini, kembali pada kemanusiaan dan eksistensi diri, tak terjebak pada ilusi AI, menjadi fundamen utama.

Anggi Afriansyah,
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Jawa Pos, 10 Mei 2024