Tiba-tiba suatu sore Nirwan Arsuka muncul di kantor saya di Mampang, dengan sepeda motor yang warna dan modelnya kontan mengingatkan saya pada motor tukang pos yang tiap bulan mengantarkan wesel dari kampung. Dua lapis pakaiannya terbungkus jaket kulit hitam. Kerapatan sapu tangan penutup mulutnya memastikan ia mustahil ditembus debu Jakarta.
Tak jelas ia tinggal di mana, lebih tak jelas lagi pekerjaannya. Maka saya, di pertengahan 1990an itu, mengajaknya tinggal bersama di bedeng kontrakan seluas 5 x 7 m2 yang saya tempati sendirian di kawasan Jagakarsa.
Kami lalu mendirikan PT Paradigma Internasional, menjual ringkasan buku-buku manajemen dan kepemimpinan dari Soundview, Amerika, yang menyeleksi ketat buku-buku bergenre itu, yang terbit 1.500 judul per tahun.
Berkantor di lantai 11 gedung mentereng di Rasuna Said Kuningan, pemberian seorang kenalan yang baik hati, sebentar saja terbukti ia bukan direktur yang mahir mengelola bisnis; dan saya komisaris yang lebih buruk dari penjaga pintu kereta. Tak sampai setahun, ikhtisar Soundview yang bagus itu, dan diterjemahkan dengan baik pula, lenyap tak bersisa. Kami hanya bisa tertawa pahit dan diam-diam sama mengakui bahwa kami memang tak berbakat dagang.
Kami menempati pondok di sisi selatan di deretan tiga rumah itu. Ketika setahun kemudian rumah di ujung utara kosong, ia mengontraknya —dan baru keluar 15 tahun kemudian. Ia sedih karena tiba-tiba pemilik menyatakan ingin memakai rumah itu buat dirinya sendiri. Ia kesal karena baginya rumah dan kampung itu telah membuatnya nyaman. Suasana tenangnya ia nikmati nyaris 24 jam. Lokasinya mudah dicapai, dan yang terpenting: biaya kontraknya murah.
Para tetangga terdekat selalu heran. Hampir tiap minggu ada paket buku dari Amazon datang ke alamatnya. Ia seakan tak membutuhkan apapun di dunia ini selain buku, yang harganya rata-rata mahal. Ruang kerjanya di kamar depan penuh dengan rak buku yang doyong keberatan muatan. Ruang tamunya yang kecil disesaki rak-rak buku yang sama doyongnya. Ia tetap memilih menambah rak untuk buku-buku yang pasti datang nanti, daripada memasang meja-kursi.
Para tamunya tak kurang bahagia berbincang dengannya meski harus bersila di lantai bertikar seadanya. Beberapa tamu tak jarang datang dengan membawa aneka minuman mahal, yang harus ditampung di gelas dan cangkir yang warna-warnanya sesuai jumlahnya. Ia konsisten, rupanya. Anti keseragaman, apalagi penyeragaman. Tak boleh ada gelas-cangkir yang sama.
Tetangga makin heran karena dengan situasi seperti itu, tamunya ada yang datang dengan sedan Mercedes terbaru atau jip Lexus. Saya tak pernah bisa memberi jawaban yang memuaskan setiap tetangga bertanya apa pekerjaan warga pengontrak bedeng yang selalu membungkuk di depan layar komputer itu.
Kami, apalagi kalau seluruh peserta obrolan adalah geng lama Jogja, lebih sering memilih kongko di teras kecilnya. Sebab kondisinya lumayan: ada sofa rotan dengan kemiringan 30 derajat, yang jok busa tipisnya pasti dulu berwarna putih. Plus cahaya bohlam 5 watt.
Tiada yang peduli pada ironi besar bahwa dengan fasilitas semacam itu bahan obrolan adalah soal jatuh dan bangunnya peradaban-peradaban besar dunia,
state of the art kesastraan Indonesia, alasan-alasan Seamus Heaney memenangkan Nobel Sastra tahun ini, film-film artistik-filosofis karya sineas Zhang Yimou dan Abbas Kiarostami, buku-buku yang memotret perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
Ia mungkin tak selalu setia pada semua hal lain, tapi tidak pada buku. Di kampung halamannya di Dusun Leppe’e, Kabupaten Barru, atau di Makasar setelah ia di masa SD pindah ke sana, ia tersihir oleh serial-serial karya Kho Ping Hoo yang tak pernah tamat. Ia memilih membeli atau menyewa buku daripada menggunakan uang jajannya untuk es cendol dan gorengan yang dijajakan di dekat sekolahannya.
Ia mencuri rokok pamannya dan menjualnya untuk membeli buku. Ketika uangnya habis, dan ia melihat buku yang digilainya di toko buku, ia mencurinya. Dan tertangkap. “
Sejak itu saya bersumpah akan membalasnya,” katanya. “
Saya harus membalasnya dengan cara menyediakan buku-buku kepada anak-anak tak mampu agar mereka bisa membaca buku.”
Dan sumpah itulah yang diwujudkannya, puluhan tahun kemudian, ketika ia rasa sudah bisa bergerak dengan lebih leluasa; meski ia tak pernah benar-benar lapang dalam soal pemilikan uang.
Ia yakin, jaringan teman-temannya, yang rata-rata menaruh minat besar pada perbukuan, juga para sukarelawan yang ia percaya akan datang sendiri untuk membantu ikhtiarnya, akan bisa membantunya menggerakkan organisasi langka yang tak ada orang yang berani memulainya: Kuda Pustaka, kemudian dibakukan menjadi Pustaka Bergerak. “
Jika anak-anak tak mampu itu kesulitan mendatangi pusat-pusat perbukuan di perkotaan,” katanya, “
maka bukulah yang harus mendatangi mereka.”
Dan ia benar-benar menyodorkan buku-buku itu kepada anak-anak di tempat-tempat paling terpencil. Di lereng gunung di pedalaman Jawa Barat, di perkampungan nelayan di Sulawesi Selatan, di pedalaman Sumatera Utara. Anak-anak itu tak bisa lolos. Di mana pun mereka berada, buku-buku Nirwan akan mengejar mereka.
Ia mengerahkan semua sarana transportasi yang tersedia: kuda, perahu, sepeda, juga pundak manusia. Keyakinannya terbukti. Begitu banyak orang yang dengan sukarela membantu mengantarkan buku-buku itu, termasuk dengan memanggulnya sambil berjalan kaki, mendaki lereng pegunungan.
“
Yang paling mengharukan,” tuturnya, “
adalah setiap relawan Pustaka Bergerak mendatangi kampung-kampung terpencil, anak-anak yang sedang bermain langsung berhamburan ingin segera mendapatkan pasokan buku terbaru.”
Ia jengkel setiap mendengar keluhan lama bahwa minat baca anak-anak kita, juga kalangan dewasa, sangat rendah. Baginya masalahnya adalah ketersediaan buku. Jika buku tersedia, seperti yang dibuktikannya dengan kegigihan Pustaka Bergerak, anak-anak maupun orang dewasa di kampung-kampung suka membacanya.
Soal lain, katanya, harus diakui bahwa mutu buku kita —penulisan, ilustrasi dan keseluruhan tampilannya— memang harus terus dibenahi. Ia sendiri di masa kecil menggandrungi seri Time Life, yang mematri minatnya seumur hidup pada sains dan teknologi.
Sampai dua tahun lalu Pustaka Bergerak telah menyalurkan lebih dari 300 ton buku. Dugaannya kembali terbukti. PT Pos Indonesia menggratiskan biaya pengiriman buku-buku itu ke mana pun buku dialamatkan. Di tiap alamat, sudah ada barisan relawan yang siaga menunggu untuk segera menyalurkannya ke banyak titik. Para anggota polisi dengan suka rela mengawal para relawan itu sampai tujuan.
Dengan semua itu Keluarga Besar Alumni Universitas Gadjah Mada tahun lalu menganugerahinya Penghargaan Alumni Berprestasi. Ini melengkapi penghargaan oleh Presiden Joko Widodo yang ia terima sebelumnya.
Sejak lima belasan tahun terakhir, ia meminati kuda dan perkudaan —kuda pula yang ia kawinkan dengan kegairahannya menyebarkan buku, dengan memanfaatkan punggungnya untuk menggendong ratusan buku menapaki jalan-jalan kecil di pedalaman. Terdengar kabar bahwa ia membeli seekor kuda dan menyimpannya di suatu tempat di luar Jakarta. Saya hanya pernah melihat beberapa aksesori untuk keperluan penunggangan kuda, khususnya cambuk kulit yang artistik.
Terdengar pula kabar bahwa ia sedang menulis novel dengan tema kuda. Saya tak pernah berani menanyakan perkembangan penulisannya; tapi saya duga keras novel itu akan lama selesai. Sebagai penulis esai yang hebat, ia menulis dengan sepenuh kesungguhan dan sangat cermat memilih diksi. Untuk karya fiksi, kesungguhan dan kecermatannya pasti digandakannya tiga kali.
Sejak lama ia juga meminati kesastraan. Di sini pun ia mencoba mengawinkannya dengan minat-minatnya yang lain. Ia menyoroti langkanya puisi dan prosa fiksi Indonesia dalam menggarap tema sains.
Ia menyebut, satu-satunya novel, atau yang pertama dalam sastra Indonesia, yang cukup apresiatif terhadap manfaat sains adalah “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer.
Juga sebaris singgungan atas aspek ini dalam sebuah puisi Sapardi Djoko Damono. Ia cukup gembira dan menghargai penyinggungan ini, betapapun sangat minim; jauh lebih sedikit daripada yang ia harapkan. Ia menulis kritik yang kuat terhadap sisi sains yang dikisahkan oleh sebuah novel Dewi Lestari.
Ia sendiri lebih memilih peran sebagai pemerhati dan sekali-sekali menjalankan fungsi kritikus sastra. Sebagai penulis esai-esai kebudayaan dan dampak sosial-budaya dari perkembangan sains, ia tak bisa disebut tak produktif. Ia menghasilkan tiga jilid kumpulan tulisan, salah satunya hampir seribu halaman.
Fokusnya tetap: keajaiban manusia, yang sering disebutnya “maha manusia.” Sejak mahasiswa ia memang mengagumi Prof. Teuku Jakob, ahli antropologi ragawi bereputasi internasional yang pernah menjabat rektor UGM.
Meski ia tak pernah bekerja sesuai keahliannya sebagai sarjana Teknik Nuklir, minatnya pada sains tak pernah surut. Setahun lalu kami bersama tujuh kawan lain mendirikan ForSains, untuk menyebarkan semacam scientific culture, sebagai pengimbang kecil bagi maraknya religious culture. Sejauh ini buahnya lumayan, berupa media online berisi berita, ide dan temuan-temuan terbaru sains.
Perbukuan dan penulisan selalu lekat di hatinya yang terdalam. Pekan ini, dua tulisannya terbit, sebuah kolom di Kompas, sebuah lagi di majalah Tempo. Ia menulis keduanya dalam kesendiriannya yang hening di lantai 5 apartemen pinjaman dari sahabat lamanya.
Ia tak sempat menyaksikan terbitnya dua kolomnya itu. Saya akan membacakannya untukmu, Nirwan Ahmad Arsuka, Barru 1966 - Jakarta 2023.
Hamid BasyaibFacebook, 9 Agustus 2023
https://www.facebook.com/hamid.basyaib
Beruntun Duka itu Tiba
Ichan Loulembah. Nirwan Ahmad Arsuka. Lalu Raharja Waluya Jati. Ah, ketiganya memiliki makna dan sumbangan tersendiri dalam perjalanan, pergumulan dan pertumbuhanku.
Ichan kukenal ketika menjadi menjadi jurnalis. Ia menjadi jurnalis dan penyiar terkemuka di Radio Trijaya FM saat aku jadi jurnalis DeTik pada 1992-1994. Lalu persinggungan dan perjumpaan terjadi dengannya, sebagian besar di ranah aktivisme dan gerakan sosial.
Perjumpaan dan pergumulanku dengan Nirwan jauh lebih panjang. Kami aktivis UGM pada kurun yang sama; dia berkuliah di Teknik Nuklir, sedang aku di Sosiologi. Gelanggang Mahasiswa, panggung demonstrasi, dan angkringan menjadi sejumlah ajang perjumpaan yang selalu menghidupkan dan menghangatkan percakapan kami.
Bahkan, ia juga cukup kerap mampir ke ‘markas’ kami di pinggir kali Code pada tahun 88-89 yang kami beri nama “Code 340” —sesuai nomor rumah yang terletak persis di atas tebing kecil di pinggir kali Code itu. Yang kuingat, ia beberapa kali datang pada larut malam, lalu berdiskusi seru diiringi bernyanyi bersama diiringi petikan dari gitarku. Kadang ia menginap atau pulang dini hari.
Mungkin teman se‘markas’ bisa menambah cerita yang sudah lama terkubur itu. Jawil Yahya Biasa Erwan Widyarto Harko Suharko Jusra Abdi dkk.
Belakangan kami bersua lagi saat aku tinggal dan menjadi jurnalis di Jakarta pada 1992-1995. Sementara ia aktivis dan peneliti lepas di berbagai project dan aktivisme. Ia sempat menjadi redaktur Lembar Budaya Kompas selain menjadi Direktur Eksekutif Freedom Institute. Belakangan ia lebih dekat dengan adikku, Hasif Amini, dan sempat tinggal di rumah petak di daerah Poltangan, Pasar Minggu, Jakarta.
Dengan Jati, aku tak pernah terlalu dekat. Pergumulanku dengannya lebih banyak lantaran sejumlah aktivis adik kelasku di UGM, semacam Andi Arief, Arie Djito, Nezar Patria.
Yang kuingat, perjumpaanku terakhir dengannya di sebuah cafe di Sagan sekitar tahun 2017. Waktu itu tak lama seusai Pilkada DKI yang riuh rendah. Aku kencan ngobrol dengan Bung Nezar yang waktu itu masih Pemred di The Jakarta Post, jika tak salah ingat.
Di tengah obrolan hangat bersama keluarga itu bergabunglah Jati, Dadang Juliantara dan Widadi Kasno. Obrolan itu mengasyikkan karena merefleksikan keragaman kubu dan poros politik tapi kami tetap bisa berbincang dengan hangat.
Duka terdalam atas kepergian kalian bertiga, sobat. Maafkan, aku tidak sempat menjumpai dan mengantar kalian menuju peristirahatan terakhir menuju ke keabadian.
Doa terbaik untuk kalian bertiga —yang aku yakin punya mimpi yang sama untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Lanjutkan nongkrong di angkringan di surga.
Lahum Alfatihah ....
Note: Kutulis di atas KA menuju Yogyakarta International Airport
Najib AzcaDosen Universitas Gadjah Mada
Wasekjen PBNU
https://www.facebook.com/najib.azca
In Memoriam Nirwan Ahmad Arsuka, Nabi yang Membuka Jendela Semesta
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.Sahabat kita, pegiat literasi untuk wong cilik dan terpencil di Nusantara telah pergi meninggalkan kita semua. Nirwan, pendiri perpustakaan bergerak itu, telah membuka jendela dunia untuk anak-anak dan warga yang hidup di daerah terpencil. Pustaka Bergerak yang telah menyalurkan buku-buku bacaan ke seluruh pelosok Nusantara adalah legasi Nirwan yang akan dikenang sepanjang masa.
Perkenalanku dengan NirwanNirwan Ahmad Arsuka, 5 September 1967 – 6 Agustus 2023, pernah mengirim tulisan ke redaksi majalah Ulumul Quran (UQ) yang diterbitkan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tahun 1990-an. Saat itu aku redaktur UQ, setelah resign dari Badan Tenaga Atom Nasional. Artikel Nirwan membahas sains dan filsafat dalam Islam.
Setelah aku baca, aku putuskan dalam rapat redaksi, tulisan Nirwan lolos, layak muat. Mas Dawam Raharjo sebagai Pemred pun setuju.
api karena antriannya panjang —maklum majalah triwulanan— harus menunggu lama untuk muncul di UQ. Sampai kemudian aku "dipinang" Republika tahun 1993 untuk memilih naskah opini dan menulis tajuk rencana di "koran Islam" itu. Aku lupa, apakah tulisan Nirwan yang bagus tadi jadi dimuat atau tidak oleh redaktur UQ sepeninggalku.
Sejak itulah aku terkesan pada sosok Nirwan, sarjana teknik nuklir UGM yang berpikiran luas dan bernas. Lama aku ingin berkenalan dengan anak muda kreatif ini. Saat itu, aku yakin Nirwan akan menjadi some body. Bukan sebagai ahli nuklir yang berkutat di laboratorium fisika radiasi atau reaktor nuklir, tapi dalam dunia filsafat, puisi, dan literasi.
Betul dugaanku. Di tahun 2000-an dan seterusnya, nama Nirwan Ahmad Arsuka sering muncul di berbagai media massa. Baik sebagai penulis kolom maupun nara sumber. Nirwan pun menjelma menjadi "seleb intelektual" di Indonesia. Publik mengenal Nirwan bukan sebagai fisikawan, tapi budayawan.
Kekagumanku yang lain terhadap Nirwan adalah ketika ia dengan serius membedah hikayat sastra fenomenal dari Bugis, La Galigo. Kitab sastra epik kehidupan ini ditulis dari budaya lisan suku Bugis (konon sudah ada sejak abad ke-13) dan merupakan salah satu karya sastra terbesar di dunia. UNESCO menyebut La Galigo sebagai "Memory of the World".
Karya sastra ini berupa surek (narasi atau serat sastra puitis) yang terdiri dari 6.000 halaman dan 300.000 baris teks. La Galigo menceritakan sebuah kisah asal-usul manusia dan peradabannya. Seperti epik Adam dan Hawa yang kemudian anak cucunya memenuhi bumi dengan dinamika peradabannya.
Pada awal kelahiran La Galigo, surek ini dipercaya oleh leluhur suku Bugis sebagai pedoman hidup. Karena itu surek La Galigo dianggap sakral. La Galigo ditulis dalam huruf asli Bugis kuno yang konon, saat ini, hanya dipahami oleh ratusan orang suku Bugis. Nirwan adalah salah satu orang Bugis yang berusaha memahaminya.
Surek La Galigo dibaca dengan irama seperti Shalawat Nabi atau Dandang Gula karena dipercaya sebagai mantra. Mantra ini dibaca untuk tolak bala, selamatan rumah baru, menyambut musim tanam, upacara pernikahan dan lain-lain.
Hikayat La Galigo dimulai dari kisah penciptaan dunia dan turunnya anak sulung raja langit yang diutus ke bumi (di kawasan Sulawesi Selatan, Luwu). Putra Langit tersebut bergelar Batara Guru. Batara Guru lalu digantikan Batara Lattu, putranya. Batara Lattu memiliki dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah. Sawerigading dan We Tenriabeng.
Saat dewasa dua anak kembar yang dibesarkan secara terpisah ini kembali ke Luwu. Ternyata Saweri dan Tenri saling jatuh cinta. Eiiit, saudara kembar tak bisa dinikahkan. Jika dipersatukan, Langit akan murka.
Pemuda Sawerigading pun sedih. Ia merantau ke Negeri China dengan perahu bersama para pengawal kerajaan.
Dalam perjalanannya menuju China, ia menghadapi banyak ujian hidup. Semuanya bisa dihadapi Sawerigading. Sampai di China, Sawerigading bertemu wanita cantik. Si cantik yang kemudian jadi istrinya itu bernama We Cudai. Dari perkawinan ini, lahirlah La Galigo. Dari hikayat inilah, lahir kisah-kisah lain —semacam serendipity sureq— yang berkaitan dengan kehidupan dan peradaban manusia. Pinjam narasi Nirwan —hikayat La Galigo adalah percakapan manusia dengan semesta. Percakapan ini muncul dalam narasi. Di suku Bugis narasi ini muncul dalam bentuk surek La Galigo.
Menurut Nirwan, dunia jika dikuak intinya, tiada lain adalah narasi. Segala sistem pengetahuan manusia, entah itu filsafat, kosmologi, atau bahkan sastra, dibangun di atas sebuah narasi. Melalui “lidah” manusia, alam semesta mewujudkan dirinya melalui kisah yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain, ujar Nirwan, sepanjang manusia menciptakan narasi tentang hidupnya, maka alam semesta pun mengungkapkan dirinya di hadapan manusia.
Itulah sebabnya, tukas Nirwan, peradaban yang tidak ditopang dengan narasi, lambat laun akan punah. Tidak ada peradaban di mana pun tanpa narasi.
Minat baca Nirwan memang luar biasa —ia melalap sastra, filsafat, sains, kosmologi, sosiologi, politik, dan entah apalagi. Itu tercermin dari tulisan-tulisannya yang tersebar di media cetak dan elektronik. Nirwan pun kemudian lebih dikenal sebagai budayawan, alih-alih fisikawan nuklir.
Nirwan seperti halnya fisikawan cum budayawan Fritjof Capra berusaha mengeksplorasi sains, filsafat, dan sastra hingga bertemu di titik yang sama dalam kosmologi kehidupan. Yaitu: manusia sebagai satu kesatuan antara mikro dan makrokosmos. Jalaluddin Rumi menyebutnya, manusia adalah samudra dalam setitik air.
Betul, manusia yang berasal dari setitik nutfah atau air hina (pinjam Rhoma Irama) kemudian menjelma menjadi penguasa jagat raya. Di era
artificial intelligent (AI), era manusia sebagai raja diraja di semesta, niscaya terwujud. Pertanyaannya, apakah sang raja diraja kelak akan memelihara bumi atau menghancurkannya?
Inilah yang saat ini menjadi polemik. Tolong, tanyakan kepada Oppenheimer —bagaimana perasaan hatinya setelah bom atom ciptaannya meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Kenapa Oppenheimer tak mau melanjutkan proyek bom hidrogennya? Tampaknya Oppenheimer takut, manusia akan musnah di muka bumi akibat pengetahuannya. Ia akan menyesal sepanjang hidupnya karena menciptakan senjata pemusnah massal yang mengerikan itu. Oppenheimer tampaknya ogah menjadi manusia seperti kisah Frankenstein. Ilmuwan yang menciptakan senjata pemusnah massal yang akhirnya memusnahkan manusia sendiri.
Kembali ke Nirwan. Beruntung, setelah rajin mengikuti pikiran-pikiran Nirwan yang menembus batas, aku berkenalan secara fisik dengannya di perpustakaan Freedom Institute (FI) milik Rizal Mallarangeng di Jalan Proklamasi, Jakarta. Saat itu Nirwan adalah direktur perpus tersebut.
Di era Nirwan inilah FI sangat prestisius. Bukan hanya perpusnya yang ramai, tapi kegiatan diskusinya juga sangat berkualitas. Aku selalu datang di acara-acara diskusi filsafat, sastra, dan budaya di FI.
Di FI, inilah aku berkenalan dengan sosok unik, Ryu Hasan, seorang ahli bedah saraf yang "sarap". Dalam sebuah diskusi yang dikomandani Nirwan, Ryu Hasan yang konon berdarah "habib" ini mempertanyakan, bagaimana Tuhan menghukum manusia yang kode genetik ketuhanan di pita DNA-nya telah dipotong? Bagaimana Tuhan menentukan umur manusia bila kode genetik usianya di benang DNA dipotong?
Ya. Semua kepercayaan dan agama muncul sebagai konsekwensi adanya kode-kode genetik yang ada dalam pita DNA di sel-sel tubuh manusia. Aku tak tahu bagaimana respon Nirwan terhadap perspektif Ryu Hasan. Ini artinya, Nietzsche benar —ketika berbicara bahwa manusia bisa "membunuh" Tuhan. Entahlah! Konsep tentang Tuhan memang absurd. Tidak sesederhana seperti yang dipaparkan Abdul Somad dan Aa Gym.
Satu hal, kini Nirwan dengan "ruh" nya yang tanpa jasad akan mengeksplor di kehidupan baru yang oleh manusia beragama disebut alam akhirat atau alam malakut. Nirwan, apakah hukum fisika ada di alam sana? Apakah narasi masih diperlukan untuk berkomunikasi di alam tanpa materi itu? Apakah ada sastra dan filsafat di kehidupan bidadari dan malaikat?
Kau pasti akan menjawabnya kelak ketika bereinkarnasi menjadi "Avatar" di kehidupan lain. Kelak di alam yang lain, aku ingin mempertanyakan hal tersebut padamu.
Nirwan, kau sekarang pasti memahami kenapa Yesus hidup tanpa istri. Maaf, aku yang sering bertanya, kenapa kau lama menjomblo waktu di FI —kini terpaksa mengakui kehebatanmu. Hidup menjomblo telah membuatmu terbang dengan imajinasi yang liar tentang wanita ideal. Dan ternyata wanita ideal itu hanya ada dalam khayal Khalil Gibran melalui surat-surat cintanya kepada May Ziadah, kekasih imajinatifnya. May Ziadah mungkin adalah "
titik nol-nol-nol koma sekian" dari relasi manusia dan semesta seperti dinarasikan hikayat La Galigo. Mungkinkah itu Nirwan?
Melalui tulisan ini, aku ucapkan Selamat Jalan, Nirwan. Dunia literasi kelak akan menyebutmu sebagai nabi. Nabi yang berhasil membangun surga di bumi. Kau telah membuka jendela semesta untuk umat manusia.
Syaefudin SimonFreelance Columnisthttps://www.facebook.com/eldin.ibnuathiyyah