Setelah sistem persekolahan massal dijadikan instrumen teknokratik bagi masyarakat industri sekuler sejak Orde Baru, proses deislamisasi itu semakin memperoleh kekuatan dan momentumnya di bawah rezim ini.
Sekulerisasi adalah deislamisasi karena dirancang untuk menjauhkan Islam dari kehidupan ekonomi dan politik untuk memfasilitasi penjajahan nekolimik.
Illich berhasil membedakan antara persekolahan dan pendidikan, serta melihat bahwa persekolahan justru merusak pendidikan. Pada saat elite Indonesia masih menilai radikalisme sebagai ancaman bagi investasi, di tangan Makarim, sistem persekolahan paksa massal ini tidak saja menjadi instrumen teknokratik menyiapkan masyarakat industri, tapi sekaligus instrumen deradikalisasi sebagai proxy deislamisasi.
Di samping persekolahan makin terbukti tidak efektif, pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua. Pendidikan tidak mungkin dilaksanakan secara efektif dengan memperbesar persekolahan. Bahkan Ki Hadjar Dewantara menegaskan tri sentra pendidikan: keluarga, masyarakat, dan perguruan.
Dalam konteks keluarga itulah kita mesti mencermati bahwa menyerahkan tugas-tugas pendidikan hanya pada persekolahan akan memperlemah keluarga dan masjid. Masjid bertugas melengkapi pendidikan dalam keluarga. Persekolahan boleh diberi tugas yang bersifat melengkapi seperti memberikan kecakapan-kecakapan teknis. Bagi muslim, pembentukan adab dan akhlaq hanya bisa dilakukan secara efektif di rumah dan di masjid.
Perlu dipahami bahwa keluarga, masjid dan pesantren, adalah benteng terakhir Islam di Indonesia. Persekolahan adalah ancaman laten bagi ketiga lembaga ini. Namun segera perlu dicatat bahwa sejak lama kantong-kantong Islam adalah kantong-kantong perlawanan terhadap penjajahan.
Oleh karena itulah umat Islam Indonesia perlu segera meninggalkan paradigma schooling ini, lalu mengambil paradigma learning (belajar). Bagi umat Islam, pendidikan tidak boleh lagi diwujudkan dalam pembesaran persekolahan hingga ke pesantren-pesantren, tapi justru mengurangi persekolahan dengan memperluas kesempatan belajar di rumah dan di masyarakat, terutama di masjid-masjid dengan kurikulum yang mandiri dan lebih mengutamakan relevansi personal dan spasial/lokal, bukan mutu global mbelgedhes.
Gunung Anyar, 24/10/2019
Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Zona Satu News
http://www.zonasatunews.com/tokoh-opini/daniel-m-rosyid-deschooling-vs-deislamisasi/