(Kepala Suku Seattle dari suku asli Amerika, Suquamish dan Duwamish).
Laporan khusus Panel Para Ahli Perubahan Iklim (IPCC) pada 8 Oktober lalu telah membawa kabar mencemaskan melalui Laporan Khusus Pemanasan Global 1,5° Celsius. Laporan itu mempertegas ancaman besar bagi keberlanjutan Bumi akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Kenaikan suhu 1,5° Celsius selayaknya menjadi pilihan jika ingin menghindarkan Bumi dari bencana apokaliptik.
Laporan tersebut disusul laporan Living Planet Report 2018 dari organisasi lingkungan WWF International awal pekan ini, Selasa (30/10/2018). Laporan ini ibarat “barang sama dengan kemasan berbeda” jika disandingkan dengan laporan IPCC. Pesan yang disampaikan WWF memperkuat pesan IPCC: kehancuran ekosistem semakin dekat. Maka harus ada pilihan lain dalam cara mengonsumsi.
Era ini juga disebut sebagai Era Percepatan Luar Biasa (Great Acceleration) karena di era ini terjadi perubahan drastis terhadap ekosistem. Ledakan penduduk mencapai lebih dari 7,6 miliar, memberikan tekanan luar biasa pada alam untuk pemenuhan kebutuhan terutama pada energi, tanah, dan air. Eksploitasi berlebihan karena keserakahan mengonsumsi dan aktivitas pertanian telah menyebabkan tekanan pada kehati (keanekaragaman hayati).
Kehidupan manusia ditopang oleh alam. Kebutuhan akan pangan dan semua produk konsumsi berasal dari alam. Aktivitas manusia terutama dalam aktivitas ekonominya demi memenuhi kebutuhan konsumsinya telah meninggalkan “Jejak Ekologis” yang selama ini tersembunyi. “Jejak Ekologis” merupakan harga ekologis yang harus kita bayar akibat eksploitasi alam untuk pemenuhan bahan baku, proses produksi, hingga rantai suplai.
Tanpa alam yang sehat mustahil manusia masih bisa terus membangun dan berkembang. Ancaman berupa menurunnya kualitas tanah, kekurangan air, dan iklim ekstrem telah menjadi pemikiran tentang kinerja ekonomi makro dan aktivitas finansial.
Degradasi lahan akibat tekanan permintaan akan produk telah mengakibatkan hilangnya kehati. Salah satu rumah kehati yaitu hutan tropis yang merupakan rumah kehati dalam jumlah tinggi. Laporan WWF menggarisbawahi berapa banyak kehati yang telah punah. Secara garis besar terjadi penurunan populasi spesies sekitar 60 persen antara tahun 1970-2014.
Akan tetapi tidak banyak pihak yang menyadari bahwa pemulihan hutan tropis, rumah besar kehati (keanekaragaman hayati), tak akan pernah mampu mengembalikan atau memulihkan keanekaragaman itu dari fungsi ekosistem yang telah telanjur hilang. Belum lagi peran rumit serangga dan organisme mikro yang menjadi penghubung dalam jejaring ekosistem.
Penghancuran satu habitat bisa melenyapkan satu produk tertentu karena serangga sebagai pembantu proses penyerbukannya telah lenyap. Hilangnya satu mata rantai ekosistem akan menghancurkan mata rantai lainnya.
Fungsi lain alam yang terkait dengan kehidupan sosial, spiritual, agama, dan kultural seperti yang telah dihayati masyarakat asli atau masyarakat adat, tak pernah dikalkulasi dan menjadi basis pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.
Semenjak pencanangan Hari Bumi, konferensi demi konferensi yang berisikan diskusi dan negosiasi terkait penyelamatan bumi, pembangunan berkelanjutan, dan penyelamatan keanekaragaman hayati terus bergulir. Semakin banyak dan semakin masif. Frasa-frasa baru bermunculan silih berganti.
Enam tahun setelahnya, sampah plastik menjadi momok baru, bahkan dalam tubuh manusia telah ditemukan remah-remah plastik. Penghancuran hutan terus berlangsung dan pelaku bisa melenggang dengan menunggangi peraturan hukum yang seperti jaring: berlubang banyak. Perburuan, pembunuhan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi tetap marak bahkan meningkat karena modus dan teknologi yang semakin canggih.
Manusia terseret pada ide gigantisme. Meraksasa, mengejar ukuran. Schumacher menangis dari balik kubur. Ide “kecil itu indah” yang dia tawarkan terpuruk ke sudut-sudut gelap keserakahan. Dengan ukuran masif, maka kerusakan lingkungan yang terjadi pun menjadi sangat masif.
Manakala sebuah perusahaan besar kalah dalam persidangan pun, eksekusi tak berjalan atau pendekatan persuasif didahulukan. Pameo “pedang hukum majal ke atas tajam ke bawah” terus hidup langgeng.
Namun seiring lahirnya berbagai komitmen global, semuanya pada akhirnya mengerucut pada komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang disepakati anggota PBB pada akhir tahun 2015 dalam bentuk dokumen, Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development.
Tahun 2020, seperti pandangan WWF, akan menjadi tahun penting. Penentu sikap kita manusia sebagai salah satu elemen ekosistem dan Bumi: akan menjadi penghancur atau penyelamat Bumi.
Megutip kalimat penutup Living Planet Report 2018, “Kami adalah generasi pertama yang memiliki gambar jelas akan nilai alam dan dampak luar biasa yang kita timbulkan. Kita mungkin merupakan generasi terakhir yang bisa bertindak untuk membalikkan arah kecenderungan ini. Saat ini hingga 2929 akan menjadi momen menentukan dalam sejarah.”
Manusia kini seakan telah terselap atau tiba-tiba lupa akan dirinya sebagai manusia yang sejati, Homo Sapiens, makhluk yang berpikir .…
Brigitta Isworo Laksmi
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 6 November 2018
No comments:
Post a Comment