Bahkan kini kita bisa berbisnis di hari yang sama antara London dan New York karena hanya butuh 7,5 jam saja untuk menyeberanginya. Seratus tahun kemudian, teknologi supermodern menciptakan peningkatan kecepatan 50 kali atau 5.000 persen dibandingkan dengan peningkatan sebelumnya.
Hidup kita di zaman yang berlari tidak lagi dengan kecepatan (speed), tetapi percepatan (velocity) seperti dalam fakta di atas, tentu saja menciptakan perubahan yang tak ringan. Tidak hanya secara sosial, ekonomis, politis, tetapi juga personal hingga spiritual. Bisa dibayangkan bagaimana kita mencerap data dari sebuah flashdisk ukuran 2 cm yang memiliki data 256 miliar byte, sementara data yang dikirim sebuah modul pesawat angkasa Apollo 50 tahun lalu seberat 20 ton hanya berasal dari memori sebesar 4 kilobyte.
Sahabat, saudaraku, apa yang kita alami saat algoritma yang digunakan dalam teknologi di balik media sosial dapat menentukan bukan hanya konspirasi di balik penembakan massal di Las Vegas, Oktober tahun lalu, menyusup ke kartun kegemaran anak kita, Peppa Pig, yang memakan ayahnya sendiri termasuk bubuk pemutih mesin cuci? Bagaimana Google, Facebook, juga Instagram, lewat algoritmanya bisa menentukan bukan saja mobil favorit kita, melainkan juga warna pakaian dalam kita? Apa yang terjadi jika blockchain dengan cryptocurrency semacam bitcoin satu saat mementahkan peran regulator yang konstitutif macam Bank Indonesia bahkan Otoritas Jasa Keuangan RI?
Tidak. Tentu Anda setuju: tidak! Tidak ada selain ketetapan-Nya yang “tak terhindarkan”. Banyak yang harus kita hindarkan. Setidaknya, bukan cuma untuk menyelamatkan tujuan dan mimpi bangsa ini, tetapi juga menyelamatkan hidup kita sendiri. Frase terakhir inilah sesungguhnya makna paling murni dari apa yang kita sebut dengan “kebudayaan”.
Lalu di mana kebudayaan itu, kebudayaan kita, alias kebudayaan bangsa (Indonesia) ini? Saya tidak tahu. Maaf, jujur saya harus berkata, tidak tahu. Kalaupun saya tahu, saya tidak akan mengatakannya. Karena kebudayaan (bangsa/nasional Indonesia) kita bukanlah celotehan satu mulut saja, tetapi ia harus menjadi mufakat semua pemangku kepentingan utama negeri ini. Dan, mufakat itu belum ada, belum pernah ada. Maaf, lagi-lagi, para bapak dan ibu bangsa ini belum berhasil —jika tidak bisa dibilang gagal— memufakatkan persoalan esensial di atas.
Mengapa esensial? Karena dalam pengertian apa pun, juga akademis, kebudayaan adalah dimensi atau tepatnya (esen)isi yang semestinya ada dan membentuk apa yang disebut dengan “bangsa”. Bagaimana sebuah bangsa ada, terbentuk dan berkembang tanpa adat, tradisi atau budaya di dalamnya? Konklusi: bagaimana ada bangsa Indonesia jika kebudayaannya saja tak dapat kita jelaskan? Alhasil, bagaimana negara bisa dibentuk dan dijalankan untuk sebuah bangsa yang ia kenal pun tidak, alias tidak ada? Hikmahnya, kita berada dalam situasi yang begitu kritis, bahkan bisa jadi absurd.
Apa yang bisa dilakukan dalam situasi absurd yang demikian ini? Mungkin hanya mengidentifikasi sifat-sifat superkritis yang menjadi bagian dari absurditas. Tidak lain gejala atau fenomena-fenomena kehidupan (sosial) yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita belakangan ini. Semua yang secara kategoris dapat digolongkan sebagai “produk-produk” kebudayaan, entah itu berbentuk artefak, ekofak, sosiofak, dan lainnya. Produk-produk dari satu hal yang sulit ditera, apalagi hanya dari simtom atau gejalanya saja.
Bangsa ini bukanlah bagian dari kebudayaan yang melahirkan Prambanan, tari kecak, tari saman, wayang kulit, atau pencak silat. Kita adalah bagian dari kebudayaan yang memproduksi remaja yang merakit bom sendiri untuk ia ledakkan di sebuah international franchise bersama tubuhnya sendiri. Kita adalah bagian dari produk macam seorang ibu yang frustrasi secara sosio-ekonomis (juga kultural) lalu menempatkan bayinya di kursi yang ia duduki hingga anaknya mati. Atau seorang remaja SMP yang membuka baju sekolahnya untuk menantang berkelahi kepala sekolah di kantor pimpinan itu sendiri.
Kita adalah bangsa dengan kebudayaan politik yang bertanggung jawab melahirkan seorang Setya Novanto, Akil Mochtar, dan sederet pemimpin publik/negara yang berkhianat pada konstitusinya sendiri. Kita adalah bagian dari publik yang sibuk melahirkan kebenaran-kebenaran (preferensial) kita sendiri —yang super subyektif hingga ke tingkat tidak peduli dan mempersetankan kebenaran lain— via media-media sosial beralgoritma (seperti diterangkan) di atas.
Ini semua menciptakan —mari kita terbuka hati— kecemasan, kekhawatiran, bahkan hingga di tingkat kengerian: akankah republik atau bangsa ini bertahan? Kecemasan yang seakan begitu cepat terdiseminasi juga ter-amplifying ketika pesta politik (tanpa budaya) seperti pilkada tahun ini atau pemilihan presiden tahun depan berlangsung dengan ancaman segregasi sosial yang tinggi.
Lalu bagaimana —sebagai inti tulisan ini— negeri atau bangsa seperti ini harus menghadapi, mencerna, menjawab persoalan-persoalan yang kian kompleks, atau masa depan yang penuh ketakterdugaan? Apakah semua hal itu benar-benar “tak terhindarkan?”
Tentu saja semua kedegilan atau keterpurukan hingga ke titik nadir kebudayaan kita ini, bisa —dan sangat bisa— dihindarkan! Lebih dari itu, sesungguhnya kita memiliki kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas untuk memilin seluruh sebab di atas sehingga justru menjadi kekuatan. Kekuatan yang bangsa mana pun tidak pernah menyangka bahwa ia begitu luar biasa, hingga bukan hanya persoalan-persoalan rumit zaman kiwari dapat dijawab dengan baik, tetapi juga menciptakan tenaga (kreatif) yang memulihkan invaliditas kelebihan-kelebihan (kultural) bangsa ini.
Namun, semua itu tidak akan bakal terjadi jika kita masih saja, hingga detik ini, bersikap sangat konservatif, bahkan ortodoks, dalam soal ide, pemikiran dan gagasan. Lihatlah diri kita saat ini, mulai dari akar rumput yang memenuhi tepi jalan sebagai UKM atau jelata yang memenuhi antrean terminal bus dan kereta api, hingga mereka yang berada di pucuk pimpinan lembaga-lembaga (penyelenggara) negara. Adakah kita temukan ide-ide baru, segar dan genuin tentang bagaimana diri (bangsa) kita ini harus kita atur, kita gerakkan, dan kita ajak berkeringat deras untuk menghadapi realitas global yang sebenarnya sudah cukup khaotik ini?
Lalu di mana dan ke mana kita, para warga republik ini, setelah seabad kemudian? Setelah kemajuan sedemikian rupa dihasilkan: kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur segala bidang? Bahkan ketika sumber data dan informasi keilmuan sangat melimpah luar biasa dan sangat mudah didapatkan? Ke mana kecerdasan bangsa ini? Apakah bangsa ini hanya melahirkan kecerdasan dan kegeniusan di awal abad ke-20, seratus tahun lalu saja? Lalu kini semua layu dan lembek seperti ketela singkong yang diperam oleh ragi? Manis nan lembek?
Bangsa Amerika Serikat, misalnya, telah 12 kali mengamandemen konstitusinya hanya dalam abad ke-20 saja. Australia sedikitnya delapan kali, bahkan Myanmar yang dianggap sangat ortodoks itu sudah tiga kali mengamendemen konstitusinya, dibandingkan dengan negeri bagian Alabama sudah melakukan hal serupa sebanyak 800 kali. Kita mafhum, bukan saja mereka, tetapi juga Rusia, China, India, bahkan Perancis, Jerman, dan banyak negara terkemuka lainnya melakukan hal yang sama, revisi kebangsaan.
Saya sangat percaya, kita saat ini tidak terlalu idiot dan embisil, setidaknya dibandingkan para pendahulu, bapak dan ibu pendiri bangsa kita dahulu. Kita punya kekuatan itu, kekuatan untuk melahirkan pikiran dan gagasan yang brilian, yang dapat kita gunakan untuk menjadi arsenal dahsyat demi menantang dunia saat ini. Pikiran dan gagasan baru, ketika pikiran lama dirasa sudah tidak lagi fit-in dan fix-in dengan kenyataan mutakhir kini. Tapi maukah kita berkeringat, berair-mata, bahkan berdarah-darah untuk melahirkan “mimpi besar” itu? Maukah kita berhenti melena diri dan keluar dari zona nyaman tempurung sempit yang memenjara pikiran, perasaan, hingga keyakinan tauhid kita saat ini?
Sudah waktunya, saudaraku ….
Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 17 Februari 2018