Muhadjir Effendy begitu diangkat sebagai Mendikbud langsung menyadari bahwa roh pendidikan yang ada di Kemdikbud sebenarnya tinggal sepertiga. Bayangkan saja, dari tiga konsep penting pendidikan Ki Hadjar, hanya satu yang secara eksplisit menjadi spirit Kemdikbud, yaitu tut wuri handayani. Lantas, ing ngarso sung tulodo dan ing madya mangun karsa selama ini dikemanakan?
Tak heran jika Muhadjir pernah mengungkap keinginannya untuk mengubah nomenklatur Kemdikbud sehingga logonya lengkap mencerminkan pemikiran Ki Hadjar. Usulan mengubah nomenklatur ini tentu saja memiliki banyak dampak, bukan hanya dari sisi penamaan, melainkan juga dari sisi pembiayaan, seperti penggantian logo, kop surat resmi, dan papan nama di lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah kita. Namun, lebih dari sekadar keinginan mengganti nomenklatur, saya melihat usulan unik Mendikbud ini sebagai pemantik kesadaran publik bahwa ada sesuatu yang hilang dalam kinerja Kemdikbud selama ini.
Ketika Muhadjir mendapat mandat melanjutkan kepemimpinan Anies, pelibatan publik ini lebih diperkuat lagi secara sistematis melalui penguatan peranan komite sekolah. Munculnya Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memperkuat pelibatan publik di tingkat satuan pendidikan, yaitu orangtua, terutama melalui struktur komite sekolah sebagai salah satu mitra penting pendidikan.
Bukan hanya itu, peranan orangtua dalam pendidikan anak juga ingin dikuatkan melalui kebijakan tentang hari sekolah melalui Permendikbud No 23/2017. Sayangnya, niat baik ini tidak ditangkap publik dengan baik, terutama media massa, sehingga yang dipahami publik melalui media adalah konsep full day school (FDS). Padahal, Kemdikbud tidak pernah sama sekali mengeluarkan kebijakan FDS.
Keluarnya Peraturan Presiden No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di satu sisi menghentikan polemik FDS yang menyita waktu, perhatian, dan tenaga, tetapi juga sekaligus merupakan kesungguhan pemerintah dalam rangka memulangkan gagasan-gagasan pendidikan genial Ki Hadjar yang selama ini terabaikan di rumah sendiri.
Pasal-pasal dalam Perpres tentang PPK secara eksplisit menyebutkan kekhasan pedagogi pendidikan yang selama ini menjadi trade mark Ki Hadjar, seperti konsep trisakti jiwa manusia, yaitu pikiran, rasa, dan kemauan (cipta-rasa-karsa) dan kodrat "dasar" (dimensi biologis individu) dan "ajar" (dimensi sosial pembentukan karakter) dalam pendidikan. Pendidikan yang utuh semestinya mengintegrasikan empat dimensi pengolahan hidup manusia, yaitu olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. PPK juga secara eksplisit menggemakan kembali konsep tripusat pendidikan Ki Hadjar, yaitu sinergi antara keluarga (orangtua), sekolah (alam perguruan), dan masyarakat (alam pergerakan).
Konsep Ki Hadjar secara eksplisit tecermin dalam definisi PPK sebagai "gerakan pendidikan di bawah satuan pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik melalui olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dalam kerja sama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)".
Pandangan bahwa pusat pendidikan ini ada dalam diri anak tampil dari para pemikir sezamannya, seperti Maria Montessori, Ovide Decroly, Karl Groos, John Dewey, dan Friedrich FrÖebel. Pusat seluruh proses pendidikan adalah sang anak, bukan guru. Revolusi kopernikan pendidikan ini mengubah struktur filosofi pendidikan sehingga mengakibatkan perubahan dalam konsep pendidikan, peran dan cara mengajar guru, pemilihan materi pembelajaran dan metode evaluasi serta penilaian. Gagasan Ki Hadjar sangat dipengaruhi oleh revolusi kopernikan pendidikan pada zamannya.
Ironisnya, gagasan Ki Hadjar tampaknya ditanggapi dan diterapkan setengah hati. Ini tecermin dari struktur Kurikulum 2013 dan implementasi dari beberapa kebijakan yang kurang tepat.
Pertama, pendidikan utuh dan menyeluruh. Salah satu gagasan genial Ki Hadjar adalah pendidikan sebagai proses pembentukan watak anak Indonesia yang merdeka, berpusat pada sang anak, membebaskan kreativitas agar diri anak-anak bertumbuh dalam keseluruhan dimensinya, baik secara fisik, psikologis, sosial, estetis, intelektual, etis, maupun spiritual melalui pendekatan kepamongan.
Faktanya, struktur kurikulum kita membebani peserta didik dengan sangat banyak mata pelajaran, padat isi, dan ketat dalam sistem evaluasi. Beratnya materi pelajaran ini membuat proses pendidikan akhirnya hanya fokus pada kemampuan akademis peserta didik, sehingga dimensi pendidikan yang lain terabaikan, terutama pembentukan karakter. Mendikbud pernah menyampaikan usulan untuk menyederhanakan mata pelajaran pada jenjang sekolah dasar. Jumlah mata pelajaran untuk jenjang pendidikan dasar perlu lebih disederhanakan sehingga pendidikan bisa fokus pada pembentukan karakter peserta didik. Namun, gagasan ini berhenti dalam ide.
Ketiga, sistem evaluasi kita masih fokus untuk memotret kemampuan akademis peserta didik melalui berbagai macam ujian, mulai dari penilaian harian, penilaian akhir semester, ujian sekolah berstandar nasional (USBN), dan ujian nasional (UN). Semua ini berfokus hanya pada satu dimensi, yaitu kemampuan akademis-intelektual peserta didik. Alternatif penilaian dan evaluasi untuk memotret otentisitas sikap spiritual dan sosial masih perlu dikembangkan lagi.
Pulangnya gagasan Ki Hadjar di rumah pendidikan nasional perlu kita rayakan sebagaimana kita menemukan anak yang hilang. Namun, hal ini membutuhkan sikap terbuka, reflektif, dan kritis. Caranya adalah dengan mulai mempertanyakan dan mengkritisi berbagai praksis pendidikan yang sudah ada, yang belum atau kurang selaras dengan gagasan genial Ki Hadjar Dewantara, sang pamong bangsa.
Doni Koesoema A
Pemerhati Pendidikan,
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong
KOMPAS, 20 Januari 2018