Monday, May 11, 2015

Novel


Ada beberapa buku di meja Romo Imam. Saya lihat judulnya: Sabdo Palon, Mahabharata, HOS Tjokroaminoto. "Tak ada buku novel, Romo?" tanya saya. Romo mendekat. "Saya tak tertarik baca novel. Kalau mengikuti berita Novel Baswedan, saya tertarik. Ini cerita campuran antara dendam dan unjuk kekuasaan," kata Romo. Saya tertawa kecil sambil menunggu Romo duduk.

"Itu murni kasus hukum, Romo," ujar saya. Romo tertawa keras. "Sampean cocok jadi Kepala Divisi Humas Polri, pasti pernyataannya begitu." Romo diam sejenak, lalu melanjutkan: "Tapi jangan salahkan jenderal polisi. Dendam itu adalah sifat yang diturunkan Sang Pencipta kepada makhluk hidup, termasuk manusia. Setidaknya ada enam musuh dalam diri manusia yang harus dikalahkan. Salah satunya nafsu dendam."

Saya diam, menanti ke mana arah omongan Romo, moral atau hukum. "Coba sampean urut ke belakang, dendam polisi yang tak kepalang adalah ketika Novel menggeledah kantor polisi lalu lintas dalam kasus Djoko Susilo, 2012. Bagi polisi, Novel itu berkhianat. Polisi, kok, menggeledah ruangan polisi, tak ada kebanggaan korps. Maka kesalahan Novel pun dicari, yakni kasus tewasnya pencuri walet di Bengkulu pada 2004. Waktu itu Presiden SBY turun tangan, sehingga kasus ini diendapkan, tak elok KPK bermusuhan dengan kepolisian."


Romo meneruskan: "Lalu pada saat Budi Gunawan yang mendadak dijadikan tersangka oleh KPK, sehingga batal menjadi Kapolri, memunculkan kembali dendam itu. Polisi menghabisi pimpinan KPK. Bambang Widjojanto ditangkap, Abraham Samad dijadikan tersangka. Kasusnya dicari. Samad memalsukan identitas kartu keluarga, kasus kecil yang setara dengan pemalsuan identitas yang membuat petinggi polisi juga punya KTP ganda. Ah, sampean dulu juga dua kali memalsukan kartu keluarga saat membawa sepupu sekolah di Jakarta."

"Romo, itu jangan disebut, nanti saya ditangkap," saya memotong. Romo terbahak: "Tidaklah, sampean tak akan ditangkap karena tak ada unsur dendam. Kasus sepele begini hanya terjadi pada wilayah dendam yang dicampur dengan unjuk kuasa. Polisi menyalurkan dendam. Polisi membuktikan lebih berkuasa. Bambang dan Samad dilepas dari tahanan setelah pimpinan KPK dan Presiden memohon ke Kapolri. Mungkin Novel sudah dilepaskan atau segera dibebaskan karena Presiden Joko Widodo sudah memohon, meski bahasanya memerintahkan. Apa pun, polisi kini bertepuk dada: aku yang lebih kuat, kalian sudah neko-neko minta sekutu kalian dilepaskan."

"Polisi di atas angin?" tanya saya. "Jauh di atas angin," jawab Romo. "Dan polisi pun memberi kesan bahwa mereka bijak, toleran, sekaligus loyal. Sembari mengumbar bahwa kasus yang ditangani murni hukum, mereka toh mau melepas tangkapannya atas nama loyalitas, sekaligus membantah ada kriminalisasi."


Saya melongo dan Romo melanjutkan: "Polisi sebenarnya sudah mencoba menarik hati masyarakat dengan lebih gesit menangani korupsi. Kasus UPS di Pemda DKI yang melibatkan orang-orang populer, seperti Haji Lulung, sudah menarik wartawan ke Bareskrim. Sebentar lagi kasus Stadion Gedebage Bandung juga digelar. Keriuhan kamera yang tadi tumplek di lobi KPK bisa pindah ke Bareskrim, sedangkan KPK sudah kehilangan kekuatannya, bahkan pimpinannya mengancam mundur."

Saya menyela: "Bagus, dong, kalau polisi gesit menangkap koruptor." Romo menyahut: "Bagus, tapi kalau sembari masih punya dendam kepada KPK, bagaimana rakyat bisa percaya? Novel dan para penyidik KPK, yang asalnya dari polisi, bisa diperlakukan begitu, masyarakat tentu bertanya-tanya." Saya mengangguk.

Putu Setia,
Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 3 Mei 2015


Ini Kemuliaan dalam Perjuangan (Wawancara)

Sembari berbuka puasa dengan nasi kotak dan air putih, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, Sabtu (2/5) petang, menceritakan pengalamannya saat ditangkap Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dan ditahan selama sekitar empat jam di Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ditemani sejumlah rekannya sesama penyidik KPK, Novel terlihat segar dan tak kehilangan senyuman meski sebelumnya harus menjalani proses hukum yang melelahkan.

Novel ditangkap di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/5) dini hari. Dia lalu dibawa ke Bareskrim. Tanpa didampingi pengacara, Novel sempat menjalani pemeriksaan formal. Novel menolak melanjutkan pemeriksaan karena tidak didampingi penasihat hukum. Jumat siang dia dipindah ke Markas Komando Brimob dan ditahan di sana sejak pukul 12.00. Sekitar pukul 16.00, Novel diterbangkan ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi.

Cerita dimulai saat Novel berada di sel tahanan Markas Komando Brimob. Dia ditempatkan bersama sejumlah tersangka kasus terorisme. Novel terkejut disambut dengan ramah oleh teman-teman satu selnya. Dia sempat bertanya-tanya dengan sambutan tersebut.

"Saya sempat bingung bagaimana shalat Jumat di dalam sel begini. Siapa yang jadi khatibnya. Lalu mereka (teman satu sel Novel) bilang, 'Jangan khawatir, di sini banyak yang bisa jadi khatib.' Ada yang menarik selama saya bersama mereka," ujar Novel.


Novel melanjutkan ceritanya. Salah satu dari teman satu selnya tiba-tiba memberikan nasihat.

"Saya diminta berkata jujur. Kaget, lho, saya. Padahal mereka ini tersangka. Jarang kalau tersangka kasus korupsi ngomong seperti ini. Ini malah mereka meminta saya bicara jujur. Saya diminta bermuhasabah, menghadap ke Allah. Lalu kalau sudah yakin dengan jalan itu, saya diminta terus berjalan lurus, jangan takut dan menengok lagi ke belakang," kata Novel.

Selesai berbuka puasa, Novel menyempatkan menjawab beberapa pertanyaan seputar kasus yang menjadikannya tersangka. Berikut petikan wawancara tersebut.

Sebenarnya bagaimana kasus Anda? Apa benar Anda melakukan penganiayaan terhadap tersangka pencurian sarang burung walet saat menjadi Kasat Reskrim Polresta Bengkulu sebagaimana yang disangkakan?


Pertama, saya melihat ini mengada-ada. Tapi ini nanti bagian dari penjelasan yang akan saya sampaikan dalam pembelaan saya nanti. Cuma yang pertama, memang ini mengada-ada. Tidak logis bagi saya, ini menjadi perkara terhadap diri saya saja.

Kedua, bahwa perilaku anggota Polri, saya bilang anggota Polri, sebagaimana dituduhkan kepada saya, yang sebetulnya tidak saya lakukan, ini banyak terjadi. Mengapa cuma saya yang ditangkap. Prinsipnya saya melihat kalau saya tidak di KPK dan saya tidak menangani perkara-perkara besar, ini tidak akan terjadi terhadap diri saya.

Namun yang perlu dicatat bahwa sekarang pun ini terjadi, saya tidak menyesal sedikit pun. Saya akan menghadapi ini dengan tegak, sampai ke mana pun, dan saya memandang ini bukan suatu hal yang hina. Tapi ini kemuliaan dalam perjuangan.

Anda siap kalau nanti kasus ini sampai ke pengadilan?

Sangat siap. Bahkan proses apa pun yang mau dibuat, saya siap.


Dari versi Anda, sangkaan ini mengada-ada. Apakah Anda punya bukti?

Saya punya bukti, tapi itu akan menjadi bagian dalam pembelaan saya nanti. Saya melihat ini mengada-ada sebagaimana saya jelaskan tadi.

Sebenarnya siapa pelaku penganiayaan ini?

Poin itu tidak perlu saya jelaskan dulu karena akan ada ruang-ruang yang bisa dikapitalisasi untuk menyerang saya. Saya tidak mau menjelaskan dahulu. Itu bagian yang mau saya lihat nanti dalam proses.

Anda ini, kan, merasa dikriminalisasi karena bagian dari risiko pekerjaan. Apa pesan Anda kepada para penyidik dan pegawai KPK lainnya?

Saya mau memberikan pesan kepada penegak hukum, tidak hanya di KPK, tapi juga di penegak hukum lain, di Polri, di Kejaksaan. Mereka yang punya integritas masih banyak. Tetap saja berani, tidak perlu takut sama hal yang begini (kriminalisasi). Andaikan ada yang mau berbuat sesuatu kepada kita, untuk membuat kita terhina. Itu tidak akan terjadi. Allah tetap akan memberikan kemuliaan. Risiko itu semua yang mesti dipahami penegak hukum. Percayalah, risiko itu tidaklah akan menjadi risiko kalau kita memandang bahwa Allah akan memberikan kemuliaan kepada kita dalam rangka menegakkan hukum.


Dukungan
Sebelumnya, dalam jumpa pers bersama Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi seusai penangguhan penahanannya, Novel menyampaikan terima kasih kepada publik yang memberikan dukungan moril terhadap masalah yang menimpa dirinya. Novel menyatakan keinginannya agar kasus yang menjadikannya tersangka itu diselesaikan secara hukum dan tuntas, termasuk jika sampai dibawa ke pengadilan.

"Yang pertama, saya ingin menegaskan kepada teman-teman media dan tentu kepada masyarakat luas terkait dengan tuduhan kepada saya. Saya ingin hal ini diselesaikan dengan tuntas. Apa pun langkah yang ditempuh, saya ingin hadapi. Saya adalah penyidik, saya harus taati aturan hukum," kata Novel.

"Saya memandang, baik yang disampaikan saya ataupun pimpinan KPK dan penasihat hukum, bahwa ini kriminalisasi terhadap diri saya. Atas tindakan yang terjadi kemarin (penangkapan), saya melakukan protes dan keberatan karena itu tindakan berlebihan. Perlu diketahui oleh publik bahwa atas tuduhan kepada saya ini, saya akan hadapi, apa pun proses hukumnya saya siap hadapi," papar lulusan Akademi Kepolisian tahun 1998 ini.

Novel Baswedan,
Penyidik Senior KPK
KOMPAS, 4 Mei 2015

No comments: