Saturday, September 1, 2012

Menimbang Caliphating Hope


Tulisan serial Makkah-Aqsa-Baghdad, Dahlan Iskan di Jawa Pos di halaman 1 menarik. Pada seri terakhir Jumat, 24 Agustus 2012, Perjalanan Mengenang Tragedi di Karbala paragraf keempat dari akhir tulisannya, ada kalimat yang penting, ''... Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.''

Kesan itu bisa menimbulkan sikap menjaga jarak, menjauh, dan apriori terhadap ide khilafah Islam yang justru telah, sedang, dan terus diopinikan oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (HTI).

Pemilihan judul Caliphating Hope terinspirasi tulisan Dahlan Iskan berseri di Jawa Pos setiap awal pekan, yaitu Manufacturing Hope, dengan spirit yang sama: untuk menumbuhkan hope dan merekonstruksi harapan, dream, dan ide besar tersebut.

Kekerasan politik-militer bukan menjadi monopoli pemerintahan kekhalifahan. Dalam sejarah kaum muslimin, memang banyak terjadi pertumpahan darah dalam bentuk peperangan dan insiden. Perang Badar dan Perang Uhud ketika zaman Rasulullah SAW, perang terhadap nabi palsu dan Perang Shiffin pada masa Khulafaur Rasyidin, tragedi Karbala pada masa khilafah Umayah, Perang Salib ketika khilafah Abbasiyah, ataupun khilafah Usmani saat penaklukan Konstantinopel dan Perang Dunia I.


Banyak darah mengalir, mulai zaman baheula seperti Namruj (masa Nabi Ibrahim), Fir'aun (masa Nabi Musa), Raja Nebukadnezar, hingga Kaisar Romawi Nero. Dalam sejarah non kekhalifahan juga terjadi pertumpahan darah seperti Inquisisi Ratu Isabella-Raja Ferdinand terhadap muslim Andalusia, era kolonialisme-imperalisme kuno oleh kerajaan-kerajaan Eropa, pertempuran Katolik-Protestan di Eropa selama berpuluh-puluh tahun, invasi Hitler yang meluluhlantakkan Eropa, hingga Revolusi Bolshevik Uni Soviet oleh Lenin.

Begitu juga halnya pada masa modern ketika khilafah Islam sudah tidak eksis lagi sejak keruntuhannya pada 1924, pertumpahan darah tetap terjadi seperti Perang Vietnam, perang Arab-Israel, genosida muslim Bosnia, serta invasi Amerika Serikat dan Barat ke Iraq dan Afghanistan. Jadi, tidak fair jika paham pemerintahan khilafah dituduh penyebab ''pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir''.

Setiap sejarah memiliki beberapa sisi yang tidak dapat digeneralisasi secara gegabah, termasuk terhadap sejarah pemerintahan khilafah Islam. Sisi positif dan kegemilangan khilafah Islam seperti saat Fathul Makkah oleh Rasulullah (tanpa ada setetes darah yang tumpah), penaklukan dan pembebasan Mesir dari pajak Romawi yang mencekik saat Khalifah Umar bin Khattab, kemakmuran yang merata pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Di bidang lain, saat khilafah Umayah, mentradisinya intelektualisme Islam ketika pembukuan hadits (Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain), juga mentradisinya intelektualisme ijtihad oleh Imam Madzahibul Arba' (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Hambali), dan beberapa ulama besar dalam spritualisme sufiyah seperti Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailani, dan Rabi'ah al-Adawiyah.


Belum lagi dalam bidang sains dan teknologi saat khilafah Abbasiyah. Di antaranya, Ibnu Sina, peletak dasar ilmu kedokteran (kitab Qanun at-Thib masih menjadi referensi pakar kedokteran hingga sekarang), al-Khawarizmi (ahli ilmu falak dan matematika, di antaranya metode aljabar), Jabir Ibnu Hayyan (peletak dasar ilmu kimia murni dan terapan untuk industri parfum, pewarna, dan lain-lain), Ibnu Haytsam (pakar fisika optik yang menggambarkan cara kerja mata dan kamera), dan puluhan lainnya seperti al-Biruni, Ibnu Khaldun, Ibnu Batutah, dan Ibnu Taymiyah. Karena itu, khilafah Islam tidak selalu menimbulkan pertumpahan darah.

Sebagai pemilik hati yang sehat (qalbun salim) setelah melewati Ramadan, kita semua berharap agar memandang sebuah persoalan dengan jernih. Ini sebagai wujud syukur kita setelah terbebas dari hati yang sakit (qalbun maridh).

Ide khilafah Islam layak dipelajari dan diterapkan. Ini tidak semata-mata karena secara empiris telah eksis 13 abad. Bandingkan saja dengan pemerintahan kapitalisme-sekuler yang baru muncul pada abad ke-18. Apalagi, pemerintahan sosialisme-komunis yang tidak sampai satu abad. Tapi, semata-mata karena panggilan akidah Islam untuk dapat membumikan al-Quran dan al-Hadits. Panggilan menerapkan syariah Islam secara kaaffah (paripurna) dalam semua bidang kehidupan. Panggilan mewujudkan misi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk kaum muslimin.


Dalam konteks Indonesia, kami yakin, pemerintahan khilafah dapat mengantarkan Indonesia sebagai negara super power dunia. Salah satu modalnya karena kaum muslim di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, kekayaan sumber daya alam, posisi geo-strategis, akar historis Wali Sanga, dan lain-lain.

Jangan bunuh hope untuk masa depan cerah yang dapat mengeluarkan kehidupan manusia dari lingkaran setan sistem kapitalisme-sekuler yang telah gagal mewujudkan kemakmuran dan keadilan global. Bahkan sistem kapitalisme-sekuler ini telah menjerumuskan massal manusia kepada jurang krisis kemanusiaan.

Dengan metode memperjuangkannya secara benar sesuai yang diteladankan Rasulullah SAW, maka kabar gembira (bisyarah), khilafah akan kembali hadir di muka bumi segera menjadi kenyataan. Seperti disabdakan Rasulullah SAW '' . . . tsumma takuunu khilafatan 'alaa minhajin nubuwwah.'' (Kemudian akan berdiri kekalifahan sesuai dengan jalan benderang kenabian).

Bagaimana pendapat Anda?

Muh. Usman
Humas DPD HTI Jatim,
Dosen FK Unair dan Universitas Wijaya Kusuma

JAWA POS, 27 Agustus 2012

No comments: