Thursday, December 2, 2010

Perang Kurs dan Prospek Rupiah


Perekonomian dunia kini dicekam oleh perang kurs —atau perang mata uang (currency wars)— yang melibatkan para raksasa ekonomi Amerika Serikat, China, Zona Euro, Jepang, dan Korea Selatan. Jika tidak dikendalikan, hal ini akan menjerumuskan kembali perekonomian dunia ke jurang resesi berikutnya (double dip recession). Bagaimana dampak perang kurs terhadap rupiah dan perekonomian kita?

Sangat bisa dimengerti jika AS akhir-akhir ini gusar terhadap China. Pada Agustus 2010, AS mencatat rekor defisit perdagangan terbesar terhadap China, mencapai 28 miliar dollar AS. Dengan demikian, dalam 12 bulan ini, defisit terhadap China sebesar 250 miliar dollar AS. Secara total, defisit AS terhadap seluruh dunia kini 632 miliar dollar AS. Ini fantastis, yang mau tidak mau harus ditekan.

Bahwa AS mengalami defisit perdagangan, ini merupakan keniscayaan. Sudah cukup lama AS menderita ”defisit kembar”, yakni defisit perdagangan dan defisit anggaran pemerintah. Meski AS kini masih tetap berstatus negara dengan kekuatan ekonomi terbesar (PDB-nya sekitar 15 triliun dollar AS), perekonomiannya sudah digerogoti oleh negara-negara lain, terutama China dan Jepang (PDB masing-masing 5 triliun dollar AS).

Pada dasawarsa 1930-an, ekonom Jepang, Kaname Akamatsu, meramalkan fenomena flying geese, yakni kawasan Asia akan menjadi semacam sayap dalam formasi ”angsa terbang”. Maksudnya, perekonomian AS pada suatu titik tertentu akan kejenuhan. Pertumbuhan ekonominya sulit dipacu lagi. Perdagangan AS kalah dengan negara-negara lain yang lebih unggul secara komparatif dan kompetitif.


Investasi di AS juga kian tidak efisien, seiring dengan mahalnya upah tenaga kerja. Karena itu, banyak industri yang direlokasi ke Asia yang kaya penduduk dan sumber daya alam. Jepang merupakan negara terdepan dalam formasi ”angsa terbang” ini, disusul ”empat macan Asia” (Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura), lalu ”macan kloter kedua” (Thailand, Indonesia, dan Malaysia), serta kini China dan India.

Jadi, dengan atau tanpa perang kurs, sesungguhnya AS sudah amat menyadari bahwa daya saing produknya kalah dibandingkan kawasan Asia, terutama China. Namun, di sisi lain, AS juga mencium gelagat China yang sengaja memperlemah mata uangnya, yuan, agar daya saingnya lebih hebat lagi.

Dengan perekonomian yang selalu tumbuh double digit serta punya cadangan devisa terbesar di dunia (sekitar 2,5 triliun dollar AS), mestinya kepercayaan pada yuan sangat tinggi. Majalah Newsweek (18 Oktober 2010 dan 8 November 2010) melaporkan, merek mode terkenal, Louis Vuitton, Hermes, dan Fendi, serta mobil mewah Mercedes Benz dan BMW kini beramai-ramai menyerbu China. ”China terlalu kaya”, tulisnya.

Konsekuensinya, permintaan atas yuan juga kian besar sehingga mestinya menguat tajam. Ternyata tidak terjadi. Memang yuan menguat, dari 8 yuan (2005) menjadi 6,8 yuan per dollar AS (2010), tetapi belum sebesar ekspektasi mekanisme pasar.


Patut diduga, Pemerintah China sengaja menahan yuan agar tidak terlalu kuat. Caranya? Dengan cerdik (atau nakal?) mereka tidak membiarkan yuan menjadi mata uang global. Hal serupa pernah dilakukan Jepang ketika mereka menolak penggunaan yen dalam transaksi internasional, agar yen tidak menguat (yendaka) berlebihan, pada dasawarsa tahun 1990-an.

AS mulai frustrasi karena berbagai persuasinya pada China selalu kandas. Kini muncul jurus baru yang sebenarnya tidak lazim, yaitu AS sengaja mencetak uang sebanyak 600 miliar dollar. Kurs dollar AS akan merosot. Inilah esensi perang kurs dewasa ini: China tidak mau merevaluasi yuan sesuai mekanisme pasar, sedangkan AS menambah pasokan dollar agar kursnya melemah.

Ekonom terkenal Jagdish Bhagwati dari Columbia University, New York, khawatir atas kurs yuan terlalu dilebih-lebihkan. Namun, sebaliknya, pencetakan uang oleh Fed yang merupakan bagian dari kebijakan moneter AS mestinya tidak usah dikomplain Pemerintah China (Newsweek, 15 November). Sedangkan Menteri Keuangan AS Timothy Geithner malah mengatakan, perang kurs tidak membawa dampak negatif terhadap negara-negara lain.

Saya tidak sependapat. Jika perang kurs terus terjadi, dollar AS akan melemah dan rupiah akan terus menguat. Dalam teori penentuan kurs, ada dua hal yang perlu dicapai. Pertama, kurs seyogianya mencerminkan kredibilitas perekonomian suatu negara. Berarti, kurs yang baik adalah cenderung kuat.

Namun, harus juga dipertimbangkan hal kedua, yakni kurs yang baik adalah yang dapat mendukung daya saing produk-produk negara itu di pasar global. Artinya, kurs yang terlalu kuat justru tidak baik karena akan mengganggu daya saing.


Jadi, ke depan akan kita saksikan demonstrasi negara-negara maju yang seperti berlomba memperlemah mata uangnya masing-masing demi mencapai posisi neraca perdagangan yang lebih baik. Bagi AS, kepentingannya adalah menurunkan defisit perdagangan, terutama terhadap China.

Maka, Bank Indonesia harus menghitung, sampai level berapa rupiah diizinkan menguat. Memang ada manfaat penguatan rupiah, misalnya bagi produsen yang mengimpor mesin atau barang modal. Biaya produksi bisa ditekan, yang juga akan menekan inflasi. Karena faktor inilah saya yakin inflasi kita bisa di bawah 6 persen tahun 2011.

Namun, rupiah yang terlalu kuat juga akan merangsang masyarakat berbelanja barang impor dan bepergian ke luar negeri, yang bisa menguras cadangan devisa yang kini mencapai rekor 92 miliar dollar AS.

Pasca-kegagalan lobi AS terhadap China, pelemahan kurs mata uang negara-negara kunci akan menjadi tren tahun 2011. Ini memerlukan peningkatan kewaspadaan BI pada gejala penguatan rupiah. Saya yakin, perekonomian Indonesia akan sehat apabila rupiah dijaga pada kisaran sempit Rp 9.000 - Rp 9.200 per dollar AS.

A Tony Prasetiantono,
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/05103983/perang.kurs.dan.prospek.rupiah

No comments: