Seperti masuk lingkaran sejarah yang selalu berulang (l’histoire se repete), tragedi yang menimpa KPK seperti akan mengulangi ujung tragis dari lembaga-lembaga antirasywah yang pernah ada untuk memberantas korupsi. Misalnya, di awal kekuasaan Orde Baru, Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk melalui Keppres No 28/1967 dengan fungsi represif dan preventif harus gulung tikar di tengah kuatnya praktik perekonomian perkoncoan di tubuh pemerintah. Bahkan, pada 1970, pembentukan Komisi Empat yang dipimpin mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta juga mengalami kondisi layu sebelum berkembang.
Setelah rentetan kejadian itu, harapan besar untuk memberangus korupsi tumbuh subur dengan dibentuknya KPK. Dengan segala wewenang yang diberikan UU No 30/2002, KPK mampu menyentuh hampir semua lembaga yang dalam waktu cukup lama tidak tersentuh oleh lembaga penegak hukum konvensional. Namun, sepak terjang yang mungkin di luar perkiraan banyak kalangan itu justru menimbulkan resistensi terhadap KPK.
Karena berbagai langkah itu, KPK harus berjuang melawan keganasan zaman yang makin hari kian tak nyaman dengan ‘eksistensi’ KPK. Sejauh ini, KPK bekerja dalam dua arah sekaligus: memberantas korupsi dan sekaligus berjuang menghadapi tekanan yang nyaris tidak pernah surut.
Sejak muncul kekhawatiran terhadap sepak terjang KPK, banyak kalangan menilai bahwa manuver kekuatan-kekuatan politik di DPR menjadi ancaman serius bagi kelangsungan lembaga antirasywah ini. Salah satu bentuk ancaman yang diperkirakan sangat potensial dilakukan ialah memangkas wewenang KPK dalam UU No 30/2002. Apabila diikuti dan dilacak perkembangan sekitar sewindu terakhir, keinginan memangkas wewenang KPK nyaris tidak pernah surut. Bahkan, sebagai bagian dari keinginan tersebut dibangun pula pandangan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc.
Namun, setelah keinginan tersebut berlangsung begitu lama, upaya merevisi UU No 30/2002 tidak mudah dilakukan. Salah satu penyebabnya, kelompok masyarakat yang sejak semula sangat mendukung eksistensi keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi secara konsisten melakukan perlawanan terhadap setiap keinginan membatasi wewenang KPK. Selain itu, secara konstitusional, upaya mengubah sebuah undang-undang tak hanya dapat ditentukan secara tunggal oleh kekuatan-kekuatan politik di DPR. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945, proses legislasi selalu memerlukan keterlibatan eksekutif.
Artinya, bilapun semua kekuatan politik di DPR menghendaki perubahan UU No 30/2002 dengan maksud mengurangi wewenang KPK, selama pemerintah tak memiliki keinginan serupa, perubahan itu tidak akan terjadi. Terbukti, sejak munculnya wacana untuk merevisi UU No 30/2002 keinginan sebagian kekuatan politik di DPR tidak berjalan mulus, karena pemerintah (baca: presiden) memiliki pandangan berbeda. Paling tidak, dengan pandangan berbeda pihak pemerintah, KPK terselamatkan dari segala upaya yang mencoba ‘memangkasnya’ lewat jalur legislasi.
Ketika ancaman melalui proses legislasi tidak mudah direalisasikan, namun kriminalisasi benar-benar telah menggoyahkan KPK. Dimulai dari kasus cicak vs buaya jilid I sampai cicak vs buaya jilid II. Pada kasus pertama, pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah mengalami kriminalisasi terkait dengan kasus yang melibatkan Anggodo Widjojo. Dalam kasus itu, polisi sengaja mencari-cari kesalahan kedua pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga memiliki dasar hukum menonaktifkan mereka. Dugaan kriminalisasi dengan menggunakan institusi kepolisian untuk ‘membunuh’ KPK ternyata benar, karena hasil temuan Tim 8 ––yang dibentuk kemudian–– telah membuktikan tidak cukup bukti untuk menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka.
Ibarat perseteruan yang tak pernah usai, ujung penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dapat dikatakan sebagai titik kulminasi pertikaian KPK dan kepolisian. Tidak sebatas menetapkan dua pemimpin KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, perseteruan itu hampir berujung pada kriminalisasi berbagai elemen di KPK. Contoh terakhir dari rangkaian kriminalisasi tersebut ialah penetapan dan penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan.
Dari semua kejadian itu, rangkaian kejadian terakhir dapat dikatakan sebagai kejadian yang benar-benar membuat KPK porak-poranda. Dalam batas penalaran yang wajar, sejak penetapan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, KPK telah mati suri. Apalagi, banyak peristiwa yang muncul kemudian seperti by design untuk menggerus posisi KPK.
Misalnya, seorang penegak hukum dengan posisi sebagai Kabareskrim Polri merasa tidak memiliki kewajiban apa pun untuk menyampaikan laporan harta kekayaan kepada KPK. Selain menimbulkan penilaian yang tidak wajar, sikap tersebut sangat jelas menisbikan kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara. Celakanya, ketidakpatuhan tersebut justru diaminkan wakil presiden.
Abraham Samad dan Bambang Wi, duo pimpinan KPK yang jadi TSK.
Penyidik KPK
Selain soal ketegangan hubungan dengan kepolisian, hantaman terbaru yang menimpa KPK ialah serangkaian putusan hakim dengan menggunakan jalur praperadilan. Semua itu bermula dari dikabulkannya permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Ketika pintu praperadilan dibuka untuk mempersoalkan penetapan tersangka, dapat dipastikan penetapan tersangka oleh KPK akan menjadi sasaran utama untuk dimohonkan. Terbukti, setelah dikabulkan permohonan Budi Gunawan, KPK seperti mendapat tugas baru: menghadapi proses praperadilan. Semuanya semakin sulit dihindarkan setelah Mahkamah Konstitusi membenarkan penetapan tersangka menjadi objek praperadilan.
Dari beberapa putusan praperadilan yang dikabulkan, kekhawatiran tidak hanya pada terpecahnya fokus KPK, tetapi juga ancaman lumpuhnya lembaga itu karena dinilai melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum. Salah satu yang membuat resah KPK ialah adanya substansi putusan praperadilan dalam kasus Hadi Poernomo yang menyatakan penyelidik dan penyidik independen KPK dianggap menyalahi UU No 30/2002 alias ilegal. Tidak hanya putusan pengadilan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnadi pun memiliki pandangan serupa (Media Indonesia, 30/5/2015).
Terkait dengan masalah itu, dengan menggunakan penafsiran sistematis, pendapat yang menyatakan KPK hanya dibatasi menggunakan penyelidik dan penyidik dari kepolisian dan kejaksaan tidak sejalan dengan UU No 30/2002. Ihwal masalah itu, dalam Penjelasan UU No 30/2002 dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2002 juga dalam UU No 30/2002 dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).
Karikatur tentang Abraham Samad di awal terpilihnya sebagai Ketua KPK.
Dari penjelasan tersebut, UU No 30/2002 memiliki hukum acara tersendiri, selain yang diatur dalam UU No 30/1999 maupun dalam ketentuan KUHAP. Di tengah ‘rimba’ hukum acara, tentu asas hukum lex specialis derogat legi generalis akan menjadi acuan utama.
Misalnya, Pasal 21 ayat (4) UU No 30/2002 menyatakan pimpinan KPK juga merupakan penyidik dan penuntut umum. Ketentuan itu makin menegaskan kewenangan penyidik tidaklah monopoli kepolisian. Praktik selama ini, pimpinan KPK tak hanya berasal dari polisi, artinya selain polisi dapat secara sah dan legal menjadi penyidik. Dalam tataran praktik kewenangan penyidik ini tentu bisa dilaksanakan dan didelegasikan staf atau pegawai yang direkrut sendiri oleh KPK.
Secara hukum, ihwal penyidik KPK harusnya merujuk kepada ketentuan Pasal 43 dan 45 UU No 30/2002. Di situ dinyatakan, bahwa penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Kemudian, penyelidik sebagaimana dimaksudkan ketentuan tersebut melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Sementara itu, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ditegaskan lagi, penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Kalaupun ada pembatasan, Pasal 51 ayat (1) UU No 30/2002 menyatakan penuntut berasal dari jaksa penuntut umum.
Terlepas dari perdebatan di sekitar masalah-masalah itu, apabila keinginan untuk mengurangi (baca: menggerus dan memreteli) kewenangan KPK tidak dihentikan, niscaya masih banyak celah yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Dan dasar argumentasinya dapat dicarikan sehingga kelihatan sah dan logis.
Namun, di tengah keberadaan KPK yang makin tidak menguntungkan ini, lembaga seperti kepolisian harus mengubah cara pandang mereka kepada KPK. Selain itu, pimpinan tertinggi negeri ini harus menunjukkan keberpihakan kepada KPK. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat harus mau berdiri pada garda terdepan untuk melindungi KPK. Tanpa itu, tidak saja sulit menarik KPK menjauh dari tubir jurang, tetapi juga akan muncul praduga bahwa negara ini tidak pernah serius mengenyahkan korupsi.
Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA, 1 Juni 2015