Perhatikan saja nasib politisi dan pejabat yang berujung di penjara. Meski melelahkan, saya selalu mencermati setiap muncul pemberitaan seputar korupsi yang tak habis-habisnya seakan mewabah di negeri ini. Di antara koruptor yang divonis masuk tahanan, ada yang saya kenal dekat, ada pula yang jauh. Mereka itu sarjana, putra-putri bangsa yang cerdas, yang berhasil meniti karier birokrasi dan politik yang tidak sembarang orang mampu meraihnya.
Kenyataan itu membuat saya merenung, mencoba membayangkan, dan menghitung berapa tahun lamanya dan betapa berat perjuangan hidupnya untuk meraih titel sarjana di dalam maupun di luar negeri, lalu dengan gigih berjuang memenangkan pesaing-pesaingnya untuk sebuah jabatan yang amat terhormat dan bergengsi. Ada yang jadi menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, pimpinan BUMN, dan jabatan lain yang sangat strategis. Jabatan tinggi dengan fasilitas melimpah seringkali membuat seseorang berubah perilakunya.
Ada yang melihatnya sebagai peluang untuk memperbesar amal, namun banyak juga yang justru dibuatnya mabuk. Bagi mereka yang tengah menduduki jabatan tinggi, hidup bagaikan dikejar-kejar waktu, berpindah dari rapat yang satu ke rapat yang lain dengan tema dan peserta yang berbeda. Ada pimpinan yang setiap hari dituntut membuat kebijakan dan keputusan yang menyangkut kepentingan dan nasib orang lain. Tanda tangannya menentukan nasib seseorang.
Berjuang menjadi kaya dan meraih jabatan tinggi itu baik dan mulia sepanjang untuk tujuan yang baik dan mulia. Yang menyedihkan, banyak orang yang secara kuantitatif material sudah kaya raya, tetapi jiwanya miskin. Banyak pejabat tinggi negara, namun perilakunya tidak menunjukkan ketinggian budinya. Berbagai teori, analisis, kritik, dan komentar sudah dikemukakan terhadap kerusakan perilaku sebagian pejabat dan politisi terutama berkaitan dengan korupsi dan rendahnya tanggung jawab sosial.
Negara ini memiliki sekian banyak ragam komisioner untuk mengawasi dan mengawal jalannya pemerintahan. Namun, korupsi, kekerasan, dan peredaran narkoba tidak kunjung surut. Kadang kita dibuat pesimistis dan putus asa, dari mana hendak dimulai perbaikan dan kebangkitan bangsa ini. Hasil survei dan perdebatan yang muncul masih tetap menyajikan keraguan dan spekulasi, kapan era transisi yang tidak produktif ini akan berakhir?
Saya khawatir, apa yang telah kita lakukan dengan ongkos ekonomi, sosial, dan politik yang amat mahal ini tak ubahnya seperti mainan anak kecil yang asyik membangun istana pasir (sand castle) di pinggir pantai. Anak-anak kecil itu sangat serius, lupa waktu dan lupa makan, berimajinasi membangun istana yang bagus, namun seketika lenyap diterpa ombak. Dan anak-anak itu bersorak-sorai kegirangan, lalu mulai lagi membangun istana yang baru, kemudian lenyap diterpa ombak lagi, dan pulang ke rumah setelah lelah dengan kenangan yang indah.
Alangkah rugi dan bodohnya seseorang atau bangsa kalau apa yang telah dilakukan dengan ongkos yang amat mahal tak ubahnya membangun istana pasir. Bertahun-tahun meniti karier agar lolos menjadi anggota DPR. Bermiliar-miliar rupiah dikeluarkan agar menjadi bupati, wali kota, atau gubernur. Jalan berliku untuk meraih posisi ketua Mahkamah Konstitusi. Tetapi, ketika ujungnya membuat seseorang terjerumus ke kubangan korupsi dan masuk tahanan, bukankah tak ubahnya dengan membangun istana pasir yang lenyap seketika? Masa kejayaan dan gemerlap sebagai selebritas politik atau pejabat tinggi negara telah lenyap ditelan keterpurukan.
Sebuah kenangan indah dan sekaligus menyakitkan. Begitu banyak pelajaran hidup yang terjadi di sekeliling kita. Bagi orang yang beriman, prinsip hidup berkah menjadi salah satu ukuran sukses. Sebuah sukses yang diraih dengan cara halal dan bermakna bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sungguh mengherankan, ada beberapa pejabat negara mengoleksi mobil mewah, sementara jalanan semakin macet.
Orang pun berpikir, dari mana kekayaan yang mereka dapatkan? Rasanya tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan, mereka itu terhinggap gangguan jiwa. Nalar kritis dan nuraninya tertutup oleh nafsu dangkal dan sesaat. Mirip anak kecil membangun istana pasir di tepi pantai. Umur habis, aset sosial yang dikumpulkan bertahun-tahun, ujungnya kesia-siaan.
Komaruddin Hidayat,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 20 Desember 2013