Wednesday, September 6, 2017

Bunuh Diri Massal Perguruan Tinggi, Menuju Pendidikan Asembling


Akhir-akhir ini di media sosial sedang hangat didiskusikan dan diperdebatkan perihal universities disruption yang dipicu artikel Jim Clifton, “Universities: Disruption is Coming”. Isinya secara garis besar mempertanyakan dan mengkhawatirkan peran masa depan pendidikan tinggi dalam menyuplai tenaga kerja industri di dunia.

Pemicu ditulisnya artikel tersebut adalah iklan Google dan Ernst & Young yang akan menggaji siapa pun yang bisa bekerja dengannya tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari perguruan tinggi (PT).

Iklan dari Google dan Ernst & Young tersebut seperti halilintar di siang bolong.

Ia mengejutkan dan menyambar kemapanan yang telah dinikmati oleh PT di seluruh dunia dalam perannya sebagai penyuplai tenaga ahli, hasil riset, dan pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan dunia industri.

Namun, peran penting PT saat ini seakan telah dinihilkan oleh Google dan Ernst & Young, yang sebentar lagi barangkali diikuti oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang lain. Lonceng kematian PT seakan telah didentangkan oleh kedua perusahaan raksasa tersebut, menyusul artikel yang ditulis oleh Terry Eagleton, berjudul “The Slow Death of the University” (2015).


Artikel Eagleton memberikan gambaran bahwa PT sedang melakukan bunuh diri massal melalui pengabaian pada tugas utamanya, yakni “pendidikan”, karena telah bergeser lebih mengutamakan “riset dan publikasi”. Lebih menyedihkan lagi, tradisi hubungan dosen dan mahasiswa yang seharusnya berbasis “guru dan siswa” telah bergeser menjadi “manager dan pelanggan”.

Khusus di Indonesia, fenomena bunuh diri massal ini ditambahkan oleh keluhan bahwa para dosen saat ini lebih mementingkan meng-update LKD (laporan kinerja dosen) karena berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen daripada meng-update materi kuliah yang diampunya.

Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah apakah eksistensi pendidikan tinggi akan segera berakhir ataukah tetap akan ada tetapi arahnya akan berbelok tajam tidak mengikuti garis linier lagi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu:
(1) melihat lagi ke belakang sejarah kaitan antara pengetahuan, sains, dan teknologi;
(2) tahap-tahap perkembangannya;
(3) esensi dan sifat dasar kaitan ketiganya dalam perspektif kekinian; dan
(4) pengaruhnya pada arah pendidikan tinggi kita di masa depan.


Sejak kelahirannya pada abad ke-17, sains modern telah melahirkan tradisi berpikir yang mengikuti garis linier hubungan antara pengetahuan, sains, dan teknologi. Pengetahuan adalah basis dibangunnya premis-premis atau dalil-dalil umum sains, yang untuk selanjutnya sains akan berperan sebagai ibu kandung dari kelahiran teknologi.

Pengetahuan tentang benda-benda di langit yang didasarkan pada pengamatan yang berulang, pada akhirnya telah melahirkan prinsip-prinsip serta dalil-dalil di bidang sains. Kemudian disusul oleh terciptanya peralatan-peralatan yang mampu digunakan untuk membuktikan dengan akurat hipotesis yang dibangun oleh abstraksi sains.

Pendek kata, keberadaan dan perilaku-perilaku alam merupakan sumber berpikir atau guru bagi terbangunnya pengetahuan manusia. Kelak di kemudian hari, pengetahuan tersebut dapat digeneralisasi dalam formula-formula yang dapat menuntun manusia untuk menciptakan alat-alat bantu yang dapat memudahkannya melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit dan rumit.

Puncak dari tradisi berpikir yang mengikuti garis linier ini adalah masa yang disebut dalam sejarah sebagai revolusi industri, yang usianya sampai saat ini baru sekitar 200 tahun, tetapi pengaruhnya pada perubahan alam dan perubahan perilaku manusia sungguh sangat luar biasa.


Perkembangan selanjutnya
Revolusi industri ternyata bukan saja hasil puncak dari perkembangan sains modern, melainkan juga awal terciptanya alam (buatan) baru. Tradisi cara berpikir manusia kemudian berubah dari linier jadi siklikal karena produk-produk teknologi yang dihasilkan manusia tidak saja hanya dilihat sebagai “hilir” dari pengetahuan dan sains, tetapi juga sebagai “hulu” pengetahuan untuk melahirkan sains dan produk-produk teknologi baru.

Pergeseran cara berpikir ini dapat kita kenali dari berubahnya cara berpikir yang semula disebut sebagai discovery menjadi innovation.

Cara berpikir “inovasi” telah meremas pengetahuan, sains, dan teknologi ke dalam satu genggaman tangan untuk kemudian dibentuk jadi bentukan-bentukan baru yang lebih mudah dipahami, lebih canggih, serta lebih memudahkan hidup manusia, dan tentu saja lebih mempesona.


Namun, yang sangat mengejutkan, ternyata dalam waktu hanya sekitar 15 tahun terakhir ini cara berpikir manusia modern sudah bergeser dari “inovasi” menjadi “hiper-inovasi” atau tepatnya “hiper-siklikal”. Artinya, inovasi tidak lagi sekadar dijalankan di atas “produk tunggal” untuk menambah nilai kebaruan dari produk tersebut, tetapi inovasi dilakukan di atas “banyak produk” (multiproduk) untuk dilipat jadi satu produk. Alhasil, ia bukan saja melahirkan nilai kebaruan atas produk lama, melainkan sekaligus melahirkan produk-produk baru atau benda-benda baru yang sebelumnya belum pernah ada.

Cara berpikir seperti ini kemudian melahirkan panggung-panggung perlagaan di dunia industri untuk berkompetisi saling bunuh dan saling mengalahkan.

Akhirnya, kita banyak menyaksikan perusahaan-perusahaan raksasa dunia terjungkal tanpa membuat kesalahan manajemen maupun produksi namun “hanya” karena munculnya benda-benda industri baru yang mengambil teritori pasarnya lantaran para pelanggannya dengan sukarela meninggalkan produk-produknya karena dianggap kuno alias tidak gaul lagi. Dalam payung berpikir seperti itu (hiper-inovatif), baik produsen maupun konsumen hidup dalam perlagaan-perlagaan yang sangat ketat, sibuk, dan cepat karena “kegaulan” (maksudnya kebaruan yang diterima pasar) produk-produk teknologi saat ini jadi berusia amat pendek.


Cara berpikir asembling
Untuk melahirkan benda-benda baru serta jasa-jasa baru tersebut di atas dalam payung berpikir “hiper-inovasi”, sesungguhnya kita telah mereduksi cara berpikir kita dari discovery ke innovation lalu ke asembling. Cara berpikir yang terakhir ini adalah cara berpikir yang menggunakan ilmu gathuk (Jawa). Meng-gathuk-kan orang yang punya sepeda motor atau mobil dengan orang yang memerlukan jasa transportasi melalui IT. Meng-gathuk-kan orang yang perutnya lapar dengan pemilik produk makanan dengan pemilik sepeda motor yang mau disuruh dengan upah melalui IT.

Dengan “ilmu gathuk”, saat ini banyak orang bisa mendapatkan rezeki tanpa harus bekerja di kantor atau di pasar, dan juga banyak orang malas tetapi punya duit yang dimudahkan.

Saat ini, cara-cara berpikir dengan “ilmu gathuk” telah tumbuh dengan pesat dan subur serta telah melahirkan karya-karya jasa ataupun produk benda-benda yang sangat nyata dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ilmu semacam ini dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus memiliki ijazah apa pun, termasuk ijazah dari PT.

Cara berpikir seperti inilah barangkali salah satu yang dibaca dan ditangkap Google dan Ernst & Young untuk berani merekrut siapa pun tanpa ijazah apa pun untuk bekerja dengannya.


Sistem pendidikan asembling
Atas dasar kondisi seperti itulah barangkali Jim Clifton merasa gelisah dan khawatir akan masa depan eksistensi PT dalam perannya sebagai penyedia tenaga kerja industri. Keahlian ilmu gathuk seperti itu ternyata “tak pernah” dan “tak perlu” diajarkan PT. Ilmu seperti itu dapat dipelajari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.

Kekhawatiran Jim Clifton barangkali “sangat berguna” untuk mendefinisikan ulang peran pendidikan tinggi dalam perubahan-perubahan alam dan kehidupan manusia di masa depan. Paling tidak, ada dua arus utama pendidikan tinggi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.

Pertama, pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery. Artinya, pendidikan tinggi semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih “penemuan-penemuan” besar yang berguna bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan. Riset-risetnya dilakukan atas dasar “kerja kolektif” untuk diarahkan pada “penyelesaian masalah-masalah besar” dan “penemuan-penemuan besar”. Sehingga PT semacam ini jumlahnya memang harus dibatasi, termasuk jumlah mahasiswanya juga dibatasi pada mereka yang memang memiliki kemampuan dasar luar biasa (melalui seleksi yang ketat).

Untuk perguruan tinggi semacam ini, idealnya diselenggarakan atas basis subsidi, dalam arti mahasiswa tidak dipungut biaya alias gratis karena mereka kelak akan jadi pemandu perubahan kehidupan manusia. Setelah lulus mereka tidak dibiarkan mencari pekerjaannya sendiri, tetapi sudah dikaitkan dengan tugas-tugas besar yang harus dilakukan (semacam ikatan dinas).


Kedua, pendidikan tinggi yang diselenggarakan atas semangat berpikir asembling, atau pendidikan yang diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir “perakit”, sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang sangat dibutuhkan oleh industri (dunia kerja).

Pendidikan seperti ini mungkin mirip pendidikan vokasi, tetapi bedanya terletak pada “cara berpikir” yang luas, lintas disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya mampu melahirkan produk-produk baru, baik berupa barang maupun jasa. Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut “pendidikan vokasi plus”.

Taiwan, Korea, dan China tampaknya telah memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan asembling semacam ini.

Dengan menyelenggarakan dua arus utama pendidikan tinggi semacam itu (discovery dan asembling), kekhawatiran atas kemungkinan bangkrutnya pendidikan tinggi tidak beralasan lagi. Selain eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan, maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu atau penuntun peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia industri.

Sudaryono,
Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 29 Agustus 2017

No comments: