Monday, April 18, 2016

Melihat Akar Pemecatan Fahri Hamzah


Persoalan pemecatan Fahri Hamzah sebagai anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkap beberapa hal yang sebenarnya lebih mendasar ketimbang sekadar kontroversi mengenai legal dan tidaknya Majelis Tahkim yang merupakan perangkat partai untuk melakukan pemecatan.

Begitu juga ada dan tidaknya pihak ketiga yang bermain dan memanfaatkan situasi. Pun lebih dari persoalan kesantunan berpolitik versus heroisme yang telah menyebabkan Fahri menjelma menjadi sosok yang demikian tidak disukai, sekaligus dipuja pada saat bersamaan.

Baik alasan-alasan yang bersifat legal formal, konspirasi, atau soal kesantunan berpolitik adalah persoalan kulit bahkan spekulatif. Ada beberapa persoalan lain yang lebih substansial yang menjadi hulu dari fenomena ini.

Fahri Hamzah dan Sohibul Iman.

Persoalan pertama terkait dengan sebuah realitas yang nyaris bersifat mutlak. Dalam pengelolaan organisasi, apalagi partai politik, tidak saja hukum besi oligarki yang berlaku, namun di sisi lain adalah potensi pengubuan yang selalu ada. Potensi ini membesar pada partai-partai yang tidak ideologis, namun bukan berarti tidak terjadi pada partai ideologis. Sejarah mencatat misalnya Partai Komunis Indonesia (PKI) terpecah antara kelompok tua yang dimotori Alimin dan Tan Ling Djie, dengan tiga serangkai anak muda Lukman, Nyoto, dan Aidit.

Masyumi dalam sejarahnya juga terbagi menjadi kubu Natsir dan Sukiman. Partai Nasional Indonesia (PNI) terbelah antara kelompok Sidik Djojosukarto dan Wilopo. Di kalangan Ikhwanul Muslimin Turki, Recep Tayyip Erdogan adalah cerminan pengubuan dalam tubuh Partai Refah.

Berbagai contoh lain yang relevan tentu masih banyak lagi. Realitas semacam ini terjadi dalam tubuh PKS, terutama setelah partai ini semakin eksis dalam konstelasi politik nasional. Pemicunya jauh lebih kompleks dari sekadar kepentingan material, mengingat akar pemicu sebenarnya lebih pada strategi berpolitik, juga tidak seketat yang disangka orang, mengingat demikian banyak irisan kepentingan para individu yang diklaim tergabung dalam masing-masing kubu (Munandar 2011).


Sebagai partai yang berkomitmen dalam menegakkan kaderisasi, kasus ini juga menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa kaderisasi yang sistematis sekalipun dapat otomatis menutup kemungkinan terjadi pengubuan. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa proses pengaderan dan ideologisasi dalam tubuh PKS masih membuka kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan.

Kaderisasi tidak kemudian membuat seluruh kader menjadi seragam dan persis sama satu dengan yang lain. Hal ini terutama mengingat kaderisasi tidak mengatur perilaku politik secara sangat detail dan menuntut kesamaan berpikir dan berperilaku secara total. Hanya, tidak berarti kaderisasi itu menjadi sia-sia belaka.

Justru dengan adanya kaderisasi ini rasa keberbedaan itu tidak menjalar menjadi fragmentasi total dan kerap dapat rapi ditutupi kembali sebagaimana yang terjadi di PKS selama ini. Namun, tentu saja ada momen-momen ketika perbedaan mencuat menjadi pemicu pertikaian, di mana mereka yang akhirnya berbeda menjadi korban.

Dalam konteks ini, Fahri adalah representasi mereka yang tidak dalam domain elite yang tengah berkuasa di DPP. Dia akhirnya menjadi “martir” dari arah baru, yang diinisiasi oleh kekuatan baru dalam partai dakwah ini. Arah baru yang dimaksud terkait dengan upaya menjadikan PKS sebagai partai yang mampu lebih mengekspresikan ideologinya secara puritan, mandiri, dan santun.


Kegagalan Fahri —yang progresif, pragmatis dan galak— dalam mengikuti arah baru ini adalah sebuah political blunder. Lebih prinsip dari itu, pemecatan ini cerminan dari adanya sebuah jarak yang tidak terjembatani atau political chemistry yang tidak lagi terbangun secara kokoh, terutama antara Fahri dan elite partainya.

Hal lain yang melatarbelakangi fenomena ini terkait dengan upaya penegakan nilai-nilai dalam tubuh PKS. Terlepas dari penggambaran PKS yang semakin pragmatis, partai ini tetap berupaya merepresentasikan dan menjalankan nilai-nilai khasnya. Ketaatan pada pimpinan adalah salah satu nilai atau prinsip yang dijunjung tinggi. Prinsip ini tidak didasarkan pada logika oligarkisme atau “saudagarisme”, namun loyalitas pada ideologi.

Dalam prinsip ini pimpinan partai adalah mereka yang dipandang terbaik dalam kacamata ideologi dan karena itu layak dipatuhi. Sebagai konsekuensinya, setiap kader diminta untuk senantiasa siap ditempatkan dalam posisi mana pun. Selain itu, sikap ini juga didasarkan pada logika gerakan tarbiah sebagai sebuah kesatuan organik, di mana kepentingan individu telah melebur menjadi kepentingan ideologis.

Nilai ini akhirnya menuntut kader untuk menerima kebijakan pimpinan partai dengan sebaik-baiknya. Meski kecewa, seorang kader harus dapat menutupi kekecewaan personalnya itu dan segera menjalankan perintah partai. Sehingga kemudian terbangun keyakinan dalam partai ini bahwa bukanlah kader partai jika berkelit apalagi melawan kebijakan pimpinan partai.

Ragam ekspresi Fahri Hamzah.

Dalam titik inilah, sikap Fahri yang alot dalam merespons kehendak pimpinan dinilai oleh kader dan elite partai sebagai sudah dalam posisi “di luar sarang”. Fahri tidak saja menuntut pimpinan menjelaskan dengan gamblang alasan untuk menuruti mereka, namun mempertanyakan pula cara-cara yang digunakan untuk membuatnya menuruti para pimpinan itu.

Persoalannya adalah bukan pada cara tuntutan itu semata, namun bagaimana Fahri seolah ingin menunjukkan ada persoalan organisatoris dan manajerial yang serius dari kepemimpinan DPP kali ini. Bisa jadi sikap ini memperlihatkan kegagalan kaderisasi.

Namun, bisa jadi hal ini lebih mencerminkan kuatnya sikap kritis seorang Fahri atas sesuatu yang dianggapnya sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pimpinan partai, di mana penolakan atas penyalahgunaan kekuasaan itu sendiri sejatinya adalah raison d’etre gerakan tarbiyah untuk maju berpolitik sejak awal Era Reformasi.

Terlepas dari dugaan-dugaan itu, sikap itu dinilai tidak layak. Dan dalam kacamata ketaatan, sikap Fahri ini menjadi alasan yang sulit terbantah bagi banyak kader untuk melihatnya sebagai sebuah pelanggaran serius. Di sisi lain fenomena ini memperlihatkan tidak ada pengecualian dalam PKS. Sebesar apa pun jasa dalam partai, disiplin tetap harus ditegakkan.

Apakah karier politik Fahri Hamzah akan tamat dengan dipecat?

Perangkat pendisiplinan partai bukanlah sekadar aksesoris tanpa makna. Di samping itu, berbeda dengan dugaan banyak kalangan, Hilmi Aminuddin tetap dalam posisi menarik diri dan tidak mengatur partai sesuai seleranya. Kenyataannya dia tidak berupaya campur tangan dalam “menyelamatkan” Fahri, anak muda yang dia diamkan untuk berkiprah sesuai karakternya saat masih berkuasa penuh dalam partai ini.

Keputusan pemecatan telah dibuat PKS terhadap salah satu elite dan pendirinya. Fenomena ini jelas bukanlah sebuah akhiran, mengingat Fahri sendiri pun sudah menyatakan akan memperjuangkan segenap hak-haknya.

Satu hal yang diharapkan publik adalah, bahwa fenomena ini tidak akan meluruhkan PKS untuk tetap bersikap kritis kepada pemerintah dalam mengawasi jalannya kekuasaan. Sebagaimana yang selama ini telah dilakukan Fahri Hamzah.

Firman Noor,
Peneliti Puslit Politik LIPI dan Dosen Ilmu Politik FISIP UI
KORAN SINDO, 6 April 2016