Wednesday, February 24, 2016

Yusril: “Tidak Boleh Kita Halangi Orang Beribadat!”


Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra adalah seorang pemimpin yang berpandangan bahwa kita harus adil kepada sesama dan harus adil kepada semua golongan agama di Indonesia ini. Dan negara tidak boleh intervensi pada peribadatan setiap agama yang ada di Indonesia. Tugas negara adalah memfasilitasi kebutuhan setiap pemeluk agama yang ada di Indonesia.

Soal peribadatan bagi pemeluk agama, negara tidak boleh ikut campur. Ketika agama Islam mewajibkan orang Islam ––bagi yang mampu–– untuk pergi haji ke Makah, maka negara harus memfasilitasi. Sehingga ada yang namanya Dirjen Urusan Haji Departmen Agama. Dan negara tak boleh menawar. Oleh karena itu, apabila Gereja Katolik, misalnya Paus yang sekarang ini bilang orang Katolik wajib ––paling tidak sekali seumur hidup–– untuk ziarah ke Betlehem, maka negara harus pula memfasilitasi hal tersebut.

“Andaikan saya yang jadi Presiden atau Partai Bulan Bintang (PBB) menang, maka di Departemen Agama itu wajib ada Dirjen Urusan Ziarah ke Betlehem. Itu harus ada! Untuk memfasilitasi orang Kristen agar bisa pergi ziarah. Kita (umat Islam) harus adil! Tidak boleh kita halang-halangi orang Kristen untuk beribadat,” kata Yusril.

Jika memang Paus membuat aturan wajib bagi orang Katolik untuk ziarah ke Betlehem, maka disamping ada Dirjen Urusan Haji, harus ada juga Dirjen Urusan Ziarah ke Betlehem. Dan difasilitasi oleh negara!

“Tidak bisa misalnya, Paus di Roma kita datangi, kita kirim Dubes ke sana atau Menlu berunding sama Paus untuk jangan bikin begini .... Itu harus kita hormati!” Tegas Yusril.


Jadi soal agama ini masuk ke dalam ranah (bidang) Hukum Privat. Karena di Indonesia ini masyarakatnya majemuk, maka kita juga harus memberlakukan berbagai macam hukum. Bagi orang Islam dia harus tunduk pada Hukum Islam, bagi orang Hindu dia harus tunduk kepada ketentuan agama Hindu. Demikian pula bagi orang Kristen yang biasanya memakai Hukum Romawi atas pengaruh daripada Hukum Kanonik Gereja Katolik. Ini bukti nyata akan adanya keberagaman hukum di ranah (bidang) Hukum Privat.

Hukum Privat yang dimaksud Yusril, misalnya soal Hukum Perkawinan. Bahwa sahnya nikah itu tidak bisa disamakan. Bagi orang Islam yang mengikuti Mazhab Syafei, maka harus ada calon mempelai, harus ada wali nasab atau wali hakim, harus ada mahar, harus ada ijab kabul dan sebagainya. Sedangkan bagi orang Kristen tidak mungkin memakai ijab kabul, dan memakai wali nashab. Mereka lain hukumnya, mereka memakai Hukum Agama Kristen.

“Tidak bisa keabsahan suatu perkawinan hanya memakai satu hukum! Harus beda !!!" Yusril menekankan.


Pada waktu Yusril jadi Menteri Kehakiman, beliau menulis surat kepada semua Gubernur, Bupati dan Walikota tentang pencatatan nikah bagi penganut agama Khonghucu. Karena pada saat itu catatan sipil tidak mau mencatat orang Menikah di Tapekong.

Yusril Ihza Mahendra pun pernah menjadi Pengurus MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Ceritanya karena pada waktu itu Khonghucu resmi diakui sebagai sebuah agama di Indonesia. Lalu Menteri Kehakiman harus memberikan satu petunjuk kepada jajaran birokrasi mengenai tata cara pernikahan agama Khonghucu.

“Jadi (saat itu) saya perintahkan Catatan Sipil untuk mencatat. Kalau orang itu sudah datang ke Klenteng dan ada surat keterangan dari pemimpin agama Khonghucu bahwa, Si A dengan Si B pada tanggal sekian sudah menikah di Klenteng, dan dia sebagai kepala Klenteng itu sudah menikahkannya. Lantas hal itu dibawa ke Catatan Sipil, maka Catatan Sipil harus mengeluarkan apa yang disebut sebagai akta perkawinan bagi orang yang telah menikah di Klenteng itu.”


Sambil tertawa Yusril bilang, “Karena MUI tidak mau mengangkat saya, maka jadilah saya sebagai orang Khonghucu karena mereka yang mengangkat saya.”

Terakhir menurut Yusril, kalau di ranah (bidang) Hukum Publik, maka harus ada hanya satu hukum yang berlaku bagi semua. Hukum Pidana, Hukum lalu lintas, Hukum Laut dan sejenisnya adalah Hukum Publik. Sehingga tidak mungkin Hukum Publik tersebut berbeda-beda.

Bayangkan jika Hukum Publik itu berbeda-beda (tidak sama) satu dengan yang lain. Nantinya akan ada kelompok ––misalnya dalam berlalu lintas–– yang satu hukumnya harus berjalan di sebelah kiri sedangkan kelompok yang lain hukumnya harus berjalan di sebelah kanan. Maka bisa dibayangkan bagaimana dan apa yang akan terjadi selanjutnya jika Hukum Publik tidak berlaku sama.


Sumber:
http://yimweb.blogspot.co.id/2013/07/yusril-yg-pernah-jadi-pengurus.html#.VsyvAEArxNk

Thursday, February 11, 2016

Pancasila Oreng Madura


Kalau engkau merasa lelah oleh sesuatu di sekelilingmu atau mungkin malah di dalam dirimu yang samar-samar, yang remang-remang, yang beribu tafsir meliputinya, sehingga engkau memerlukan seminggu dua minggu, sebulan dua bulan atau bahkan setahun dua tahun untuk pada suatu saat tiba-tiba menemukan apa yang engkau cari —berikut ini kututurkan kepadamu sesuatu yang sebaliknya, yang gamblang segamblang-gamblangnya.

Seorang Bapak asal Madura yang pernah lama tinggal di Saudi Arabia menjadi pelayan Haji, menjadi guru Sekolah Dasar dan pedagang serabutan, tatkala balik dan mau menghabiskan masa tuanya di Pulau Madura —ia tersinggung kepada petugas Kecamatan. Ia merasa dianggap tidak lagi hapal Pancasila oleh pegawai Negara itu.

“Sampiyan jangan meremehkan saya”, katanya agak keras nadanya, “jangan dipikir saya sudah berubah menjadi orang Arab, terus Sampiyan curigai tidak hapal Pancasila.”

“Maaf ini test standard saja, Pak, untuk setiap warga yang akan memperbarui KTP”, jawab pegawai Kecamatan, “anak-anak kecil sekarang ini banyak yang tidak hapal Pancasila, kami khawatir orang-orang tua juga lupa Pancasila.”


Si Bapak menaikkan volume suaranya. “Pancasila itu hidup mati saya, jiwa raga saya, syariat dunia akherat saya. Siapa saja yang meragukan bahwa saya tidak hapal Pancasila, saya anggap itu nantang carok sama saya!”

Pegawai kecamatan mencoba menenangkan. “Begini saja Pak, daripada kita nanti bertengkar sungguhan, lebih baik Bapak langsung sebut saja urut-urutan Pancasila ….”

Belum selesai kalimat si pegawai, Bapak Madura kita langsung dengan tempo sangat cepat menyebut Pancasila: “Satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji, Pak.”

“Lhaaa ya thooo, Sampiyan tidak hapal Pancasila.”

“Tidak hapal bagaimana, kurang apa, sudah saya sebut satu persatu Pancanya Sila ….”

“Yang Bapak sebut tadi itu Rukun Islam, Pak, bukan Pancasila.”

Si Bapak Madura membantah. “Lhooo, Pancasila itu ya Rukun Islam, Rukun Islam itu ya Pancasila.”

“Ya ndak to Pak. Pancasila sendiri, Rukun Islam lain lagi.”


“Lho bagaimana Sampiyan ini. Kalau Pancasila tidak sama dengan Rukun Islam, ‘dak mau saya!”

“Lho kok ndak mau? Itu wajib bagi setiap warga negara Indonesia Pak. Kalau Rukun Islam itu urusan kita sebagai orang Islam.”

“Tidak bisa! Pancasila adalah Rukun Islam, Rukun Islam adalah Pancasila! Hidup ini harus jelas dan tegas. ‘Dak bisa kaki kanan saya berjalan pakai Pancasila, kaki kiri saya melangkah dengan Rukun Islam.”

Si pegawai Kecamatan mencoba mengendorkan situasi. Ia tersenyum diramah-ramahkan kemudian bertanya, “Tapi maaf ya Pak, katanya Bapak punya istri dua ??”

“Ya memang!”, si Bapak Madura menyahut spontan, “Mukeni dan Samiatun. Tapi mereka sudah satu dalam hati saya.”

“Tapi kan tetap dua, Pak?”

“’Dak bisa! Mukeni ya Samiatun, Samiatun ya Mukeni! Sampiyan ini ‘dak tahu cinta rupanya.”


Akhirnya si pegawai Kecamatan merasa bahwa ia tidak akan sanggup memperpanjang perdebatan dengan jenis orang seperti ini. Pasti akan nambah masalah, tidak mungkin mengurangi atau apalagi menyelesaikan masalah.

“Sebentar, Pak. Tolong tunggu sebentar saja di sini.”

Ia pamit. Berdiri, melangkah ke arah ruang dalam kantor Kecamatan. Menemui Pak Camat langsung.

Ternyata agak lama. Si Bapak Madura hampir saja naik pitam, ia sudah sempat pukul-pukul meja. Kalau si pegawai lebih lama lagi nongolnya, mungkin dari memukul-mukul meja meningkat menjadi menggebrak-gebrak meja, dan kecil kemungkinan untuk tidak memuncak menjadi menendang-nendang dan memecah meja.

Hampir saja ia lakukan itu, kalau saja tidak tiba-tiba ternyata Pak Camat sendiri yang keluar menemuinya.

Pak Camat menemuinya, mengulurkan tangan menyalaminya, menyapa dengan satu dua kata Bahasa Arab, si Bapak Madura hanya menjawab “shadaqallahul ‘adhim!”

Tetapi diam-diam si Bapak Madura ini agak mulai melunak hatinya. Ia merasa terhormat karena Pak Camat sendiri berkenan langsung menemuinya. Bahkan kemudian ia terheran-heran, Pak Camat mengajaknya pergi dengan mobilnya. Ia agak salah tingkah.


Ternyata Pak Camat membawa ke rumah seorang Kiai tidak jauh dari Kantor Kecamatan. Harap dimafhumi di Pulau Madura di setiap RT ada Musholla, di setiap RW ada Masjid dan di setiap Kelurahan ada Pesantren. Bapak Madura ini merasa lebih terhormat lagi karena akan bertemu langsung dengan Pak Kiai, apalagi ia ke situ bersama Pak Camat.

Alhasil mereka berdua berjumpa Pak Kiai. Ditemui di ruang tamu Pesantren. Dua orang santri menangani konsumsi untuk mereka. Pak Camat menyeret Pak Kiai ke pojok agak jauh, kemudian mereka berbisik-bisik. Si Bapak Madura terkejut karena tiba-tiba terdengar Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.

Mereka berdua bergeser ke kursi tamu, duduk bertiga berhadapan. Pak Kiai sontak sambil masih agak tertawa bertanya kepada si Bapak Madura: “Coba Sampiyan sebutkan Pancasila ….”

Si Bapak Madura langsung memamerkan pengetahuan dan hapalannya tentang Pancasila. “Pancasila satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa lima haji.”

Pak Kiai tertawa lagi dan memuji Si Bapak Madura. “Shadaqallahul ‘adhim. Benar sekali Sampiyan ini.”

Sekarang malah Pak Camat yang kaget. “Lho kok benar?”

Pak Kiai tertawa lagi. “Sampiyan ini sejak jadi Camat malas belajar. Tapi biasa, Pemerintah memang begitu. Kalau rajin belajar itu namanya Santri, bukan Pemerintah.”


“Saya tidak mengerti, Pak Kiai,” kata Pak Camat.

“Lhoooo Allah Maha Benar dan benar juga yang dikatakan Bapak tadi itu. Pancasila yang pertama itu syahadat, artinya bersaksi bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Nomer dua kita shalat tiap hari lima kali untuk mendidik diri kita agar menjadi manusia yang adil dan beradab.

Nomer tiga organisasi-organisasi masyarakat dan terutama partai-partai politik harus bersatu padu dalam memberikan zakatnya, bukan hanya zakat harta, namun seluruh niat baik, jiwa dan raganya dikontribusikan dan didedikasikan demi untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Parpol-parpol itu kita beri hak untuk menjadi arsitek dibangunnya sistem Negara. Untuk itu mereka harus selalu menjaga Persatuan Indonesia, jangan bersaing untuk kepentingan, jangan menang-menangan satu sama lain, jangan mementingkan golongannya masing-masing untuk berkuasa.

Dan Sila keempat, bangunan Negara Indonesia adalah milik seluruh Rakyat yang harus dipimpin oleh Permusyawaratan dan Perwakilan. Bukan dipimpin oleh hawa nafsu. Untuk itu semua peserta musyawarah harus pintar berpuasa, pandai mengendalikan ego masing-masing pribadi, kelompok maupun golongannya agar terjadi permufakatan yang bulat dan saling menerima.

Kalau empat Sila itu tidak terpenuhi, mana mungkin bangsa kita bisa mencapai cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?

Duh-aduuuh, mestinya Sampiyan Pak Camat yang omong begini. Kalau saya ini Kiai tugasnya kan Nahwu Shorof. Lha Sampiyan Nahwu Shorof ‘dak tahu, Pancasila juga ‘dak ngerti …???”

Emha Ainun Nadjib
5 Februari 2016
http://www.caknun.com/2016/pancasila-oreng-madura/

Saturday, February 6, 2016

Kecakapan Bermatematika


Jika haluan kapal melenceng, mempercepatnya semata justru akan menjauhkan dari tujuan. Seperti itulah keadaan pendidikan matematika sekolah kita. Jika hanya meningkatkan upaya kegiatan belajar-mengajar tanpa dibarengi mengubah arah, pelajar kita akan tetap tertinggal. Meralat arah pembelajaran matematika mutlak dibutuhkan.

Besar kemungkinan ini alasannya mengapa setiap tiga atau empat tahun sejak hampir 20 tahun lalu kita rutin membaca berita hasil buruk pelajar Indonesia dalam tes pemetaan matematika internasional. Laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan capaian yang rendah sekaligus menurun dan Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan capaian yang secara statistika stagnan rendah.

Untuk memperbaikinya, mau tak mau harus diawali dengan merumuskan ulang kecakapan bermatematika sebagai tujuan pembelajaran matematika. Dari rumusan itu, kemudian didaftar keterampilan yang diharapkan dan diterjemahkan menjadi sasaran pembelajaran matematika pada tiap jenjang pendidikan.


Kecakapan yang relevan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tiap tahun sudah meningkatkan tingkat kesulitan soal ujian nasional (UN) Matematika. Beberapa sekolah juga sudah menambah jam pengajaran matematika, tetapi semua ini tetap tak memberi dampak berarti pada capaian TIMSS ataupun PISA walau nilai UN Matematika naik. Artinya, ada perbedaan jenis kecakapan bermatematika yang diharapkan.

Maka, jika sekarang pelajar diminta lebih giat belajar, guru diminta kreatif mengajar, UN dipersulit serta dibuat tiga kali setahun, dan uji kompetensi guru (UKG) tiap tahun, kecil peluangnya ini akan membuahkan perbaikan berarti. Walau dari sisi perencanaan dan penganggaran berbagai program pendidikan berskala nasional, seperti UN dan UKG, memiliki “daya serap” tinggi dan juga “menjalankan amanat UU”, dampak terhadap peningkatan kecakapan bermatematika pelajar tidak berarti.

Ada data yang menunjukkan bahwa jam sekolah di Indonesia termasuk tinggi, sekarang ada yang menuduh lama waktu di sekolah itu sebagai alasan rendahnya kecakapan murid. Maka, muncul ide untuk menguranginya. Ini akan sama saja. Seperti layaknya laju kapal dipercepat atau diperlambat, tetapi arah haluannya meleset. Semua upaya jadi nirguna. Malah mungkin justru semakin menjauhkan dari sasaran. Yang pertama dan utama harus dibenahi adalah: mengoreksi arah tujuan. Koreksi drastis harus dimulai dengan merumuskan ulang kecakapan bermatematika yang relevan dengan kehidupan dunia hari ini sebagai tujuan pembelajaran matematika.


Teknologi dan sains telah mengubah kehidupan, termasuk kecakapan hidup yang dibutuhkan zaman ini sudah berubah dari masa sebelumnya. Sejumlah pekerjaan telah diambil alih oleh mesin dan komputer. Khususnya jenis pekerjaan dengan keterampilan berpikir tingkat rendah, seperti routine-cognitive atau proses berpikir rutin. Misalnya, kasir atau penjaga di loket gerbang tol telah jamak digantikan oleh komputer dan mesin.

Maka, pelajar sekarang perlu mengutamakan belajar keterampilan yang belum tergantikan oleh komputer atau mesin, seperti keterampilan menyelesaikan masalah tak rutin, berpikir kreatif, dan berkomunikasi kompleks. Ringkasnya, pelajar perlu menekankan pengembangan kecakapan berpikir tingkat tinggi dan secukupnya mengembangkan keterampilan berdasar kecakapan berpikir tingkat rendah yang perlahan-lahan akan berkurang. Pendidikan matematika sekolah di Asia mutlak perlu menyeimbangkan pengembangan kecakapan bermatematika berdasar berpikir tingkat rendah dan tinggi karena kehidupan serta dunia kerja di Asia sebagian masih tradisional.

Di kelas matematika, kegiatan melibatkan berpikir canggih, tetapi menggunakan konsep sederhana, misalnya mengestimasi perhitungan dan menyelidiki kesahihan suatu pernyataan perlu ditambah porsinya. Sebaliknya, praktik kuno guru “menyuapi” murid dengan rumus matematika ruwet yang seperti turun dari langit dan akhirnya dihafal semata sekadar untuk ujian perlu ditinggalkan.


Justru sekarang harus mulai fokus pada kegiatan pelajar menurunkan atau menemukan rumus-rumus dasar sendiri. Ukuran banyaknya rumus yang dihafal harus diganti dengan dalamnya gagasan matematika yang dipahami. Dengan pengalaman bermakna seperti ini, tidak saja anak jadi memahami secara mendalam dan percaya diri, tetapi juga akan kasmaran bermatematika sekaligus akan berhasrat terus mempelajari matematika.

Yang tak kalah penting ialah merumuskan ulang problem solving atau penyelesaian masalah di sistem pendidikan matematika nasional. Yang sebelumnya diartikan secara sempit sebagai menjawab soal panjang, ruwet, tetapi sudah “siap santap” dilahap rumus hafalan tertentu perlu diralat. Anggapan sempit penyelesaian masalah matematika sebagai penyelesaian soal yang disajikan dalam bentuk “cerita” juga perlu diluruskan.

Keterampilan menyelesaikan masalah matematika hari ini diartikan sebagai merancang berbagai jawab untuk masalah tak rutin dari fenomena yang belum tampak jelas konsep matematikanya. Pelajar diharapkan mulai dari menggali gagasan matematika yang tersembunyi dalam fenomena itu dan mematematikakannya, menentukan jawab matematika, sampai menafsirkan jawabnya ke fenomena semula.


Tindak lanjut
Upaya pelajar mengembangkan kecakapan bermatematika bermakna tersebut bukan tanpa kendala. Para guru yang hendak membelajarkan kecakapan bermatematika bermakna ini juga dihadapkan pada kendala.

Ironisnya, kendalanya justru sebagian ada di kebijakan pemerintah sendiri. Rangkaian UN Matematika, Standar Isi Matematika, Kurikulum Matematika, buku ajar matematika, dan pelatihan guru matematika masih setengah hati atau bahkan mengganduli pelajar dan guru mengembangkan kecakapan bermatematika bermakna itu.

Akhirnya, tantangan bagi badan penelitian dan penentu kebijakan pendidikan serta organisasi pendidikan matematika negara-negara di Asia adalah merumuskan kecakapan bermatematika hari ini. Kemudian, dari rumusan ini dirancang alat evaluasi guna mengukur kecakapan bermatematika tersebut. Baru kemudian dapat disusun strategi pembelajaran matematika dan menyiapkan fasilitas pendukungnya yang sistematis mengarah tepat pada pengembangan kecakapan bermatematika itu. Jika ini sudah dilakukan, barulah menggiatkan proses belajar-mengajar masuk akal dan akan memberi dampak berarti.

Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika ITB,
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI New Delhi

KOMPAS, 15 Januari 2016