Wednesday, November 25, 2015

Percaloan


Tidak banyak orang dengan peruntungan sebagus Setya Novanto. Jika tidak, bagaimana mungkin ia bebas dari tujuh kasus sepanjang 16 tahun terakhir? Kalau ia kelak lolos lagi dari kasus percaloan kontrak Freeport yang sekarang ramai diributkan, bolehlah kita mengimbau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu untuk membagi pengalamannya lewat buku. Supaya laku, judulnya mesti bombastis, misalnya “Mau Kaya Tiru Setya: Sejumlah Kiat Mengatasi Hukum Indonesia”. Pasti tak sulit, sebab ia pernah menulis buku “Manajemen Soeharto”.

Pada bab-bab awal, tentu Setya mesti memaparkan bagaimana “menciptakan” garis tangan agar selalu bagus. Hanya dalam waktu tak terlalu panjang, dari berjualan madu dan beras, ia menjadi pengusaha pompa bensin, peternakan, kontraktor, tekstil, hotel, sampai lapangan golf. Sebagai politikus, hokinya juga moncer. Walaupun tak pernah terdengar mencetak prestasi gemilang di politik, ia mampu duduk di jabatan sangat tinggi, yakni Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.


Disarankan ada bab khusus yang membahas kekuatan teknik gaulnya selama ini: menempel orang yang tepat. Setelah lulus kuliah, ia menumpang di rumah Hayono Isman, bekas menteri di zaman Soeharto. Dari sinilah ia mengenal bisnis penyaluran pupuk. Berkat bertemu Soeharto sekian kali, ia mampu membuat sebuah buku.

Perlu diceritakan di bagian ini, bagaimana sepak-terjang Soeharto dan gaya kepemimpinan ikon Orde Baru itu mempengaruhinya. Lalu, masuk bab yang juga penting: usahanya merapat ke tokoh-tokoh kunci Golkar, seperti Aburizal Bakrie. Dari orang yang tak “bunyi”, ia mampu menyulap diri menjadi orang yang diperhitungkan. Dan puncaknya, di tengah kecaman luas publik, ia justru melesat sampai menduduki posisi tertinggi DPR.


Tentu saja bagian yang sangat ditunggu adalah pengalamannya berselancar di atas hukum, setidaknya sejak kasus cessie Bank Bali pada 1999. Setya perlu menulis pengalaman perusahaannya, PT Era Giat Prima, mendapatkan mandat menagih utang Bank Bali kepada Bank Dagang Nasional Indonesia dengan imbalan Rp 500 miliar. Di sini ia perlu detail berkisah, tentang cara mengatasi hukum yang membuat kasus yang diduga merugikan negara itu dihentikan pada 2003.

Bab yang bercerita cara mengatasi hukum bisa ia perkaya dengan pengalaman lolos dari kasus dugaan penyelundupan beras, limbah beracun, serta proyek PON dan e-KTP. Kalau kurang tebal, ia bisa menambahkan kiat mengelak dari sanksi berat akibat mendukung kampanye Donald Trump, yang belum tentu juga menjadi calon Presiden AS. Pembaca ingin tahu, apakah benar ketika itu ia disuruh pengusaha Hary Tanoe melobi Trump untuk memuluskan pembangunan Disneyland di Cigombong?


Sebagai bab penutup, tentu orang menunggu cerita di balik percaloan Freeport. Bagian akhir ini bisa dimulai dari Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Sudirman Said yang melaporkannya ke Majelis Kehormatan Dewan. Setelah itu, Setya perlu membuka cerita pertemuannya dengan petinggi Freeport di Hotel Ritz-Carlton, 8 Juni 2015.

Pembaca pasti penasaran untuk tahu kiatnya sebagai pemimpin tertinggi lembaga pembuat hukum “berselancar” dalam kasus yang berpotensi besar menimbulkan pelanggaran hukum itu. Ia perlu menambahkan tips, tentang teknik menguatkan nyali sampai berani mencatut nama presiden dan wakil presiden.


Buku Setya akan “sempurna” kalau ia sukses berkelit dari tiga jerat pidana yang disiapkan polisi dalam kasus Freeport. Kalau tidak lolos, ia tetap bisa menyelesaikan bukunya dari mana saja, termasuk dari penjara. Tak jadi soal, bukankah banyak tokoh besar melakukan hal yang sama?

Toriq Hadad,
Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 21 November 2015

Thursday, November 19, 2015

Revolusi Tan Malaka Harus Terjadi


Buku “Materialisme, Dialektika, dan Logika” (Madilog) adalah buku yang lebih hebat daripada Das Kapital-nya Karl Marx. Komunisme China adalah Komunisme dogmatis yang ditentang oleh Tan Malaka seumur hidupnya.

Komunisme China (ajaran Mao Tse Tung/ Mao Ze Dong) bahkan bertentangan dengan Leninisme, karena Lenin telah mengkoreksi teori Marx tentang Komunisme vis a vis Kapitalisme.

Marx punya teori, Komunisme akan lahir dari negara kapitalis yang paling maju, di mana para penguasa kapitalis menggali kuburnya sendiri dengan meng-eksploitasi kaum buruh dan petani. Lenin mengkoreksinya, Komunisme bisa dilahirkan melalui revolusi petani dan kaum buruh yang terorganisasi dengan rapi, meski bukan di negara kapitalis yang digambarkan Marx.

Tan Malaka menentang teori Marx, Lenin, maupun Mao Zedong dalam konsep revolusinya. Tan selalu menekankan bahwa revolusi tidak boleh digerakkan oleh agitasi terhadap rakyat. Rakyat tidak boleh diberi angin sorga revolusi, tanpa memahami tujuan revolusi yang sebenarnya.


Tan juga punya keyakinan revolusi bukan hanya monopoli Komunisme saja. Dalam sejarah, memang kaum komunis mempunyai teori revolusi yang paling canggih dan maju, setidaknya seperti yang berhasil dibuktikan oleh Lenin.

Tapi yang ditunjukkan oleh Mao, adalah contoh revolusi yang gagal. Revolusi Mao dilakukan dengan menentang teori Marx dan Lenin dan hanya mengandalkan kultur politik China yang khas dan penuh dendam. Dan konspirasi antar klan-klan kuno seperti yang ditulis dalam buku Tiga Negara (Sam Kok).

Revolusi perang total melawan Amerika ala Paman Ho (Ho Chi Minh) di Vietnam, jauh lebih berhasil daripada Revolusi Pertanian dan Kebudayaan yang dilakukan Mao. Yang kemudian ditiru dan gagal secara tragis oleh Pol Pot dan Khmer Merah ( Khmer Rouge) di Kamboja, yang membantai 6 juta nyawa rakyat sia-sia, atas nama Komunisme yang salah kaprah.

Tan Malaka adalah emas intan mutiara baiduri revolusi kita. Konsep revolusinya sungguh amat luar biasa, sepenuhnya menimbang aspek-aspek: Situasi, Kondisi dan Toleransi (Si-Kon-Tol).


Revolusi harus memberikan toleransi kepada semua pihak yang mau bergabung, tanpa memperhatikan masa lalu mereka.

Toleransi juga harus diberikan kepada musuh-musuh revolusi yang sudah tidak berdaya, jangan ditumpas habis sampai cindhil abang-nya, seperti model Soeharto dan Nasution.

Jangan juga revolusi model Soekarno yang lebih besar pasak daripada tiang dan banyak NATO-nya, No Action Talk Only. Dia bilang PKI “dudu sanak dudu kadang,” tapi “yen mati melu kelangan.” Katanya, PKI bukan sanak bukan pula saudara, tapi kalau PKI mati dia akan ikut kehilangan.

Tapi nyatanya dia (Soekarno) juga tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pembantaian jutaan orang oleh Sarwo Edhie, Soeharto dan Nasution !? Apa namanya kalau bukan Soekarno Talks Only !!!

Jangan pula model Aidit yang malah menjerumuskan jutaan anggota PKI ke ladang pembantaian.

Revolusi dulu, rekonsiliasi kemudian. Penjara boleh penuh, tapi kuburan jangan.


Saya (Soesilo Toer) ini orang kiri yang percaya kepada karma dan dharma, terserah Anda mau menyebut agama saya apa. Buatlah dharma, maka karma akan memberikan yang terbaik buat Anda selamanya!

Mao dengan semena-mena menghabisi warisan ideologis para tokoh nasionalis China seperti dr. Sun Yat Sen (San Min Chui – Empat Sila Dasar Negara China Modern) dan Jenderal pembela Sun Yat Sen, Chiang Kai Sek, kok malah Mao yang mau ditiru oleh Aidit ???

Itu sebabnya Tan selalu membayangkan sebuah revolusi yang disepakati oleh rakyat banyak, lepas dari ideologi politik mereka. Musuh revolusi bisa berganti muka, baju, dan kepentingan setiap saat.

Tujuan revolusi bukanlah mendirikan kediktatoran proletariat seperti yang pernah terjadi di Uni Soviet dan yang dilestarikan China sampai sekarang.

Revolusi tidak bertentangan dengan demokrasi, itu sebabnya Tan Malaka mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).


Tan selalu berkeyakinan, bahwa penggerak revolusi harus berada di luar kekuasaan dan setiap saat bisa menggerakkan tenaga koreksi jika penguasa tidak lagi sejalan dengan tujuan revolusi.

Pemegang kekuasaan revolusioner hanyalah cermin revolusi. Kekuatan revolusi yang sebenarnya harus selalu bergerak di bawah tanah, dan mengawasi pemerintahan. Dan setiap saat akan menggulung pemerintahan itu jika mereka menyimpangkan revolusi.

Itulah sebabnya Tan dengan penuh keyakinan mengungkapkan seruan revolusinya yang “religius”: “Suaraku dari dalam kubur akan terdengar jauh lebih keras daripada suaraku di atas bumi!”

Ini sebabnya, Tan selalu dimusuhi kaum komunis, baik yang revisionis (pro Russia) maupun yang dogmatis (pro China).

Banyak orang yang mengaku komunis tapi tidak faham soal revolusi. Oleh Lenin mereka dibilang mengidap penyakit kiri kekanak-kanakan (infantile leftism)! Kalau di Indonesia contohnya kira-kira ya PRD dan Budiman Sudjatmiko itu!


Sekali kita menangkap suara Tan dari dalam kuburnya, dan kita mendaulat “Cermin Revolusi” kita, maka cepat atau lambat, akan musnahlah musuh-musuh revolusi, yang sekarang bermuka, berbaju dan bernama apa saja.

Seorang Islamis paling terpelajar dalam sejarah Indonesia modern, Agus Salim, adalah pendukung Tan Malaka. Agus Salim pernah mengutus adiknya Khalid Salim untuk menemui Tan Malaka di Singapura. Belanda langsung menangkap Khalid Salim dan membuangnya ke Boven Digoel, Papua, dengan tuduhan sebagai kaki tangan Tan Malaka.

Beruntunglah kita, di zaman edan di Indonesia ini, masih ada anak muda seperti Bambang Tri (penulis buku Jokowi Undercover) yang begitu keras belajar sejarah sampai dia menemukan keyakinan bulat bahwa revolusi Tan Malaka memang perlu dilakukan saat ini.

Saya (Soesilo Toer) malah bilang tidak hanya perlu melainkan harus !!!


Rekonsiliasi nasional ala Tan Malaka, yang didukung Pramoedya Ananta Toer, adalah rekonsiliasi revolusioner, bukan rekonsiliasi pasif ala Nelson Mandela.

“Kita tidak boleh berunding dengan maling!” ini pesan Tan Malaka yang juga penting, termasuk dalam melaksanakan rekonsiliasi.

Kalau oknum-oknum tentara dan polisi memusuhi Bambang Tri karena buku “Jokowi Undercover” ini, berarti mereka juga memusuhi saya, yang sudah kenyang makan asam garam revolusi tanpa menuntut imbal balas apa pun yang bukan hak saya. Dan mereka akan menjadi musuh revolusi juga.

Soal data, bisa saja Bambang Tri keliru, karena dia memang bukan ahli sejarah. Tapi pasti Bambang Tri tidak pernah (sengaja) memakai data yang sudah dia ketahui keliru. Dia sudah bekerja lebih keras daripada orang lain untuk mengecek data yang dia punya, meski belum bisa dikatakan sempurna.

Tapi dalam hal semangat bercermin kepada sejarah dan mendambakan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi nasional tanpa kompromi, Bambang Tri sudah berhasil melampaui guru batinnya, Pramoedya Ananta Toer, yang keburu mati sebelum sempat mewariskan ilmu revolusinya kepada Bambang Tri ini.


Tapi saya jamin, kekeliruan data buku “Jokowi Undercover” ini masih dalam batas ambang tingkat kepercayaan yang bagus, meminjam istilah statistika.

Misalnya, penyebutan Ibu Kandung Jokowi adalah Mei Yap, dari Lasem. Ini adalah data intel yang belum bisa dipercaya seratus persen, karena Bambang Tri harus melindungi sumbernya.

Tapi bahwa Ibu Sudjiatmi bukan ibu kandung Jokowi, adalah fakta terkonfirmasi oleh seorang saksi hidup. Maka hantu blau dan setan belang pun harus percaya!

Bahwa Jokowi dan anak lelakinya punya tampang China, kucing lewat pun harus percaya, karena itu fakta pandangan mata. Jangan percaya kepada kebetulan bahwa wajahnya mirip China tapi silsilahnya murni Jawa.

Karena kalau tidak, kita harus menuduh ibu kandung Jokowi –seandainya bukan China– telah berselingkuh dengan orang China!

Pram sendiri mengakui bahwa nenek kandungnya adalah hasil selingkuh antara seorang Belanda dengan ibu sang nenek. Maka dari itu nenek Pram bermata biru, dan itu ditulis Pram dalam novelnya yang berjudul Gadis Pantai!


Soal Ibu Jokowi China Lasem, ada referensi sejarah yang membuat saya cenderung mempercayainya.

Lasem adalah China Mini yang punya sejarah lama. Bahkan Tirto Adhi Soerjo, adalah keturunan seorang China Lasem yang bernama Raden Muhammad Chan!

Tirto, pahlawan Pram itu, bahkan juga sempat belajar sejarah revolusi China dan kawin dengan seorang gadis China yang (kebetulan) bernama Mei juga, di abad lalu.

Sejarah bisa berulang, dan akan menjadi kutukan bagi mereka yang tidak pernah belajar kepada sejarah.

Selamat ber-Revolusi. Sekarang atau Tidak Samasekali !!!

Soesilo Toer Ph.D.
Mantan Tapol PKI, alumnus Institute Plekhanov, Russia
Pengantar Penerbit dalam Buku Jokowi Undercover
Yang ditulis oleh: Bambang Tri