Monday, September 14, 2015

Kekuasaan Tanpa Kuasa


Tak ada kondisi bangsa yang sangat menyesakkan akhir-akhir ini selain tak berfungsinya kekuasaan dalam roda pemerintahan. Kekuasaan secara legal-formal ada, tetapi tak hadir dan tak berfungsi karena ia tanpa “kuasa”.

Kekuasaan tidak bekerja karena ia tak mampu melaksanakan apa yang dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan, atau mencapai apa yang telah direncanakan. Garis komando dalam roda pemerintahan tak hadir karena tak punya efek disiplin pada aparat-aparat lebih rendah.

Krisis keuangan global yang mengancam akhir-akhir ini kian menambah parah kehidupan bernegara dan berbangsa karena ia bersamaan dengan semacam “krisis kekuasaan” yang ada di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Krisis kekuasaan terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukkan legitimasinya, yaitu kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan rakyat. Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sejauh ini tak mampu menunjukkan kapasitasnya dalam mengendalikan dan mengarahkan bangsa ke arah perubahan.

Kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. Namun, justru “ironi kekuasaan” itu yang kini dialami negara-bangsa ini, yaitu ketika rezim kekuasaan tak mampu menunjukkan dayanya dalam memecahkan aneka persoalan bangsa. Yang ada hanya ketakberdayaan, yaitu ketakmampuan menghadapi aneka tekanan: sosial, politik, ekonomi, hukum. Ironi kekuasaan ini akibat kentalnya pertarungan kepentingan di dalam tubuh pemerintah itu sendiri dan terabaikannya kepentingan bangsa yang lebih besar.


Kekuasaan minimalis
Kekuasaan tidak bekerja ketika ia tak mampu mengarahkan elemen bangsa menuju perbaikan atau perubahan. Otoritas kekuasaan memang ada, yang dipegang para pemangku kekuasaan di dalam aneka aparatus negara, tetapi ia tidak mampu menunjukkan kuasanya. Kekuasaan lantas menjadi “kekuasaan minimalis”, yaitu ketika sistem kekuasaan hanya mampu menunjukkan efek kekuasaan sangat kecil, dengan efek perubahan sangat minim.

“Kekuasaan” adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, untuk mencapai sebuah tujuan, atau singkatnya kemampuan melakukan perubahan. (Boulding, 1989). Artinya, kekuasaan adalah kemampuan merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai sebuah tujuan bersama melalui jalan perubahan. “Revolusi mental” adalah sebuah konsep perubahan yang dicanangkan Jokowi, tetapi hingga kini tak mampu direalisasikan secara nyata bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.

Kekuasaan juga kemampuan untuk mengawasi, mengoreksi, mengendalikan, mendisiplinkan, dan menciptakan kepatuhan (Foucault, 1986). Ironisnya, semua kemampuan inilah yang tak mampu ditunjukkan oleh Jokowi sebagai kepala negara. Sebaliknya, yang tumbuh adalah ketakpatuhan, indisipliner, pembangkangan aparat-aparat tertentu terhadap kekuasaan tertinggi, pertengkaran di antara para pejabat negara, serta ketakmampuan Jokowi sebagai kepala negara melakukan koreksi, pengawasan, dan perbaikan.


Tak berfungsinya kekuasaan dalam rezim pemerintahan Jokowi diperparah dengan tak berfungsinya aparatus negara sesuai bidang dan kapasitasnya. “Aparatus” adalah segala sesuatu yang dalam cara dan kapasitas tertentu dapat mengarahkan, menentukan, menahan, mencegah, memodelkan atau mengamankan perilaku, opini atau wacana (Agamben, 2009). Akan tetapi, ironisnya, beberapa aparatus negara tampak tak mampu menjalankan fungsi memodelkan dan mengarahkan tindakan atau menahan dan mencegah aneka tekanan, gejolak, dan krisis.

Ketimbang menjalankan fungsinya secara profesional di bidang masing-masing, yang amat kentara dalam rezim sekarang justru “rivalitas politik” atas dasar kepentingan. Penunjukan jajaran kementerian yang kental nuansa politik jadi penyebab utama minimnya profesionalitas untuk menyelesaikan aneka masalah bangsa. Rivalitas politik mendorong mereka mendahulukan kepentingan politik sektoral dan sempit ketimbang memikirkan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.

Akibatnya, terjadi “perebutan kekuasaan” tak tampak di tubuh pemerintahan itu sendiri. Ada kepentingan “kekuasaan tak tampak” yang berebut pengaruh —juga berebut lahan ekonomi— di balik aparatus negara yang ada.

Who is the real president?

Maka sistem kekuasaan terpecah-belah jadi fragmen-fragmen kekuasaan yang tak mampu diintegrasikan oleh Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara. Disintegrasi kekuasaan ini menjadi titik lemah rezim Jokowi sehingga tak memiliki daya tangkal terhadap aneka tekanan politik dan rentan terhadap ancaman badai krisis.

Krisis timbul ketika struktur sistem pemerintahan hanya mampu menyediakan kemungkinan solusi sangat terbatas bagi penyelesaian masalah ketimbang yang diperlukan bagi keberlanjutan rezim. “Krisis kekuasaan” adalah ketika kemampuan untuk mendisiplinkan, mengarahkan, dan mengendalikan yang ditunjukkan oleh rezim kekuasaan jauh dari yang diharapkan. Krisis kekuasaan macam ini dapat menimbulkan krisis lebih lanjut pada keberlanjutan pemerintahan, berupa “krisis legitimasi”.

Jika krisis kekuasaan dan legitimasi ini tak dapat diselesaikan, dikhawatirkan terjadi krisis multidimensi lebih parah dalam waktu dekat. Krisis multidimensi diprediksi terjadi apabila sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kultural yang ada tak mampu menyediakan solusi bagi penyelesaian aneka masalah bangsa yang kian menumpuk. Krisis kekuasaan adalah akar dari kegaduhan dalam sistem pemerintah Jokowi, yang tak dapat diselesaikan dengan sekadar perombakan kabinet.


Kultur kekuasaan
Perombakan kabinet yang dilakukan Jokowi baru-baru ini nyatanya tak banyak membantu memulihkan kepercayaan akan kemampuan pemerintahan mengatasi berbagai akumulasi permasalahan bangsa yang kian kompleks. Ada masalah lebih fundamental yang pertama-tama harus diselesaikan terkait dengan “kultur kekuasaan”, khususnya mental, suasana batin, karakter, dan nilai-nilai yang bekerja di balik sistem kekuasaan itu sendiri.

Disiplin dan kepatuhan dalam sistem kekuasaan dapat dibentuk melalui berbagai karakter penguasa: karisma, ketegasan, kekuatan batin, kecerdasan, pesona diri, atau kecakapan. Disiplin dan kepatuhan yang didasari kesadaran nasionalisme dan kekuatan batin anak bangsa dapat jadi kekuatan besar menghadapi krisis karena ia mampu mengikat mereka dalam imagined community di atas fondasi kebatinan yang sama. Kemampuan untuk membangun disiplin dan kepatuhan dalam bingkai imagined community ini yang tak mampu ditunjukkan Jokowi.

Rezim otoriter menciptakan kepatuhan atas dasar ketakutan. Namun, rezim “dis-otoriter”, yaitu rezim yang tak mampu menunjukkan kekuasaan, menumbuhkan ketakpedulian atas dasar apatisme. Tidak saja sistem kekuasaan dan beberapa aparatus kekuasaan yang ada tak berfungsi, tetapi peran “wakil rakyat” dan “kekuasaan rakyat” itu sendiri sebagai kekuatan pengoreksi kekuasaan juga tak bekerja karena ada semacam “kemacetan” di DPR dan apatisme di tengah masyarakat.


Padahal, manifestasi satu-satunya “kekuasaan rakyat” di dalam sistem demokrasi masa kini adalah pada kekuatan untuk mengawasi, mengoreksi, dan meluruskan rezim kekuasaan agar sesuai dengan cita-cita, ideal, dan harapan rakyat. Inilah kekuatan “demokrasi tandingan”, yaitu kekuasaan rakyat dalam mengawasi dan mengendalikan rezim kekuasaan yang ada agar tak melenceng dari prinsip mencapai kebaikan bagi rakyat, dengan tujuan memastikan para pejabat terpilih memegang amanatnya (Rosanvallon, 2008).

“Demokrasi tandingan” adalah semacam dinding penahan dari aneka ancaman terhadap kekuasaan demokratis melalui kekuatan masyarakat sipil. Ia adalah kekuatan demos untuk terus-menerus mengawasi, mengoreksi, dan meningkatkan efektivitas kekuasaan melalui demonstrasi, petisi, atau solidaritas sosial. Pengawasan kekuasaan tanpa jeda ini sebagai kompensasi dari tak berfungsinya aparat dan aparatus-aparatus negara. Di sinilah mestinya peran relawan Jokowi, tentunya rakyat pada umumnya, dalam memandu agenda Nawacita yang telah dicanangkan.

Akan tetapi, ironisnya, dua fungsi kekuasaan di dalam tubuh demokrasi itu kini lumpuh. Negara lemah dan rakyat yang lemah menciptakan semacam efek ganda, memudahkan benih-benih krisis multidimensional menjadi kenyataan yang menakutkan dalam waktu dekat ini. Negara lemah karena tak berfungsinya kekuasaan pemandu perubahan. Sedangkan rakyat dan wakil rakyat lemah karena tak memiliki dorongan mengoreksi arah perubahan.

Jokowi adalah Presiden Petugas Partai.

Tanda-tanda ke arah krisis multidimensi sudah mulai tampak, berupa gejala-gejala krisis politik, ekonomi, dan sosial. Gejala “krisis politik” ditunjukkan oleh ketakmampuan rezim mengendalikan kekuatan-kekuatan yang ada. Gejala “krisis ekonomi” ditunjukkan oleh anjloknya nilai rupiah, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan menurunnya daya beli masyarakat. Gejala “krisis sosial” ditunjukkan oleh apatisme masyarakat dan tak adanya “gerakan sosial” bagi perubahan: demonstrasi, petisi, atau solidaritas sosial.

Apa yang terjadi adalah situasi di mana kompleksitas permasalahan yang ada tak sebanding dengan kecanggihan pemikiran, strategi, dan tindakan rezim dalam mengatasinya. Ini diperparah oleh tak munculnya kekuatan demokrasi tandingan untuk mengoreksi kekuasaan. Memang, permasalahan ekonomi yang dihadapi sekarang sangat kompleks karena cara kerja ekonomi kini sudah seperti cara kerja politik. Akan tetapi, bagaimanapun, “kekuatan nasional” seharusnya adalah benteng yang mampu menghadapinya.

Untuk itu, Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara harus melakukan langkah-langkah “budaya politik” untuk menghadapi ancaman krisis.


Pertama, Jokowi harus mampu merevitalisasi dan memulihkan otoritas kekuasaannya dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengomandokan, mengendalikan, mendisiplinkan, menciptakan kepatuhan pada jajaran-jajarannya dan rakyat pada umumnya. Untuk itu, ia harus dapat melepaskan diri dari aneka tekanan dan rongrongan “kekuatan-kekuatan” di luar otoritas kekuasaannya. Ia tak boleh lagi menggunakan “tangan orang lain” untuk melawan kekuatan yang menekan dirinya.

Kedua, Jokowi harus mampu membangun “suasana batin” rakyat —dengan lebih sering tampil di depan publik— untuk membangkitkan sentimen nasional, menumbuhkan sense of crisis, mengajak rakyat sebagai bagian dari krisis, dan membangun semacam “kekuatan batin” untuk menghadapi ancaman krisis global. Syaratnya, penampilan Jokowi di depan publik demi pencitraan harus dihentikan.

Ketiga, bila perlu, Jokowi membentuk semacam tim crisis centre yang bersifat terbuka, non-partisan dan netral, serta diisi para intelektual dan teknokrat profesional yang fokus pada pemikiran dalam penyelesaian krisis politik, sosial, dan ekonomi. Tim ini diharapkan dapat mem-back-up otoritas kekuasaan Presiden dan meningkatkan kewibawaan pemerintah.

Jika ini tak dapat dilakukan, dikawatirkan kita akan menuju pada the real crisis of the state.

Yasraf Amir Piliang,
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
KOMPAS, 7 September 2015