Friday, July 17, 2015

Tidak Punya Perasaan


Gejala hilangnya perasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung semakin meluas belakangan ini. Para pejabat menuntut kenaikan gaji ––yang sebenarnya sudah tinggi–– agar lebih dilipatgandakan lagi, sementara rakyatnya setengah mati mencari uang buat bertahan hidup sehari-hari.

Kita pun menyimak ada anak yang membunuh orangtuanya sendiri, atau sebaliknya orangtua yang tega membunuh anaknya sendiri. Hanya gara-gara uang seharga satu bungkus rokok, orang bisa berbunuh-bunuhan.

Sementara di pihak lain para koruptor yang tertangkap basah tanpa rasa malu bahkan dengan bangga unjuk ketawa di depan kamera. Para anggota DPR minta jatah Rp 20 miliar per orang setiap tahun, sementara pensiunan para guru besar hanya digaji Rp 4 juta setiap bulan, hampir setara dengan UMR yang dituntut oleh para buruh.


Lewat laku
Tidak ada lagi kebenaran rasa. Tenggang rasa sudah lenyap. Orang hanya mau mengenali perasaannya sendiri, dan tidak peduli perasaan orang lain. Orang yang tidak peduli pada perasaan orang lain itulah yang disebut tidak punya perasaan lagi.

Yang berkembang sekarang ini adalah kebenaran dalih pikiran, bukan kebenaran pikiran yang sesungguhnya. Dalih pikiran itu senantiasa bersandar pada bunyi UU dan peraturan yang dibuat manusia sendiri, yang mungkin dibikin tanpa perasaan juga.

Bagaimana kita dapat menghukum sekian tahun kepada seorang nenek renta yang dituduh mencuri sekian batang kayu di hutan pemerintah? Putusan pengadilan ini menunjukkan tidak adanya perasaan dan pikiran sekaligus, bila dibandingkan dengan putusan pengadilan koruptor kelas teri yang dijatuhi hukuman yang hampir mirip.

Benar atau tidak benar itu sama sekali bergantung pada penjelasan pikiran. “Manusia intelektual itu adalah makhluk yang suka penjelasan,” begitu tulis novelis Saul Bellow dalam bukunya, Mr Sammler's Planet (1969). Meskipun novel atau karya sastra dan karya seni pada umumnya merupakan penjelasan dari perasaan (pengalaman), tetapi baru diakui kebenarannya kalau ada kritikus yang mampu menjelaskannya secara pikiran.


Sebaliknya, pada pertengahan abad XIX, pujangga Mangkunegara IV dalam karyanya, Wedhatama, menyebut bahwa ilmu itu terjadinya lewat laku, melalui perbuatan. Memang yang dimaksud adalah “ngelmu” yang berarti pengetahuan mistik, pengetahuan rasa, bukan semata pengetahuan kebenaran pikiran.

Apa yang dimaksud dengan “perasaan” itu agak berbeda dengan yang kita maksud sekarang, yang hanya meliputi perasaan indrawi, perasaan interaktif sesama manusia atau dengan alam, dan perasaan terdalam di hati nurani. Rasa, dalam tradisi tua di Indonesia, adalah kategori religius, perasaan yang amat mendalam akibat pengalaman “kemenyatuan” dengan Yang Maha Esa. Laku atau rasa ini tidak dapat dijelaskan dengan pikiran manusia yang terbatas.

Kandidat doktor Susilo Kusdiwanggo dalam risetnya di masyarakat adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, mendapat penjelasan dari salah seorang ketua adat setempat. Bahwa, untuk mengetahui Tuhan (makrifat), orang harus menggarap tanah dengan benar, menanam padi dengan benar, hingga menuai padi, menyimpan dan menumbuknya dengan benar (sesuai adat). Selama itu Anda lakukan, Anda akan mengenal Tuhan. Ilmu itu terjadinya lewat laku. Lewat penghayatan, lewat pengalaman, dan juga lewat perasaan.


Bagi nenek moyang bangsa Indonesia, menjumpai dan mengenal Yang Maha Esa itu dengan jalan melakukan kerja hidup sehari-hari. Dengan bekerja itulah terjadi penghayatan rasa “mistik” dengan Tuhan. Setiap langkah kerja mereka sehari-hari sesungguhnya adalah laku ibadah. Itulah sebabnya, nenek moyang bangsa Indonesia memiliki cara-cara tertentu untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan hidup sehari-hari mereka. Memiliki alat-alat tertentu yang telah dipolakan, memiliki syarat jender tertentu dan doa tertentu sebelum bekerja.

Tradisi budaya religius Indonesia menyadari bahwa setiap perubahan di dunia dan dalam hidup mereka, Tuhan senantiasa hadir dan merawat prosesnya. Perubahan dari biji, lalu tumbuh menjadi benih hingga mengeluarkan padi yang bernas adalah atas kehendak dan kerja-Nya. Demikian pun perubahan dari padi menjadi beras, tiada lain juga atas izin-Nya.

Bahkan perubahan beras menjadi nasi atau tumpeng juga atas sepengetahuan-Nya. Karena kesadaran yang demikian itulah, nenek moyang kita merasakan ketakjuban akan mukjizat kuasa Tuhan setiap hari. Mereka bukan hanya peka rasa, tetapi juga tinggi rasa dan memiliki perasaan yang mendalam. Bahwa kerja Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh mengagumkan luar biasa dalam mengawal setiap perubahan sekecil dan sebesar apa pun di alam semesta ini. Alhasil “Gusti Allah mboten nate sare” ––Tuhan memang tidak pernah tidur.


Kearifan yang ditinggalkan
Kebenaran itu adanya di tindakan, di penghayatan atas tindakan itu. Bukan sekedar dalam kata-kata, juga bukan pula hanya dalam pikiran. Karena pikiran tidak pernah mengubah apa pun, baik dirinya maupun dunia, kecuali bila telah diwujudkan dalam laku tindakan. Dalam hal ini, mistisisme tidak harus merupakan penjelasan filosofis dari hasil pikiran belaka, tetapi berlaku pula dalam praksis kenyataan hidup sehari-hari.

Itulah makna perasaan yang gejalanya mulai ditinggalkan dan dilupakan bangsa ini. Memang perasaan masih punya, hanya saja, perasaan yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri, sembari menolak perasaan orang lain. Kearifan lama di berbagai budaya daerah di Indonesia menyatakan bahwa; “aku tiada lain dari kamu, aku adalah kamu sebagai aku, keadaanku adalah keadaanmu dan keadaanmu adalah keadaanku.” Hal ini sudah lama hilang dari ingatan rasa dan perasaan bangsa ini.

Pernyataan-pernyataan serupa itu juga terdapat dalam banyak kitab suci umat manusia, yang menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia itu sebenarnya juga universal. Jadi, apakah lebih baik tidak punya pikiran daripada tidak punya perasaan? Karena bila tidak punya pikiran kita masih manusia, namun bila tidak punya perasaan, niscaya kita bukan manusia lagi.

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 2 Juli 2015

Tuesday, July 7, 2015

Ramadhan yang Bahari


Sebenarnya apa arti Ramadhan bagi kita, manusia Indonesia? Apa arti puasa wajib di bulan suci itu? Terus terang, saya agak khawatir dengan jawaban-jawaban yang tersedia untuk itu, terutama ketika mengacu pada praksisnya. Setidaknya di sebagian atau bahkan bisa jadi di kalangan mayoritas publik kita.

Seperti biasa, saya tidak akan memenuhi tulisan ini dengan berbagai kutipan, mengenai makna, hikmah, hingga aturan fikih tentang puasa, baik dari kitab suci, hadits, maupun ungkapan para ulama yang berijtihad. Saya hanya ingin melihat dan belajar bagaimana praksisnya dalam keseharian kita. Karena sesungguhnya ayat-ayat yang suci itu ada dalam hidup dan dunia di sekeliling kita, di mana arti, makna dan hikmahnya terhijab oleh fakta, data, dan peristiwa (fenomena) yang ada dan terjadi di sekitar kita, setiap hari, setiap saatnya. Ayat dan kitab menjadi kosong bila ia hanya menjadi catatan kaki (footnote), bukan menjadi rekam jejak (footprint).

Macam sebuah pertanyaan, sebenarnya kita melaksanakan puasa Ramadhan itu sungguh karena (perintah) Allah, atau hanya karena ia sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat terinternalisasi sejak kita kanak-kanak)? Bila karena satu sebab, misalnya, kita tidak puasa atau batal puasanya, kita sungguh merasa dosa (lantaran paham maksudnya) atau sekadar merasa ‘bersalah’ karena tradisi tubuh itu kita langgar? Semacam kita merasa bersalah (bisa jadi berdosa) karena suatu kali tidak mengikuti perintah orangtua, padahal biasanya selalu?

Semacam juga kita merasa bersalah bangun kesiangan karena terbiasa bangun lebih dini; merasa bersalah tidak mudik karena tertradisikan untuk selalu mudik; merasa bersalah bolos sekolah karena sejak PAUD kita diajarkan untuk selalu masuk sekolah? Dan seterusnya ....

Selain santapan jasmani, manusia juga sangat perlu diberi santapan rohani.

Maka saya bertanya kepada seorang sahabat, yang sejak usia 5 tahun hingga 50 tahun kemudian, tidak pernah bolong puasa Ramadhannya, apakah dia masih berpuasa setelah menonton sepotong video porno, sebagaimana hobinya? “Masih dong,” katanya. “Itu artinya kamu tidak minum dan makan, kan?” tanya saya lagi. “Kecuali sebelum imsak tadi,” jawabnya polos. Saya pun tersenyum, seperti terlihat bangga padanya.

Saya tidak membenarkan sahabat saya. Namun, tampaknya ia menjadi representan atau simbol sekurangnya dari cara kita berpuasa Ramadhan. Selama kita tidak makan dan minum, perut tetap berpuasa, tetapi bagian-bagian lain (mata, telinga, lidah, kata-kata, pikiran, hati, dsb) ternyata tidak berpuasa, kita merasa sah melanjutkan ibadah Ramadhan itu, dan turut berbuka bersama yang lain.

Maka saya akan tetap berpuasa ketika saya asyik menggosip atau menggunjingkan orang, teman, atau sendiri kita. Saya akan tetap bukber, tarawih, dan mengaji tiap malam, sahur dan berpuasa hingga maghrib, walau mata dan telinga saya melihat dan mendengar hal tak senonoh, pikiran kita mengotori akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain hingga mencuri uang negara alias korupsi, lalu mendermakan sebagian kecilnya untuk infak, zakat, sumbangan masjid, panti asuhan, atau sekadar takjil gratis.

Bila ada 10 bagian dari diri kita yang ‘ilahiah’ ini ternyata ada satu bahkan sembilan bagian tidak menjalankan aturan puasa, tapi perut tetap menjalankannya, kita akan menyatakan, “Saya (masih) puasa.” Mungkin kurang berkualitas puasanya, kata sebagian secara apologetik. Puasa ternyata secara sosial ada grade-nya. Lalu apa grade-nya bila sebagian besar, tujuh hingga sembilan bagian dari kita, kecuali perut, tidak puasa? Jawaban akan beragam, tentu. Namun, apakah bukan kenyataan itu menunjukkan ketidakutuhan integritas kita, keterbelahan pribadi dan keyakinan kita, sikap hipokrit kita?

Kemarau spiritual tak cukup hanya dibasahi dengan air segelas.

Mengurangi ‘lebih dari lebih’
Ada fakta lain yang dapat dibuktikan bila Anda mau dan mampu? Bahkan seorang wadam atau waria, yang bermata pencaharian menjual jasa ‘seksual’ di malam hingga dini hari, masih ada yang tetap puasa dan mengaji saat subuh sepulang dari kerja atau ‘praktik’-nya. “Karena saya harus mengajari dan membiasakan kedua anak saya, mendengar suara orang ngaji saat ia bangun pagi. Apalagi jika itu suara bapaknya,” salah seorang dari wadam itu bercerita.

Tahukah Anda, bila seorang muncikari atau germo menawarkan (tepatnya mendagangkan jasa seksual) dari anak buahnya, setelah ia buka puasa dan shalat maghrib?

Bahkan sang PSK pun sebagian ‘libur’ siang untuk menjalankan ibadah Ramadhan dan melanjutkan kerjanya setelah puasa hari itu lewat. Bagaimana pikiran dan hati kita mendengar, melihat, dan coba memahami semua realitas itu? Saya tak bisa menggambarkan. Bahkan bukan hanya mata dan hati, pikiran pun menitikkan air yang menetes tanpa dapat kita usap atau keringkan.

Tidak seluruh fakta saya mewakili mayoritas, tentu saja. Namun, contoh-contoh yang saya sebut mewakili pertanyaan spiritual, sikap dan tindak beragama kita, Islam khususnya, puasa Ramadhan dalam hal ini. Ini menjadi refleksi untuk segala ibadah kita di bagian yang lain, agama yang lain, sikap spiritual dan keberagamaan kita. Karena segalanya adalah hasil dari proses dan dinamika kebudayaan kita. Semua itu adalah hasil dari kita bermasyarakat, berbangsa, dan berbudaya. Sebagian, mau tak mau, diakui jujur atau tidak, adalah juga bagian dari diri kita, jati diri bangsa kita.


Ramadhan, yang para ustadz pasti menyatakan adalah bulan yang kita tunggu, yang kita harus berterima kasih karena masih dipertemukan dengannya, ternyata tidaklah selalu kita posisikan sebagaimana makna, hikmah, nilai, dan berkah yang terkandung di dalamnya. Di mana puasa, khususnya Ramadhan, sekurangnya adalah sebuah exercise yang sangat-sangat penting bagi kaum muslim, bukan untuk membatasi, tapi ‘mengurangi’ apa pun yang selama ini ‘berlebih’ ia lakukan, konsumsi, misalnya, dan seterusnya.

Telah sejak 1,5 milenia lalu Islam datang dengan kesadaran akan dunia yang sangat modern, dunia yang ditandai oleh adagium to have more not to be more. Dunia yang menawarkan bahkan mengimperasi kita untuk mendapatkan lebih dan ‘lebih dari lebih’. Sesungguhnya, bahkan makanan dan minuman yang kita telan setiap hari berlebih. Menimbulkan ‘lebihan-lebihan’ dalam bentuk lemak, kolesterol, asam urat, hipertensi, atau hiperkalemia dan lainnya, sehingga untuk itu kita membutuhkan berbagai sarana/jasa baru seperti fitness center, kursus yoga, program diet, hingga operasi plastik ––yang notabene berbiaya tinggi–– hanya untuk menghilangkan atau mengurangi apa yang begitu rajin kita buat berlebih.

Puasa Ramadhan adalah peringatan dan latihan untuk kita hidup ‘kurang’. Dengan mengurangi makan dan minum hanya di dua waktu saja, kita mestinya sadar, ternyata hidup kita tidak kurang apa pun. Tidak kurang fit, tidak kurang sadar, tidak kurang kreatif, tidak kurang rezeki, dst. Lalu kenapa kita harus makan minum berlebih, 3 kali atau lebih, plus camilan, jajanan, dan sebagainya?

Dan apa yang terjadi dalam tradisi Ramadhan kita? Di saat kita diminta untuk ‘kurang’, justru uang belanja kita semasa Ramadhan meningkat tajam hingga 200% bahkan lebih! Di saat kita berusaha kembali ‘fitri’ agar diri kita lahir kembali sebagai manusia (muslim) baru, kita malah berpesta pora. Bahkan hanya untuk makan dua hari Lebaran saja kita menyediakan makanan yang cukup untuk satu minggu, dengan nilai yang mungkin 1.000% lebih mahal dari biasanya.

Puasa adalah training disiplin spiritual.

Kita berlebih dengan beli baju baru, sepatu baru, cat rumah baru, mungkin kendaraan baru, mudik dengan biaya aduhai mahal, dan seterusnya. Lalu kita pun sepanjang Ramadhan memerah keringat dan air mata lebih banyak untuk menambal beban yang luar biasa itu. Tindak menyimpang bahkan manipulatif atau koruptif harus dilakukan demi tradisi itu. Betapa Ramadhan telah membuat kita justru menjadi begitu rakus akan semua yang bersifat material dan yang duniawi!

Lalu apa kedudukan, fungsi, peran, dan hikmah Ramadhan selama ini, selama bertahun, ber-dekade, dan ber-abad bagi kita kaum muslim Indonesia? Adakah praksis ibadah Ramadhan kita membantu bangsa, pemerintah, juga membantu diri kita sendiri, untuk merintis atau menciptakan perbaikan atau pembaharuan, setidaknya dalam sikap mental, perilaku, moralitas, atau integritas? Apakah ada dalam diri kita, kelompok kita, atau bangsa kita ini pernah mengalami ‘kefitrian’, pembaharuan diri, atau semacam renaissance kecil setiap usai Ramadhan?

Bila semua jawaban di atas negatif, tidakkah kita selayaknya becermin pada eksposisi faktual di atasnya dan merenung: kenapa semua itu terjadi? Kenapa ia menjadi masif, kolektif, dan ––entah sedikit atau banyak–– kita berada di dalamnya? Apa yang keliru, dalam diri kita, agama kita, sikap keberagamaan kita, atau ...?


Puasa bahari itu
Tentu saja saya tidak akan menuding. Apalagi kepada hal-hal yang bersifat religius, entah itu tauhid, syariah, atau fikihnya, apalagi kepada para ulama yang bijaksana. Akan lebih baik kita memeriksa diri kita sendiri, bila ternyata cara kita beragama selama ini ternyata selalu diselubungi ––jika tidak dinternalisasi–– oleh ilusi. Ilusi akan kenyataan yang sangat material, yang sesungguhnya pragmatis hedonis, yang justru melawan atau mengkhianati agama kita sendiri, tepatnya telah mengkhianati kedalaman spiritualitas kita.

Kedalaman spiritualitas yang saya maksudkan ialah spiritualitas dari bangsa ini yang sesungguhnya memiliki basis sangat luhur dan mulia. Maaf bila saya harus katakan sekali lagi, dan akan berulang kali, basis itu ada dalam sebuah peradaban yang bernama bahari, maritim kata sebagian orang. Basis itu sangat sederhana sebenarnya. Seorang yang berilmu (dari bahasa Arab ‘ilm, masdarnya, ‘alim atau allamah untuk berilmu dan ‘ulama transliterasi jamaknya dalam Melayu), tidak akan dianggap alim, apalagi disebut ulama, bila pengetahuannya hanya berhenti pada memori atau sistem kognitifnya.

Semua yang dia ketahui akan menjadi (disebut) ilmu ketika ia menjelma dalam praksis, dalam hidup kesehariannya. Terutama dalam kemaslahatan sosial dari semua tindakan-tindakannya, baik yang mental maupun fisikal. Ngelmu kuwi kalakone kanthi laku, begitu kearifan Jawa mengatakan. Maka, seorang ulama, misalnya, dalam dunia bahari, tidak diukur dari kecakapan lisan, retorika atau jumlah kutipan yang ia slogankan, tapi dari faedah dan akibat baik perbuatan dan produksi kulturalnya. Orang Jawa menyebut apa pun yang seperti itu dengan ‘ki’ atau ‘kiai’.

Wasbir 'ala ma yaquluna, wahjurhum hajran jamiila.

Bila seseorang secara kognitif tahu banyak, belajar lama, baca banyak, mungkin doktor atau profesor di banyak lembaga, tentu ia memosisikan dirinya ‘lebih tahu’ dari yang lain. Ada perasaan dominan, suprematif atau otoritatif, yang pada tingkat mental menjadi semacam arogansi, keangkuhan, dan untuk kaum medioker menjadi sikap yang tengik.Tegak bahkan tengadah, melihat yang lain lebih kecil atau lebih di bawah.

Seorang ulama atau kiai dalam hidup bahari, justru sebaliknya. Sistem kognisi berperan, tapi tidak utama, sebagai bagian wajar dari pengetahuan secara keseluruhan. Karena, ilmu dalam tradisi bahari tidak berhenti pada chip atau server di otak bagian kiri kita saja, tetapi ia menjalar dan mengendap di kulit, tangan, jari, dengkul, bahu, mata, telinga, rambut, jantung, darah, dan seluruhnya. Seluruh bagian kemanusiaan kita yang ‘ilahiah’ itu berilmu.

Ilmu, bila itu datang dari ayat-ayat suci, sudah menjelma ke dalam hidup dan diri kita. Kitalah ayat-ayat itu. Karenanya, dalam adab bahari sesungguhnya praktik atau dimensi spiritual itu sudah menyatu dalam hidup (keseharian) kita. Tidak terpisah. Apalagi menjadi semacam logos tersendiri yang struktur dan metode artifisialnya berbeda. Karena apa yang imanen itu sesungguhnya transenden.


Bukankah Nabi Muhammad sendiri mempraktikkan itu? Sebagai Nabi, tentu saja ia tidak sekadar membaca Al-Quran, tetapi ia menjelmakannya, menjadikan dirinya sebagai the living Quran, Quran yang hidup. Sehingga apa yang ia katakan dan perbuat adalah contoh terbaik dari praksis Al-Quran, menjadikan semua laku-perbuatannya sebagai Sunnah dan tauladan indah, sebagai tandem satu-satunya dari Al-Quran itu sendiri. Tidakkah Islam sesungguhnya adalah hikmah dari kata ‘guru’ dalam adab bahari?

Guru dalam adab bahari kita kenal sebagai akronim. ‘Gu’ berarti digugu, diacu dan dijadikan patokan atau rujukan. Dan ‘Ru’ berarti ditiru, dicontoh, atau menjadi eksemplar yang bisa diikuti? Maka dalam Islam, kita mengacu pada Al-Quran dan meniru atau mencontoh model hidup Nabi-Nya. Sebagaimana ulama, kita mengacu pada nilai, moralitas, hingga etika dan estetikanya, dan lalu kita mengikuti, meniru, meneladani cara-cara hidupnya sebagai santri.

Bukankah itu ––tak hanya sebaiknya–– berlaku pada semua ibadah kita. Terlebih dalam puasa Ramadhan. Bukankah sekadar retorika atau apologia saja bila puasa hanya terjadi pada perut atau 2-3 bagian tubuh lainnya? Tidakkah praksis (dari puasa) itu menggambarkan secara langsung ilmu dan keimanan kita? Apakah kita akan membiarkan ––sebagai manusia bahari–– puasa kita cacat dan tambal sulam, yang merupakan refleksi dari keimanan kita?

Saya percaya, Anda akan menjawabnya dengan negatif.
Alhamdulillah.

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2015