Wednesday, April 22, 2015

Islam Nusantara


Belum lama ini saya menerima foto-foto tokoh Islam yang oleh pengirimnya dibagi dalam dua kelompok.

Yang satu sederet foto yang disebut “Wali Songo” atau Wali Sembilan penyebar Islam di wilayah Nusantara, satunya lagi “Wali Songong” atau tokoh-tokoh Islam yang dianggap sombong. Di bawah foto-foto itu ditulis caption: Wali Songo mengislamkan orang kafir, Wali Songong mengafirkan orang Islam.

Dugaan saya foto itu dibuat, dan disebarkan sebagai kritik dan respons terhadap fenomena paham dan gerakan Islam radikal, yang dengan semangat kebencian sering mengafirkan sesama orang Islam karena tidak sejalan dengan paham dan gerakan mereka.

Tidak hanya mengafirkan, bahkan menghalalkan darah mereka untuk dibunuh. Mereka menyebarkan kebencian dan mengangkat senjata yang diarahkan pada sesama orang Islam.


Jika menyimak sejarah penyebaran Islam di Nusantara, peran para Wali Songo memang sangat fenomenal.

Mungkin yang disebut wali itu tak lain adalah juru dakwah atau semacam misionaris muslim yang sengaja datang untuk menyebarkan ajaran Islam. Mereka melakukannya dengan cara damai dan memanfaatkan simbol-simbol budaya lokal sebagai mediumnya agar mudah dipahami dan diterima warga setempat. Misalnya saja medium wayang, permainan (dolanan), dan tembang-tembang lokal (daerah) yang semuanya itu tidak ditemukan dalam masyarakat Arab.

Makanya ada istilah “pribumisasi Islam”. Bukannya ajaran dasar Islam yang diubah, melainkan metode yang disertai kontekstualisasi tafsirnya yang disesuaikan dengan budaya Nusantara sebagai masyarakat maritim dan agraris. Bukan sebagaimana penduduk padang pasir seperti di Arab.

Bahkan sebenarnya, Fikih atau paham keberagamaan yang tumbuh dalam masyarakat padang pasir dan yang tumbuh dalam bangsa maritim serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana konflik dan perang, memerlukan tafsir ulang.


Misalnya saja relasi gender. Di Nusantara ini, di beberapa daerah para wanitanya sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian adatnya dengan pakaian model wanita Arab.

Demikianlah masih banyak tradisi lokal baik itu datang dari budaya Arab maupun Nusantara yang telah menjadi medium untuk menyampaikan agama, sehingga kita dapat membedakan mana elemen agama dan mana elemen budaya.

Ketika menyaksikan film The Message, misalnya, pakaian muslim dan nonmuslim sama saja karena semuanya mengenakan tradisi Arab. Tetapi sekarang, oleh masyarakat Indonesia, pakaian jubah lalu diidentikkan dengan pakaian Islam. Jadi, di Timur Tengah pun, sebenarnya juga terjadi arabisasi Islam, di Indonesia terjadi pribumisasi Islam, dan di Barat terjadi amerikanisasi atau eropanisasi Islam.

Namun, ada juga paham ideologi yang ingin memaksakan arabisasi Islam di Indonesia serta ada pula ideologi islamisasi Eropa dan Amerika yang dipaksakan.


Apa pun konsep dan ideologi yang hendak diperjuangkan, masing-masing memiliki peluang dan tantangannya karena sejatinya panggung sejarah adalah panggung kompetisi gagasan-gagasan besar yang hendak memajukan peradaban.

Hanya saja ketika gagasan-gagasan besar tersebut disertai dengan paksaan dan kekerasan senjata, maka kejernihan dan kemuliaan konsep keagamaan yang semula bagus jadi tercemar.

Jadi, Wali Songo penyebar Islam di tanah Jawa khususnya, dikenal menggunakan jalan damai dan menghargai budaya lokal. Mereka mengislamkan orang kafir, bukannya mengafir-kafirkan orang Islam seperti yang sering dilakukan oleh kelompok radikalis atau jihadis.

Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 10 April 2015

Monday, April 6, 2015

Antara Gubernur Ahok dan Presiden Bush

Ahok dan Bush.

Yuk kita sharing info dan pengetahuan tentang etika bicara di TV sebagai ruang publik.

Saya gunakan hastag #shit karena akan gunakan kasus dengan kata tersebut yang terucap dari lisan seorang presiden. Dari kasus ini kita akan dapat komparasi bagaimana negara dan masyarakat Barat yang liberal menyikapi penggunaan TV sebagai ruang publik. Lalu kita bisa ambil pelajaran bagaimana kita sebagai negara dan bangsa Timur dengan nilai-nilai Pancasila menyikapinya.

Pelajaran ini bisa diletakkan dalam konteks bermacam kasus. Di antaranya kasus wawancara gubernur Ahok dengan Kompas TV.

Tony Blair dan George Bush.

Bermula dari percakapan informal antara presiden AS George Bush Jr dengan PM Inggris Tony Blair dalam sesi rapat pertemuan puncak G-8. Pertemuan di St Petersburg, Rusia tersebut diliput live banyak stasiun TV di antaranya CNN. Tema bahasannya tentang situasi konflik Timur Tengah.

Di sela rapat tersebut terjadi obrolan informal antara Bush dan Blair –yang kemudian jadi menghebohkan. Bush sangat geram dengan sikap PBB terhadap konflik Israel yang diserang mortir-mortir Hizbullah. Lalu setengah berbisik kepada Blair, presiden Bush berujar, “See the irony is what they need to do is get syria to get Hezbollah to stop doing this shit and it’s over!

Bush menggunakan kata “shit”.

Rupanya obrolan ini tertangkap mikrofon di depan mereka yang masih ON. Percakapan itu terdengar di forum dan tersiar live di CNN. Menyadari situasi itu, kedua pemimpin negara besar sontak kaget. Spontan Blair mematikan mikrofon di depan meja mereka.


Keduanya gagap dan staf mereka segera memastikan tidak ada TV yang meliput live. Apa dinyana TV CNN sedang ON AIR.

Insiden dengan ucapan satu kata #shit yang diucapkan hanya sekali oleh Bush tak bisa dicegah telah tersiar ke seluruh penjuru dunia via TV CNN.

Esoknya publik Amerika geger atas insiden kata #shit dari mulut presiden mereka. Tuai protes dimana-mana dan jadi isu debat publik di media. Publik Amerika malu atas insiden tersebut meski mereka dapat penjelasan akan ketidaksengajaan ini.

Berlanjut, Federal Communication Commission (FCC) –semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut bereaksi. FCC memanggil direksi CNN atas tayangan live tersebut dan dikenakan sanksi denda besar.


Kenapa FCC merespon keras? Karena mereka punya code of conduct dan code of ethics untuk lembaga penyiaran, antara lain “seven dirty words” yang tidak boleh muncul di siaran.

Seven dirty words” adalah 7 kosa kata kasar dan kotor yang diharamkan tayang di media penyiaran. Salah satunya adalah kata “shit” atau “tai”.

Jadi dalam kasus #shit tersebut seorang Presiden mendapat sanksi sosial dan harus minta maaf secara terbuka dengan disiarkan langsung oleh banyak TV. Stasiun TV CNN yang tanpa sengaja menyiarkan langsung ucapan #shit itu pun mendapat sanksi berat dari Komisi Penyiaran di Amerika (FCC).

Tony Blair yang tidak menggunakan kata #shit ikut terkena imbas dari insiden tersebut. Ikut menuai sorotan dari publik di Inggris.

Itu contoh kasus penggunaan kata kasar dan kotor di TV sebagai ruang publik oleh seseorang yang kebetulan Presiden Amerika.

Nah, mari kita evaluasi kritis bagaimana penggunaan kosa kata kasar dan jorok di stasiun TV kita. Anda mungkin punya lebih banyak info.

Kasus Gubernur Ahok dan Kompas TV sangat kontras jika dibandingkan dengan kasus Bush dan TV CNN.

Karikatur Ahok dan Bush sebagai 2 cowboys.

Kompas TV secara sadar dan terencana mengadakan wawancara live dengan Gubernur Ahok tentang isu yang sedang kontroversial. Karakter Ahok yang temperampental dan tak bisa menjaga lisan tentu sudah dipahami benar oleh redaksi Kompas TV.

Artinya keputusan wawancara live harus disiapkan matang termasuk antisipasi jika Ahok keluarkan kata-kata kasar dan jorok. Aiman Wicaksono dari Kompas TV saya apresiasi saat beberapa kali ingatkan Gubernur Ahok saat bicara kasar dan jorok.

Tapi ketika Ahok cuek dan malah mengulang-ulangi kata "tai," Aiman sebenarnya bisa stop wawancara, atau siaran di-cut dengan jeda iklan.

Produser Kompas TV yang di lapangan juga bisa OFF-kan mikrofon Ahok sehingga suara tidak keluar di TV.  Dan Aiman sebagai pewawancara juga semestinya meminta maaf kepada pemirsa saat atau di akhir wawancara dengan Ahok. Banyak cara yang bisa dilakukan Kompas TV untuk sikapi kasus ucapan Ahok yang kasar dan jorok tersebut. Namun mereka tidak lakukan.

Kompas TV menurut saya semestinya meminta maaf ke publik atas kasus tersebut. Apalagi membawa slogan Inspirasi Indonesia.

Setali tiga uang dengan Gubernur Ahok. Ketika diingatkan pewawancara agar berkata sopan, Ahok malah mengulang-ulang lagi kata "tai". Dan Ahok sangat sadar kalau itu siaran live dan justru ia gunakan untuk mengumbar kata-kata kasar dan jorok itu.

Gubernur Ahok pun tidak pernah minta maaf secara terbuka dan yang secara khusus disiarkan TV. Dia ada meminta maaf tapi hanya sambil lalu saja saat ditanya pers.

Ahok ketika diwawancarai Aiman Wicaksono dalam acara Kompas Petang secara live (siaran langsung).

Bagaimana dengan Komisi Penyiaran Indonesia? Saya belum dengar ada sikap resmi kelembagaannya terhadap Kompas TV. Memang ada komentar dari seorang komisioner KPI. Tapi yang ditunggu adalah sikap kelembagaannya.

KPI sesuai tupoksi memang tidak berwenang menegur dan beri sanksi ke Ahok soal ucapan #shit di TV. Namun mereka bisa lakukan hal lain. Yaitu KPI berkoordinasi dengan Mendagri, Menpan dan Komisi Aparatur Sipil Negara bicarakan etika pejabat publik di media penyiaran.

Mendagri bisa lakukan pembinaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kemenpan juga berwenang lakukan pembinaan pada personil aparatur negara termasuk kepala daerah. Komisi Aparatur Sipil Negara bertugas mengawasi penerapan kode etik dan kode perilaku aparatur sipil negara.

Tapi aneh. Tak satu pun dari ketiga lembaga negara itu menunjukkan respon dan sikapnya terhadap kasus ini. Ketika sejumlah warga mengkritik ucapan Gubernur Ahok di Kompas TV ––dari arah lain muncul Ahokers yang membela mati-matian.

Apakah kita sedang hidup di zaman anarki? Zaman yang lebih bebas dari negara se-liberal Amerika? Mari kita merenung di malam hari ini… Berbicaralah dengan hati nurani kita masing-masing.

Mahfudz Siddiq
http://www.fimadani.com/antara-tai-nya-gubernur-ahok-dan-shit-nya-presiden-bush/

Ucapan Kasar Ahok di Kompas TV yang Dijatuhi Sanksi KPI


Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian sementara segmen wawancara pada program jurnalistik “Kompas Petang”.

Menurut KPI, program acara Kompas TV yang disiarkan secara Langsung (Live) pada Selasa, 17 Maret 2015 pukul 18.18 WIB dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma kesopanan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian, serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.

Program tersebut menayangkan dialog dengan Gubernur DKI Jakarta (Ahok) terkait kisruh dengan DPRD DKI Jakarta.


Tayangan tersebut menampilkan perkataan kasar dan kotor yakni;

…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bangsat gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki.

…lu lawan bini gua kalah lu mati aja lu. Kasih taik aja muka lu.

…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh?

Makanya gua bilang panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua. Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…. …kalau bukan taik apa? Kotoran. Silakan.

Emang taik namanya kok. Emang taik, mau bilang apa. …TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya…


Dikatakan KPI, tayangan yang memuat ungkapan atau perkataan kasar/kotor demikian dilarang untuk ditampilkan karena sangat tidak santun, merendahkan martabat manusia, dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat serta rentan untuk ditiru oleh khalayak, terutama anak-anak dan remaja.

Segmen wawancara live pada program ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma kesopanan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian, serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik,” tulis KPI dalam keterangannya, Senin (23/3/2015).

KPI menilai, tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), Pasal 17, dan Pasal 22 ayat (3) serta Standar Program Siaran Pasal 9 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 24.


Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif; Penghentian Sementara Segmen Wawancara secara Langsung (live) pada program jurnalistik “Kompas Petang” selama 3 (tiga) hari berturut-turut sejak tanggal diterimanya surat ini.

Meskipun dalam tayangan tersebut pewawancara telah mengingatkan kepada narasumber bahwa siaran tersebut live dan agar kata-katanya diperhalus, namun upaya tersebut tidak berhasil sehingga kata-kata yang tidak pantas demikian kembali diulang dan tersiar.

Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 Pasal 35 huruf e mengatur bahwa seorang pewawancara pada suatu program siaran wajib mengingatkan dan/atau menghentikan jika narasumber menyampaikan hal-hal yang tidak layak untuk disiarkan kepada publik,” terang KPI.

Islam Pos
Selasa 3 Jamadilakhir 1436 / 24 Maret 2015
https://www.islampos.com/ini-ucapan-kasar-ahok-di-kompas-tv-yang-dijatuhi-sanksi-kpi-171986/



Bicara Kotor, Ahok Salahkan Presenter TV

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungkapkan telah menghubungi Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas TV dan meminta maaf atas pernyataan kotornya yang membuat stasiun TV swasta itu diberi sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Mantan Bupati Belitung Timur itu menuturkan, dalam komunikasinya dengan Pemred Kompas TV, ia meminta tidak dihadapkan dengan presenter yang memancing emosinya.

Aku sudah kontak Rossi (Pemred Kompas TV) kok, BBM ke dia, sorry-lah saya bilang. Makanya, lain kali jangan kirim yang agak mancing (emosi) lah. Wawancara yang cewek saja lebih enak,” ungkap Ahok, di Balai Kota Jakarta, Selasa (23/3/2015).

Terkait rencana pemanggilan dirinya oleh KPI, Ahok menyatakan siap bertanggung jawab atas pernyataannya tersebut.

Saya kan sudah minta maaf. Ini kan bukan bela diri ya. Misalkan, kamu naik bus lalu ada tukang palak, terus ada pemuda yang memaki-maki pemalak itu dan turun mengambil duitnya. Ini logika dan lihat konteksnya juga,” tandas Ahok.

Okezone
Selasa, 24 Maret 2015
http://news.okezone.com/read/2015/03/24/338/1123586/bicara-kotor-ahok-salahkan-presenter-tv



Ini Alasan Ahok Berbicara Kotor Saat Live di Kompas TV

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bicara kotor saat wawancara live di Kompas TV, Selasa malam, 17 Maret 2015. Dalam wawancara itu Ahok mengumbar kata-kata berupa ta*k saat menantang DPRD DKI yang saat ini masih melayangkan hak angket kepadanya untuk memanggil langsung dirinya.

Makanya gua bilang, panggil gua ke angket, biar gua jelasin semua. Gua bukain ta*k-ta*k semua seperti apa. Biar orang tahu, emang ta*k semua gua bilang,” ujar Ahok.

Presenter Kompas TV saat itu, Aiman Witjaksono sudah mengingatkan kepada Ahok bahwa wawancaranya ini disiarkan secara live. “Kita sedang live Pak Ahok,” ujar Aiman saat itu.

Nggak apa-apa. Kalo bukan ta*k apa, kotoran. Biar orang tau ta*ik gua.

Mungkin bisa lebih diperhalus Pak Gubernur, dengan segala hormat,” Aiman meminta.


Rupanya, kata-kata kotor Ahok dipicu ketidaksukaannya atas pertanyaan sang presenter. Ahok sudah menjawab soal foto istrinya tersebut benar, tetapi bukan sedang memimpin rapat soal Kota Tua seperti yang dituduhkan. Kata Ahok, semua orang bisa datang dan duduk di kursi gubernur. Tapi kali ini istrinya yang kena tuding. “Kan gua bilang emang pengecut saja orang-orang itu. Kalau ada masalah ngomong langsung dong,” ujar Ahok usai wawancara ketika itu.

Ahok mengungkapkan ketidaksukaannya saat ditanya berulang-ulang soal kasus itu, padahal dia sudah memberi penjelasan kepada sang presenter. “Ngeyel saja. Sudah saya jelasin, masih ngeyel gitu. Nggak ngerti. Terus dia (Aiman) bilang ini live, gua sengaja aja, siapa suruh live sama gua,” ujar Ahok.

Benzano
Friday, March 20, 2015
http://benzano.com/ini-alasan-ahok-berbicara-kotor-saat-live-di-kompastv/

Thursday, April 2, 2015

Maling, Copet, Garong, dan Begal


Di dalam kebudayaan kita dikenal suatu jenis profesi yang disebut maling, copet, garong, dan begal. Maling juga sering disebut “kecu” dalam bahasa Jawa dan kita tahu, dalam bahasa Indonesia, keduanya berarti pencuri.

Maling, kecu, dan pencuri memiliki dua jenis pengertian. Pertama, makna ketiganya sama dengan isi kandungan ketiga kata itu. Jadi maling ya maling, kecu ya kecu, dan pencuri ya pencuri. Kita tak memerlukan sebuah kamus untuk memahami ketiganya.

Tapi maling, kecu, dan pencuri bila diucapkan dengan tekanan yang mengandung kemarahan atau kejengkelan, maka ketiga kata itu berubah dari dirinya sebagai kata benda yang bersifat kategoris, menjadi kata makian yang penuh mengandung nilai.

Di sini kelihatannya jelas ada pergeseran makna. Copet agak berbeda. Konotasinya, secara umum, juga maling. Tapi wilayah dan waktu “beroperasinya” lain. Pada umumnya pencopetan dilakukan pada siang hari, di suatu tempat yang penuh kerumunan orang-orang, yang berdesak- desakan.


Si pencopet —mungkin di atas bus atau di dalam deretan orang-orang yang antre membeli karcis untuk menonton sepak bola— beroperasi dengan cara mengamati kelengahan atau ketidaksadaran korbannya. Maling, dengan contoh kecil-kecilan seperti maling jemuran, pada prinsipnya sama: si maling melakukan pekerjaannya di saat korbannya lengah. Misalnya lupa “mengamankan” jemurannya.

Bisa juga dilakukan pada malam hari ketika korbannya sedang tidur. Di sini copet dan maling memiliki kesamaan dalam “etika” kerjanya —jika cara kerja tukang copet dan maling bisa dianggap mengandung etika— yaitu bahwa kedua-duanya bekerja dari “belakang”, diam-diam, di saat korbannya tidak sadar sepenuhnya.

Mungkin ada sedikit perbedaan antara keduanya: maling, terutama yang sangat profesional dan beroperasi dalam skala besar-besaran, biasanya bukan hanya menunggu korbannya lengah, tetapi sengaja membuat mereka lengah dengan menggunakan ilmu sirep. Ilmu ini dilontarkan dengan sengaja untuk membuat korbannya dan seluruh anggota keluarga mereka tertidur pulas.

Dengan begitu si maling bebas beroperasi tanpa terburu-buru. Kemampuan maling melontarkan ilmu sirep yang membikin korbannya terlelap sering diikuti tindakan menjengkelkan: si maling sempat makan dulu di dapur dengan tenangnya, baru kemudian mengumpulkan benda-benda yang diinginkannya, baru kemudian “minggat”.


Kita tahu, maling itu masuk rumah korbannya dengan, antara lain, mbabah, yaitu melubangi tembok bagian belakang rumah sang korban. Jadi, sekali lagi, maling dan copet bekerja dari “belakang”, relatif diam-diam, di saat si korban tak sepenuhnya sadar. Sedangkan garong memiliki modus yang berbeda.

Prinsipnya garong juga pencuri, tetapi si garong melakukannya dengan blak-blakan. Jika tuan rumah sudah tidur, si garong membangunkannya, minta dibukakan pintu. Dengan todongan senjata tajam atau yang lebih berbahaya lagi dengan senjata api, tuan rumah diminta secara paksa menunjukkan di mana barang-barang berharga miliknya disimpan.

Jika terjadi perlawanan, tuan rumah bisa dilukai dengan penuh kekerasan atau bahkan dibunuh dengan kejam. Kekerasan dan kekejaman terbuka menyertai proses penggarongan tadi. Adapun mengapa si garong berani melakukan itu, karena, pertama, si garong memang orang berilmu, kebal segala jenis senjata, atau ada unsur nekat, semata karena dia bersenjata.

Garong itu pencuri yang disertai kekerasan, kadang-kadang pembunuhan. Ada orang yang menggarong tetangga sendiri namun dengan cara menyamarkan dirinya. Wajahnya ditutup hingga tak dikenali tuan rumah. Tapi “drama” ini sering bersifat kecil-kecilan, tidak profesional, dan mudah ditelusuri jejaknya sebelum pada akhirnya ditangkap hampir tanpa kesukaran. Tapi garong profesional tidak takut ditangkap. Kantor polisi atau penjara mungkin dianggap sebagai “rumah” keduanya.

Berbagai model sajam (senjata tajam) yang sering dipakai melakukan kejahatan.

Garong yang hebat bisa lolos dari kejaran polisi dan massa yang marah. Bahkan, ada yang bisa lolos dari penjara melalui jalan yang kita tak bisa memahaminya karena dia memiliki ilmu-ilmu yang hebat. Selain itu, garong bekerja dengan rapi, didahului intelijen atau mata-mata, yang bekerja dengan baik.

Penggarongan yang sukses ditentukan beberapa hari sebelum hari terjadinya peristiwa itu. Intelijen memainkan peran sangat penting. Dalam tingkat tertentu, maling juga memiliki intelijen yang bekerja secara cermat beberapa hari sebelum pemalingan dilakukan. Bagi maling, ada hari tertentu dimana dia tak boleh melakukan tindakan “maling” atau mencuri.

Ada hari nahas yang harus dijauhi. Jika dia melanggar pantangan ini, dia bakal celaka. Tapi garong dan copet tak mengenal sama sekali perhitungan waktu seperti itu. Fenomena begal lebih unik. Ada unsur copet, ada pula unsur garong. Di dalamnya sikap nekat dan wujud kekerasan hadir secara mencolok.

Begal beroperasi di tempat-tempat kegelapan dan jauh dari wilayah hunian penduduk. Dengan kata lain, begal memilih wilayah operasi di daerah-daerah sepi dan seram serta menakutkan. Para begal juga membawa senjata. Korban yang melawan dilukai tanpa ragu-ragu atau dibunuh sekalian untuk menghilangkan jejak.


Dengan gagah berani begal selalu bertanya kepada korbannya: harta atau nyawa? Maksudnya, kalau sayang nyawa, serahkan harta yang dibawanya dengan penuh damai dan tanpa kekerasan. Tapi, jika sayang harta, tanpa pertimbangan lebih lanjut, senjata yang berbicara.

Orang biasa pada umumnya dengan sukarela menyerah. Yang penting selamat dan ini menggembirakan si begal. Dia dan rombongannya, bekerja cepat, efisien, tanpa mengeluarkan keringat. Tapi jika korbannya orang hebat dan berani melawan, kawanan begal itu harus bekerja keras dan lebih lama. Tak jarang si begal yang kalah dan lari ngacir.

Ada begal yang belum profesional dan cara menggertak korbannya pun keliru. Seharusnya dia bertanya: harta atau nyawa. Tapi begal yang masih “plonco” ini bertanya, dalam bahasa Jawa: banda (harta) atau yatra (uang), yang artinya sama-sama harta. Jadi dia bertanya: harta apa harta. Garong satu ini hanya menjadi lelucon. Nyalinya ciut dan kecut. Ketika digertak oleh korbannya, justru dialah yang ketakutan.

Tanpa bermaksud menghina, melecehkan, atau menurunkan derajat mereka yang luhur dan mulia, orang-orang kantoran yang korupsi itu, walau penampilannya gemerlap, sebenarnya, maaf beribu maaf, tidak lebih dari begal. Dana untuk rakyat dibegal di tengah jalan. Beras buat rakyat dibegal sebelum sampai ke tangan rakyat. Mereka begal agung, begal mulia, begal berpangkat tapi tak tahu malu.


Mereka orang partai yang dulunya miskin lalu berubah mendadak jadi kaya, orang pemerintahan yang merasa seakan negeri ini peninggalan nenek moyang mereka sendiri, mereka dengan seenaknya membegal segala macam yang bisa dibegal. Selain itu, mereka juga maling, kecu, copet, garong, dan sejenisnya.

Rumah mereka berisi barang colongan, copetan, dan garongan. Kekayaan mereka hasil nyolong, maling, membegal, merampok, dan sejenisnya. Kalau tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mereka punya pembela. Ada lawyer khusus yang membela mereka. Lawyer macam itu juga makan duit-duit garongan, copetan, begalan, dan malingan.

Maling, copet, garong, dan begal “asli” yang diburu-buru polisi itu tak seberapa. Namun maling, copet, garong, dan begal di kantoran lebih menakutkan karena bisa bikin rakyat jatuh melarat dan negara bangkrut. Mereka lebih berbahaya !!!

Mohamad Sobary,
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 30 Maret 2015