Friday, December 26, 2014

Dari Rawa Mangun ke Pintu Besi

Kawasan stasiun Jakarta Kota yang masih nampak asri, sekitar tahun 1970-an.

Saya kira semua orang Jakarta tahu Rawamangun, Rawasari, Rawa Buaya, Rawa Badak, dan Rawa Bangke. Juga Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung, dan Pintu Besi. Terus Pasar Ikan, Pasar Senen, Pasar Rebo, dan Pasar Jumat.

Juga Pulomas, Pulogebang, Pulosari, Pulogadung, atau Tanah Abang, Tanah Merah, Tanah Kusir. Masih ada lagi, Kampung Jawa, Kampung Ambon, dan seterusnya. Juga banyak di antara kita yang tahu bahwa semua nama itu dibuat sejak dulu, yaitu oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang banyak orang tidak tahu adalah bahwa nama-nama itu diberikan dengan maksud untuk memberi tanda geografis pada daerah-daerah yang dimaksud.

Yang judulnya “rawa” dulunya pasti daerah rawa-rawa, jadi nggak heran kalau sekarang jadinya rawan banjir. Yang namanya “pulo” atau “tanah” berarti berpermukaan lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Jadi teorinya, kalau mau beli rumah, jangan pilih daerah dengan nama “rawa”, tetapi pilih yang namanya berawal dengan “pulo” atau “tanah”.

Jakarta ketika masih ada becak, oplet dan bus tingkat.

Tetapi sekarang karena perubahan tekstur geografis, banyak pulo dan tanah yang kebanjiran, sedangkan daerah rawa justru bebas banjir karena sudah ditinggikan oleh pengembang (dengan mengorbankan daerah lain yang kemudian jadi banjir). Pasar Ikan dan Pasar Senen (dulu bukanya setiap Senin saja) masih ada sampai hari ini, tetapi kalau dengar Pasar Rebo sekarang, asosiasi kita adalah terminal bus antarkota, dan Pasar Jumat adalah sekolah kepolisian.

Pal dan Pintu artinya adalah batas kota. Pal Sigunung adalah batas kota paling selatan dari Batavia, persisnya di jalan raya Jakarta-Bogor, yang sekarang ada Universitas Krisna Dwipayana, yang berseberangan dengan Panti Asuhan Muslimin. Pintu Besi di daerah Jakarta Kota, adalah batas kota pertama ketika Batavia belum meluas ke arah selatan. Pintu Air, di Pasar Baru, bukan batas kota, melainkan benar-benar tempat pintu bendungan untuk mengatur air ke kanal buatan yang mengalir di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada.

Kawasan bunderan HI yang masih terlihat sepi.

Pada zaman dulu, dalam wilayah-wilayah yang dibatasi oleh pal atau pintu hanya boleh tinggal orang-orang Belanda. Rumah-rumahnya pun bagus-bagus dan besar-besar, seperti yang sampai hari ini masih bisa dilihat di daerah Menteng, Jakarta Pusat (sayang sudah mulai banyak yang jadi pertokoan, apartemen, bahkan rumah sakit).

Orang-orang pribumi disediakan tempat sendiri di kampung-kampung yang diberi nama sesuai dengan etnik yang menghuni kampung-kampung tersebut, seperti Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Kampung Jawa. Pribumi yang boleh tinggal di dalam batas-batas pal hanya yang bekerja untuk melayani atau memasok kebutuhan orang Belanda. Kebon Sirih, misalnya, adalah tempat petani pribumi menanam sayuran untuk para sinyo-sinyo dan nyonya-nyonya atau noni-noni Belanda di daerah Menteng.

Tugu Pancoran ketika belum dibangun jalan layang.

Saya sendiri baru tahu informasi yang menarik tentang lingkungan Jakarta ini ketika pada suatu hari Minggu, teman saya di majelis taklim Masjid al-Irfan, Kompleks Perumahan Dosen UI (Pak Djamang Ludiro, pakar geografi) mendapat giliran berbagi (bahasa agamanya: taushiyah) dan mengangkat isu lingkungan sebagai topiknya dalam pengajian rutin bakda subuh hari itu.

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir tentang masalah yang sebenarnya sangat krusial itu. Saya termasuk rombongan dosen UI yang di tahun 1975 mendapat rumah dinas di Ciputat, pas di tepi Situ (artinya: danau kecil) Gintung yang asri. Waktu itu belum ada apa-apa di Ciputat. Belum ada listrik, apalagi telepon, dan baru ada jalan tikus lewat Pondok Pinang, ke Kebayoran Lama, tembus Kebayoran Baru. Baru dari situ masuk kota Jakarta.

Aldiron Plaza, Pintu Air, Pasar Senen, dan kawasan Blok M.

Kalau saya harus membeli sendiri rumah pada waktu itu, saya tidak akan memilih lokasi tempat “jin buang anak” itu. Tetapi Ciputat sekarang sudah jadi kota satelitnya Jakarta yang berkembang sangat pesat. Sayangnya, kita-kita ini (termasuk saya sebelum tahu) tidak berpikir tentang relevansi nama-nama tempat itu. Sekarang dengan sesuka hati nama-nama asli jalan-jalan di Jakarta diganti dengan nama-nama pahlawan.

Saya tidak tahu apa nama Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol pada zaman Belanda, tetapi yang jelas kedua pahlawan itu tidak pernah tinggal di jalan-jalan yang sekarang menyandang nama mereka. Di Jatinegara ada Kelurahan Rawa Bunga yang dulunya bernama Rawa Bangke, suatu nama yang diambil dari peristiwa tahun 1813, dimana ratusan tentara Inggris dibantai oleh tentara Prancis dan Belanda yang menyerbu Pulau Jawa.

Bus kota tingkat warna merah sedang melintas di kawasan Semanggi yang masih terlihat sepi, tidak ruwet dan macet.

Tetapi hari ini hampir tidak ada yang ingat lagi tentang sejarah Rawa Bangke. Jadi kelihatannya orang Indonesia, terutama sejak pertumbuhan perekonomian yang pesat di zamannya Orde Baru, tidak peduli lagi dengan makna tempat-tempat. Maka bangunan-bangunan bersejarah pun dirombak jadi supermarket dan mal.

Karena itu, lambat laun hilang juga budaya asli Indonesia. Kesenian Keroncong Toegoe, yang berawal dari kesenian lokal di Kampung Toegoe, yang kemudian menjadi cikal-bakal kesenian musik Betawi, sekarang hampir punah, karena komunitas asli di Kampoeng Toegoe, Jakarta Utara sudah tidak ada lagi. Bahkan, komunitas Betawi pun sekarang sudah makin tergeser ke wilayah pinggiran.

Jakarta tempo dulu ketika masih ada trem, kereta api kuno dan masih banyak orang bersepeda dan becak.

Makin hari makin sedikit tempat buat kehidupan kebudayaan lokal Betawi. Zaman sekarang susah sekali mencari roti berbentuk buaya, padahal dulu roti itu menjadi persyaratan pada setiap perkawinan adat Betawi. Begitu juga wayang Purwa (Jawa, Sunda), wayang Potehi (peranakan Tionghoa), tari Gandrung (Banyuwangi), dan masih banyak yang lain.

Satu per satu terancam punah, karena tempat kesenian dan kebudayaan itu bermukim dan bertumbuh kembang, sudah tidak ada lagi. Satu per satu komunitas-komunitas lahan budaya itu bubar, digantikan oleh budaya ultramodern atau digusur oleh budaya religi yang kaku (tidak toleran) atau bahkan ideologi ultrakanan (radikal) yang keras dan sempit wawasan.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 7 Desember 2014

Saturday, December 20, 2014

Literasi Sebagai Budaya Mencerdaskan Bangsa


Definisi literasi
Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks, saat ini menjadi bahan perbincangan di kalangan guru. Dan dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan pada zamannya. Jika dahulu definisi literasi adalah sekedar kemampuan membaca dan menulis, pada zaman sekarang ini, literasi adalah praktik kultural yang mencakup dan berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.

Definisi baru dari literasi menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan proses pembelajarannya. Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan lain sebagainya. Hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat yang demokratis dapat diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi beraneka ragam informasi (utamanya teks).

Dalam perkembangannya literasi terus berevolusi, makna dan rujukannya semakin meluas dan kompleks. Sementara itu rujukan linguistik dan sastra relatif konstan. Literasi memiliki tujuh dimensi yang berurusan dengan penggunaan bahasa.


Pertama, dimensi geografis, yang meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial.

Kedua, dimensi bidang, yang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa di bidang-bidang tersebut.

Ketiga, dimensi keterampilan, yang meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu yang dapat dilihat dari tampak dan semaraknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga keterampilan dasar yang lazim diutamakan, yakni: reading, writing, dan arithmetic.

Keempat, dimensi fungsi. Yakni fungsi literasi untuk memecahkan persoalan, memenuhi persyaratan dalam upaya mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas pribadi dan potensi diri.

Kelima, dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Seiring dan sejalan dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi.

Keenam, dimensi jumlah (kuantitas). Kemampuan yang berkaitan dengan jumlah (kuantitas) ini tumbuh dan berkembang karena proses pendidikan yang berkualitas tinggi. Karena seperti halnya kemampuan berkomunikasi pada umumnya, kemampuan literasi yang berkaitan dengan jumlah, juga bersifat relatif.

Ketujuh, dimensi bahasa (etnis, lokal, internasional). Proses literasi yang terjadi bisa singular maupun plural. Hal inilah yang menjadikan literasi bisa merupakan proses monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang mampu menulis dan berlitersi dengan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang berkemampuan multilingual.


Bicara tentang literasi multilingual tentu erat kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing. Apabila dilihat dari metode dan pendekatannya, ada lima kelompok besar dalam pengajaran bahasa asing.

Pertama, pendekatan struktural dengan grammar translation methods. Penekanannya adalah pada pemahaman mengenai bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Kelemahan dari metode ini adalah bahwa, pendekatan model ini tidak menjamin siswa menjadi mampu menganalisis bahasa dalam konteks persoalan sosial, seperti bahasa iklan, dan lain sebagainya.

Kedua, pendekatan audiolingual atau dengar-ucap. Metode ini menggunakan dialog-dialog saat terjadi komunikasi secara spontan. Kelemahan dari metode ini adalah kurangnya memberi ruang terhadap variasi ujaran (dialek, slang dll.) sehingga kurang berfungsi secara maksimal.

Ketiga, pendekatan kognitif dan transformatif. Metode ini berorientasi pada pembangkitan potensi berbahasa siswa sesuai dengan kebutuhan lingkungan hidupnya.

Keempat, pendekatan communicative competence. Pengajaran bahasa ini menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas hingga komunikasi spontan atau alami.

Kelima, pendekatan literasi atau pendekatan genre-based. Tujuan pembelajaran model terakhir ini adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai konteks komunikasi dalam arti yang luas.


Budaya Literasi
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung makna jamak, atau beragam arti (multi literacies). Ada beraneka macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy).

Seseorang dikatakan sudah “literat” (kebalikan dari illiterat), jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya (yang tepat) terhadap isi bacaan tersebut.

Data dari Association For the Educational Achievement (AFEA), mencatat bahwa pada tahun 1992, Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua terbawah.

Secara umum ada tiga kategori besar masyarakat Indonesia, yakni praliterasi, literasi dan posliterasi.


Masyarakat praliterasi. Yakni masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan dan masih mengalami kesulitan dalam mengakses media, seperti buku, TV, internet dan lain-lain. Kalaupun mereka dapat mengakses, tetapi mereka tidak bisa mencernanya dengan mudah.

Masyarakat literasi. Yakni masyarakat yang sudah memiliki akses terhadap buku atau sumber-sumber bacaan secara umum. Namun demikian, tidak berarti tradisi baca-tulis, serta merta dapat tumbuh subur di kalangan masyarakat literasi ini.

Masyarakat posliterasi. Yakni masyarakat yang memiliki akses yang luas dan variatif kepada buku dan sumber-sumber bacaan yang lain, serta akses yang mudah dan melimpah pada teknologi informasi dan audio visual.

Perbandingannya dengan kondisi masyarakat kita saat ini barangkali tidak berbeda jauh, jika melihat indikator yang ada. Namun suatu tingkat literasi yang sangat ironis adalah fakta dan kenyataan yang terjadi, bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.


Sebuah survey dari Program for International Students Assessment (PISA), ketika pertama kali ikut serta dalam survey pada tahun 1997, tentang budaya literasi, Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang berpartisipasi. Selanjutnya pada tahun 2000 dalam survey yang sama, Indonesia malah menempati peringkat 64 dari 65 negara partisipan.

Survey tersebut sudah cukup menjelaskan kurangnya budaya literasi di Indonesia, bahkan kita kalah tingkat literasinya dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain sekalipun dengan Vietnam, misalnya, negara yang jauh lebih muda usianya dibandingkan Indonesia.

Karena itu, penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Tidak mungkin Indonesia menjadi bangsa yang besar, apabila kita hanya mengandalkan budaya oral (tradisi lisan) yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi. Namun sayangnya, saat ini disinyalir tingkat literasi khususnya di kalangan siswa sekolah semakin tidak diminati (tak dipedulikan). Apakah hal ini menunjukkan ketidakmampuan kita dalam mengelola sistem pendidikan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa? Karena itulah, sudah saatnya budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak-anak kita bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis dengan lebih baik.

Ada sepuluh gagasan kunci tentang literasi yang menunujukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini yaitu, ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relatif, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia (internasional), warga masyarakat demokratis, keragaman lokal dan hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa Inggris ragam dunia (multiple Englishes), kemampuan berpikir kritis dan masyarakat semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda, kode, struktur, dan komunikasi.

Jadi dengan kesepuluh gagasan kunci ini, yang berkaitan dengan hal ihwal literasi, seseorang diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas membaca dan menulisnya sehingga mampu menemukan suatu makna –baik baru maupun tersembunyi– dalam suatu teks yang tidak terlepas dari konteksnya.

Jangan malu untuk belajar pada kehidupan semut.

Dalam pendidikan bahasa yang baik seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip literasi sebagai berikut:

1) literasi adalah kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat.
2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara lisan maupun tertulis.
3) literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
4) literasi mencerminkan penguasaan dan apresiasi budaya dan peradaban manusia.
5) literasi adalah kegiatan refleksi (diri) untuk membangun dan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang (capacity building).
6) literasi adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak yang berkomunikasi. Sudah dijelaskan pula bahwa berbaca-tulis ibarat kakak-adik (saudara kandung) yang tak terpisahkan.
7) literasi adalah kegiatan untuk melakukan interpretasi dan atau penafsiran. Seperti halnya para penafsir al-Quran (Kitab Suci) yang telah menghasilkan beraneka ragam bentuk tafsir sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing, baik tafsir al-Maraghi, tafsir Jalalain, tafsir Ibnu Katsir, dan lain sebagainya. Semua para mufasir ini melakukan penginterpretasian secara khusus yang merujuk dan berkaitan erat dengan latar belakang pendidikannya, masyarakatnya, bangsanya, negaranya, etnisnya dll.

Kesimpulan
Jadi dapat saya simpulkan bahwa, rekayasa literasi adalah suatu jalan menuju pada suatu perubahan dan peningkatan literasi anak bangsa dengan metode dan teknik pengajaran literasi yang mencerdaskan. Dan bahwa dalam pembengkelan bahasa (utamanya baca-tulis) dibutuhkan yang namanya keterampilan berbahasa, yang dimulai dari bahasa ibu, kemudian bahasa nasional (Indonesia), dan selanjutnya bahasa asing.

Sumber:
https://haidarism.wordpress.com/2014/02/18/literasi-sebagai-budaya-mencerdaskan-bangsa/
dengan editing seperlunya.

Yang sedang menjadi trending topics dan populer belum tentu baik dan bermanfaat.

Sejarah Literasi Media
Sejarah literasi media dimulai pada tahun 1964 saat UNESCO mengembangkan prototype model program pendidikan media yang hendak diterapkan di seluruh dunia. Pada waktu itu, baru dua Negara yang menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan Australia. Kalangan pendidik di dua Negara itu menyarankan agar pelaksanaan pendidikan mampu menjangkau persoalan literasi media, “agar anak-anak remaja secara kritis melihat dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam media.

Pada tahun 1970-an, pendidikan media masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah di Negara-negara di Eropa dan Amerika Latin untuk membantu menghapuskan kesenjangan sosial akibat ketidaksetaraan akses terhadap informasi. Demikian pula di Afrika Selatan yang menyelenggarakan pendidikan media dengan tujuan untuk mendorong reformasi pendidikan.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an di Negara-negara Amerika Latin, literasi media pada awalnya hanya mendapat perhatian dari kalangan LSM dan tokoh-tokoh masyarakat. Literasi media pada masa itu lebih dipandang sebagai persoalan politik dan bukan persoalan pendidikan. Namun dalam perkembangannya kemudian, literasi media digunakan pula oleh para guru di sekolah dan tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Sedangkan di Eropa, literasi media sejak awal telah dikembangkan melalui pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.


Di negara Amerika Serikat, perhatian besar terhadap literasi media baru diberikan sejak tahun 1990, setelah diselenggarakan “National Conference Leadership on Media Education”. Setelah itu, ada 15 negara bagian yang memasukkan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.

Intinya, literasi media merupakan salah satu upaya menjaring dan menskrening dampak negatif media massa, karena literasi media memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir kritis terhadap media dan pesan yang diusungnya.

Bacaan rujukan: Iriantara, Yosal. 2006. Model Pelatihan Literasi Media untuk Pembelajaran Khalayak Media Massa. Disertasi Doktor. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

©dilanovia 19062013
http://tulisandila.wordpress.com/2013/06/20/sejarah-literasi-media/