Monday, October 27, 2014

Musang Berbulu Ayam


Setelah melihat tayangan televisi tentang detik-detik tingkah laku para politikus cum wakil rakyat ketika membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di DPR lama —dan terkait masalah krusial ini, telekonferensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang serba plin-plan, serta Sidang Paripurna DPR baru yang gegap gempita dalam suasana yang sama sekali tidak bermartabat— bulu tengkuk saya meremang. Betapa tidak. Saya tersentak baru saja menyaksikan kemungkinan sejenis gerak-lambat barbarisasi dari sejumlah polity, yang menyeringai di antara rezim kepolitikan buruk yang ada dan saat pencapaian tujuan barbariknya.

Apa yang sejatinya bisa diraih dengan moral seharusnya tidak dicapai melalui hukum. Namun, berhubung tunamoral, mereka menghabiskan energi dan waktu dengan bermoralisasi (moralizing), asyik mengutak-atik “moral” dan “moralizing” yang begitu berbeda bagai siang dan malam tanpa panduan filosofi Pancasila demi kekukuhan kekuasaan politiknya belaka yang diselimuti dalih “demi rakyat”.

Demokrasi: "Boom.... blast !!!"

Sabotase politik
Perkembangan proses barbarisasi ini mereka sebut dengan bangga sebagai “dinamika politik”. Padahal, hati kecil mereka, saya yakin, mengakui bahwa upaya dinamisasi itu hanya merupakan jegal-jegalan belaka.

Dengan kata lain, Koalisi Merah Putih (KMP) mencari apriori bertekad mencegah at all costs agar Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak bisa mewujudkan niat baiknya bagi Indonesia melalui kebijakan pemerintahan yang dipimpin pasangan pemenang Pemilu Presiden 2014, yang langsung telah dipilih oleh rakyat itu. Apakah upaya penjegalan apriori ini tidak bisa disebut suatu sabotase politik?

Polity dengan lembaga partai politiknya selama ini kiranya bukan mendidik kadernya menjadi negarawan, melainkan membiarkannya tumbuh dan berkembang menjadi makhluk “liar” dan “barbar”. Makhluk liar adalah orang yang secara membabi buta tunduk pada naluri, pada impuls, dan pada nafsunya; dia tidak peduli pada “baik” dan “buruk” yang dituntut oleh keadaan. Makhluk barbar, sebaiknya, adalah orang yang berprinsip dan berpengetahuan spesialistis; dia mengabaikan hal-hal yang diniscayakan dan bergerak langsung ke tujuan.

Sejujurnya, di luar komunitas politik, pada setiap era ada juga orang-orang seperti itu, bahkan lebih buruk lagi, di komunitas religius. Di situ orang tidak segan-segan menggunakan ayat ilahiah sebagai pelindung perbuatan yang justru berlawanan dengan perintah Tuhan.


Tunamoral, tunamalu
Politika adalah sebenarnya sebuah profesi yang serius, serba kompleks, berdedikasi tinggi, mengandung risiko serta, dan karena itu, cukup terpandang dan terhormat. Hal ini sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa kita yang dahulu berjuang tanpa pamrih pribadi melawan penjajah secara sistematis dari waktu ke waktu, yang kini kita peringati sebagai peristiwa yang merupakan “tonggak-tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional”.

Patriotisme yang dahulu mereka lakukan untuk Indonesia, tanah airnya, adalah perbuatan yang puluhan tahun kemudian dipujikan oleh John F Kennedy melalui ucapannya, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.

Di mana pun di muka bumi ini, orang memerlukan persiapan yang relevan untuk bisa diakui sebagai profesional. Untuk berprofesi sebagai kimiawan, misalnya, orang harus mempelajari ilmu kimia. Untuk menjadi pengacara/jaksa/hakim, orang perlu mempelajari ilmu hukum. Untuk menjadi dokter, orang harus belajar ilmu kedokteran lebih dahulu. Di Indonesia, kelihatannya, untuk menjadi politikus orang cukup mempelajari kepentingannya sendiri dan atau kepentingan partainya dan tunamalu, bahkan tunamoral.

Persiapan profesi politik yang jauh daripada ideal ini kiranya sudah diantisipasi oleh Bung Hatta. Tidak lama setelah kembali ke Tanah Air, dia mendirikan PNI, bukan Partai Nasional Indonesia seperti yang telah dibentuk oleh Bung Karno, melainkan Pendidikan Nasional Indonesia, menggenapi tujuan pendidikan formal yang telah diusahakan Ki Hajar Dewantara. Bersama dengan Bung Sjahrir, dia mengorganisasi klub studi, pendidikan nonformal, yang berfungsi bagai kawah candradimuka penggemblengan para pemimpin politik mendatang.


Sebelum menjadi pemimpin rakyat, mereka harus bisa lebih dulu, menurut visi Bung Hatta, menata cara berpikir mereka sendiri. Melalui pembelajaran klub studi, mereka bukan dilatih untuk bisa lebih maju daripada orang-orang lain (menyombong), melainkan dibiasakan selalu mampu lebih maju daripada dirinya sendiri.

Cara pembinaan kader seperti itulah yang patut ditiru oleh parpol dewasa ini. Artinya, parpol perlu berusaha menerjunkan politikus ke arena politik bukan karena telah berjasa mencari dana bagi kas partai atau memenangkan ketua dalam pilpres/pilkada atau berhubung berada di garis keturunan dari trah person tertentu. Kader yang dijagokan itu seharusnya berdasarkan mutu pendidikan formal, kemampuan berpikir, kematangan bersikap, yang secara obyektif-profesional mengundang respek, bisa diakui kelebihannya, walaupun secara diam-diam, oleh pihak pesaingnya dari parpol lain.

Di Abad Pertengahan, Italia pernah dikuasai keluarga Borgias selama 30 tahun. Periode ini diwarnai oleh pertarungan berdarah, teror, pembunuhan, dan intimidasi. Namun, periode yang sama melahirkan pula Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan gerakan renaissance.

Bangsa Swiss mengalami kehidupan demokratis selama kira-kira 500 tahun. Selama itu mereka mengenal brotherly love and peace. Lalu, apa yang mereka hasilkan? Sistem pendidikan keilmuan yang mantap —Einstein remaja bersekolah di situ— dan jam antik ku-ku clock.



Memperkuat lapisan terdidik
Bangsa Indonesia sudah mengalami periode reformasi selama lebih kurang 20 tahun. Yang direformasi adalah gaya pemerintahan otoriter demi kelancaran pemerintahan demokratis, yaitu yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Apa yang dihasilkan oleh reformasi ini? Suatu barbarisasi, yang memang bergerak lambat tetapi pasti, dimotori oleh kepiawaian bersandiwara seorang presiden yang bakal lengser dan korps politikus yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai bagaimana menyenangkan rakyat tanpa memberikan apa yang mereka betul-betul perlukan —how to please people without giving what they really want. Mereka mendekati setiap subyek dengan mulut terbuka, bukan dengan pikiran dan hati terbuka.

Pergelaran sandiwara dari panggung politik DPR yang memuakkan itu menantang kesadaran rakyat akan hak-haknya yang dirampas begitu saja. Padahal, rakyat telah membiayai para aktor politik yang tampil keren dan cantik di panggung itu dan kelihatannya betul-betul menjiwai serta menikmati peran amoral masing-masing. Jadi, mereka bukan sekadar bersandiwara, melainkan telah main sungguhan dalam proses barbarisasi.

Barisan rakyat harus didukung, diperkuat, terutama oleh lapisannya yang terdidik, kaum intelektual. Di mana Anda berada? Sedang menyendiri di laboratorium atau bersemadi di perpustakaan atau berpesiar somewhere?

Kini masih jauh larut malam, namun sudah berkeliaran musang berbulu ayam.

Daoed Joesoef,
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 10 Oktober 2014

Sunday, October 19, 2014

Ben Affleck dan Islam Maya


Aktor Ben Affleck secara tegas membela Islam dalam sebuah acara TV secara langsung. Acara bincang-bincang Real Time with Bill Maher --yang tayang di stasiun televisi Amerika Serikat HBO-- berubah menjadi perdebatan sengit tentang Islam ketika Bill Maher dan penulis terkenal Sam Harris bicara tentang Islam radikal.

Sang pemeran The New Batman ini menyebut mereka telah melakukan stereotipisasi terhadap umat Islam. Bagi banyak kalangan, boleh jadi kasus Ben Affleck menghasilkan anomali. Ini bisa dipahami karena sikap Ben Affleck, seorang Barat dan non-Muslim, keluar dari bilik tradisional dan repertoar umum bahwa Islam yang dihadirkan oleh media Barat adalah Islam yang sudah di-setting, ‘ditundukkan’, atau dijinakkan oleh pihak-pihak resisten terhadap Islam.

Pilihan sikap Affleck, seorang penganut Protestan yang tampil sebagai advokat bagi wajah dan umat Islam, memperlihatkan efek simalakama stigmatisasi Islam dan Muslim. Pemojokan dan stereotip secara konstan terhadap Islam dan Muslim dari media Barat justru membangkitkan para pembela Islam dari lingkungan Barat sendiri.

Beberapa aktor Hollywood; Angelina Jolie, Rihanna, Selena Gomez, Mark Ruffalo, Coldplay, Penelope Cruz, Javier Bardem, yang Pro-Palestina.

Alih-alih membuat orang makin benci dengan Islam dan perilaku umatnya dengan agenda setting yang canggih, yang justru lahir adalah tren oposisi internal dari pihak yang bukan berasal dari lingkungan Islam sendiri. Bila sebelumnya media Barat konsisten membela para penghujat Islam dari lingkungan Islam dan Barat, kini yang mulai berlaku adalah munculnya para pembela Islam dari lingkungan Barat sendiri.

Aksi advokatif Ben Affleck ini sebetulnya bagian dari barisan kafilah panjang pekerja seni Hollywood yang makin tercerahkan lewat sisi kemanusiaan. Nama-nama semisal Angelina Jolie, Rihanna, Selena Gomez, Mark Ruffalo, Coldplay, Penelope Cruz, Javier Bardem, dan Russell Brand adalah sejumlah aktor dan artis Hollywood yang menghendaki kemerdekaan Palestina sewaktu krisis Gaza beberapa waktu lalu.

Secara pribadi agaknya pembelaan Ben Affleck terkait erat dengan pengalaman debutnya dalam berbagai layar lebar, semisal ketika membintangi film Argo yang bercerita tentang pembebasan pegawai Kedutaan Amerika saat Revolusi Islam Iran terjadi dan gerakan anti-Amerika begitu kuat. Pengalaman menggarap Argo dan pemahamannya tentang Islam membuatnya berani membela Islam meski bukan penganut Islam.

Inilah sikap toleran dalam memahami bagaimana seharusnya agama itu bisa saling menerangi, bukan saling membunuh. Meski dengan sikapnya itu, ia harus menghadapi serangan dari berbagai pihak.

Kesalahfahaman Barat terhadap Islam, sampai kapan?

Efek bumerang, hasil buah simalakama, atau konsekuensi pagar makan tanaman dari politik stigmatisasi Islam oleh media Barat telah melahirkan apa yang bisa disebut sebagai “Islam maya”, yakni wajah Islam yang dibentuk secara online. Hari ini Islam tak lagi dipahami lewat “Islam media”, lewat media-media konvensional semisal buku, majalah, atau koran.

Lebih dari itu, “Islam maya” membuat orang menatap dan memahami Islam dan kaum Muslim lewat jalur sosial media dan citizen journalism (jurnalisme warga). Pelbagai tulisan, foto, dan berita menyangkut Islam dan kaum Muslim menjadi lebih personal, cepat, dan tak dibatasi oleh bilik-bilik pembatas, semisal harga yang mahal, akses yang sulit, hingga levelisasi pemahaman.

Acara Real Time with Bill Maher yang menampilkan Ben Affleck menyibak tabir eksklusivisme media bahwa pemegang hak paten atas interpretasi Islam tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh media arus utama (mainstream media), tapi sudah beralih kepada para pemilik akun jaringan medsos (media sosial) yang bisa dimiliki oleh siapa saja dan di mana saja.

Ben Affleck adalah pemeran utama dalam film Argo yang berkisah tentang pembebasan pegawai Kedutaan Amerika saat Revolusi Islam Iran.

Deretan komentar maupun kutipan status di Facebook atau Twitter merespons objektivitas Ben Affleck menyangkut pembajakan terhadap Islam, ternyata jauh lebih mempengaruhi wacana publik ketimbang siaran berita atau pendapat pakar di berbagai stasiun TV atau media cetak.

Benar bahwa pemahaman Islam yang hanya bersandar kepada kombinasi dari internet, media sosial, dan mobilitas dunia maya berisiko terjerembab ke dalam pubertas keagamaan yang bercirikan meningkatnya ekspresi keagamaan secara cepat, tapi tidak punya imunitas akidah yang kokoh sehingga mengakibatkan penurunan kualitas keimanan yang jauh lebih cepat.

Meskipun begitu, kehadiran “Islam maya” berkat media sosial dan jurnalisme warga dipercayai kuat akan menarik umat Islam untuk tidak lagi malu-malu mengaktualisasikan keberagamaannya di satu sisi dan mengundang kalangan luar Islam untuk menghapus pola-pola sistematis yang mendiskreditkan Islam di sisi lain.

Donny Syofyan,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
REPUBLIKA, 11 Oktober 2014

Ben Affleck, beserta isteri (Jennifer Garner) dan putra-putri mereka.

Ben Affleck yang bernama lengkap Benjamin Geza Affleck (lahir 15 Agustus 1972; umur 42 tahun) adalah aktor, sutradara, dan produser Amerika yang pernah memenangkan penghargaan Academy Award kategori penulis cerita terbaik lewat film Good Will Hunting tahun 1997. Ia berkarier di film sejak era pertengahan 1990-an berawal lewat sebuah peran di film Mallrats (1995) dan Chasing Amy (1997). Dia dikenal sebagai aktor utama pria papan atas Hollywood dan pernah bemain dalam film-film sukses berdana besar seperti Armageddon (1998), Pearl Harbor (2001), Changing Lanes (2002), The Sum of All Fears (2002) dan Daredevil (2003). Ia pernah berkolaborasi peran bersama adik laki-lakinya, aktor Casey Affleck.

Affleck pernah menjalin hubungan dengan aktris papan atas Hollywood, Gwyneth Paltrow tahun 1998. Setelah putus dari Paltrow, ia menjalin hubungan dengan penyanyi kelas dunia Jennifer Lopez pada tahun 2002, namun keduanya berpisah dan gagal bertunangan pada tahun 2004. Kemudian pada tahun yang sama Afflek kembali menjalin hubungan dengan aktris Hollywood Jennifer Garner, lawan mainnya dalam film Daredevil. Affleck menikah dengan Garner pada 29 Juni 2005. Pernikahan mereka membuahkan dua orang putri: Violet Anne Affleck (lahir Desember 2005), Seraphina Rose Elizabeth Affleck (lahir Januari 2009) dan seorang putra: Samuel Garner Affleck (lahir Februari 2012).

http://id.wikipedia.org/wiki/Ben_Affleck

Friday, October 3, 2014

Imaji


Untuk perayaan Hari Aksara Internasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyelenggarakan beberapa acara, salah satunya Festival Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ketiga yang berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, 17-21 September 2014, lalu.

“Merayakan Keragaman Imajinasi Menuju Literasi Indonesia Unggul” menjadi tema festival ini. Tema yang kontekstual itu dipadu dengan situasi yang belangsung di Indonesia, yaitu tengah bermekarannya beragam aktivitas produktif yang berbasis pada imaji.

Betul sekali nubuat Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena itu, jika TBM ini ingin menjadi bagian dari apa yang disebut literasi Indonesia unggul, ia harus selalu terhubung dengan persoalan-persoalan kebangsaan serta isu-isu global sebagai sumber imaji dan gagasan, bukan terus berkutat pada persoalan internal, seperti koleksi buku yang kurang atau jumlah pengunjung yang sedikit. Kalau persoalan klasik dan klise ini yang terus-menerus diekspos, TBM tidak akan beranjak ke mana-mana dan tak akan move on. Tak jadi masalah bila TBM ini merupakan entitas kecil. Sebab, biarpun kecil, kalau produktivitasnya tinggi, tetap akan mewarnai Indonesia.


Menurut saya -dalam konteks TBM sebagai salah satu pegiat budaya baca dan keberaksaraan- ada tiga penanda suatu bangsa dapat dikatakan memiliki keunggulan literasi. Pertama, memiliki program atau gerakan budaya membaca yang bersifat nasional. Misalnya, Hari Berbagi Buku Nasional (HB2N), Satu Rumah Satu Rak Buku, atau program Dari Buku Menjadi Karya. Manfaat kehadiran gerakan nasional ini secara isu akan menyatukan semua pegiat budaya membaca di Indonesia. Gerakan nasional itu menjadi pusat orbit aksi literasi di daerah. Minimal secara wacana, isu budaya membaca ini juga akan terus hidup. Tidak hilang dan mati akibat tertindih oleh persoalan yang terus datang bergulung-gulung menghampiri negeri ini.

Kedua, ada produk yang dihasilkan. Produk yang didasari imaji dan pengetahuan sebagai titik pijak keberangkatan awal. Melalui produk tersebut, orang bisa mencandrai dinamika dari sebuah gerakan budaya baca. Wujudnya bisa bersifat fisik, seperti buku yang berisi kearifan lokal, alat permainan edukatif literasi, dan hasil praktek dari buku menjadi karya. Atau yang bersifat non-fisik, misalnya warung arsip digital, perangkat lunak (software) pengelolaan TBM/perpustakaan, serta game literasi gratis yang dipasarkan melalui Android.


Ketiga, sistem. Menyadari betapa luasnya Indonesia kita ini, gerakan budaya membaca tentu saja tidak bisa direngkuh melalui pendekatan terpusat. Ia harus menjadi inisiatif masing-masing daerah. Sistem dibuat agar dapat dijadikan rujukan bagi semua pemangku kepentingan budaya membaca. Ini bisa membantu mereka menjawab pertanyaan, misalnya tentang dari mana dan bagaimana sebuah gerakan budaya membaca harus dimulai.

Tanpa ketiga hal tersebut, keunggulan literasi akan tetap menjadi mimpi. Karena itu, agar mimpi ini menjadi kenyataan, diperlukan upaya merasionalkan imaji dan kegilaan tingkat tinggi dalam menekuninya.

Agus M Irkham,
Pegiat Literasi
KORAN TEMPO, 18 September 2014