Wednesday, September 10, 2014

Wajah Pertelevisian


Semenjak dan selama Pemilu Presiden 2014 (Pilpres) lalu, pertelevisian nasional terbelah dan berhadapan secara frontal. Kini, setelah Mahkamah Konstitusi mengumumkan pemenang Pilpres, keterbelahaan masih terasakan.

Namun, sesungguhnya pertelevisian republik ini bukan hanya pecah, tapi juga tak jelas arah. Segala sesuatu bisa terjadi, tanpa ada kontrol sama sekali. Antara lain, setiap orang bisa membuat siaran tersendiri. Caranya mudah. Namanya TV Streaming, streaming television. Belum lagi soal siaran digital. Pada dasarnya, pengelolaan pertelevisian menggunakan cara sederhana, terbuka, dan mempunyai riwayat. Selama ini, pertelevisian seluruh dunia mendasarkan diri pada undang-undang atau ketentuan komunikasi yang berlaku di Amerika Serikat 1934. Undang-undang mengambil pola yang berlaku untuk radio pada tahun 1927.

Dari sinilah muncil badan Federal Communications Commission (FCC), sebuah lembaga yang independen. Walau tidak sama, di sini ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dari lembaga independen inilah segala kebijakan komunikasi, bukan hanya televisi, dirumuskan. Misalnya, adab “preambule” terkemuka yang berbunyi bahwa udara adalah milik bersama, tak bisa dikuasai dan dimiliki perorangan atau kelompok. Tugas pemerintah mengadakan sistem penyiaran bagi seluruh masyarakat, secara cepat, efisien, berskala nasional atau international. Itulah dasar-dasar kelahiran televisi pendidikan, independen, atau di sini lebih dikenal pelayanan publik, TVRI, serta televisi swasta niaga yang bersifat komersial. Namun, sudah sejak awal pembagian atau pembatasan itu tak berlaku sepenuhnya. Semula, TVRI sebagai “the one and only”, satu-satunya lembaga penyiaran yang masuk dalam Departemen Penerangan Orde Baru.

Statusnya kemudian berubah-ubah sampai sekarang. TV dengan izin lokal kemudian menjadi bersiaran nasional seperti SCTV (Surabaya) atau ANTV (Lampung). Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pun bisa menjadi komersial seperti lainnya. Kepelikan lembaga yang kini bernama MNC TV tersebut sampai sekarang masih diributkan.


Lembaga Pemirsa
Dengan keadaan semrawut seperti tergambarkan tadi, segala kemungkinan bisa terjadi. Perubahan dasar, sifat, kepemilikan, bahkan juga pelanggaran masih akan sering bertabrakan.

Ini bisa merepotkan dalam kerja sama dengan institusi lain seperti Lembaga Sensor. Tayangan televisi non-berita perlu surat izin lolos sensor. Ketentuan ini masih berjalan, walau pada kenyataannya tidak berlaku efektif. Ini kadang tidak mengikat karena kekurangan tukang sensor dan kriterianya tidak baku. Selain itu, tak ada jaminan bahwa setelah lolos sensor tak akan ditarik atau diprotes. Repotnya, tayangan yang harus disensor banyak sekali. Ada lebih dari 1.000 acara dalam sebulan. Contoh, sinetron saja dari 10 stasiun siar mencapai 37 jam tayang setiap hari.

Semua ini menggambarkan cara kerja yang tidak sempurna, namun tetap dipertahankan. Tak jelas penanggung jawab akhir, andai terjadi sesuatu. Contoh lain, kerja sama dengan KPI. Secara teori, KPI bisa mengontrol dan merekomendasikan tindakan tertentu. Namun, keberadaannya tertinggal jauh karena pertelevisian sudah menjadi industri. KPI seolah menjadi “nenek cerewet” yang tak perlu didengar.

Contoh nyata yang menyakitkan ketika sebuah acara bertajuk “Empat Mata” dianggap melanggar tata krama, dengan enteng diganti menjadi “Bukan Empat Mata.” Sungguh penghinaan akan tata nilai dan sebuah institusi resmi. Anehnya, acara tersebut berjalan aman sampai sekarang. Baru pada acara yang lain, “YKS,” peringatan KPI dituruti karena hilang dari udara. Boleh saja berganti acara asal tidak “YKS,” menjadi “YKS Baru” atau “Bukan YKS”. Tayangan YKS diprotes karena menyajikan adegan tokoh komedi saat dihipnotis bisa membayangkan wajah Benyamin Sueb (maaf ) sebagai anjing yang lucu. Protes bermunculan dan opini masyarakat menghangat.

Siapa yang lebih kuasa? KPI atau mereka?

Namun, sesungguhnya yang tak terselesaikan adalah jenis acara hipnotis atau sihir dalam tayangan tersebut. Apakah diperbolehkan? Apakah benar seseorang bisa dihipnotis melihat “bakal calon pacar”, atau “merasa diri superman yang mencoba terbang?” Atau ini hanya berlaku pada orang tertentu dalam situasi tertentu juga. Sebab tanpa penjelasan tekstual (yang ditayangkan berjalan), sama saja pembohongan publik yang luar biasa. Dalam kasus ini bukan hanya seniman besar Benyamin yang dilecehkan, tapi seluruh akal sehat pemirsa.

Kemudian, kerja sama dengan khalayak yang namanya pemirsa, pendengar, pemerhati, dan sejenisnya. Tata krama dunia pertelevisian mengandaikan tiga unsur utama berjalan baik: penyelenggara siaran, pemerintah, dan penonton.

Pada zaman Orba, TVRI masih membuat “lembaga pemirsa” meskipun diisi orang-orang pemerintah. Lembaga seperti itu kini tak ada lagi. Maka, wajar bila penyelenggara siaran (biasanya pemilik stasiun) makin leluasa dan rakus karena tak ada ikatan apa pun yang membatasi atau mengatur. Pada saat yang sama, peran pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) justru menambah galau dan kacau dengan Keputusan Menteri tentang Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing secara Teresterial karena bertabrakan dengan peraturan dan undang-undang sebelumnya. Lagi pula, mengapa diberlakukan detik-detik menjelang kabinet sekarang bubar?


Ternyata “lembaga pemirsa” lain masih ada dan bersuara, yaitu Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP). Institusi ini keberatan. Ini memberikan harapan bahwa masih selalu ada tokoh-tokoh yang mempunyai perhatian sekaligus keberanian mempertanyakan hal-hal strategis mengenai penyiaran yang seakan terlupakan. KIDP antara lain berisi Aliansi Jurnalis Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Pers Indonesia, Pemantau Regulasi dan Regulator Media Yogyakarta. Kemudian, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik Yogyakarta, Remotivi Jakarta, Yayasan Tifa Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Media Link Jakarta, serta Masyarakat Cipta Media Jakarta.

Aktivitas mereka sekarang memiliki dasar dan mulia karena memperjuangkan hak-hak penonton. Pokok masalah bukan hanya peraturan menteri yang memang terasa “bau bisnis amis,” tapi juga dan terutama kemungkinan pengadaan penyiaran yang kebablasan.

Saat ini, setiap orang, kelompok, baik pengusaha atau bukan, bisa membuat siaran secara streaming. Sekarang membuat program apa pun bebas luar biasa. Apa saja bisa disiarkan dan dikomunikasikan. Semua itu belum ada tata krama pengaturan dan nilai isinya. Ini mengerikan karena membuka kesempatan setiap orang membuat program dengan paham dan ideologi apa saja. Fenomena “TV dukun” juga sangat mengganggu.

Siaran program pengobatan (alternatif) dikategorikan apa? Siaran, iklan, atau provokasi karena mereka leluasa berkampanye! Pertelevisian terbelah terutama karena tidak ada ketegasan antara hal yang boleh dan hal yang dilarang. KIDP bisa menjadi pijakan menjelaskan kondisi pertelevisian negeri ini. Mereka harus berani berteriak.

Arswendo Atmowiloto,
Budayawan
KORAN JAKARTA, 29 Agustus 2014

Friday, September 5, 2014

Buku


David C. McClelland (1917-1998) adalah seorang psikolog sosial asal Amerika Serikat yang tertarik pada masalah-masalah pembangunan. McClelland mempertanyakan, mengapa ada bangsa-bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, dan ada yang tidak. Dia membandingkan antara bangsa Inggris dan Spanyol, yang pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa yang kaya raya. Sejak saat itu, Inggris terus berkembang menjadi semakin besar. Namun Spanyol menurun menjadi negara lemah. Mengapa bisa terjadi demikian? Apa penyebab timbulnya ketimpangan kemajuan tersebut?

Berdasarkan tuturan Arief Budiman dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), setelah mencari beberapa aspek melalui penelitian dan pembuktian yang nyata, akhirnya McClelland menemukan jawabannya. Ternyata faktor penentu perbedaan itu terletak pada (buku) cerita dan dongeng anak-anak yang terdapat di kedua negeri tersebut. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 itu mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi” (need for achievement). Sedangkan cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati (lembek), dan meninabobokan.


McClelland juga mengumpulkan 1.300 cerita anak-anak di banyak negara dari era 1925 dan 1950. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerita anak-anak yang mengandung nilai achievement (hasrat berprestasi) yang tinggi pada suatu negeri selalu diikuti oleh adanya pertumbuhan yang tinggi pula pada negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian. Penelitian McClelland menghasilkan satu kesimpulan: buku (bacaan) mempunyai kekuatan untuk mengubah seseorang.

Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, yang mengukuhkan pengusung revolusi mental Jokowi-JK menjadi Presiden-Wakil Presiden RI ke-7, jika merujuk pada hasil penelitian McClelland, maka salah satu strategi kebudayaan untuk melakukan revolusi mental adalah melalui buku.


Berdasarkan penelitian McClelland, perubahan mental di Spanyol dan Inggris membutuhkan waktu 25 tahun. Namun Jepang hanya memerlukan waktu “sangat singkat” untuk mengubah mental para generasi muda tentang sepak bola. Melalui penerbitan komik manga Captain Tsubasa yang untuk pertama kalinya terbit pada tahun 1994, pemerintah Jepang betul-betul melakukan revolusi mental. Hanya butuh waktu sewindu -terhitung dari pertama kali buku komik itu terbit- yakni pada 2002, berbagi bersama Korea Selatan, Jepang membuktikan mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia sekaligus berhasil lolos ke babak kedua.

Pada titik kesadaran itu, kebijakan tentang perbukuan tidak bisa dianggap enteng dan sambil lalu begitu saja. Besar harapan saya, Jokowi memberi kesempatan kepada para stakeholder budaya baca, terutama yang diprakarsai oleh para penulis, penerbit, jurnalis, media massa, perguruan tinggi, dan para pegiat literasi, untuk bertemu dan secara khusus membahas hal-ihwal dunia buku, serta visi dunia penerbitan kita sebagai strategi kebudayaan dan “jalan cepat” menuju perubahan mental tersebut. Dan ini pula yang menjadi harapan para pengelola Taman Bacaan Masyarakat yang terlibat dalam Rembuk Budaya Baca di Yogyakarta pada 11-14 Agustus lalu.

Agus M Irkham,
Pegiat Literasi
KORAN TEMPO, 2 September 2014