Friday, May 30, 2014

Pemimpin


Pemilu merupakan sarana mencari pemimpin. Pemimpin bukan sekadar pengumbar janji. Ia juga bukan yang paling populer di mata media dan tinggi elektabilitasnya di tangan lembaga survei.

Bagi Jim Clemmer (2009), pemimpin harus mampu membuat perbedaan. Itulah semangat utama yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tampil beda dengan gagasan yang kuat akan mengantarkan seseorang menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Seorang pemimpin, bagi pemikir terkemuka Amerika Utara itu, juga harus memiliki keotentikan. Para pemikir yang otentik membangun kepercayaan yang menjembatani celah-celah pemisah antara “kami dan mereka”. Para pemimpin seperti itu memiliki integritas dan konsistensi yang tinggi. Mereka mengembangkan lingkungan yang penuh keterbukaan dan transparansi, yang menampilkan masalah-masalah yang sebenarnya.


Pemimpin, dengan demikian, mampu menyuarakan kata “kita”. Kata kita merupakan wahana membangun ideologi yang bersifat mementingkan kebersamaan, menanggung duka dan suka, saling membantu, menolong, serta mengingatkan. Ke-kita-an harus menjadi ancangan dan sikap seorang pemimpin. Pemimpin hadir bukan untuk “kami dan mereka”, tapi untuk “kita”.

Pemimpin itu berintegritas. Integritas seorang pemimpin dapat dilihat dari sepak terjang (track record) sejak ia masuk di gelanggang politik. Integritas itu terbangun atas usaha dan karya pribadi yang mempribadi. Ia hadir bukan karena polesan dan goresan wartawan. Namun, tulus ikhlas bekerja, berusaha, dan berkarya sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Inilah dalam bahasa Ki Hajar Dewantara yang disebut sebagai ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Lebih lanjut, seorang pemimpin selayaknya mempunyai konsistensi yang tinggi. Konsistensi itu dapat dilihat dari kata dan laku. Apa yang mereka ucapkan merupakan janji suci kehidupan. Kata bukan hanya menggerakkan lidah, tapi juga  mewujud dalam keseharian, sehingga ia tak mudah mengumbar janji. Kata dan laku seorang pemimpin harus selaras, sabda pandita ratu, tan kena wala-wali.


Ketika pemaknaan kepemimpinan menyentuh pada ranah ini, sebuah bangsa akan dipimpin dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mengantarkan pada kemakmuran dan keadilan. Hal itu lantaran seorang pemimpin sadar betul akan eksistensi dirinya. Ia bukanlah pejabat publik yang pantas untuk selalu dihormati dan dipuja-puji. Namun ia adalah pelayan masyarakat yang siap mendengar keluh-kesah dan bergerak cepat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ia selalu bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran bangsanya, bukan kepentingan pribadi dan kroni-kroninya.

Tahta merupakan amanat kepemimpinan. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang bersih dan selalu berjuang (bertekad) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi program utama seorang pemimpin bangsa. Seorang pemimpin bangsa harus mau dan rela meninggalkan (meletakkan) segala atribut yang pernah melekat dalam dirinya ketika menjadi pemimpin (presiden). Tanpa hal itu, akan sulit mewujudkan kepemimpinan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, mari mencermati sosok calon pemimpin bangsa Indonesia dalam hajatan pemilihan presiden 9 Juli. Pilihlah pemimpin yang bisa ngemong (mengasuh) dan menjadi pamong praja (pemimpin peradaban).

Benni Setiawan,
Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
TEMPO.CO, 24 Mei 2014

Friday, May 23, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (9)


Hampir 30 tahun yang lampau, ketika masih seorang taruna. Prabowo menulis kepada seorang sahabat akrabnya tentang perjuangan meraih kekuasaan. “Sebab dengan memperoleh kekuasaan,” tulisnya menjelaskan, “kita dapat berbuat baik.” Bahwa Prabowo itu ambisius, itu bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa nafsu meraih kekuasaan inilah yang mendorongnya masuk militer, menikah dengan putri presiden dan kemudian di bulan Mei 1998 merakit suatu komplotan untuk melawan musuh-musuhnya.

Akan tetapi, mengapa Prabowo menginginkan kekuasaan? Boleh jadi jawabannya adalah ungkapan kisahnya yang paling mengherankan. Mungkin ia adalah seorang pengatur siasat yang tidak sehebat seseorang yang menjawab pertanyaan yang diajukan semua idealis muda kepada diri sendiri: Apakah kita bekerja di dalam atau di luar sistem yang ingin kita ubah? Prabowo menentukan pilihannya dan berpegang pada keputusan itu. Hidupnya sejak itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.

Nama Subianto adalah pemberian kakeknya, Margono Djojohadikoesoemo untuk mengenang pamannya yang gugur dalam perang kemerdekaan.

Kenangan diri Prabowo adalah ketika kakeknya membawanya ziarah ke makam dua orang pamannya yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial. Ia diberi nama pamannya yang lebih tua: Subianto. “Kakek menanamkan ke dalam diri saya nilai-nilai ksatria prajurit dan patriotisme,” katanya.

Prabowo melihat nilai-nilai ini diuji ketika ayahnya seorang ekonom terhormat terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah presiden Indonesia pertama, Soekarno. Sumitro Djojohadikusumo melarikan diri dari Indonesia pada tahun 1958, yang menjadi masa pengasingannya selama 10 tahun. Keluarga itu terus menerus berpindah-pindah yang ujungnya berakhir di Eropa. Di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana halnya juga kekagumannya pada ide-ide Barat.

Soeharto, jenderal muda yang sedang naik daun gara-gara kudeta PKI tahun 1965 yang gagal.

Pada tahun 1965, Indonesia melihat naiknya seorang jenderal muda bernama Soeharto menyusul kudeta komunis yang gagal. Prabowo pada waktu itu sudah diterima di sebuah perguruan tinggi Amerika, ketika ia memohon kepada ayahnya agar diperbolehkan kembali ke Indonesia. Ketika itu, “banyak peristiwa sedang terjadi.

Prabowo pulang ke tanah airnya tahun 1968 dan langsung menceburkan diri ke dalam situasi yang sedang bergejolak. Ketika Soeharto menggantikan Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa: Apakah mereka bekerja sama dengan rezim militer yang sedang muncul ataukah tetap di luar sambil berusaha mengawasinya? Banyak di antara tokoh-tokoh politik dan bisnis yang menjadi makmur selama pemerintahan Soeharto, karena memilih kerja sama. Namun sebagian besar teman-temannya tetap memilih tinggal di luar.

Tetapi keterpesonaan Prabowo pada militer yang ditanamkan oleh kakeknya sangat mendalam dalam dirinya. “Saya katakan kepada teman-teman, bahwa saya sedang memikirkan untuk masuk jadi militer,” kata Prabowo mengenang. “Mereka menengok kepada saya: Anda serius? Saya jelaskan: Militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita harus berada di dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada suatu hari kita akan berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri kita.” Beberapa teman bersikap mendukung, dan sebagian lainnya tidak. “Salah seorang di antara mereka berkata: Prabowo nanti Anda akan diindoktrinasi. Anda akan menjadi seorang fasis. Kata saya: Tidak, kita harus melakukan modernisasi dari dalam. Kita harus melaksanakan reformasi dari dalam.

Karena menjadi menantu Soeharto, Presiden Orde Baru yang sedang berkuasa, maka karier militer Prabowo melesat bak meteor di langit malam.

Pada tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akademi Militer. Kehidupan di sana jauh berbeda dibanding kenyamanan yang telah dikenalnya. Ia merasa bawa para seniornya berlaku lebih keras kepadanya dan kepada anak-anak elite lainya. Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya mengatakan kepadanya ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau, namun ia menolak. Kata Prabowo: “Tidak, saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun yang terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.

Keputusan itu ternyata mempunyai konsekuensi penting. Angkatan Darat mempertemukannya dengan keluarga presiden. Komandannya dalam pasukan khusus pada awal-awal tahun 1980, adalah ipar Soeharto. Minat keluarga presiden tergugah oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu dan lantas ia dijodohkan dengan putri kedua Soeharto, Siti Hediati Harijadi yang biasa dipanggil Titiek. Pasangan itu menikah pada tanggal 8 Mei 1983.


Prabowo tak dapat mengatakan dengan tepat kapan bisik-bisik mulai terdengar setelah itu, tetapi ia tahu isinya. Bahwa ia adalah kesayangan Soeharto. Bahwa perjalanan kariernya telah dibuat lancar melalui promosi. Bahwa ia mendapat perintah-perintah langsung dari presiden dengan melampaui lapisan-lapisan perwira yang lebih senior. Bahwa ia menikmati kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Soeharto maupun bisnis keluarganya sendiri. Prabowo berpendapat bahwa ketidaksenangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungannya. Melainkan karena –menantu atau bukan– ia sedang menjalankan suatu visi kemiliteran yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh pimpinannya. “Saya menghendaki kualitas tinggi. Saya menghendaki profesionalisme. Saya menghendaki disiplin,” katanya. “Tetapi banyak di antara jenderal yang masa bodoh. Mereka mengatakan saya datang dari keluarga kaya. Tetapi kenyataannya mereka lebih feodal.


Sebagai pemimpin latihan Kopassus, Prabowo merasionalisasi latihan-latihan, membersihkan manajemennya dan bahkan perwira-perwiranya dilarang bermain golf, yang merupakan permainan yang digemari para jenderal saat itu. Pada tahun 1995 ia menjadi wakil komandan Kopassus, dan pada tahun berikutnya ia dinaikkan menjadi komandan.

Sejak itu, Kopassus dengan cepat mencapai reputasi sebagai salah satu cabang militer yang terlatih paling baik dan punya dana terbaik. Prabowo mengakui bahwa ia memperoleh uang dari kontak-kontak bisnis di luar militer. “Bukan saya saja yang melakukan begitu,” katanya membantah. “Banyak perwira melakukannya. Saya terpaksa melakukan begitu. Budget kami tidak pernah cukup.

"Saya sudah telanjur sebagai seorang samurai. Seorang samurai tak akan meninggalkan yang dipertuannya," kata Prabowo.

Prabowo juga menyarankan –dengan hati-hati– agar keluarga presiden merangkul perubahan. Selama bertahun-tahun, ia mencoba memperingatkan ketidaksenangan publik yang semakin besar terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter dan korup, terutama di kalangan ipar-iparnya. Istrinya pun ikut-ikutan mengembangkan kepentingan-kepentingan usahanya. Kata Prabowo, ia berusaha mencegah istrinya tetapi percuma. “Lambat laun saya menjadi dongkol,” katanya. “Ia (Soeharto) terlalu percaya diri. Menurut pendapatnya tidak diperlukan perbaikan pada sistem pemerintahan.” Jadi disamping perselisihan-perselisihannya dengan jenderal-jenderal Soeharto, Prabowo juga meningkatkan ketegangannya dengan anak-anak Soeharto. Katanya: “Pada akhirnya saya sadar bahwa semua senyuman mereka hanyalah kedok semata. Mereka mengatakan sesuatu kepada saya dan melakukan yang lain di belakang saya.


Namun Prabowo tetap loyal pada Soeharto. “Saya sudah telanjur sebagai seorang samurai,” katanya. “Seorang samurai tidak akan meninggalkan yang dipertuannya.” Kesetiaan Prabowo boleh jadi menjadi kunci mengapa Soeharto mentolerir dia. Selama Prabowo tetap loyal, semua tingkahnya, obsesinya, ide-idenya untuk mengadakan reformasi, kecaman-kecamannya, kedekatannya dengan lawan-lawan Orde Baru, justru akan dapat dijadikan aset. “Ada satu hal mengenai Pak Harto,” kata purnawirawan jenderal Hasnan Habib, “ia mengenali orang melalui intuisinya.

Pergesekan-pergesekannya yang terus-menerus dengan atasannya barangkali mempercepat kejatuhannya. Mantan juru bicara TNI Mayjen Sudrajat teringat ketika ia bermalam-malam hingga larut berdiskusi tentang reformasi militer dengan Prabowo. “Ide-idenya sangat cemerlang,” kenang Sudrajat. “Tetapi ia terlalu kurang sabar. Ia tak mau menunggu hingga sistem itu sendirilah yang mengadakan reformasi. Ia mengadakan jalan-jalan pintas yang menyinggung perasaan atasan-atasannya.” Prabowo mengakui kesalahannya: “Waktu itu saya berpikir, hasil-hasil reformasi itu pada akhirnya akan meluas. Saya tidak banyak memikirkan bagaimana harusnya menyenangkan hati orang. Saya pikir, reputasi saya, performa saya sudah cukup.


Prabowo dengan naifnya mengira bahwa memenangi permainan politik hanyalah soal keunggulan dirinya sendiri. Ketulus-ikhlasan yang keras kepala ini menopangnya dalam kenaikannya dan perjuangan-perjuangannya dalam lingkungan sistemnya Soeharto dan memberinya kharisma. Tetapi itu jugalah yang membuatnya mudah dimanipulasi dan berkhayal. Pada akhirnya, ia yakin bahwa Orde Baru yang otoriter itu perlu dipertahankan. Barangkali pada waktu itu ia tidak punya pilihan lain lagi. Sebagai jenderal dan menantunya Soeharto, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Orde Baru itu. Sang idealis yang berencana mencapai puncak, kini telah terperosok terlalu dalam.

Saya tetap berharap agar Soeharto boleh jadi pada akhirnya akan mengadakan reformasi atau menyerahkan kendali kepada seseorang yang mau melakukannya,” katanya. Itulah senantiasa harapan saya: reformasi dari dalam, reformasi dari atas. Tetapi ketika sistemnya menjadi begitu tersumbat, itu semua tidak dapat dilakukan. “Mungkin itulah salah satu dari antara kegagalan-kegagalan saya, yang pada waktu itu tidak dapat saya lihat.

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Tuesday, May 20, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (8)

Prabowo bersama kawan-kawannya para pejuang Pro-Integrasi di Timor Timur.

Reputasi Prabowo begitu rupa, sehingga setelah pemungutan suara di Timor Timur untuk kemerdekaan di bulan Agustus tahun 1999 lalu, tersebar laporan-laporan yang mengatakan bahwa ia terlibat dalam perusakan yang terjadi kemudian –setahun lebih setelah ia dipecat. Baru-baru ini sebuah surat kabar Inggris bahkan berspekulasi bahwa pasukan-pasukan penjaga perdamaian Jordania yang disebarkan di wilayah itu bisa digunakan pula oleh mantan jenderal tersebut untuk menimbulkan kerusuhan. Karena Prabowo pada tahun 2000 tinggal di Jordania dan ia adalah sahabat Raja Abdullah.

Tanggapan Prabowo terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu: “Saya kira itu banyak yang disimpangkan.” Ia tidak membantah bahwa ia mendukung integrasi Timor Timur dengan Indonesia dan mendukung orang-orang Timor Timur yang berjuang untuk itu. “Saya kira waktu itu kita punya tujuan yang baik yang perlu didukung,” katanya. “Orang Portugis berada di sana selama 500 tahun, mereka meninggalkan kekacauan. Bagi kami, Fretilin adalah Marxist-Leninist, musuh ideologi. Kami harus membantu orang-orang Timor Timur yang pro-Indonesia karena banyak pula di antara mereka (orang-orang Timor Timur lainnya) yang menentang pro-Indonesia.” Penduduk setempat yang pro-Jakarta membantu kesatuan-kesatuan Prabowo. Katanya, mereka tidak dibayar banyak, tetapi ia melihat mereka sebagai pejuang-pejuang integrasi yang paling mengabdi (loyal). Namun orang-orang Timor Timur yang pro-kemerdekaan tentu saja melihat mereka sebaliknya.

Tetapi keyakinan Prabowo terhadap integrasi tidaklah berarti bahwa ia akan melakukan apa saja untuk mencapainya. “Saya selalu menentang penganiayaan terhadap tawanan,” katanya. “Saya selalu menentang penyiksaan. Saya punya filasafat: tentara rakyat. Kami harus menjaga supaya rakyat berada di pihak kami. Bagaimana itu bisa terwujud kalau mereka dianiaya?

Selama pergiliran dinas (tour of duty), Prabowo bertugas sebanyak 4 kali di Timor Timur.

Prabowo bertugas empat kali di Timor Timur. Ia tiba di sana untuk pergiliran dinas (tour of duty), yang pertama pada bulan Maret 1976, kira-kira tiga bulan setelah wilayah itu ditinggalkan Portugal dan kemudian diserbu Indonesia. “Kami adalah semacam satuan gempur,” katanya mengenang. “Kami keluar kota Dili selama dua-tiga minggu untuk tugas patroli jarak jauh. Pada suatu kali kami dikepung ratusan gerilya, pada waktu itu kami belum punya banyak helikopter dan cuaca tidak begitu baik. Saya ingat waktu itu saya berharap: ‘Hei, kalau saya tertembak, mudah-mudahan di pagi hari.’ Sebab kalau tertembak setelah pukul dua siang, tidak ada lagi helikopter yang bisa datang menolong.

Di tahun 1978, ia kembali ke Timor Timur sebagai komandan Kompi 112, dengan nama sandi Nanggala 28. Prestasi pentingnya adalah penembakan Presiden Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato, karena itulah Prabowo mendapat kenaikan pangkat. Lima tahun kemudian ia memimpin sebuah task force (satuan tugas) anti gerilya. Akhirnya Prabowo ditempatkan di Timor Timur dari tahun 1988 hingga 1989, sebagai komandan Batalyon 328 Lintas Udara Kostrad.

Kecurigaan-kecurigaan bahwa pasukan Indonesia melakukan kekejaman di Timor Timur sudah tersebar, dan sebuah laporan yang belum lama ini dikeluarkan Komnas HAM melibatkan beberapa perwira tinggi, termasuk mantan panglima ABRI, Jenderal Wiranto, dalam kekerasan yang meletus setelah referendum tahun 1999 lalu. Selama dua dekade menyusul invasi Indonesia tahun 1975, pihak militer menerapkan sikap keras terhadap wilayah itu. Korupsi, disiplin buruk, perlakuan kejam, tampaknya sudah merebak di kalangan perwira dan pasukan yang ditempatkan di Timor Timur.


Pertanyaannya ialah: Berapa jauh Prabowo terlibat dalam semua ini? Untuk memperoleh rincian tentang apa yang dikatakan sebagai “perlakuan kejamnya Prabowo”, Asiaweek menghubungi empat LSM terpisah yang memantau kekejaman militer. Mereka adalah: Tapol di London; Solidamor di Jakarta; Yayasan HAK, yang berdomisili di Dili, dan ETAN yang berada di New York. Kepada mereka dimintakan laporan saksi mata, transkrip komunikasi yang tertangkap, dokumen-dokumen yang dibocorkan atau apa saja yang memperkuat cerita-cerita tentang perlakuan tersebut.

Namun ternyata tidak ada satu pun yang dapat memberikannya. Sumber Tapol mengakui, “Saya kira kami sebenarnya tidak punya senapan berasap (bukti nyata bahwa seseorang bersalah).” Ia dan Tri Agus Siswowiharjo dari Solidamor mengatakan, kantor mereka tidak punya data pasti yang menghubungkan Prabowo dengan perlakuan-perlakukan kejam itu. Seorang sumber bernama Liem, memberi alasan karena Prabowo “tidak pernah menjadi bagian dari struktur resmi.” Levidus Malau dari HAK mengatakan, kelompoknya memang punya beberapa data, tetapi sudah hilang dalam peristiwa penghancuran Dili tahun 1999 yang lalu, ETAN mengarahkan kami untuk menelepon seorang warga Timor Timur, yang pendidikan sekolahnya dibiayai Prabowo. Orang tersebut mengatakan ia tidak bisa membenarkan maupun membantah cerita-cerita itu. Direktur media itu dan outreach ETAN, John Miller, menegaskan: “Reputasi Prabowo adalah berdasarkan kenyataan.

Apa kenyataan itu? Saya meneliti suatu insiden yang menurut laporan, Prabowo terlibat di dalamnya: pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk desa di Cracas, Kabupaten Viqueque, arah tenggara kota Dili. Menurut seorang perwira Kopassus yang meminta namanya tidak disebut, Cracas diratakan dengan tanah tanggal 3 Agustus 1983, sebagai balasan atas terbunuhnya insinyur-insinyur Indonesia oleh Fretilin di desa tersebut. Kesatuan Prabowo, yang salah seorang anggotanya adalah perwira yang tak mau disebutkan namanya tadi, baru tiba di Timor Timur tiga hari setelah peristiwa itu. Kesatuan Prabowo dikirim ke Cracas, mereka menjumpai 30 orang yang selamat yang sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Dikatakannya, Prabowo memberi mereka spanduk merah putih dan sepucuk surat untuk disampaikan kepada komandan wilayah. Kesatuan itu kemudian mengawal kelompok penduduk tersebut sejauh tepi sungai penyeberangan. Perwira itu mengatakan, ia tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu, tetapi informasi yang diperoleh dari tempat lain mengesankan mereka dibunuh oleh kesatuan Indonesia lain.

Prabowo bersama para sahabatnya, masyarakat Timor Timur yang Pro-Integrasi.

Namun banyak hal yang dipercaya menyangkut Prabowo sesungguhnya tidak cocok dengan fakta. Ia telah disangkut-pautkan dengan peristiwa pembunuhan besar-besaran di pemakaman Santa Cruz pada tahun 1991, tetapi ia bahkan tidak berada di wilayah Timor Timur pada saat itu, lagi pula waktu itu ia bertugas di Kostrad, bukan di Koppassus (kelompok pasukan khusus yang menangani soal intelijen dan kontra pemberontakan). September 1999 lalu desas-desus tersebar luas yang mengatakan bahwa Prabowo berada di Timor Barat sebagai penasihat milisi pro-Indonesia padahal ia ada di Malaysia sedang diwawancarai Asiaweek.

Kurangnya bukti yang menguatkan kejahatan yang katanya dilakukan Prabowo tentu saja berarti bahwa ia tidak melakukan tindakan kejam di Timor Timur. Tidak adanya laporan dari hari ke hari yang dapat dibuktikan secara independen mengenai masing-masing pergiliran tugas (tour of duty) Prabowo, dan juga keraguan terhadap catatan mengenai dirinya yang akan tetap ada, demikian juga halnya mengenai perwira mana pun yang bertugas di sana. Begitulah hebatnya keburukan namanya dan citra militer Indonesia di Timor Timur.

Pada waktu terjadi perang di Timor Timur, semua orang yang meninggal berlumuran darah. Tetapi Prabowo, tampaknya telah memasuki konflik yang terjadi di sana –seperti ia melakukan banyak hal– sebagai orang yang idealis. Ia mempunyai konsep-konsep tinggi mengenai perilaku perang dan integrasi yang membuatnya lain dari rekan-rekannya. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak menembak penduduk sipil yang tidak bersenjata sekalipun mereka berkelompok dengan Fretilin bersenjata (suatu kebijaksanaan yang dibenarkan bekas bawahannya). Ia mengatakan gara-gara pendekatannya seperti ini, ia dianggap oleh komandan-komandan lainnya sebagai pengecut. “Banyak perwira Indonesia kurang profesional,” katanya. “Mereka juga memiliki sikap kolonialis yang imperialistis. Mereka memperlakukan Timor Timur sebagai suatu daerah kekuasaan. Saya waktu itu mendesakkan: Tidak, kita harus memenangi hati dan pikiran rakyat. Kalau rakyat tidak bersama kita, kita menghadapi masalah.

Kata Prabowo: "Dalam situasi pemberontakan, harus selalu ada solusi politik. Dan menurut pikiran saya, daerah otonomi khusus adalah ideal."

Di tahun-tahun permulaan 1990, Prabowo membujuk Jakarta agar memberikan otonomi untuk wilayah itu. Hal ini merupakan sebuah fakta yang diperkuat oleh duta besar keliling Indonesia, Francisco Lopez da Cruz dan mantan Menlu Ali Alatas, yang keduanya lama terlibat dalam kebijaksanaan mengenai Timor Timur. Hal itu membuat Prabowo sebagai salah seorang dari penganjur otonomi paling awal. “Dalam situasi pemberontakan, harus selalu ada solusi politik,” kata Prabowo. “Dan menurut pikiran saya, daerah otonomi khusus adalah ideal. Tetapi siapa yang mau mendengarkan seorang letnan dua, seorang letnan satu atau seorang kapten?

Statusnya sebagai menantu Soeharto tidak ada pengaruhnya, sebab orang kuat itu kukuh mengenai soal itu. “Bagi dia (Soeharto), integrasi sudah final,” kata Prabowo yang merasa bahwa pilihan Timor Timur untuk memisahkan diri dari Indonesia –untuk sebagian– membuktikan kebenarannya. “Saya selalu menentang pengekalan peperangan di sana. Pada akhirnya pendirian saya terbukti benar. Beberapa dari mereka yang berada di tingkat atas (elite) punya ide gila yang berfikir alangkah baiknya kalau kita bisa mengekalkan perang itu.

Betapapun jeleknya, Prabowo tetap loyal kepada suatu institusi yang menangani Timor Timur dengan buruk. Paling-paling ia menempatkan dirinya sejauh mungkin di atas keganasan penyalahtanganan itu dan bahkan mencoba menguranginya. Kalau begitu mengapa ia dianggap sebagai personifikasi kekejaman militer Indonesia? Jawabannya barangkali adalah karena dengan memusatkan perhatian kepadanya, jadi mengaburkan jati diri dari banyak orang yang bertanggung jawab atas pemberian perintah dan pelaku kekejaman yang sebenarnya. Begitu pula barangkali desas-desus bahwa ia berada di Timor Barat setelah pemungutan suara bulan Agustus lalu, telah membantu mengalihkan pengamatan mengenai sifat pertalian para milisi dengan Jakarta.

Prabowo di tengah-tengah anak buahnya, para anggota korps baret merah Koppassus.

Memang adalah suatu ironi bila Prabowo merupakan suatu titik tumpuan yang aneh antara mereka yang tidak menghiraukan hak asasi manusia (HAM) dan mereka yang mencoba menegakkannya. Para perwira dan birokrat yang memerintahkan, melakukan atau membantu kekejaman di Timor Timur boleh jadi menghendaki agar konsekuensi tindakan mereka jatuh di kepala orang lain. Bagi aktivis hak asasi dan bagi orang Timor Timur pro-kemerdekaan, cerita-cerita mengenai Prabowo yang sudah tersebar luas, memberikan gambaran yang baik dari dosa-dosa Indonesia di Timor Timur sehingga cerita-cerita itu lebih banyak dilihat dari segi kegunaannya daripada bukti kebenarannya.

Anggota Komnas HAM Saparinah Sadli turut duduk dalam TGPF yang mengusut kerusuhan-kerusuhan Mei 1998 yang konon “melibatkan” Prabowo. Ia mengakui: “Boleh jadi kami sudah dipengaruhi secara tidak sadar. Itu mungkin terjadi.” Ia juga menyatakan bahwa tekanan-tekanan yang sama mungkin juga telah diterapkan pada penyelidikan mengenai amukan yang terjadi di Timor Timur tahun lalu. “Terus terang,” katanya, “sekarang kami cenderung berpikir bahwa entah bagaimana, Wiranto berada di belakangnya.” Apakah memang mantan panglima ABRI itu adalah penjahat yang berada di belakang tragedi Timor Timur? Itu pun mungkin harus menunggu bukti.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Monday, May 19, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (7)

Prabowo, terjepit di antara Soeharto dan Habibie.

Keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan dukungannya yang terang-terangan kepada Habibie boleh jadi menghukumnya di mata publik dan Soeharto. Tetapi loyalitasnya, baik kepada presiden maupun wakil presiden merupakan bukti terkuat untuk menentang tuduhan bahwa ia melancarkan kerusuhan atau kudeta, yang akan membahayakan kedua orang itu. Pertanyaannya barangkali bukanlah mengapa Prabowo berbalik menentang mertuanya dan sahabatnya, melainkan mengapa kedua mereka (Soeharto dan Habibie) berbalik arah menentang dia?

Sebagian sebabnya adalah posisi Prabowo itu sendiri. “Ia mengira dirinya orang dalam, padahal ia adalah seorang outsider sejati,” kata Daniel Lev, ahli sejarah asal Amerika. Pendidikannya di luar negeri memberinya pandangan Barat, yang menyebabkan masalah baginya dalam politik Angkatan Darat dan keluarga Soeharto. Bahkan kredensial Islamnya dianggap kurang oleh para radikalis yang digabunginya. Untuk memuaskan pihak konservatif, ia menginginkan terlalu banyak perubahan, padahal ia sendiri adalah bagian kental dari rezim lama untuk bisa diterima sebagai seorang reformis. Andaikata ia benar-benar merebut kekuasaan, ia mengakui, sebagai menantu Soeharto, ia akan terlibat sebagai pendukung kepentingan-kepentingan suatu rezim. Pendeknya, ia dianggap sangat di luar tempatnya, dan pada akhirnya, tidak sesuai dengan masanya.

Setelah Mei 1998, Wiranto adalah jenderal "pro-reformasi" dan seorang yang "profesional" yang akan "melindungi negerinya dalam melangkah menuju demokrasi."

Faktor lainnya tidak bisa tidak adalah reputasinya, antara yang sebenarnya, yang dibayangkan, atau yang diciptakan orang. Reputasi itu boleh jadi telah membuat beberapa anggota TGPF percaya pada teori tertentu tentang kerusuhan-kerusuhan itu. Reputasi itu bisa jadi telah mengekalkan suatu salah pengertian yang mungkin terjadi di seputar keamanan yang mengelilingi Habibie. Reputasi itu pula yang membuat ia masih dihubungkan dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia, seperti misalnya kerusuhan yang terjadi di Maluku.

Ini semua adalah penjelasan-penjelasan yang gampang. Pertanyaan-pertanyaan lain tentu saja lebih sulit lagi dicari penjelasannya. Setelah bulan Mei, Wiranto diberi label “pro-reformasi”, “profesional”, seorang yang akan “melindungi negerinya dalam melangkah menuju demokrasi.” Pada suatu waktu ia bahkan lebih populer daripada Habibie, dan masih ada harapan untuk dipilih menjadi presiden, meskipun masih mempertunjukkan loyalitasnya kepada Soeharto. Bagaimana mungkin ia bisa menyatukan kedua pertentangan itu?

Pertanyaan-pertanyaan lain: Mengapa Wiranto bersikeras membawa perwira-perwira senior ke Jawa Timur pada tanggal 14 Mei? Siapa yang bertanggung jawab atas “pernyataan” mengenai lengsernya Soeharto? Mengapa ia mengizinkan mahasiswa memasuki gedung MPR/DPR dan membiarkan mereka tinggal di sana sampai Soeharto mengundurkan diri?

Wiranto, Megawati, dan Prabowo.

Prabowo mengakui bahwa versinya tiada lain adalah versinya sendiri. Peristiwa-peristiwa yang sama mungkin saja dilihat berbeda oleh orang lain: Soeharto, Habibie, anak-anak Soeharto, Wiranto. “Saya harus fair,” kata Prabowo mengenai Wiranto. “Ia ingin mengadakan reformasi tetapi ia juga punya ambisi-ambisi politik.” Di matanya sendiri, Prabowo menganggap dirinya adalah orang yang loyal. Namun bagi orang lain, tindakan-tindakannya bisa saja kelihatan sebagai tindakan-tindakan seorang rival yang berbahaya, seorang pengkhianat, dan seorang konspirator.

Saling curiga, kebingungan dan salah pengertian pasti punya peran dalam drama bulan Mei. Masing-masing pemain kunci boleh jadi berpikir bahwa pihak-pihak lain bermaksud mencelakakan dirinya. Jika politik di Indonesia adalah permainan wayang, maka mungkin pemain-pemain itu takut pada bayangannya satu sama lain.

Orang masih bisa mencari alur dan kontra-alur cerita. Tetapi melihat bahwa yang berperan di sini lebih daripada suatu konspirasi, itu sama dengan melepaskan kebenaran yang rumit dari sangkar fiksi yang cocok. Apa pun kenyataan di belakang kerusuhan-kerusuhan itu, cerita-cerita yang muncul terbukti sangat berguna.

Jaksa Agung Marzuki Darusman: "Seharusnya jangan hanya dia seorang (Prabowo) yang disalahkan atas semuanya."

Setelah TGPF,” kata Munir dari Kontras, menjelaskan, “siapa yang muncul adalah Wiranto. Bahwa Wiranto adalah seseorang yang tak bisa dinyatakan bertanggung jawab.” Inilah kemenangan politik Wiranto: memperoleh tiket memasuki suatu rezim baru padahal sebenarnya ia adalah bagian dari rezim lama yang digulingkan. Namun, apakah konsolidasi militer dan keberhasilan politik Wiranto mungkin terjadi tanpa mengakhiri karier Prabowo (sebagai tumbal)?

Bayang-bayang Prabowo telah digambarkan seperti sehelai selimut yang meliputi kerusuhan-kerusuhan, penculikan, perlakuan kejam di berbagai daerah. Orang tidak perlu repot-repot lagi mencari penjelasan-penjelasan. “Seharusnya jangan hanya dia seorang (Prabowo) yang disalahkan atas semuanya,” kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada Asiaweek. “Itu jalan keluar yang gampang.

Tetapi itulah rute yang telah diambil. Dengan adanya kambing hitam, tidak ada orang yang perlu menjelaskan mengapa seseorang dianiaya, dan bagaimana karier seseorang menjadi terhambat. Tidak ada orang yang perlu mengungkapkan nasib dari orang-orang yang masih hilang. Tidak ada orang yang perlu mengaku bertanggung jawab. Selama cukup banyak orang yang percaya bahwa kesusahan semua orang ini akan sirna jika ada orang lain –seseorang, atau suatu komunitas– yang dapat disalahkan dan kemudian dilenyapkan.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Sunday, May 18, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (6)


Pada tanggal 30 Juni 1998, dalam suatu pertemuan dengan pimpinan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Habibie bercerita bagaimana Prabowo telah mengancamnya. Menurut anggota DDII, Hartono Mardjono, Habibie mengatakan telah mendapat laporan dari asisten militernya, Sintong Panjaitan bahwa kediaman Habibie telah dikepung oleh pasukan-pasukan Kostrad dan Kopassus. Sintong, kata presiden telah menyelamatkan keluarga presiden dengan menerbangkan mereka ke Istana. Kata Hartono Mardjono, pada saat itu juga ia membantah cerita Habibie. Katanya, tak mungkin Prabowo mengancam Habibie, sebab, pada hari menjelang mundurnya Soeharto, Prabowo mendesak semua orang yang dikenalnya supaya mendukung Habibie. Tetapi pendapatnya itu, kata Hartono, “dilewatkan begitu saja oleh Habibie.

Habibie mengisahkan cerita yang sama kepada Sunday Times London.Rumah saya dikepung oleh dua kelompok pasukan,” katanya dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada tanggal 8 November 1998. “Satu kelompok adalah pasukan biasa, yang bertanggung jawab kepada Wiranto, yang memerintahkan diadakannya lingkaran penjagaan untuk melindungi saya, dan kelompok yang satu lagi adalah pasukan Kostrad, yang bertanggung jawab kepada Prabowo.” Pada tanggal 15 Februari 1999, Habibie mengatakan di depan suatu pertemuan wartawan-wartawan Asia dan Jerman di Jakarta. “Pasukan-pasukan di bawah komando seseorang yang namanya tidak akan saya sembunyikan, Jenderal Prabowo, dipusatkan di berbagai tempat, termasuk tempat saya.” Pada waktu itu, katanya Wiranto telah melaporkan situasi kepadanya dan telah melindunginya.


Masalah utama dari semua versi cerita Habibie tersebut ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14 Mei, panglima ABRI itu, telah mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara tertulis pada tanggal 17 Mei kepada komandan-komandan senior, termasuk Sjafrie, Pangdam Jaya pada waktu itu.

Dalam kesaksiannya di depan DPR pada tanggal 23 Februari 1999, Wiranto dengan terus terang mengatakan: “Tidak ada percobaan kudeta.” Ketika minta tanggapan Habibie terhadap pernyataan-pernyataan Prabowo, asistennya, Dewi Fortuna Anwar menjawab untuk Habibie, “bahwa, Pak Habibie tidak perlu membuat bantahan langsung terhadap tuntutan-tuntutan Prabowo.” Dewi Fortuna Anwar menganjurkan agar saya bicara kepada beberapa orang, termasuk Sintong Panjaitan, yang kesemuanya hadir di istana pada tanggal 22 Mei.

Prabowo yakin ia bisa saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu. Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan memecat saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara, setia kepada republik.

Letjen Prabowo Subianto dengan salah seorang karibnya, Mayjen Muchdi Purwoprandjono.

Penculikan-penculikan
ABRI selalu menganggap bahwa Prabowo telah menyalahtafsirkan perintah mengenai penculikan para aktivis di bulan-bulan awal reformasi tahun 1998. Di depan DKP (Dewan Kehormatan Perwira), Prabowo mengakui “kesalahannya”, tetapi sekarang ia juga bersikeras bahwa ia mengikuti perintah-perintah yang juga diketahui rekan-rekannya. Namun atasan-atasan Prabowo, mantan Pangab Feisal Tanjung dan penggantinya Wiranto, terus-menerus menyangkal bahwa perintah itu berasal dari mereka atau dari panglima tertinggi, Soeharto.

Berkata Prabowo, bahwa ia tidak pernah diberitahu secara langsung keputusan DKP. “Saya mendengarnya lewat radio,” katanya. “Orang-orang ini tidak punya nyali menghadapi saya.” Ia masih tetap keberatan. “Saya ingin mengatakan begini,” kata Prabowo tegas. “Semua yang saya lakukan, saya melakukannya atas sepengetahuan atasan-atasan saya, dengan persetujuan mereka dan berdasarkan perintah mereka. Mungkin saja tidak semua perintah itu menurut garis rantai komando, sebab atasan-atasan saya suka bekerja melompat melalui beberapa tingkat. Tetapi saya mengatakan ini tanpa ragu-ragu.

Tujuan operasi itu, katanya, adalah untuk menghentikan pengeboman. “Kami ingin mencegah kampanye teror,” katanya. Sebagian besar yang ditahan, katanya, sudah ada namanya dalam daftar orang-orang yang dicari polisi (DPO). Tetapi, katanya “melihat ke belakang, saya memang berlaku kurang hati-hati.” Ia tidak pernah mengunjungi sel-sel para aktivis yang diculik itu, dan percaya saja pada laporan-laporan dari orang-orang yang ditugaskan untuk operasi itu. Namun dikatakannya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan.

Mahasiswa dan massa rakyat yang turun ke jalan-jalan sepanjang bulan Mei 1998, nampak sangat akrab dengan para anggota militer (ABRI).

Aktivis Pius Lustrilanang mengatakan, bahwa ketika berada dalam kurungan, dua orang tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa mereka memang berencana memasang bom. Anggota PRD, Feisol Reza, salah seorang yang diculik, membantah keterlibatan partainya. “Isu bom itu dibuat-buat oleh militer,” katanya. “Kami hanya korban.” Akan tetapi, Pius Lustrilanang mengemukakan bahwa tujuan penculikan bukan hanya pencegahan bom. Menurutnya, ia dan yang lain-lain ditahan untuk mencegah demonstrasi-demonstrasi yang dikhawatirkan dapat melumpuhkan sidang MPR pada bulan Maret 1998.

Prabowo mengatakan, bahwa operasi itu adalah operasi tunggal. “Saya punya kecurigaan,” katanya, “tetapi pada akhirnya itu tetap tanggung jawab saya.” Menurut Kontras, setidak-tidaknya masih ada 12 orang aktivis yang hilang. Kata Pius Lustrilanang, setidak-tidaknya ada tiga orang yang ditahan bersamanya. Prabowo menunjukkan keterkejutannya atas pengungkapan itu dan mengatakan ia tidak tahu mengenai nasib mereka yang masih hilang. Dan hingga kini, ia tetap tidak mau membukakan identitas sumber perintah yang diterimanya.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Saturday, May 17, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (5)

Prabowo: "Saya dekat kepada Habibie."

Sekarang Habibie sudah menjadi Presiden. Pukul 16.00 (4 sore) tanggal 21 Mei, Prabowo menjumpai sahabatnya itu untuk menyampaikan ucapan selamat. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo, yang minta diberi kesempatan bertemu pada malam harinya.

Larut malam, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani oleh komandan Kopassus, Muchdi. Oleh karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi Menhan, Prabowo menganjurkan agar Kasad Subagyo dijadikan Panglima ABRI guna mencegah agar tak terlalu banyak kekuasaan di satu tangan. Langkah itu juga akan membuat Prabowo menjadi calon terbaik menggantikan Subagyo. “Ya, saya mencoba mempengaruhi Habibie,” kata Prabowo mengakui. “Saya dekat kepadanya!” Kapan pun, kata Prabowo, ia tidak pernah mengancam presiden yang baru itu. Setelah itu ia kembali ke Makostrad.

Keesokan harinya, 22 Mei, setelah shalat Jumat, telepon Prabowo berdering. Mabes Angkatan Darat meminta bendera Kostrad. Prabowo mengenang, “Mereka minta bendera saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya.” Ia bergegas kembali ke Makostrad. “Saya ingat Habibie pernah mengatakan: ‘Prabowo, bilamana saja Anda dalam keraguan, datanglah kepada saya kapan saja dan jangan pikirkan soal protokol.’ Saya telah mengenal orang ini selama bertahun-tahun. Saya merasa, baiklah, saya akan mencari Habibie. Ia ada di Istana. Jadi, saya pergi ke sana.

"Mereka minta bendera saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya," kata Prabowo.

Ia tiba siang menjelang sore, dengan sebuah iring-iringan terdiri dari tiga mobil Land Rover yang mengangkut staf dan pengawal. “Kami masuk,” kata Prabowo. “Keadaannya sangat tegang. Pengawal kepresidenan menengok kepada saya dengan wajah-wajah aneh. Saya kira waktu itu saya dilaporkan mau menyerang atau apa. Saya menjumpai perwira ajudan dan mengatakan: ‘Saya perlu bertemu dengan Pak Habibie. Saya hanya perlu 10 menit.’ Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Ini sangat penting buat saya.

Sebelum memasuki kantor Habibie, kata Prabowo, ia melepaskan pistolnya; “Sebab ini adalah prosedur. Bilamana datang menjumpai perwira senior, kita harus melepas semua senjata. Saya tidak dilucuti!” Kemudian ia melangkah masuk ke kantor presiden. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo. “Saya katakan: Pak, apa Bapak tahu bahwa saya akan diganti hari ini? Ya ... ya ... ya ..., katanya. Mertuamu minta pada saya untuk menggantimu. Itu yang terbaik. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, saya akan mengangkatmu sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat. Itulah yang dikatakannya,” kata Prabowo, ia terpaku. “Ya Tuhanku, apa ini?

Ia mengenang pikirannya waktu itu. “Dalam pikiran saya, Habibie pada waktu itu masih suka pada saya, tetapi rupanya ia sedang dikelabui orang. Saya pergi ke Subagyo, ketika saya masuk, saya berpapasan dengan beberapa jenderal pendukung saya. Pesan mereka: Ayo, kita bikin konfrontasi. Kata saya: Tenang saja. Saya berjumpa dengan Muchdi di sana. Kata kami: Kami rela minggir, tetapi berilah sedikit waktu, supaya pertukaran komando ini kelihatan sebagai sesuatu yang normal. Saya kira Subagyo kemudian pergi menjumpai Wiranto. Dan Wiranto berkata: Tidak, harus hari ini!

Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto.

Sang ‘Mastermind
Sudah dihalau oleh para iparnya, dicampakkan oleh sekutunya dan dipecat oleh rivalnya, namun yang terburuk belum menimpa Prabowo. Dalam bulan-bulan berikutnya, perwira-perwira yang dianggap dekat dengan dia, kemudian dipindahkan atau dicopot dari tugas aktif. Pada tanggal 25 Juni, Wiranto melepaskan Sjafrie dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya, yang merupakan awal dari pergantian yang mencakup luas. Berdasarkan temuan dari DKP (Dewan Kehormatan Perwira), komandan Kopassus Muchdi dan seorang kolonel dibebastugaskan.

Tambahan pula desas-desus yang tak kunjung bisa dihentikan bahwa Prabowo dan sekutu-sekutunya telah memicu kerusahan-kerusuhan pada bulan Mei. Selanjutnya pada tanggal 23 Juli, Habibie membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang beranggotakan 18 orang untuk menemukan “otak perencana” (mastermind) di belakang kerusuhan-kerusuhan di enam kota besar, termasuk Jakarta. Dan setelah tiga bulan bekerja, TGPF menyimpulkan bahwa penculikan-penculikan, krisis ekonomi, sidang MPR, demonstrasi-demonstrasi dan penembakan di Trisakti semuanya bertalian erat satu sama lain dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi.

Yang pertama dari sembilan rekomendasinya adalah agar pemerintah menyelidiki pertemuan tanggal 14 Mei di Makostrad, “untuk mengetahui peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak lain dalam proses yang menuju terjadinya kerusuhan.” Laporan itu tidak menyebut Prabowo sebagai dalang kerusuhan dalam ringkasan yang diumumkan kepada media. Tetapi laporan itu mengacu kepadanya, yakni mengacu kepada pertemuan 14 Mei dan penculikan-penculikan, sejumlah 11 kali acuan. Itu lebih banyak daripada kepada Sjafrie, yang mendapat 4 acuan, atau Wiranto yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menhan dan Panglima ABRI. Nama Wiranto hanya disebut satu kali dalam konteks turut menandatangani dekrit dan melahirkan TGPF.

Reuni para jenderal: Prabowo, Subagyo, Agum Gumelar, Hendro Priyono, dan Sintong Panjaitan.

Prabowo mengecam insinuasi-insinuasi laporan itu. “Apa motivasi yang mendorong kami untuk menghasut kerusuhan-kerusuhan?” tanyanya. “Kepentingan kami adalah pemerintah selamat. Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Andaikata Pak Harto terus memerintah tiga tahun lagi, mungkin saya menjadi jenderal bintang empat. Mengapa saya harus membakar ibukota? Itu bertentangan dengan kepentingan pribadi saya, apalagi prinsip-prinsip saya.” Ia menyalahkan logika laporan itu. “Bagaimana saya bisa mengadakan pertemuan pada tanggal 14?” katanya. “Kerusuhan-kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan mereka yang menemui saya itu adalah orang-orang yang disebut sebagai lawan-lawan Orde Baru.

Ia membantah kesan bahwa ia anti-Cina. Dikatakannya, bahwa seperti halnya banyak orang Indonesia, ia berpendapat bahwa tidaklah sehat bila suatu minoritas menguasai sebagian besar ekonomi. “Para usahawan Cina mengira saya ingin menggusur mereka. Padahal model saya adalah New Economic Policy-nya Malaysia.” Bukankah itu berarti bahwa ia tidak akan mengobarkan kerusuhan untuk memberikan pelajaran kepada etnis Cina? “Katakanlah bahwa Anda tidak percaya bahwa saya punya rasa kemanusiaan,” katanya membantah. “Kalau kami memusnahkan orang Cina, ekonomi kami pun akan turut musnah. Sama saja dengan bunuh diri sendiri …. Kalaulah saya yang mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut? Beban pembuktian kan ada di pihak penuduh?!

Kalaulah saya yang mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut? (Prabowo Subianto)

Untuk mencari bukti itu, koresponden Asiaweek di Jakarta, Jose Manuel Tessoro, kembali ke hasil kerja TGPF. Ia menelaah copy laporan lengkap yang terdiri dari enam jilid, karena hanya jilid satu, yang merupakan ringkasan eksekutif yang diberikan kepada pers. Empat dari kelima jilid selebihnya berisikan laporan korban dan kerusakan, keterangan-keterangan saksi mata mengenai kerusuhan dan perkosaan, serta usaha mendeteksi adanya pola-pola. Satu jilid lainnya berisi transkrip wawancara kepada perwira-perwira militer yang bertugas ketika terjadi kerusuhan. Sebagai tambahan, saya bicara dengan sembilan dari 18 anggota TGPF, demikian juga dengan pengamat Politik Hermawan Sulistyo yang mengepalai tim terpisah yang terdiri dari 12 orang yang melakukan banyak kerja mondar-mandir untuk mengumpulkan data.

Apakah kerusuhan-kerusuhan itu diorganisir? Banyak diantara yang melapor kepada tim berpendapat demikian, akan tetapi dalam keenam jilid laporan itu tidak ada bukti yang mendukung keterangan para saksi mata, apalagi yang menunjuk kepada seseorang yang berada di belakang kerusuhan itu. Sifat kerusuhan itu masih perlu dipertanyakan. Tinggallah sekarang pertemuan tanggal 14 Mei. Namun ketika saya bicara dengan tiga dari mereka yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk anggota TGPF Bambang Widjojanto, semua membantah adanya hubungan antara mereka dengan kerusuhan, sebagaimana halnya juga dikatakan oleh sejumlah peserta pertemuan dalam sebuah konferensi pers sehari setelah laporan TGPF diumumkan. Gambaran yang mereka lukiskan ternyata cocok dengan keterangan Prabowo.

Kalau begitu apakah Pangkostrad membiarkan kerusuhan-kerusuhan merebak sehingga tidak dapat dikendalikan? Ini tentu sulit untuk dilakukan, karena ia sama sekali tidak punya wewenang. Berdasarkan prosedur baku, polisi ibukota-lah yang menangani keamanan. Komando akan beralih kepada Pangdam Jaya bila polisi tidak mampu menjaga hukum dan ketertiban, sebagaimana fakta yang ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya, Mayjen Polisi Hamami Nata kepada TGPF pada tanggal 28 Agustus 1998 dan diperkuat oleh Sjafrie. Mantan Pangdam Jaya itu memastikan waktu peralihan komando: sekitar tengah hari tanggal 14 Mei 1998. Kaum perusuh sudah mulai menyerang pos-pos polisi, maka polisi ditarik mundur demi keselamatan mereka. Dari tanggal 14 dan seterusnya, Sjafrie memegang kendali: dan menjelang tanggal 15, sebagian besar kerusuhan sudah dipadamkan. Sjafrie membantah keras bahwa Prabowo punya kendali atas dirinya. “Prabowo tidak pernah mempengaruhi saya,” kata Sjafrie. “Dia adalah sahabat saya, tetapi saya punya prinsip-prinsip tugas saya.” Pada waktu itu, sesungguhnya, perwira atasan Sjafrie adalah Wiranto.


Pengumuman laporan TGPF diundurkan ke tanggal 3 November karena adanya pertikaian mendalam di kalangan tim. “Situasinya sangat politis,” kata anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana mengakui. “Pendapat-pendapat (opini) sudah lebih dulu terbentuk. Maka dalam proses pengumpulan fakta, sulit membedakan dengan tajam antara fakta dan pendapat.” Debat-debat jadi macet dalam perpecahan antara anggota sipil dan militer, antara mereka yang ingin membatasi temuan-temuan pada bukti-bukti yang dapat diterima berdasarkan hukum dan mereka yang ingin melukiskan apa yang mereka sebut “fakta sosial”. Suatu hal yang menjadi pertentangan yang eksplosif adalah: jumlah korban perkosaan.

Hermawan Sulistyo mengatakan dari 109 kasus yang dilaporkan, timnya hanya mampu mengecek kebenaran dari 14 kasus. Tetapi beberapa orang yang duduk dalam tim gabungan itu –yang telah menjumpai sendiri perkosaan yang dilaporkan– merasa bahwa angka itu harusnya lebih tinggi. Angka hitungan yang muncul dalam laporan terakhir adalah 66 perkosaan yang sudah dicek kebenarannya, plus 19 korban pelecehan seksual dan kekerasan.

Hermawan Sulistyo, Munir (Alm.), Nursyahbani Katjasungkana, dan Bambang Widjojanto.

Transkrip kesaksian yang disampaikan oleh Prabowo dan Sjafrie ke TGPF mengenai kegiatan-kegiatan mereka antara tanggal 12 dan 14 Mei tidak berisi informasi yang berbeda dari apa yang mereka katakan kepada saya hampir 20 bulan kemudian. Hampir semua anggota TGPF yang saya temui menyangkal adanya usaha pihak luar untuk mempengaruhi penyelidikan itu. Beberapa di antara mereka mengatakan tidak dipengaruhi prasangka mereka sendiri atau rumor yang menghubungkan Prabowo dengan kerusuhan-kerusuhan itu.

Kendati demikian pada tanggal 12 Oktober 1998, TGPF memanggil Kasad Subagyo semata-mata dalam kapasitas sebagai ketua DKP yang menyelidiki Prabowo. Dalam transkrip, para anggota yang menanyai Subagyo pada waktu itu mencari hubungan antara hilangnya empat pemuda dalam puncak kerusuhan dan penculikan para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo, setidak-tidaknya dalam catatan itu, tidak dapat memberikan hubungan itu. Dalam laporan terakhir, masih saja ditarik garis pemisah antara penculikan-penculikan pra bulan Mei yang dilakukan Prabowo dan terjadinya kerusuhan.

Bahkan Munir dari Kontras tidak melihat hubungan itu. “Di bulan Mei, saya melihat gerakan di kalangan elite untuk mendorong situasi politik ke arah perubahan,” katanya. “Ini beda dengan penculikan, yang merupakan suatu konspirasi mempertahankan sistem yang ada.” Seorang anggota TGPF, I Made Gelgel, sekarang mengakui adanya masalah penafsiran ini. “Tidak masuk akal,” katanya, “bahwa di satu pihak Prabowo akan membentengi kekuasaan mertuanya, dan di pihak lain menggerakkan kerusuhan-kerusuhan.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Thursday, May 15, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (4)

Demonstrasi besar masyarakat Yogyakarta di alun-alun kraton yang menuntut reformasi Indonesia dan agar Presiden Soeharto segera turun.

Gejolak seruan yang menuntut perubahan dengan cepat menjadi arus yang deras. Fraksi-fraksi partai yang berkuasa, para mantan jenderal, semua mulai menuntut pengunduran diri presiden. Pada tanggal 15, pimpinan NU menyampaikan pernyataan yang terdiri dari lima pokok. Salah satu pokoknya menggaris bawahi rasa hormat mereka terhadap sikap Soeharto di Mesir, di mana ia telah mengatakan; “Kalau saya tidak dipercaya lagi, saya akan menjadi pandito.” Tanggapan NU itu adalah suatu cara diplomatis untuk mengatakan bahwa mereka pun berpendapat masa kekuasaannya sudah habis.

Prabowo melewatkan sebagian besar akhir pekan dari tanggal 15 hingga 17 Mei dengan menangani pasukan-pasukannya di Makostrad. Pada Sabtu malam, tanggal 16, ada sebuah pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung pendirian NU. Prabowo langsung menemui Presiden. “Pak, ini berarti militer minta Bapak turun!” Katanya kepada Soeharto.

Presiden menyuruh menantunya itu untuk mengecek ke Subagyo (Kasad). Prabowo mengatakan, bahwa Kasad belum tahu mengenai pendirian ini. Kedua jenderal tersebut kemudian melapor kepada Soeharto. Pagi-pagi tanggal 17 Mei, Mabes ABRI menarik pernyataan itu sebelum telanjur dimuat oleh sebagian besar surat kabar. Menurut Prabowo, pagi itu juga, kemudian Wiranto tiba di Cendana untuk menegaskan bahwa ia pun tidak tahu mengenai pernyataan itu.

Presiden Soeharto yang terjepit diantara Letjen Prabowo Subianto dan Jenderal Wiranto.

Jose Manuel Tessoro (koreponden Asiaweek di Jakarta) memperoleh copy pengumuman pernyataan itu, yang bertanggal 16 Mei. Pengumuman itu tidak memuat tanda tangan, juga tidak menggunakan kop surat ABRI. Untuk menelusuri keberadaannya, Jose Manuel Tessoro menemui Brigjen A. Wahab Mokodongan, Kapuspen ABRI di bulan Mei 1998. Ia membenarkan bahwa pihak militer harus menariknya kembali, tetapi ia menegaskan tidak tahu dari mana asalnya. Sehabis sebuah konferensi pers larut malam, katanya, ia terkejut menemukannya dalam berkas fotokopinya. Ketika ia melaporkannya kepada Wiranto, Pangab itu memerintahkan diadakan penyelidikan. Mokodongan mengatakan pihak intelijen mengecek komputer-komputer yang ada di seluruh kompleks Mabes ABRI yang luas itu. “Tidak ada yang seperti ini,” katanya.

Di lain kesempatan, Jose Manuel Tessoro berbicara dengan tiga orang wartawan Indonesia yang meliput peristiwa-peristiwa 1998. Ada dua orang yang masih ingat bahwa mereka telah menerima pernyataan itu waktu berlangsungnya konferensi pers Mokodongan. Salah seorang bahkan ingat Mokodongan membacakannya. Wartawan lain, seorang wanita, mengatakan bahwa majalahnya menerima fax-nya dari kantor Mokodongan. Dengan demikian sumber asalnya masih tetap tersembunyi. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin sebuah pernyataan yang begitu sensitif bisa muncul tanpa sepengetahuan Mokodongan atau Panglima ABRI?

Amien Rais, lokomotif reformasi yang menuntut diadakannya suksesi kepemimpinan nasional.

Pada tanggal 18 Mei, Prabowo bertemu dengan Amien Rais. Tokoh oposisi itu seingat Prabowo mengatakan kepadanya: “Saya pikir keadaan sekarang ini tidak bisa dipertahankan. Saya kira Anda harus meyakinkan Pak Harto supaya mengundurkan diri.” Tetapi Prabowo sama sekali tidak punya wewenang untuk melakukan itu. Di Cendana, malam itu, katanya, ia berjumpa dengan Wiranto, yang menyampaikan kepadanya bahwa anak-anak Soeharto ingin melawan. “Bagaimana kita bisa?!,” seru Prabowo. Hari itu juga, Amien Rais telah mengeluarkan seruan untuk mengadakan demonstrasi pada tanggal 20 Mei di Monas. Prabowo berupaya keras mencegah protes itu, yang diperkirakan akan menarik ribuan orang, dan bisa mengakibatkan jatuhnya banyak korban.

Berikutnya Prabowo bertemu putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Kata Prabowo, Tutut bertanya kepadanya, apa yang harus mereka lakukan berikutnya. “Saran saya,” katanya, “Anda harus mengganti Wiranto, atau buatlah dekrit darurat.” Soeharto tidak mau melakukan satu pun dari kedua saran itu. Maka saya katakan: “Jalan lain yang mana lagi?” Tutut bertanya kepada Prabowo, “Apa yang akan terjadi kalau ayahnya turun?” Prabowo menjawab: “Berdasarkan konstitusi, Habibie naik jadi Presiden.

Ketua DPR/MPR Harmoko, meminta Presiden Soeharto segera mengundurkan diri.

Seruan langsung agar Soeharto mengundurkan diri datang pada hari yang sama. Pada pukul 15.00 tanggal 18 Mei, sementara gedung MPR/DPR dipenuhi oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi, Ketua MPR Harmoko meminta agar Soeharto mengundurkan diri. Malam harinya, Wiranto, di depan konferensi pers yang dipenuhi wartawan, langsung menyatakan bahwa pernyataan Harmoko adalah “pendapat pribadi”.

Mengenai kehadiran para mahasiswa di gedung MPR/DPR, pada malam sebelumnya, Wiranto telah bertemu dengan suatu kelompok termasuk pimpinan alumni Universitas Indonesia, Hariadi Darmawan. Kelompok ini menegaskan bahwa para mahasiswa berencana bergerak ke MPR dan membahas bagaimana cara terbaik mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan. Ada orang yang menyarankan agar para mahasiswa itu dikawal oleh militer atau diangkut dengan kendaraan. Keesokan paginya, kata Panglima Kodam Jaya, Sjafrie, diinstruksikan oleh dua orang ajudan Wiranto untuk menyiapkan transportasi. Kira-kira pukul 10.00 pagi, katanya, ia juga diberi tahu bahwa pimpinan MPR telah memberikan izin masuk. Mahasiswa menolak sebagian besar kendaraan militer, tetapi selama mereka datang dengan kendaraan, Sjafrie menjamin perjalanan mereka ke gedung MPR tidak akan dihalangi.

Keesokan harinya, tanggal 19 Mei, Prabowo berpartisipasi sepenuhnya dalam usaha mengamankan Monas dari demonstrasi protes yang direncanakan Amien Rais. Malam itu Wiranto bertemu dengan para perwira senior untuk membahas demonstrasi tersebut. “Pertemuan yang dipimpin oleh Wiranto itu mengatakan bahwa perintahnya ialah bagaimana pun demonstrasi itu harus dicegah.” Seingat Prabowo, “Saya bertanya berkali-kali apa maksudnya? Apakah kami menggunakan peluru tajam? Ia tidak mau memberikan jawaban tegas.

Sepanjang malam itu, Amien Rais menerima utusan-utusan untuk membujuknya agar membatalkan demonstrasi. Ia akhirnya mengalah dan demonstrasi yang dikhawatirkan itu dibatalkan. Tetapi pada tanggal 20 Mei, Soeharto dapat dua pukulan. Empat belas dari menteri-menterinya mengundurkan diri dari kabinet. Dan secara berturut-turut orang-orang yang diajaknya membentuk sebuah “Komite Reformasi”, menolak.

Prabowo adalah pendukung Habibie yang paling bersemangat.

Setelah matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie. “Saya katakan kepadanya: Pak, kemungkinan besar, Pak Tua akan turun. Apa Bapak sudah siap? Ia sudah siap. Ya ... ya ... ya. Kata saya: Bapak harus mempersiapkan diri.” Dari rumah Habibie, Prabowo kembali ke Cendana. “Setelah semua aman, saya masuk, masih mengenakan pakaian kamuflase,” katanya. “Saya mengira akan memperoleh pujian, karena telah berhasil mencegah demonstrasi. Tidak ada pembunuhan. Tidak ada korban. Prajurit memegang teguh disiplin. Sjafrie telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan kemudian, bam!

Di ruang dalam, kata Prabowo, keluarga Soeharto sedang duduk bersama Wiranto. Yang pertama keluar adalah Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek), putri bungsu Soeharto. Prabowo ingat: “Mamiek melihat saya dan menudingkan telunjuknya kira-kira beberapa sentimeter dari hidung saya, sambil berkata: Pengkhianat! Dan kemudian: Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi. Jadi, saya keluar. Saya menunggu. Saya ingin masuk. Saya katakan saya perlu penjelasan. Istri saya menangis pula.” Prabowo pulang ke rumahnya. Keesokan paginya, tanggal 21 Mei, pukul 09.05 setelah MPR/DPR dan Kabinet berpaling dari Soeharto, Presiden yang telah 32 tahun berkuasa itu, mengundurkan diri. Pidato pengunduran dirinya yang singkat itu disiarkan ke seluruh Indonesia.

Pidato singkat pengunduran diri Presiden Soeharto, 21 Mei 1998.

Sekalipun mendapat hinaan malam sebelumnya di Cendana, Prabowo tetap saja menghadiri upacara 21 Mei itu, untuk memberikan dukungan moril kepada pengganti Soeharto, yaitu Habibie. Setelah Habibie mengucapkan sumpah, Wiranto melangkah ke depan mengucapkan janjinya, akan melindungai Soeharto dan keluarganya.

Ketika keluarga presiden pulang kembali ke Cendana, Prabowo ikut serta. “Saya ikut sekadar menghibur Pak Harto,” katanya. “Tetapi saya sudah dituduh sebagai pengkhianat.” Situasinya sangat tegang antara saya dan anak-anak Pak Harto lainnya. Kemudian istri saya mengatakan kepada saya bahwa ada laporan-laporan yang mengatakan saya mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Habibie setiap malam. Saya juga bertemu dengan Gus Dur, Amien Rais, Buyung Nasution. “Tetapi kami tidak mengkoordinir kejatuhan Soeharto. Kami membicarakan cara terbaik untuk meredakan kekerasan.

Dalam masalah ini, Soeharto tidak menjawab permintaan Asiaweek untuk memberi tanggapan terhadap pernyataan-pernyataan Prabowo.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Wednesday, May 14, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (3)


Drama bermula pada hari Selasa, tanggal 12 Mei, ketika Prabowo menerima telepon. Beberapa orang mahasiswa tertembak mati dalam sebuah demonstrasi di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah menyalahkan pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan prajurit kami begitu tidak profesional. Kami mendapat satuan-satuan seperti ini ... ya Tuhan, ini konyol. Itulah reaksi saya yang pertama.

Merasa akan datangnya situasi darurat, ia menuju Makostrad di Lapangan Merdeka, tepat di samping garnisun Jakarta. Sebagai Pangkostrad, tugas Prabowo adalah menyediakan orang dan peralatan. “Saya menyiagakan pasukan-pasukan saya, untuk mengirimkan mereka,” katanya. “Pasukan-pasukan ini selalu berada di bawah kendali operasional komandan garnisun. Begitulah sistem kami. Pada dasarnya kapasitas saya adalah sebagai penasehat. Saya tidak punya wewenang.

Ia pulang ke rumah jauh setelah tengah malam, tetapi pagi-pagi keesokan harinya sudah berada kembali di Makostrad, tanggal 13 Mei. Sementara gerombolan-gerombolan liar mulai menjarah dan membakar gedung-gedung, Prabowo sepanjang hari memikirkan bagaimana cara bergerak masuk dan menyiagakan batalyon-batalyonnya. Kerisauan lain: Wiranto telah direncanakan akan memimpin upacara angkatan darat keesokan paginya di Malang, Jawa Timur –jaraknya 650 km lebih dari ibukota yang sedang kacau. Sepanjang hari tanggal 13, kata Prabowo, ia mencoba membujuk Wiranto agar membatalkan penampilannya. “Saya menyarankan agar kami membatalkan upacara di Malang,” katanya. “Hasilnya: tidak! Upacara jalan terus. Saya telpon kembali. Bolak-balik delapan kali saya menelepon kantornya. Delapan kali saya diberitahu bahwa acara jalan terus.


Jadi pukul enam pagi, pada hari Kamis, tanggal 14 Mei, Prabowo tiba di Halim. Katanya, mengingat keadaan yang sedang tegang ia heran melihat sebagian besar perwira senior berada di sana. Dalam penerbangan dan upacara, katanya, ia dan Wiranto tidak banyak bicara satu sama lain. Mereka tiba di ibukota kembali setelah tengah hari. Prabowo kembali ke Makostrad, di mana ia berpapasan dengan Sjafrie. Pangdam Jaya itu akan melakukan tinjauan ke bagian barat ibukota dengan helikopter, Prabowo menerima ajakan Sjafrie untuk menemaninya. Selagi mereka mengamati kerusuhan hari kedua dari udara yang berasap, Prabowo ingat bertanya kepada dirinya sendiri: “Mengapa hanya sedikit pasukan yang ada?

Kira-kira pukul 15.30, ia meninggalkan Makostrad untuk menjumpai Habibie (wapres). Presiden masih berada di Kairo, Mesir, sejak 9 Mei menghadiri sebuah konferensi puncak. Wapres dan Prabowo bicara mengenai kemungkinan terjadinya suksesi. Prabowo menyebutkan bahwa berdasarkan konstitusi, Habibie akan menggantikan presiden. Kemudian muncul permbicaraan mengenai panglima militer yang akan datang. “Harusnya saya sudah melihat adanya perubahan,” kata Prabowo. “Ia mengatakan: kalau nama Anda muncul, saya akan setujui. Sekarang sudah ada perubahan besar.

Dalam perjalanannya kembali ke Makostrad, Prabowo memperhatikan bahwa urat nadi bisnis utama di Jakarta tampaknya tidak terjaga. Ia menemui komandan garnisun: “Saya katakan: Sjafrie, di Jalan Thamrin tidak ada pasukan. Namun ia yakin bahwa di sana cukup pasukan. Ia mengajak saya turut pergi, dan kami lihat!” Prabowo menyarankan mengambil separuh dari 16 kendaraan lapis baja yang sedang mengawal Departemen Pertahanan dan mengirimkannya ke Jalan Thamrin. Ini dilaksanakan.


Ketika malam tiba, Prabowo mendapat telepon dari sekretarisnya, bahwa Buyung dan serombongan tokoh dari berbagai kelompok ingin bertemu dengannya. (Pertemuan 14 Mei ini kemudian menjadi sentral penyelidikan mengenai kerusuhan-kerusuhan yang terjadi). “Ketika saya tiba di Makostrad, mereka sudah di sana,” kata Prabowo. “Saya tidak panggil mereka. Mereka bertanya: Apa yang terjadi?” Buyung Nasution ingin tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh desas-desus yang menyebar luas, bahwa Prabowo-lah yang merencanakan kerusuhan-kerusuhan yang telah terjadi, penembakan Trisakti, maupun penculikan-penculikan. Ia juga bertanya, apakah ada persaingan antara Prabowo dan Wiranto. Prabowo membantah semuanya. “Mana bisa ada persaingan?” Ia menjelaskan sekarang. “Ia bintang empat, saya bintang tiga. Saya mencoba berada di garis urutan yang benar. Tetapi setelah dia, saya akan menjadi calon yang punya harapan, bukan?

Setelah suatu briefing komando yang dipimpin Wiranto yang berakhir larut malam, Prabowo tiba di tempat pertemuan berikutnya hampir pukul 1.00 dini hari. Dua orang teman dekat dari NU menyarankan agar Prabowo menemui Abdurrahman Wahid, yang sudah tidur ketika ia tiba. Namun demikian, Gus Dur masih menerima Prabowo dan bertanya tentang situasi yang sedang galau. “Saya katakan, kami akan dapat mengendalikannya besok,” kata Prabowo.


Setelah tukar pakaian, ia menuju pangkalan udara Halim, di mana Soeharto menurut jadwal tiba dini hari tanggal 15 Mei, Jumat. Prabowo menunggu dalam mobil jeep-nya, sementara Wiranto menyambut Soeharto. Kemudian mereka bertiga, dengan sebagian besar perwira senior, menuju ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Prabowo mengatakan; Soeharto tampak bersikap dingin terhadapnya. Prabowo yakin, Soeharto mengira menantunya sedang bersekongkol melawannya. Berkata Prabowo; “Itu dimuat dalam surat kabar-surat kabar bahwa Jenderal Nasution –yang semua orang tahu menyukai saya– mengatakan agar Amien Rais bicara kepada Jenderal Prabowo mengenai pemeliharaan situasi. Ini tentu sudah disampaikan kepada Pak Harto.

Pada akhir kekuasaannya, Soeharto sudah menjadi tergantung kepada para menteri, para jenderal dan anak-anaknya yang mengelilinginya sebagaimana halnya mereka tergantung kepadanya. Ia adalah pemimpin mereka, tetapi dalam beberapa hal, ia juga adalah tawanan mereka. “Ada suatu seni intrik istana yang sudah berusia seribu tahun,” kata Prabowo. “Bisikkan sesuatu dengan sangat halus kepada seseorang, dan racuni pikirannya. Saya mencoba memberikan informasi, tetapi saya dianggap mencampuri soal yang bukan urusan saya. Ada orang-orang yang meracuni pikirannya: bahwa keberadaan menantunya di sana hanya untuk merebut kekuasaan.” Prabowo kini percaya, bahwa ini turut menjadi penyebab kejatuhannya.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek, No. 8/Vol. 26, 3 Maret 2000

Tuesday, May 13, 2014

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (2)


Banyak cerita yang beredar di Jakarta mengenai Prabowo. Dalam narasi populer mengenai kejatuhan Soeharto, bekas perwira pasukan khusus itu sering digambarkan sebagai perancangnya: seorang jenius jahat yang, kalau ia mau menjelaskannya, dapat menunjukkan bagaimana seluruh busur lingkaran peristiwa-peristiwa yang dirancangnya terdiri dari suatu konspirasi yang cerdik, namun memiliki cacat yang mematikan. Tetapi hingga akhir kekuasaan Soeharto, ia bukan satu-satunya tokoh. Ada banyak pelaku, dengan demikian banyak motif dan manuver.

Di tengah-tengah kerusuhan sosial dan keruntuhan ekonomi, bagi para elite di Jakarta sudah jelas jauh sebelum Mei 1998, bahwa persoalannya bukanlah apakah presiden akan melangkah turun, melainkan kapan. Buat mereka, yang paling penting adalah bagaimana supaya survive atau bahkan memperoleh keuntungan. Itu berarti memainkan suatu permainan yang sulit: tetap di tempat atau setidak-tidaknya kelihatan tetap di tempat –tanpa ragu-ragu setia kepada Soeharto– namun pada saat yang sama bergerak ke posisi yang terbaik demi masa depan tanpa Soeharto.

Para Mahasiswa dan rakyat yang beroposisi, walaupun mendapat sorotan yang menonjol, adalah para pemain yang paling tidak berkekuatan. Keputusan-keputusan yang sesungguhnya, diambil di sekitar presiden yang sudah uzur itu. Ada anak-anak Soeharto. Ada Wapres Habibie. Ada menteri-menteri dan pimpinan MPR/DPR. Dan ada angkatan bersenjata, dengan kedua jenderal utama, Wiranto dan Prabowo.

Prabowo dan Wiranto; "Tak ada lawan yang abadi".

Dalam masa menjelang bulan Mei, Prabowo berada nyaman di tengah. Di bulan Maret 1998, ia dipromosikan dari komandan Kopassus, untuk memimpin Kostrad. Jabatan baru ini menjadikannya jenderal berbintang tiga. Teman sekelasnya dari Kopassus, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin telah menjadi komandan garnisun Jakarta sejak September 1997 (Pangdam Jaya). Bekas atasan Prabowo di Kopassus, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, berkedudukan sebagai Kasad. Teman-teman lain, termasuk bos Kopassus, Mayjen Muchdi Purwopranjono.

Satu-satunya jenderal yang tidak sejalan dengan Prabowo adalah atasannya, Wiranto. “Antara kami berdua tidak ada kesesuaian yang serasi,” kata Prabowo. “Kami tidak pernah bertugas dalam kesatuan yang sama. Kami berasal dari latar belakang yang beda.” Wiranto dibesarkan di Jawa Tengah yang tradisional. Prabowo dibesarkan di luar negeri, di kota-kota besar Eropa dan Asia. Sementara penempatan-penempatan Prabowo adalah tugas-tugas lapangan dan tempur, sedangkan Wiranto bertugas di jabatan-jabatan staf dan komando teritorial. Setelah empat tahun sebagai ajudan Soeharto, Wiranto melesat cepat dari Panglima Kodam Jaya menjadi Panglima Kostrad. Di tahun 1997, ia menjadi Kasad. Bulan Mei 1998, Soeharto menjadikannya Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam dan Pangab).

(Asiaweek telah mengirim pernyataan-pernyataan dan komentar Prabowo, maupun pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam artikel ini kepada Wiranto. Ajudan Wiranto menjawab, bahwa sang jenderal memutuskan untuk memberikan tanggapannya kepada Asiaweek dalam terbitan kemudian).

Habibie dan Prabowo; "Tak ada kawan yang abadi".

Wiranto dan Prabowo seimbang. Tetapi dalam bulan Maret, ketika MPR kembali memilih Soeharto dan menunjuk Habibie sebagai Wapres, Prabowo tampaknya melangkah lebih tinggi. Ia adalah sahabat lama Habibie. Mereka sama-sama memiliki temperamen Barat dan idealisme yang optimistis. “Saya suka pada visi teknologi tingginya,” kata Prabowo. “Itu menawan hati saya. Selalu saja ada ucapan: Kita akan tunjukkan bahwa Indonesia bisa jadi besar.” Mereka sering bertemu. Bagi rekan-rekannya sesama jenderal, Prabowo adalah pembela Habibie yang paling bersemangat.

Melihat keadaan kesehatan Soeharto yang menurun –ia terkena stroke ringan pada bulan Desember 1997– kesempatan Habibie untuk menggantikannya menjadi lebih baik dibandingkan para wapres sebelumnya. Bagi Prabowo, kenaikan Habibie berarti kesempatan menjadi bos militer: “Beberapa kali dikatakannya: Jika saya menjadi presiden. Anda menjadi panglima ABRI. Anda akan menjadi bintang empat.” Artinya, andaikata terjadi suksesi yang teratur rapi.

Keruntuhan rupiah yang dimulai pada bulan Oktober 1997, telah mendatangkan gelombang-gelombang keresahan sosial di seluruh Nusantara. Januari berikutnya, sebuah bom meledak di sebuah apartemen di Jakarta (Bom Tanah Tinggi) yang dihuni oleh anggota-anggota partai terlarang, PRD (Partai Rakyat Demokratik). Pihak militer berusaha keras menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang vokal. Beberapa aktivis pun menghilang secara misterius.

Prabowo Subianto dan Pius Lustrilanang; "Tak ada kawan dan lawan yang abadi".

Pada tanggal 27 April, Pius Lustrilanang mengungkapkan di depan umum –yang pertama diungkapkan oleh para aktivis yang diculik– mengenai penculikan dan pengurungan dirinya selama dua bulan. Ketika diinterograsi, kata Lustrilanang, ia disetrum dan dibenamkan dalam air. Sekalipun Wiranto membantah dengan mengatakan bahwa penculikan itu bukan kebijakan militer, namun kecurigaan rakyat ditujukan kepada militer, dan terutama Kopassus yang pada waktu itu masih diidentikkan dengan Prabowo.

Walaupun ia punya reputasi setia kepada Soeharto. Prabowo juga terus berteman dengan para pengecam rezim “Orde Baru”. Mereka ini merupakan tokoh-tokoh yang sudah dikenal luas, mulai dari Jenderal Nasution yang dikecewakan, yang sezaman dengan Soeharto hingga kepada Adnan Buyung Nasution yang turut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, sebuah LSM yang membela dan membantu para aktivis anti-Soeharto.

Prabowo membina hubungan pula dengan tokoh-tokoh Islam yang merasa sebagai korban ketidakadilan militer yang dipengaruhi Kristen, maupun merasa dikucilkan dalam perekonomian yang didominasi etnis Cina. Di antara mereka adalah: Amien Rais, seorang profesor dari UGM (Universitas Gajah Mada), Yogyakarta yang serangan-serangannya terhadap kekuatan Kristen dan modal Cina berubah jadi kecaman terbuka terhadap Soeharto. Hubungan-hubungan Prabowo yang tidak konvensional dan keakrabannya dengan Habibie, membuatnya unik bila dibandingkan dengan orang-orang lain yang mengelilingi Soeharto.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000

Sepenggal Kisah di Bulan Mei yang Gerah (1)


Inilah sosok Prabowo: Seorang pebisnis Indonesia yang sedang kelelahan pada usianya yang mendekati 50 (saat tulisan ini dirilis Asiaweek tahun 2000, sedangkan kini usianya sudah hampir 63 tahun). Prabowo lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951, (saat itu tahun 2000), jauh dari keluarga, terus menerus dalam perjalanan. Ada lagi sisi Prabowo yang lain; penyiksa orang-orang tak bersalah di Timor Timur, penculik para aktivis pro-demokrasi, otak kerusuhan dan perkosaan di Jakarta bulan Mei 1998, konspirator kudeta yang gagal yang mencoba menyandera seorang presiden Indonesia.

Prabowo yang disebut pertama adalah Prabowo sebagai daging dan darah atau tubuh seorang manusia, sedang sisi Prabowo lainnya adalah ciptaan guntingan berita dan rumor. Prabowo yang disebut pertama kini hidup di luar Indonesia (saat itu tepatnya di Jordania), terutama karena sisi reputasinya itu telah menggantikannya. Prabowo si perancang jahat merupakan cerita yang lebih menarik bagi para wartawan, dan merupakan bahan baku bagi seteru yang lebih mudah ditempa jadi berbagai bentuk peluru untuk para aktivis dan –tentu saja– kambing hitam yang lebih gampang bagi para politisi. Sekali-sekali, ada saja orang yang berteriak agar Prabowo dipanggil pulang untuk diadili. Namun demikian, orang jadi bertanya-tanya, apa gerangan rintangan yang lebih menghalangi jalan menuju keadilan di Indonesia: realitas atau mitos?

Michael Camdesus menunggui Pak Harto menandatangani LOI (Letter of Intent).

Agar sampai pada realitas itu, staf koresponden Asiaweek untuk Indonesia, Jose Manuel Tessoro, bukan hanya mengadakan wawancara mendalam dengan Prabowo, yakni wawancara pertama dengan sebuah publikasi internasional sejak Mei 1998, Tessoro juga melakukan investigasi. Hasilnya adalah uraian bernuansa tinggi tentang peristiwa-peristiwa dramatis, yang di dalamnya sejumlah perorangan mengemukakan pendapat atau argumentasi yang didasarkan pada ambisi, kepentingan sendiri, loyalitas dan ketakutan.

Apakah Prabowo bersalah atas peristiwa 1998? Menurut dia sendiri, tidak! Tetapi ia tidak menyebutkan siapa, meskipun berdasarkan persepsi mengenai pertarungan Presiden Wahid dan Jenderal Wiranto baru-baru ini (tahun 2000), adalah sesuatu yang senantiasa dilupakan.

Kini muncul tuntutan-tuntutan, agar membuka kembali kasus-kasus lama: serangan-serangan, kekejaman dan inisiden lain di waktu lampau. Barangkali saja, setelah beberapa dasawarsa tidak ada pertanggungjawaban dari para pemimpin, rakyat Indonesia ingin mengetahui yang sebenarnya dan ingin lebih mengendalikan lagi urusan politik. Dengan memaparkan ceritanya, Prabowo sendiri –disadari atau tidak– malahan membantu memulai proses itu.


Kambing Hitam?
Arkian malam hari, pada tanggal 21 Mei 1998, lusinan prajurit mengambil posisi sekitar Istana Merdeka dan rumah kediaman Habibie, yang kurang dari 24 jam sebelumnya telah menjadi presiden ketiga Indonesia. Komandan dari pasukan ini adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang ganas.

Seminggu sebelumnya, ia telah mengatur pasukan-pasukan gelap ini dalam keadaan siap menunggu perintah –pasukan khusus rahasia, penjahat-penjahat pusat kota, muslim radikal, untuk membunuh, membakar, memperkosa, menjarah, dan menyebarkan kebencian etnis ke dalam hati penduduk Jakarta. Tujuannya adalah untuk merongrong rivalnya, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan untuk memaksa mertuanya, Soeharto, mengangkatnya sebagai pimpinan Angkatan Darat –suatu langkah yang dalam waktu huru-hara akan lebih mendekatkan Prabowo menjadi presiden.

Pengunduran diri Soeharto yang prematur dari kedudukan presiden menggagalkan ambisi Prabowo. Maka ia mengerahkan amarahnya kepada Habibie. Bencana buat Indonesia –dan mimpi buruk bagi Asia Tenggara– boleh jadi akan segera menyusul, jika tidak karena datangnya perintah dari Wiranto untuk membebas-tugaskan Jenderal yang tak terkendali itu dari posisi komando. Diamuk amarah, Prabowo membawa pasukannya ke halaman istana dan mencoba mendobrak masuk dengan senjata lengkap ke dalam kamar-kamar Habibie. Tetapi akhirnya ia diperdayakan. Percobaan kudetanya merupakan klimaks dari drama 10 hari yang mengitari kejatuhan Soeharto, pemimpin Indonesia selama tiga dekade.

Masalahnya adalah tidak semua itu benar. Bahkan mungkin tidak satu pun di antaranya ada yang benar.


Yang pertama mengatakan demikian adalah Prabowo. “Saya tidak pernah mengancam Habibie,” katanya. Apakah Prabowo merencanakan kerusuhan bulan Mei terhadap etnis Cina Indonesia untuk menjatuhkan Wiranto atau Soeharto? “Saya tidak berada di belakang kerusuhan-kerusuhan itu. Itu adalah bohong besar,” jawabnya tegas. “Saya tidak pernah mengkhianati Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya tidak pernah mengkhianati tanah air saya.

Prabowo, bukanlah seorang yang suci. Selama 24 tahun, ia menjadi anggota militer Indonesia, yang dengan setia mematuhi perintah-perintah presiden. Ia membina Kopassus untuk memerangi pemberontakan dan terorisme dalam negeri. Prabowo juga menikah dengan putri kedua Soeharto dan ia menikmati kekayaan, kekuasaan, dan kebebasan juga tanggung jawab yang dimiliki oleh keluarga presiden. Ia mengakui penculikan sembilan aktivis pada permulaan tahun 1998, yang beberapa di antaranya mengalami penyiksaan. Kira-kira 12 orang lainnya yang diduga diculik dalam operasi yang sama masih belum diketahui keberadaannya.

Tetapi, apakah Prabowo itu iblis? Di bulan Agustus 1998, DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menyatakannya bersalah dalam menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer, Prabowo kemudian dipecat.


Dalam laporannya di bulan Oktober 1998, mengenai kerusuhan bulan Mei, TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) meminta agar Prabowo diperiksa mengenai ketersangkutannya dalam kerusuhan-kerusuhan itu. Sejak itu media massa Indonesia dan luar negeri mengaitkan namanya dengan kata-kata seperti “rencana jahat”, kejam dan sembrono, “seorang fanatik yang haus kekuasaan”. Sebuah surat kabar Asia menulis: “Ia disebut benci pada orang Cina.” Keyakinan bahwa dialah yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan dan gagal mengekangnya telah masuk ke dalam buku-buku sejarah. “Sayalah monster di belakang segala-galanya,” kata Prabowo dengan ironi yang tidak disembunyikannya.

Kendati begitu, hampir dua tahun setelah Soeharto mengundurkan diri, belum juga ada bukti yang mengemuka yang menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan yang memicu pengunduran diri itu. Gambaran lengkap dari hari-hari itu masih saja kabur oleh cerita-cerita yang saling bertentangan dan dari narasumber-narasumber yang tidak bisa disebut namanya.

Di bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang pada waktu itu Ketua TGPF dan sekarang (tahun 2000) Jaksa Agung, mengungkapkan renungannya kepada wartawan: “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa.


Prabowo telah diadili oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia kini menghabiskan seluruh waktunya di luar negeri, walaupun surat kabar-surat kabar setempat mengatakan bahwa ia mengadakan kunjungan singkat, yang tidak banyak diketahui orang di bulan Januari lalu, yang merupakan kunjungan pertamanya dalam rentang waktu 15 bulan (istrinya menetap di Indonesia, putra mereka belajar di Amerika Serikat).

Apa yang muncul dari uraian Prabowo sendiri, dirangkaikan dengan penyelidikan independen yang dilakukan Asiaweek, adalah kisah yang jauh berbeda, lebih bernuansa daripada penilaian yang sejauh ini diterima di kalangan luas bahwa kejatuhan Soeharto bermula pada pertarungan antara yang baik dan yang jahat, dan bahwa Prabowo adalah sang penjahat.

Kisah ini adalah laporan dari dan tentang elite politik Indonesia, suatu pengungkapan mengenai sifat perubahannya yang berbahaya dan kompleksitas para pelakunya. Laporan ini menentang apa yang selama ini diterima oleh banyak pihak mengenai negeri ini: militernya, keluarga penguasa yang lalu, dan sejarahnya. Keputusan apapun yang Anda simpulkan, Anda tidak akan mungkin lagi melihat kejatuhan Soeharto di masa lampau –atau kecaman-kecaman pedas dan konflik-konflik yang berkecamuk sekarang ini– dengan cara yang sama.

(Bersambung)

Sumber:
Majalah Asiaweek edisi 3 Maret 2000