Thursday, April 24, 2014

Presiden yang Diinginkan dan yang Dibutuhkan


Pemilu Legislatif 2014 usai sudah. Penghitungan cepat (quick count) beberapa lembaga survei telah menempatkan PDI-P di posisi teratas, seperti hasil quick count dari CSIS & Cyrus, di mana PDI-P memperoleh 19,20 persen suara, Partai Golkar 14,40 persen dan Partai Gerindra 11,90 persen suara.

Meratanya perolehan suara untuk PDI-P, Golkar, dan Gerindra diprediksi akan membuat koalisi makin sulit ditebak. Paling tidak akan ada tiga atau empat pasang capres-cawapres dalam Pilpres 2014 mendatang.

Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J Vermonte mengatakan selain PDI-P, Golkar dan Gerindra yang memiliki suara tertinggi, Partai Demokrat, PKB, maupun Partai Nasdem, mempunyai peluang besar untuk diajak berkoalisi. Ketiga partai ini memiliki suara yang tidak terpaut jauh dengan perolehan suara Golkar dan Gerindra. “Mungkin ada 3-4 pasang karena suaranya merata,” ujar Philips. Ini terjadi karena semua partai politik tidak ada yang mencapai syarat 25 persen.

PDI-P yang diprediksi akan menjuarai perolehan Pileg diatas 25 persen, ternyata tidak tercapai. Padahal bila mencapai angka 25 persen, PDI-P dapat mengajukan capres dan cawapres sendiri, dan PDI-P bisa membentuk kabinet yang profesional tanpa harus berkoalisi. Namun jika PDI-P kalah, maka oposisi merupakan opsi lain yang bisa diambil.

Jokowi (Joko Widodo), Prabowo Subianto dan Ical (ARB).

Sosok Prabowo yang menjadi figur utama dalam tubuh Gerindra pun layak untuk dicalonkan menjadi presiden. Pasalnya para loyalis Gerindra hingga kini masih solid dalam mengusung siapa yang harus mereka pilih sebagai pemimpin bangsa.

Sedangkan partai Golkar yang konsisten selama perjalanan pemilu, wajib untuk diperhitungkan. Sekalipun elektabilitas Aburizal Bakrie, kalah dibandingkan dengan Jokowi maupun Prabowo, tapi masih banyak rakyat yang memilih Golkar sebagai partai pilihan mereka.

Jika berkaca dari tiga besar parpol pemenang pileg hasil quick count tersebut, maka tiga nama yang telah disampaikan Philips J Vermonte itu, bisa jadi memang akan bertarung dalam pemilihan presiden (Pilpres) bulan Juli 2014 mendatang.

"Punjul ing Apapak, Mrojol ing Akerep" (Unggul di atas rata-rata, dan mampu keluar dari masalah serumit apapun).

Dalam konteks bahasa sehari-hari, penulis mencatat, ada dua istilah yang perlu dicermati, yakni “apa yang diinginkan” dan “apa yang dibutuhkan”. Dan yang diinginkan belum tentu yang dibutuhkan.

Secara lahiriah, keinginan adalah semacam hawa nafsu yang hendak dilepaskan sesaat. Artinya, sesuatu yang diinginkan, hanya memandang sesuatu secara pragmatis jangka pendek. Tidak memikirkan efek, dampak dan akibat jangka panjang. Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan, lazimnya adalah merupakan suatu keharusan dan penting, karena berbagai pertimbangan dengan memandang segala risiko jauh ke depan. Lalu seperti apa pemimpin yang dibutuhkan ataupun yang diinginkan?

Kata-kata inilah yang terlontar dari seorang sopir taksi. “Kalau dibutuhkan itu akan menjadi prioritas. Tapi kalau yang diinginkan, hanya melihat kondisi sekarang, tidak melihat ke depan. Artinya, yang diinginkan belum tentu dibutuhkan,” ungkap sopir tersebut ketika berbincang dengan penulis, baru-baru ini.

Mengutip tulisan Prof Dr Baharuddin, M.Ag, Guru Besar STAIN Padangsidempuan, dalam pandangan teori Psikologi Islam, suatu tingkah laku selalu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan atau pemenuhan keinginan.

Meskipun suatu tingkah laku atau tindakan terlihat sama dalam bentuk dan jenisnya, tetapi karena berbeda dalam proses terjadinya, di mana ada yang didasarkan untuk memenuhi kebutuhan dan yang lainnya didasarkan keinginan, maka tindakan tersebut menjadi berbeda nilainya. Tindakan yang didasarkan kebutuhan adalah tindakan dalam rangka memelihara dan mengembangkan potensi diri. Sementara tindakan atas dasar keinginan adalah tindakan yang berorientasi kepada memperoleh kenikmatan atau kelezatan sesaat. Itulah sebabnya sesuatu yang mendatangkan kenikmatan akan dilakukan dan sesuatu yang akan mendatangkan ketidaknyamanan pasti dijauhi.


Tindakan makan dan minum misalnya, dapat menjadi perbuatan yang didasarkan atas kebutuhan ataupun atas dasar keinginan. Makan dan minum yang dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan biologis untuk mempertahankan kehidupan merupakan contoh dari tindakan yang didasarkan oleh kebutuhan.

Namun tatkala makan dan minum yang dilakukan bukan dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis, misalnya karena selera yang spontan bangkit gara-gara melihat makanan dan minuman yang sangat menarik dan lezat, maka tindakan ini hanyalah sekedar untuk memenuhi keinginan nafsu belaka.

Dengan demikian, seseorang akan makan dengan sebanyak-banyaknya kerena didorong oleh makanannya yang lezat dan cocok dengan seleranya. Tetapi sebaliknya, kalau makanannya kurang lezat atau tidak sesuai dengan seleranya, dia tidak akan memakannya. Jadi, perbuatan makan yang dilakukan ini didorong oleh keinginan atau selera, bukan karena kebutuhan.

Maka bisa disimpulkan, tingkah laku yang didasarkan oleh pemenuhan kebutuhan selalu berhubungan dengan potensi diri yang positif. Sementara tingkah laku yang didasarkan kepada keinginan selalu berhubungan dengan hasrat kepada hal-hal yang menyenangkan dan bersifat sesaat, serta cenderung negatif. Dengan kata lain, dorongan keinginan hanyalah sekedar dorongan untuk mencari kepuasan dan mendapat kenikmatan serta menghindar dari hal-hal yang tidak menyenangkan.

SBY, Anies Matta, Megawati, Cak Imin, Prabowo, dan Ical.

Demikianlah, maka suatu tingkah laku yang didasarkan kepada kebutuhan akan tetap dilakukan meskipun dalam waktu tertentu dirasa tidak menyenangkan. Namun karena hal itu merupakan pengembangan potensi diri yang positif dan bermanfaat jangka panjang, maka seseorang tetap akan melakukannya.

Inilah dinamika tingkah laku. Dalam realitas kehidupan selalu saja ada orang yang bertingkah laku berdasarkan kebutuhan dan ada pula orang yang bertingkah laku atas dasar keinginannya. Termasuk dalam hal pemilihan pemimpin. Apakah itu bupati, walikota, gubernur dan presiden.

Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada sehingga cenderung positif dan menjadi lebih baik. Mulai dari potensi fisik-material maupun psikologis-immaterial. Dan yang paling penting adalah potensi sumberdaya manusianya.

Pemimpin yang demikian harus memiliki keutuhan kepribadian, wawasan keilmuan yang luas, kecerdasan multidimensional, keagungan akhlak, dan kematangan profesional. Pemimpin dengan ciri-ciri demikian tidak akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina hanya demi kepentingan pemenangannya. Pemimpin ini tidak akan menghalalkan segala cara demi meraih tujuannya, karena visi dan misinya adalah mengembangkan seluruh potensi sumberdaya yang ada secara positif dan bertanggung jawab.

Ironisnya, pemimpin yang demikian seringkali tidak populer. Pemimpin ini tidak laku bagi para pemilih yang mendasarkan pilihannya pada kepuasan fisik-biologis dan material. Ia jauh melampaui cara berpikir materialis, sehingga sangat sulit memenangkan pemilihan, sekalipun pada hakikatnya kita membutuhkan pemimpin yang seperti ini.

Dr. Anies Baswedan, salah seorang tokoh pemimpin muda Indonesia yang leadership-nya sudah diakui oleh dunia internasional.

Pemimpin yang memenangkan pemilihan, biasanya adalah pemimpin yang diinginkan mayoritas masyarakat, walaupun tidak berkualitas. Pemimpin yang dapat memuaskan keinginan pemilihnya, baik kepuasan material maupun immaterial inilah yang biasanya memenangkan suara mayoritas.

Pemimpin model ini selalu dipertimbangkan berdasarkan “untung-rugi” kelompok organisasi dan golongan, hubungan keluarga, hubungan pertemanan, keuntungan material, janji politik, suku, ras, bahkan agama. Calon pemimpin yang memiliki kedekatan teman, organisasi, suku, ras, dan lain sebagainya itu yang akan menjadi pilihan. Jadi, memilih pemimpin adalah atas dasar keinginan untuk memuaskan kepentingan yang dibungkus dengan segala macam alasan kedekatan (koneksitas) tersebut.

Maka, pemimpin yang diperkirakan akan memenangkan pertarungan selalu adalah pemimpin yang diinginkan oleh mayoritas, sekalipun sebenarnya bukan yang dibutuhkan. Karena memang realitas pemilih mayoritas saat ini akan memilih pemimpin yang dinginkan. Pemimpin yang cocok dengan selera atau kepentingan yang diinginkannya.

Pemimpin yang demikian niscaya menjanjikan sejumlah hal yang dapat memuaskan keinginan mereka, baik keinginan material maupun immaterial. Mereka tidak peduli apakah pemimpin itu sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak. Bagi mereka memuaskan keinginan adalah segala-galanya.

Orang akan puas dengan mendapatkan sesuatu, misalnya uang, kaos, gambar, spanduk, ongkos, atau bahkan sekedar janji-janji manis. Bukan karena kebutuhan untuk menjaga dan mengembangkan potensi SDM (manusia) dan SDA (daerah/wilayah) mereka masing-masing. Mereka rela menggadaikan suaranya demi sedikit imbalan yang mereka terima. Mereka merasa berhutang budi, hanya karena sejuta janji, atau sejumlah uang, padahal akibatnya mereka akan mengalami stagnasi dalam pengembangan potensinya.

Semoga kita semakin cerdas dalam memilih pemimpin kita di masa yang akan datang. Berpikirlah sebelum memilih, jika tidak ingin menyesal.

Amril Jambak,
Peneliti di Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
DETIKNEWS, 14 April 2014 dan OKEZONENEWS, 16 April 2014

Monday, April 21, 2014

Ilmu Bertanya


Suatu hari Ayah bertanya: “Opo rumangsamu nek wong nganggur kuwi ora dosa?” (Apa menurutmu kalau orang menganggur itu tidak dosa?)

Pertanyaan itu membuat saya terhenyak dan tersentak. Betapa tidak, waktu itu saya sudah berumur di atas 20 tahun, putus kuliah dan punya kegiatan menjadi guru mengaji privat serta menulis aneka macam tulisan, juga aktif di Pramuka, kelompok drama dan sastra, ikut membimbing gerakan gerak jalan atau hiking dalam grup pecinta alam dan sebagainya. Saya juga menemani anak-anak muda sebaya yang orangtuanya menjadi korban politik tahun 1960-an.

Pendeknya, hidup penuh kesibukan, dalam kartu C7 atau kartu untuk mengambil honor di Kantor Pos tertulis pekerjaan saya adalah: "Pengarang". Ketoke (kayaknya) hebat bener! Tapi Ayah dengan jeli melihat apa yang saya lakukan itu bukan pekerjaan yang benar-benar pekerjaan. Itu semua baru semacam kesibukan untuk mengisi waktu, dan memang amatiran.

Pertaayaan itu saya renungkan dan saya menemukan makna bahwa dengan pertanyaan itu Ayah ternyata sedang (1) memberi tahu bahwa selama ini saya masih termasuk dalam kategori menganggur, (2) Ayah melarang saya menganggur dan tidak boleh meneruskan kegiatan yang kurang jelas bagi masa depan, (3) menyuruh saya bekerja yang serius dan definitif.


Jadi, orang Jawa itu kalau bertanya ternyata bisa mengandung maksud memberi tahu, melarang, atau menyuruh, bahkan sangat mungkin mengandung kemarahan. Dengan bertanya itu berarti, Ayah sudah jengkel dan marah melihat hidup saya yang leda-lede (tidak menentu) waktu itu.

Berkat pertanyaan itulah saya kemudian “njranthal” atau lari pontang-panting naik kereta api menuju Jakarta. Ada saudara –adiknya nenek– dua orang yang mengajak saya ke Jakarta untuk mencari kerja. Saya berniat untuk bekerja tenan (sungguh-sungguh), apa pun pekerjaan itu.

Di Jakarta, saya diminta ikut hidup di rumahnya. Dan pada hari pertama, dia –induk semang saya itu– sudah meneriakkan doktrin hidup di Jakarta dengan berkata; “Le, neng Jakarta kuwi nek pengin mangan yo kerja, kerja opo wae. (Nak, di Jakarta itu kalau mau makan ya harus kerja, kerja apa saja.) Jual abu (gosok), atau apalah. Kalau tidak bekerja maka kau tidak berhak makan sebutir nasipun!” Akibatnya, dan risikonya, sebelum saya mendapat pekerjaan yang definitif, maka saya bekerja di rumah itu menjadi tukang kebun dan pembantu rumah tangga, yang pekerjaannya mulai dari memotong rumput, membersihkan kaca jendela, membersihkan WC, ikut belanja ke pasar, membayarkan rekening listrik, mengambilkan rapot anaknya dan sebagainya.


Predikat guru mengaji privat, guru pramuka, penulis sastra, pemain drama, semua saya tanggalkan dan saya lebur dalam kehidupan sehari-hari yang keras khas Jakarta. Saya diberi uang saku satu dua ribu sebulan dan karcis bis kota. Saya beruntung karena di rumah itu ada ribuan buku dan kitab, maklum yang empunya rumah pernah menjadi Kepala Litbang Depag yang kemudian aktif menjadi salah satu direktur pada Departemen Agama, badan atau bagian khusus yang menyelenggarakan haji. Saya beruntung di rumah itu ada mesin ketik. Maka naluri menulis saya kumat (kambuh). Naluri berkumpul dengan komunitas sastra juga kumat, akhirnya juga kumpul dengan kelompok drama.

Di waktu luang saya pun menulis, berkunjung ke Gelanggang Remaja Bulungan, ke Warung Poci Bulungan, juga ke Senen, ke TIM, ke Menteng Raya Enam Dua, dan sering dolan (berkunjung) ke kantor majalah anak-anak Kawanku. Saya meneruskan menulis untuk majalah Kawanku, meliput kegiatan sastra di Bulungan dan TIM dan beritanya saya kirim ke Harian Masa Kini. Saya juga ikut pendidikan wartawan di Jakarta Utara, di Jalan Gunung Sahari. Dan puncaknya ketika saya diminta ikut menjadi Pegawai Musiman di Kantor Haji Depag. Kerja 24 jam, honor besar, makan dan minum terjamin, kadang dapat bonus rokok yang saya berikan pada teman-teman di Sanggar 62.

Dan belajar kerja keras seperti ini saya alami selama satu tahun tetapi saya rasakan seperti sepuluh tahun. Lalu saya sakit tipes (typhus) karena menyaksikan bagaimana korupnya departemen yang seharusnya diisi orang-orang suci itu. Saya lalu dirawat di rumah sakit Fatmawati selama sebulan. Dan setelah sembuh saya lalu pulang ke Yogya.


Sampai di Yogya, saya diminta untuk bergabung dengan harian Masa Kini sebagai wartawan, lalu sebagai redaksi lembar budaya. Saya tak melamar, tetapi dilamar. Agar lebih efektif, saya pun kost di pinggir kali Code. Kemudian saya mengalami rangkap kerja di LP3Y, lalu di penerbit Shalahuddin Press, dan sebagainya. Lalu potongan hidup saya pun diwarnai dengan kerja keras super sibuk penuh waktu dengan merangkap pekerjaan sebagai wartawan, editor buku, menulis karya sastra, dan bernaung dengan berbagai komunitas atau semacam LSM untuk melakukan pelatihan dan pendampingan. Dan sampai hari ini saya masih dapat menikmati kerja keras seperti itu. Dan itu semua terjadi berkat sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh Ayah saya, yang sekarang sudah almarhum.

Kembali ke judul tulisan di atas, yaitu tentang ilmu bertanya. Maka paling tidak, orang yang ingin bertanya itu harus atau perlu mengerti (1) apa yang ditanyakan, (2) merumuskan pertanyaan dengan tepat, (3) tahu persis siapa yang menjadi tujuan pertanyaan itu, (4) tahu bagaimana caranya bertanya, (5) tujuan atau efek pertanyaannya pun dia ketahui dengan jelas, dan yang ke (6) dia berani bertanya. Kalau ke-enam hal itu, dan ditambah juga dengan (7) tahu saat yang tepat untuk bertanya, maka ada harapan pertanyaan yang dia lontarkan akan mampu mengubah keadaan.

Jadi, bertanya saja ternyata ada ilmunya. Tidak asal bertanya. Demikianlah semoga bermanfaat.

Penulis: Mustofa W Hasyim

Mustofa W Hasyim sedang memaparkan sesuatu dihadapan teman-teman komunitasnya. (foto: caknun.com)

Mustofa W Hasyim adalah penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70-an. Aktif di komunitas Persada Studi Klub Malioboro, bersama Emha Ainun Najib (Cak Nun), Umbu Landu Paranggi dkk. Juga aktif di Komunitas Insani Yogyakarta, Teater Melati. Saat di Jakarta bergaul dalam Kelompok Poci Bulungan, Sanggar Enam Dua dan bergaul dengan satu dua anggota Kelompok Sembilan. Juga pernah bekerja sebagai wartawan dan pengasuh kolom di berbagai surat kabar dan editor di berbagai penerbit. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Terakhir beliau merupakan salah satu pendiri Majlis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/mustofa-w-hasyim/ilmu-bertanya/10151253020773899

Thursday, April 17, 2014

Miskin Makin Mahal


Sinyalemen komersialisasi kemiskinan selangkah menuju kebenaran. Ini minimal ditunjukkan oleh menguatnya dua indikator penting dalam lima tahun terakhir, yaitu efisiensi program kemiskinan yang menurun drastis dan sebaliknya, inflasi riil bagi orang miskin justru meningkat. Selama satu dekade terakhir, penurunan persentase orang miskin per tahun terlalu rendah, bahkan sejak 2009 tidak pernah mencapai 1 persen sekali pun.

Tercatat juga, setelah pemerintah didukung elite akademis menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dua kali lipat pada tahun 2005, setahun berikutnya angka kemiskinan melonjak 2 persen. Selama ini, pelaku program kemiskinan mengelak dengan dalih anggaran kemiskinan terlalu rendah dibandingkan dengan sektor pembangunan lainnya. Namun pernyataan itu hampir sepenuhnya salah.

Pada tahun 2012 tingkat kemiskinan mencapai 11,96 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk menguranginya, total anggaran untuk kemiskinan pada tahun yang sama mencapai Rp 99,2 triliun atau sekitar 7 persen dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dari sini terlihat bahwa persentase anggaran telah diguyurkan mendekati persentase kemiskinan. Yang mengkhawatirkan adalah justru merosotnya efisiensi program kemiskinan. Anggaran kemiskinan Rp 19,1 triliun pada tahun 2000 mampu menurunkan 0,70 persen orang miskin. Namun, anggaran kemiskinan tahun 2011 sebesar Rp 93,8 triliun hanya menurunkan 0,53 persen orang miskin.


Meningkat pesat
Inefisiensi program kemiskinan meningkat pesat sejak tahun 2007. Untuk menurunkan 1 persen orang miskin dibutuhkan anggaran Rp 26 triliun pada tahun 2000. Namun pada tahun 2007 dibutuhkan anggaran Rp 45 triliun, dan pada tahun 2011 terus mengalami inefisien hingga dibutuhkan anggaran Rp 177 triliun atau empat kali lipat dari anggaran sebelumnya.

Tahun 2007 adalah awal diadakannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Tulang punggung program penanggulangan kemiskinan ini dicanangkan langsung oleh presiden dan pendanaannya didukung terus oleh World Bank, Asian Development Bank, Japan Bank for International Cooperation, dan AusAid.

Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, PNPM ternyata cenderung menambah kemiskinan. Dalam situs lembaga tersebut, pengguna dapat menguji hubungan berbagai program PNPM dan variabel lainnya. Hasilnya senantiasa konsisten bahwa penambahan anggaran dan alokasi PNPM cenderung meningkatkan jumlah dan persentase orang miskin seIndonesia.

Prof Sajogyo, peletak dasar ukuran kemiskinan di Indonesia.

Inflasi orang miskin
Garis kemiskinan diukur menurut kadar kalori yang diterima tubuh si miskin, atau nilai uang pengeluaran si miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Sajogyo mengukur kemiskinan berdasarkan kaidah gizi sebesar 1.900-2.100 kilo kalori per kapita per hari. World Bank mengusulkan garis pengeluaran sebesar 1,5 dollar AS per kapita per hari.

Pengukuran ala World Bank tersebut sulit digunakan untuk menggaet indikator dinamika kesulitan ekonomis orang miskin. Inflasi, bagi orang miskin, tidak bisa dihitung, karena garis kemiskinan dipatok pada nilai uang yang sama. Sajogyo mengusulkan perubahan nilai garis kemiskinan sebagai indikator inflasi riil yang dirasakan oleh orang miskin.

Runtutan garis kemiskinan BPS dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa orang miskin mengalami inflasi riil yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2012 garis kemiskinan meningkat sebesar 6,4 persen, di kota sebesar 5,6 persen dan di desa sebesar 7,4 persen. Data tersebut menginformasikan kehidupan ekonomis orang miskin semakin sulit, terutama yang tinggal di desa.

Yang mengagetkan ialah munculnya hubungan terbalik antara inflasi ekonomi nasional (berbasis ekonomi makro) dan inflasi riil orang miskin (berbasis garis kemiskinan). Pada tahun 2009 inflasi nasional hanya 2,78, tetapi kenaikan garis kemiskinan mencapai 9,7 persen. Dan tahun berikutnya, inflasi melompat menjadi 6,96, sebaliknya garis kemiskinan hanya bergerak di kisaran 5,7 persen.

Artinya, inflasi ekonomi nasional yang rendah lebih dinikmati oleh orang lapisan atas, sebaliknya justru menyulitkan orang miskin. Informasi itu dikonfirmasi dengan lonjakan indikator kesenjangan ekonomi yang tecermin pada peningkatan indeks Gini dari 0,32 tahun 2003 menjadi 0,41 pada tahun 2013. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa, orientasi pertumbuhan sektor ekonomi nasional, akhir-akhir ini, berada di luar kepentingan orang miskin.


Celah harapan
Pola wilayah kemiskinan menunjukkan bahwa pertama, jumlah orang miskin terbanyak namun dengan nilai garis kemiskinan yang rendah muncul di Jawa. Kedua, persentase dan nilai garis kemiskinan tertinggi terjadi di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Ketiga, jumlah dan persentase kemiskinan terendah konsisten berada di Kalimantan.

Pola tersebut menunjukkan peluang penanggulangan kemiskinan terutama di Kalimantan, selanjutnya Sulawesi, Sumatera, lalu Jawa. Adapun hambatan terbesar berada di wilayah timur Indonesia.

Dari hasil diskusi terfokus dengan warga desa di sejumlah wilayah di Indonesia, secara konsisten muncul upaya keluarga agar keluar dari kemiskinan. Upaya tersebut mencakup kerja dan usaha, serta pendidikan tingkat menengah bagi anak-anaknya. Selanjutnya, hanya jenis program untuk modal kerja yang dinilai membantu para keluarga miskin. Di tingkat nasional, data kasar Potensi Desa tahun 2011 dari BPS mengonfirmasi dominasi orang miskin sebagai pemanfaat program ekonomi mikro yang mencapai 60 persen desa di Indonesia.

Ivanovich Agusta,
Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB),
KOMPAS, 12 April 2014

Monday, April 7, 2014

Diktator Konstitusional Vs Kudeta Konstitusional


“Lebih baik mengabaikan perintah diktator konstitusional, yang memerintah di luar kewenangannya daripada harus menghadapi kudeta konstitusional.”

Tahun 2014 menjadi tahun anomali bagi hukum ketetanegaraan kita. Hal itu disebabkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melakukan keputusan yang aneh bin ajaib. Pada 23 Januari 2014, MK memutuskan bahwa Undang-Undang No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga pemilihan umum harus dilaksanakan serentak. Namun, aneh tapi nyata, undang-undang (UU) yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih dapat dipakai pada pelaksanaan Pemilu 2014.

Atas dasar hal itu, penulis telah memberikan analisisnya dan menjadi wacana publik akan risiko munculnya chaos akibat dari “legalitas” pelaksanaan Pemilu 2014, sehingga dengan sejumlah argumen hukum penulis katakan; keputusan MK yang tidak dijalankan pada Pemilu 2014 tersebut memberi peluang “kudeta konstitusional” bagi TNI.


Bukan kewenangan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa, MK berwenang; pertama, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Ketiga, memutus pembubaran partai politik (parpol), dan keempat memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

MK telah melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni menguji UU No 42/2008 dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Yang menjadi masalah dan aneh ialah putusan kedua MK yang menyatakan amar putusan tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. Artinya, dalam pandangan penulis, MK telah menyatakan waktu pelaksanaan UU. Padahal, hal itu tidak ada dalam kewenangan MK.

Tiga bulan setelah memberi putusan aneh atas pengajuan judicial review atas tuntutan Effendi Gazali sebagai representasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak seperti dijelaskan sebelumnya, pada 20 Maret 2014, MK kembali memberikan keputusan yang ajaib terhadap pengajuan judicial review Yusril Ihza Mahendra terhadap UU yang sama dengan yang diajukan Effendi Gazali (UU No 42/2008), tapi pada pasal yang berbeda. Dalam uji materinya, Yusril mempersoalkan tentang presidential threshold dan jadwal pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) tiga bulan setelah pemilihan legislatif.

Atas hal itu, MK menyatakan (1) Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima; (2) Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Effendi Gazali Ph D, Prof Yusril Ihza Mahendra, Presiden SBY, Soleman B Ponto.

Berani dan tidak berani
Jika mencermati pada dua fenomena itu, tentu menjadi sangat ironis kondisi institusi bernama MK. Di satu sisi, ketika memutuskan tuntutan Effendi Gazali, MK begitu berani, bahkan di luar kewenangannya untuk menyebutkan masa berlakunya putusan tersebut. Padahal, sekali lagi, penentuan waktu bukanlah wilayah MK. Namun di sisi lain, ketika memutuskan tuntutan Yusril, MK menjadi institusi yang tidak berani dan tidak menggunakan wewenangnya sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan kata lain, MK telah melanggar UUD 1945.

Di sinilah wibawa MK yang menjadi penafsir tunggal konstitusi dipertanyakan. Keberadaan MK yang seyogianya memberikan kepastian terhadap problem hukum justru menjadi pusaran masalah. Apalagi UU yang diujikan ialah yang menyangkut hidup dan hak orang banyak. Kita bisa menyaksikan di sejumlah negara lain yang gara-gara pemilunya amburadul, tatanan sosial, politik, dan ekonomi menjadi kacau dan berantakan. Indonesia tentu tidak ingin seperti itu. Namun, bagaimana jika chaos terjadi akibat dari ketidakjelasan dasar hukum?

Maka akibat dari “runtuhnya” MK, menjadikan institusi TNI sebagai benteng terakhir penjaga UUD 1945. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, “Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Soleman B Ponto.

Sangat jelas positioning TNI yang akan dan harus berpihak kepada pihak yang mendukung pelaksanaan UUD 1945. Dengan demikian, TNI dapat melaksanakan kudeta terhadap pemerintah yang tidak konstitusional. TNI menjadi palang pintu terakhir dalam mempertahankan UUD 1945. Karena itu, tidaklah salah apabila TNI melakukan kudeta untuk tegaknya konstitusi, atau “kudeta konstitusional” demi untuk menegakkan konstitusi dan atas perintah konstitusi.

Nah, agar hal itu tidak terjadi, putusan MK harus dilaksanakan sekarang juga dan jangan ditunda sampai 2019, karena itulah yang konstitusional. Lebih baik mengabaikan perintah diktator konstitusional, yang memerintah di luar kewenangannya daripada harus menghadapi kudeta konstitusional. Karena jika tetap “dipaksakan”, akan menjadi dosa besar bagi penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah dan KPU. Guna menjembatani hal itu, lebih baik melakukan kompromi politik ketimbang melanggar konstitusi.

Soleman B Ponto,
Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013
MEDIA INDONESIA, 3 April 2014