Friday, February 28, 2014

Tragedi Dunia Janus


“Ada ancaman terhadap perekonomian global akibat ketimpangan yang tinggi ... (sehingga) membuat masa depan jadi tidak pasti.”
*** Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF

Dunia tampaknya tengah menghadapi masa yang krusial bahkan menentukan akibat dari paradoks yang dihasilkan oleh peradaban mutakhirnya.

Selain oleh teknologi persenjataan yang kian menggiriskan, peradaban dunia juga berubah akibat kemajuan menakjubkan di bidang kesehatan, komputasi, hingga implementasinya dalam bidang informasi dan komunikasi. Di saat bersamaan, teknologi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan pun tumbuh dengan tajam, termasuk dalam urusan pemerintahan atau kenegaraan, pengaturan ekonomi, praksis hukum, atau kreasi-kreasi artistik.

Secara ideal, dalam pengertian gagasan atau ide yang melandasinya, semua kemajuan itu bergerak, melebar, dan membuncah dalam sebuah tatanan global yang dipimpin dua komandan kembar: demokrasi (sebagai sistem ketatanegaraan) dan kapitalisme (sebagai sistem perekonomian).

Apa yang kemudian lalai, lengah, bahkan boleh jadi tak terpikir selintas pun, adalah kenyataan di balik semua kemajuan luar biasa dalam satu abad terakhir itu bukan hanya seakan melibas pencapaian sekian ribu tahun peradaban-peradaban dunia sebelumnya, tapi juga —dan ini yang terpenting— membuat kita alpa bila (setiap) peradaban itu juga memproduksi karya-karya negatif yang justru mendestruksi pencapaian-pencapaian “positif” di atas.


Inilah sesungguhnya nature atau fitrah dari semua produk yang dihasilkan oleh spesies mamalia yang bernama Homo Sapiens ini: kebudayaan senantiasa berkembang atau tumbuh dengan karya-karyanya yang paradoksal. Seperti dewa Janus dalam mitologi Romawi, kebudayaan dari peradaban dunia —sepanjang usianya— selalu serentak menghasilkan produk berwajah dua: yang positif (luhur) dan negatif (merusak). Alhasil, sebuah peradaban sebenarnya adalah hasil dari pertempuran atau konflik, bisa juga negosiasi, dari dua wajah “Janus” kebudayaan itu.

Hal itu terjadi lantaran, disyukuri atau tidak, kebudayaan hanya dilahirkan oleh satu golongan makhluk bernama manusia, makhluk yang notabene memiliki fitrah lengkap dengan kapasitasnya untuk “memilih”, mewarisi atau dianugerahi sedikit sifat ilahiah yang jaiz (boleh), yang secara diskriminatif tidak dimiliki makhluk lainnya di semesta ini.

Kapasitas dan sifat inilah yang mungkin secara biologis dimungkinkan karena adanya pertumbuhan volume otak manusia, dari mula 700-an hingga 1.300 cc, jauh meninggalkan kera, manusia tegak (Phitecanthropus Erectus) yang menjadi pendahulunya menurut logika evolusi Wallace atau Darwinian.

“Kebolehan memilih” dengan menggunakan volume otak itu memungkinkan manusia mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi kecenderungan (yang juga) paradoksal dan alamiah dalam dirinya: menjadi suci atau bejat, secara sosial, kultural, maupun spiritual. Hal itu terjadi tidak hanya di tingkat kolektif, juga individual. Bahkan kerap keduanya berkembang paralel dalam organ yang sama. Manusia bisa jadi pada dasarnya paradoksal jika tidak dibilang skizofrenik di tingkat awal.


Fakta yang menggiriskan
Maka, apabila kita bicara demokrasi dan kapitalisme yang menjadi norma bahkan etika (tuntunan moral) dunia, sebaiknya kita tetap ingat, mafhum, bersikap dan bertindak berdasarkan “kejanusan” yang inheren di dalamnya. Demokrasi dan kapitalisme yang secara ideal sesungguhnya memiliki maksud yang luhur untuk memuliakan atau menciptakan kebahagiaan bagi manusia, ternyata juga menciptakan manusia-manusia yang —dilegitimasi oleh sistem-sistem itu— justru pelan-pelan meluluh-lantakkan maksud luhur itu.

Pernyataan Direktur Pelaksana IMF seperti kutipan di atas, yang disampaikan pada Forum Davos beberapa waktu lalu bukan hanya menjadi indikasi, melainkan juga —karena tingkat otoritasnya yang tinggi— menjadi bukti dari tragedi dunia Janus itu. “Kekayaan di dunia hanya dimiliki oleh segelintir warganya,” kata Lagarde lebih lanjut, “... segelintir warga kaya telah menguasai sistem dan semua akses .... hal itu berlaku luas di banyak negara. Sistem pemerintahan dan perekonomian telah dikooptasi oleh sedikit orang kaya.” (Kompas, 21 Januari 2014).

Pernyataan keras lembaga seberpengaruh IMF itu diberi aksen yang konkret oleh Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam, di bagian lain di acara yang sama, di mana ia memaparkan data tentang total kekayaan 85 orang (0,00000002 persen dari penduduk dunia), yang memiliki kekayaan yang lebih banyak dari separuh penduduk dunia (3,5 miliar manusia). Total kekayaan secumit orang itu tak kurang dari 1,7 triliun dollar AS atau setara sepersepuluh lebih PDB Amerika Serikat, setimbang dengan PDB Brasil atau hampir tiga kali lipat dari PDB Indonesia.


Fakta itu bukan hanya memberi 85 orang di kahyangan itu kemampuan untuk menghidupi rakyat negeri ini (untuk tidur dan menganggur) selama tiga tahun, juga mampu menentukan siapa dan bagaimana sebuah negara harus berlangsung atau diatur, sebagaimana pernyataan Lagarde di atas. Mereka adalah Janus yang lain, yang di satu wajah menampilkan malaikat atau filantrof penuh kebajikan, di wajah lain adalah iblis dengan keserakahan tiada habis untuk menghisap rezeki penduduk di sisa dunia.

Kabar kedatangan Bill Gates ke Indonesia, yang konon akan menggelontorkan tak kurang dari Rp 140 miliar untuk yayasan sosialnya tahun ini, juga memberi impresi ironis yang sama. Karena pada catatan majalah Forbes, pertambahan kekayaan triliuner Microsoft itu pada 2013 tidak kurang dari 11,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun. Bagaimana Anda membayangkan wajah dengan rambut palsu itu dengan angka-angka kekayaan tersebut?

Itu pun Bill Gates bukan yang terhebat. Warren Buffett, triliuner lainnya, membukukan pendapatan penghasilan terbesar sejagat pada 2013, senilai 12,7 miliar dollar AS atau Rp 155 triliun/tahun. Tapi dari total kekayaan, Gates dan Buffett masih di belakang Carlos Slim, sang juara dunia, dengan estimasi kekayaan pribadinya 73 miliar dollar AS atau sekitar Rp 876 triliun, setengah dari APBN kita pada 2013.

Anda tentu bisa membuat sedikit analisis, bila “janus-janus” kapitalis global itu, yang filantrofis di muka tapi monster di belakangnya, akan menciut menjadi sekitar 20-25 orang saja dalam kurun 10-15 tahun ke depan, di mana total kekayaan mereka akan mampu bukan hanya menggerakkan, bahkan mengendalikan perubahan-perubahan di tingkat global. Tragedi macam apa yang akan terjadi dalam dunia Janus seperti itu? Dalam mimpi pun Anda sulit menciptakan bayangannya.


Ke mana kunci Janus
Semua hal di atas tentu saja bukan semacam mitos tradisional macam leak atau jailangkung yang sekadar menciptakan rasa takut artifisial. Semua itu fakta berbasis data valid yang mestinya menjadi perhitungan kita, bukan saja ketika harus bekerja dalam sebuah perusahaan, mengatur organisasi bahkan pemerintahan, atau juga dalam usaha kita berkreasi di tingkat personal.

Dunia tengah menghadapi situasi yang sebenarnya kritis saat menghadapi masa depannya. Masa di mana masyarakat dunia tidak lagi ditaklukkan oleh kekejaman perang, penyakit atau bisul-bisul kebudayaannya, tetapi oleh sebuah fallacy yang melahirkan gergasi kapital demikian hebatnya.

Fakta ini semestinya membuat kita merenung dengan sangat dalam, saat misalnya kita menghasilkan profit yang bertambah persentasenya setiap tahun, atau menyaksikan orang miskin dan korban bencana yang untuk makan dengan standar umum saja begitu sulitnya. Apakah “sistem pemerintahan dan perekonomian yang telah terkooptasi” seperti konstatasi Christine Lagarde di atas memberi kita garansi akan masa depan yang lebih baik, atau justru memberi ruang dan peluang bagi ketertindasan baru dan bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang lebih mencekam dan menggiriskan?

Di tingkat lokal, data resmi juga memberi fakta serupa. Di mana 20 persen penduduk kita mendapatkan 49 persen dari pendapatan nasional (PN), berbalik dengan 40 persen penduduk miskin hanya mendapatkan 16 persen dari PN. Di antara 20 persen itu, 405 orang terkaya Indonesia memiliki harta tak kurang dari 120 miliar dollar AS (Rp 1.440 triliun) atau setara dengan APBN 2012. Dan, dari jumlah itu, hanya 0,2 persen penduduk kita saja yang menguasai 56 persen dari aset nasional.


Dalam kompetisi kapitalistik yang sesungguhnya tidak ekual, data itu dipastikan akan berkembang semakin menyudutkan rakyat secara keseluruhan. Koefisien gini yang tumbuh pesat sepuluh tahun terakhir (dari 0,3 di tahun 2002 menjadi 0,4 di tahun 2013) menjadi indikasi akan tak terhentikannya pertumbuhan kapitalistik yang mengalami kebuncitan obesitas di lapisan atas dan kebuncitan HO (honger oedema) di lapisan bawahnya.

Bagaimana kemudian kita bisa beramai-ramai berpesta, bahkan sudah begitu riuh dalam persiapannya, hanya untuk sebuah kata “demokrasi” yang tidak hanya menghabiskan uang rakyat ratusan triliun, tetapi juga hanya untuk membiayai cocktail kekuasaan kaum elite dan menyisakan infrastruktur hancur kaum alit?!

Bangsa ini membutuhkan cermin atau penggebuk besar untuk menyentak diri melakukan refleksi dan kontemplasi. Tragik dunia Janus tidaklah cukup pantas untuk diselebrasi. Niat harus diluruskan dan diluhurkan untuk menciptakan pikiran dan tindakan cerdas menanggapi realitas di atas, lokal maupun global, yang senantiasa terkait.

Kesadaran para pemimpin —daerah dan pusat— harus diperluas cakrawalanya, sehingga ketidaktahuan dan ketidakmengertian kemudian tidak menjadi ketidakpedulian pandir yang membuat negeri ini justru kian terperosok dalam tragedi-tragedi kemanusian yang sistemik di masa depan.

Kita tampaknya harus sungguh-sungguh berpikir ulang, apakah sistem-sistem yang kita rayakan secara berkala ini dapat dipertahankan dalam realitas yang membuat miris di atas? Apakah kunci yang dipegang tangan kanan Janus akan digunakan untuk membuka kuilnya di Laurentium dan perang pun terjadi sebagai akibatnya? Atau justru ia membuka pintu Eden di mana harapan dan kegemilangan manusia ada di dalamnya?

Hanya yang eling dan waspada yang bisa luput dari neraka paradoks Janusian yang mengintip tajam di balik hati kita.

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 24 Februari 2014

Monday, February 24, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 5)


Ahad,12 Januari 2014. Mengapa ucapan terima kasih juga kepada Endang Tarsa dan Bambang Sukoco? Karena, keduanya sebagai penyidik yang melaksanakan penahanan. Keduanya yang tanda tangan berita acara penahanan. Endang memulai dengan kalimat, “Tidak enak ini saya sampaikan kepada Pak Anas.

Saya langsung potong dengan jelas dan tegas, agar mereka menyampaikan kepada saya tugas untuk menahan. Perhitungan saya memang akan ditahan pada hari ketika saya datang ke KPK.

Wajah Endang kelihatan agak gugup ketika menyampaikan hal itu. Lebih gugup lagi adalah Bambang yang ketika itu tidak berkata-kata. Menurut saya, mestinya Bambang sebagai ketua tim yang menyampaikan. Entah mengapa, Endang yang menjadi jubirnya. Mungkin karena senior atau faktor lain.

Terima kasih karena mereka berdua sudah mengeksekusi penahanan saya berdasarkan surat perintah penahanan yang diteken (ditanda-tangani) Abraham Samad. Saya hargai itu, meskipun kelihatan agak gugup dan tidak enak hati, keduanya melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai perintah pimpinan.

Sebetulnya ada lagi penyidik lain, M Rifai, polisi asal Grobogan, Jawa Tengah, yang ikut nimbrung ngobrol soal penahanan. Lalu, ada juga perempuan penyidik, namanya Salmah, yang sejak awal masuk-keluar ruang pemeriksaan untuk koordinasi dengan Endang dan Bambang. Penampilannya dingin tanpa seulas senyum pun. Dari mereka berempat, Salmah yang paling tampak tampil sebagai penyidik.


Lalu apa kaitan ucapan terima kasih kepada Heri Muryanto? Dia adalah ketua tim penyidik ketika kasus saya ini mulai dipandang harus diseriusi. Bersama beberapa penyidik lain, dia ditugaskan sebagai “juru masak” Harrier menjadi kasus gratifikasi Hambalang.

Penjelasan saya tentang mobil Harrier yang bukan gratifikasi, apalagi dari Adhi Karya yang menggarap proyek Hambalang, kalah dengan cerita palsu Nazaruddin dan pegawainya yang bernama Marisi Matondang. Cerita palsu yang meyakinkan itulah yang oleh Heri dinaikkan menjadi kasus gratifikasi dengan segala lika-likunya, termasuk pembocoran sprindik.

Heri pasti dianggap berjasa dan semoga segera mendapat promosi jabatan. Wajar jika saya mengenang nama Heri Muryanto dan mengucapkan terima kasih.

Pastilah yang paling dibahas dan disorot adalah ucapan terima kasih saya kepada Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Saya berkeyakinan, berdasarkan apa yang saya alami di Partai Demokrat, apa yang saya dengar dan rasakan, dan saya analisis, Pak SBY secara langsung atau tidak langsung punya peran untuk mentransmisikan masalah politik internal Partai Demokrat menjadi masalah hukum di KPK. Pidato politik dan hukum yang dilakukan di Jeddah, Arab Saudi, jelas merupakan tekanan dan intervensi.


Proses pengambilalihan kewenangan saya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan perintahnya agar saya berkonsentrasi menghadapi masalah hukum adalah penggiringan politik yang nyata bersamaan dengan saat-saat krusial penetapan saya menjadi tersangka.

Boleh saja Pak SBY berdalih tidak melakukan intervensi. Bisa saja pernyataan saya ini dibantahnya dengan cara yang paling canggih dan meyakinkan. Atau, dia membantah lewat para pembantu dan pengacaranya, apakah Djoko Suyanto, Ruhut Sitompul, Palmer Situmorang, atau Heru Lelono. Tetapi, Pak SBY dan mereka semua tidak bisa membantah fakta-fakta yang diproduksi oleh Pak SBY sendiri.

Pernyataan dan analisis dapat dibantah, tapi apakah fakta bisa dibantah dan disembunyikan?

Seperti cara Heru Lelono membantah saya lewat wawancara dengan harian Rakyat Merdeka, 12 Januari 2014, halaman 2. Dengan cara yang meyakinkan, Heru membantah Pak SBY intervensi. Kalau Pak SBY intervensi, berarti itu sama saja melecehkan KPK. Ini bahasa yang sering saya dengar di dalam bantahan-bantahan itu.

Bahkan, Heru tak segan-segan berbohong dengan mengaku pernah mengatakan kepada saya —disebutnya “sahabat saya Anas”— bahwa kebenaran ini suatu saat akan terungkap. Sebab, kesalahan itu hanya sementara bisa disembunyikan.

Saya ingat betul dan yakin betul bahwa Heru tidak pernah mengatakan itu kepada saya, apalagi terkait dengan kasus di KPK. Jangankan mengatakan, pernah ketemu atau komunikasi saja tidak. Sejak saya di Partai Demokrat, hanya beberapa kali saya bertemu Heru di Cikeas. Itupun tidak perna bicara serius, hanya menyapa dan ngobrol ringan. Sejak saya di DPR dan Pak SBY menjadi presiden periode kedua, belum pernah saya berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Bagaimana dia bisa menyampaikan pesan itu kepada saya, kecuali pesan imajiner? Atau, jangan-jangan, pesan itu sebenarnya untuk orang lain yang dekat dengan dia?


Menjelang tidur, saya sempat ngobrol agak panjang dengan Amir Ishak, petugas jaga yang baru dapat giliran malam. Asalnya dari Kebumen, Jawa Tengah. Orangnya enak, ramah, dan cepat akrab.

Sabar saja, Pak Anas. Nasib kita sama,” begitu nasihatnya.

Dia menjelaskan, maksudnya sama-sama sepi, tak ada hiburan, tak ada tontonan. Bedanya, dia menjaga, saya dijaga. Sebagaimana petugas yang lain, jatah jam jaga adalah setengah hari alias 12 jam. Tugas Amir hari ini akan berakhir pagi nanti jam tujuh.

Saya sabar mendengarkan dia bercerita tentang sejarah politik dan kerajaan zaman dulu. Dengan fasih, dia menjelaskan naik-turunnya kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak Tumapel, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Datang dan perginya raja-raja Jawa itu dia jelaskan dengan terperinci mirip guru sejarah. Menarik karena wawasan sejarahnya cukup bagus. Saya hanya khusyuk mendengarkan sembari kasih komentar tambahan sedikit-sedikit.

Inti dari sejarah politik kerajaan-kerajaan Jawa dulu adalah politik “bumi hangus”. Setiap pemenang selalu menghancurkan yang dikalahkan. Kerajaan diluluh-lantakkan dan yang dianggap berharga dibawa pergi oleh pemenang perang. Pusat kerajaan yang kalah diratakan dengan tanah sehingga yang tersisa tinggal kenangan. Jikapun ada, hanya bekas-bekas reruntuhan atau situs yang tak lagi utuh. Politik bumi hangus dan dendam tak berkesudahan hampir menjadi model politik sampai Indonesia memasuki zaman modern.

(Bersambung)
Sumber:
www.asatunews.com

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 4)

Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas.

Ahad,12 Januari 2014. Malam tadi, Thohari diganti oleh orang Kalasan, Yogyakarta, yang tinggi, besar, tegap, dan berkepala plontos. Namanya Surajan. Pagi ini kembali ada pergantian petugas jaga. Kali ini orang asli Nganjuk bernama Warseno. Semuanya sama, eks tentara, tepatnya polisi militer di Guntur, Jakarta. Sebelum pergi, Surajan menitipkan bungkusan plastik. “Ini titipan dari Pak Fathanah untuk Pak Anas,” katanya sembari pamit dan mengenalkan petugas jaga yang baru, Warseno.

Dari Warseno, saya dapat informasi masih ada dua orang lagi yang bertugas bergantian. Namanya Amir Ishak dan Damuri. Warseno orangnya juga enak dan grapyak, khas orang Jawa Timur. Dari Warseno, saya sempat pinjam alat pel untuk bersih-bersih lantai. Biar lebih bersih dan segar.

Budi sempat melihat dan melontarkan ledekan. Dia meledek sambil menawarkan diri untuk mengepel. Saya jawab, sebagai bekas anak indekos, urusan bersih-bersih lantai bukanlah hal yang asing.

Dia lalu bertanya, apakah saya pernah membaca buku tentang Mandela. Saya menjawab, pernah menonton filmnya. Dia menasihati saya agar tenang dan sabar sebagai “tapol” (tahanan politik). Saya tidak tahu kenapa dia menyebut saya tapol.


Bagi siapa saja yang berada dalam tahanan, merasa kemerdekaannya diambil, saling menasihati untuk tenang dan sabar adalah hal penting dan relevan. Dia bilang, zaman berputar. Saya jawab, semua akan berlalu.

Dia bilang, siapa yang zalim akan dapat karmanya. Saya jawab, akan kembali kepada dirinya atau anak keturunannya, bisa langsung atau tidak langsung, bisa tunai, bisa juga dicicil.

Budi bilang, kalau umur panjang, ia akan melihat bagaimana karma itu bekerja. Saya menjawab, tidak usah menunggu dan mengharapkan begitu, karena semua berlaku atas ketentuan Tuhan. Kalau Tuhan menimpakan mudarat kepada makhluk-Nya, siapa pun tak dapat menghalangi. Kalau Tuhan mendatangkan rahmat, juga tidak bisa dicegah oleh kekuatan apa pun. Tetapi, saya setuju karma akan datang, tidak perlu dijemput atau diberitahu alamatnya, karena sudah punya alamat masing-masing yang akan didatangi.

Anas (Ketua Umum Partai) dan Ibas (Sekretaris Jenderal Partai), akrab karena 'Politik'.

Rupanya, media massa menjadikan Anas sebagai berita utama. Ada berita tentang kiriman makanan dan surat dari Tia yang ditolak petugas. Ada berita tentang tantangan KPK kepada Anas untuk bicara tentang keterlibatan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) kepada penyidik.

Kata Johan Budi, pernyataan harus disertai fakta dan bukti. Jangan asal ngomong. Tentu saja apa yang disampaikan Johan Budi itu benar adanya. Meskipun begitu, tidak bisa dihindari kesan melindungi Ibas. Sama dan sejalan dengan beberapa pernyataan dia sebelumnya. Kalau keterangan menyangkut Ibas selalu dijawab harus divalidasi dulu. Tidak harus dipanggil karena harus divalidasi dulu. Wajar saja, karena Ibas adalah anak presiden. Tidak mungkin anak presiden tidak mendapat perlakuan khusus.

Sama dengan Abraham yang berkali-kali statement-nya mirip dengan lawyer. Pernyataan Ketua KPK itu jika dicermati sudah menempatkan dirinya sebagai benteng hukum atau pengacara Ibas. Bahkan, pada suatu kesempatan malah menyerang Yulianis, seorang saksi, yang ia sebut sebagai orang aneh. Dibilang aneh karena hanya bicara dan tidak pernah tertuang ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Meskipun itu kemudian diprotes oleh Yulianis dan dinyatakan sudah termuat di dalam BAP, Abraham belum pernah berani merespons protes Yulianis tersebut.


Di media juga dibahas pernyataan yang katanya tidak lazim. Ucapan terima kasih saya dianggap statement kontradiktif atau kode-kode. Silakan saja dibahas dan dianalisis seperti apa. Kata-kata saya itu sudah menjadi milik publik dan bebas dipandang dari berbagai sudut, tergantung pada siapa yang melihatnya. Tafsirnya bebas dan demokratis.

Ucapan terima kasih kepada Ketua KPK, Abraham Samad layak disampaikan karena pada akhirnya saya ditahan juga. Berita tentang rencana penahanan saya sudah banyak (beredar) pada bulan Ramadan (tahun 2013) silam. Waktu itu disampaikan kepada publik bahwa penahanan akan dilaksanakan setelah Lebaran. Lalu ada perubahan alasan, ditahan setelah selesai audit investigasi BPK. Ternyata belum juga ditahan. Kemudian ada pernyataan beberapa kali yang intinya minggu depan dan minggu depan.

Karena belum juga ditahan, para wartawan tetap rajin memburu pernyataan pimpinan KPK. Jawabannya, pokoknya nanti akan ditahan. Begitu penjelasannya. Karena belum ditahan juga, kemudian muncul alasan kekhawatiran kalau ditahan malah bisa bebas demi hukum. Waktu terus berjalan, kemudian lahir wacana ditahan sebelum akhir tahun 2013. Dan belakangan ada alasan, karena ruang tahanan di KPK sudah penuh, lalu ada pernyataan lain menunggu selesainya pembangunan Rutan (Rumah Tahanan) KPK di Guntur serta serah-terimanya kepada KPK. Bahkan, Tempo pernah merilis foto calon ruang tahanan untuk Anas di Guntur.


Jadi, ketika Jumat, 10 Januari 2014, terbit surat perintah penahanan yang diteken Abraham Samad, segala ketidakpastian dan silang-sengkarut alasan tentang belum ditahannya Anas selesai sudah.

Wartawan dan saya tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan dan di mana akan ditahan. Kita boleh khawatir karena makin banyak alasan penundaan penahanan serta alasan yang berubah-ubah dan berbeda-beda akan menurunkan kredibilitas sang pembuat alasan. Saya sendiri juga tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tentang kesiapan ditahan dan sejenisnya.

Jadi, ucapan terima kasih itu saya sampaikan karena Abraham telah membuat dan meneken (menandatangani) surat yang membuat pasti kapan dan di mana saya ditahan. Kepastian untuk saya, untuk keluarga saya, untuk media, dan bahkan kepastian untuk Abraham sendiri.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Sunday, February 23, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 3)


Sabtu, 11 Januari 2014. Tentu saja normal kalau saya bersedih atas hilangnya kebebasan di ruang tahanan. Tidak bisa berinteraksi normal dengan istri, anak-anak, dan keluarga besar. Tidak bisa bergaul dengan teman-teman dan para sahabat. Ruang hidup menjadi sempit, dibatasi tembok, pintu, petugas jaga, dan kewenangan penyidik. Ringkas kalimat, irama kehidupan berganti dari merdeka menjadi tidak merdeka. Status tahanan, berbaju kebesaran tahanan KPK, ditempatkan di kamar yang untuk sementara tidak boleh keluar sama sekali —makan, minum, mandi, shalat, dan tidur di tempat yang sama. Transformasi drastis dari kesempatan menjadi kesempitan.

Alhamdulillah, sedihnya adalah sedih biasa. Bukan sedih yang tak terkendali. Tidak perlu murung, marah-marah, atau bersungut-sungut. Sedih manusiawi yang harus dikelola menjadi energi positif. Saya meyakini ini adalah suratan takdir yang telah ditulis Gusti Allah dalam ketetapan-Nya. Ya, harus dilalui, dihadapi, dilewati dengan ikhlas dan penuh ikhtiar mencari dan menemukan keadilan. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh tanpa pengetahuan dan ketetapan Tuhan, apalagi atas diri seorang manusia bernama Anas. Pasti semuanya sudah sesuai tulisan takdir Tuhan.

Saya teringat ayat Tuhan, “Apa yang tidak kamu sukai belum tentu buruk buat kamu.” Kira-kira intinya begitu. Saya berusaha husnudzan semoga peristiwa ini menjadi jalan untuk menemukan ilmu dan hikmah yang diajarkan Tuhan di tempat-tempat sempit dan jauh dari kesenangan dan kenyamanan.


Sabar menjadi penting. Katanya, sabar itu bagian penting dari iman. Sabar terhadap musibah, kesedihan, kekurangan, kesempitan, ketakutan adalah ajaran iman yang penting. Orang baru berteori dengan sabar ketika belum dapat musibah. Ketika datang musibah, sabar menantang untuk dipraktikkan.

Di ruang tahanan ini ada kesempitan, di tempat lain mungkin ada kesempitan yang lebih. Di sini ada kesedihan. Di tempat lain pasti ada kesedihan juga. Di sini ada ketidaknyamanan, di tempat lain menyebar pula ketidaknyamanan. Bahkan mungkin di tempat-tempat kesenangan dan kekuasaan, ada pula ketakutan dan ketidaknyamanan, karena tenang adalah urusan jiwa. Di tempat yang tenang dan nyaman belum tentu jaminan ada jiwa yang tenang pula.


Barangkali banyak yang tidak bisa tidur pulas, tidak seperti nikmatnya tidur yang saya rasakan di ruang tahanan ini pada malam pertama.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Saturday, February 22, 2014

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 2)


Sabtu, 11 Januari 2014.Pak Haji, sudah jam empat pagi,” begitu suara keras Timur Pakpahan membangunkan saya.

Iya, Bang, terima kasih,” saya menyahut.

Saya memang berpesan kepada Timur untuk membangunkan kalau sudah jam empat pagi. Alhamdulillah, permintaan itu dipenuhi dengan baik.

Malam pertama ditahan ternyata tidur saya nyenyak. Bahkan lebih awal tidur dari waktu biasanya. Jika hari-hari biasanya tidur jam satu dini hari ke atas, tadi malam saya sudah tertidur sekitar jam 23.00. Tidur pulas, tidur berkualitas. Kok bisa? Rupanya Gusti Allah kasih anugerah tidur pulas berkualitas.

Setelah shalat Subuh, kembali saya tidur. Sekitar jam tujuh, saya bangun karena ada suara Timur lagi. Dia mengenalkan petugas jaga penggantinya. Namanya Thohari, orang Trenggalek. Sama dengan Timur, rupanya Thohari adalah pensiunan tentara.

Kulo asli Trenggalek, Pak Anas,” begitu Thohari mengenalkan asalnya.

Nggih, tonggo dhewe,” saya merespons dengan bahasa Jawa. Dia juga menyebut bertetangga dengan Priyo Budi Santoso di Trenggalek.


Muncul pula Rudi Rubiandini, masih pakai kopiah putih. Rupanya mau mengaji. Setelah berbaik hati kemarin malam meminjamkan sajadah, sarung, dan handuk. Hari ini, saya dipinjamkan buku-buku dan majalah. Alhamdulillah. Terima kasih, Prof.

Ada buku Tadabbur al-Quran, Obat Penawar Hati yang Sedih, majalah Trubus, Time, dan Traveller. Sungguh buku dan bahan bacaan menjadi teman berharga di tahanan.

Buku dan bacaan adalah menu untuk pikiran. Shalat dan zikir bagiannya hati. Lalu, bagaimana dengan urusan perut? Terus terang tadi malam saya sengaja tidak makan. Soalnya, kiriman makanan karena satu dan lain hal belum bisa sampai. Hanya kiriman pakaian, roti, dan air minum kemasan yang tiba. Di ruang pemeriksaan, saya tidak makan, tidak minum, meskipun disediakan. Di dalam ruangan tahanan juga ada jatah makan malam: nasi merah, sayur, dan telur rebus. Saya hanya ambil telur rebusnya. Alhamdulillah, Rudi memberi saya roti, wafer, dan kue mirip kue bolu. Itu yang, Bismillah, saya sikat. Bukan urusan lapar atau tidak lapar. Ini hanya urusan berhati-hati. Berhati-hati saja kadang kala terpeleset, apalagi kalau ceroboh.

Sebagai tahanan, pagi ini saya dapat jatah kue nagasari. Ada tiga biji dikemas dalam kotak plastik. Sebetulnya kue nagasari termasuk enak dan favorit saya, tetapi saya tidak sentuh. Sisa wafer tadi malam saya habiskan. Tetapi yang namanya rezeki kalau mau datang, ya, datang saja. Rupanya Budi Santoso dan Rudi sarapan bareng. Saya dapat kiriman nasi bungkus ikan cakalang. Saya tidak tahu dipesan dari mana, tapi yang jelas rasanya maknyus. Terhadap nasi bungkus itu saya husnudzan saja dan menjadi menu sarapan pagi yang bersejarah: makan pagi pertama di ruang tahanan.


Nasi bakar cakalang itu kembali hadir saat makan siang. Berarti ketika sarapan ada stok sisa untuk jatah makan siang. Jatah makan siang resmi dari KPK tidak saya makan. Tentu saja tidak boleh mubazir dan ada caranya agar tidak mubazir dan tetap bermanfaat. Makan siang makin spesial karena ada minuman cokelat panas. Rupanya Rudi hobinya cokelat panas. Kalau Wawan lebih suka wedang jahe panas.

Jadi untuk urusan makan minum, Alhamdulillah, tidak ada masalah. Para senior, Prof Rudi, Kang Wawan, dan Mas Budi berbaik hati. Mungkin kasihan ada yunior yang belum bisa dapat kiriman dari keluarganya. Selebihnya pasti karena terpanggil perasaan senasib dikurung di lantai bawah Gedung KPK.

Hari ini pula saya sempat baca koran. Tentu saja, semua berita utamanya tentang Anas, dengan gaya penulisan masing-masing dan arah politik redaksinya sendiri-sendiri. Foto yang paling dramatis ada di Koran Tempo. Gambarnya adalah Anas yang kaget dilempar telur. Gambarnya menarik dan dramatis. Lalu, saya teringat peristiwa tadi malam. Selain memberi keterangan pers sedikit sebelum masuk ke ruang tahanan, dalam kondisi terjepit dan berdesak-desakan ada orang memukul pakai telur. Tangannya hanya sedikit menyentuh kepala, telurnya yang telak. Rasanya seperti keramas pakai telur. Inilah yang boleh disebut Jumat Keramas.

Sesampai di Posko Rutan KPK, saya tanya, siapa tadi yang memukul pakai telur. Tidak ada yang tahu siapa orangnya. Saya hanya pesan kepada petugas keamanan KPK yang mengantar saya agar yang bersangkutan jangan diapa-apakan. Saya khawatir ada yang memukul balik. Dari koran baru ketahuan, yang bersangkutan bernama Aryanto, Ketua LSM Gempita, Palmerah, Jakarta Barat. Apa pun motifnya, apakah inisiatif pribadi atau ada yang menyuruh, Aryanto tidak perlu diapa-apakan. Saya mendoakan semoga apa yang dilakukan itu mendatangkan kepuasan bagi dirinya atau pihak yang memesannya —jika ada. Hikmahnya adalah saya mandi keramas, rambut jadi bersih. Jumat Keramas!

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 1)


Jumat, 10 Januari 2014. Kamarnya agak luas. Lumayan untuk ukuran kamar tahanan dibanding yang saya bayangkan, seperti kamar waktu dulu indekos di Surabaya atau Jakarta. Tempat tidurnya kecil, cukup untuk satu orang. Ada kamar mandi dan toilet yang dibatasi tembok. Ada pula wastafel dan rak piring kecil. Pokoknya mirip kamar indekos mahasiswa.

Penjaganya adalah pensiunan tentara yang baru direkrut. Namanya Timur Pakpahan, orang Siantar, yang sejak 1978 masuk Jakarta. Kami ngobrol santai ngalor-ngidul, termasuk cerita-cerita di kalangan militer dan politik. Kesan saya, dia orangnya enak.

Ketika masuk, saya langsung disambut beberapa penghuni yang sudah lebih awal bermukim di sini. Sebut saja Rudi Rubiandini. Malah, saya dapat pinjaman sarung, sajadah, dan handuk, sambil menunggu kiriman dari rumah. Ada pula Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Budi Santoso, yang memperkenalkan diri sebagai teman Djoko Susilo. Mereka kompak bilang selamat datang.

Sabar saja, Mas,” begitu pesan dan nasihat mereka.

Tentu, saya sudah membayangkan akan ditahan ketika berangkat dari rumah. Alhamdulillah, ketika pamit kepada Tia, saya sudah dibekali dengan kalimat dukungan ikhlas, ridho, dan doa agar kuat. Memperjuangkan keyakinan tidak bersalah di medan yang berat adalah tantangan tersendiri. Apalagi di KPK, lembaga yang dianggap selalu benar dan hampir tanpa kritik, karena kritik kepada KPK dianggap sebagai pro-koruptor. KPK memegang kekuasaan yang nyaris absolut. Modal ridho dan doa dari istri buat saya adalah energi tersendiri yang spesial nilainya.

Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Anas Urbaningrum, Rudi Rubiandini.

Seperti yang saya sampaikan ketika ke luar pintu KPK dengan baju kebesaran tahanan, yang tanda tangan surat perintah penahanan adalah Abraham Samad, Ketua KPK yang gagah perkasa karena sering mengatakan hanya takut kepada Tuhan. Abraham adalah calon komisioner KPK yang menjelang fit and proper test di DPR datang ke Durensawit, tengah malam, untuk meminta dukungan. Abraham datang diantar Salahuddin Alam, teman saya di Partai Demokrat asal Sulawesi.

Malam itu, tanpa saya minta, Abraham menyampaikan komitmen untuk saling dukung dan saling menjaga sebagai sesama anak muda. Ternyata, di dalam proses saya menjadi tersangka terdapat peran serius Abraham, yang bahkan menyampaikan harus pakai cara kekerasan. Istilah yang dipakai adalah “pakai kekerasan dikit”. Tentu saja dalam kalimat itu terkandung makna memaksa atau pemaksaan atau keharusan. Entah maksudnya memaksa dari segi waktu atau dari segi substansi perkara yang disangkakan.

Surat perintah penahanan disampaikan dan diberikan oleh penyidik yang memeriksa. Rupanya sprindik ada dua, yaitu No 14 dan No 14-A tanggal 22 Februari dan 15 Maret 2013. Ketua tim adalah Bambang Sukoco dan di dalam tim itu ada penyidik senior dari Polri, Endang Tarsa. Di dalam sprindik No 14-A itulah Nama Endang Tarsa tercantum. Jadi, jumlah penyidik cukup banyak. Kalau tidak salah sepuluh orang, yakni empat penyidik pada sprindik No 14 dan enam orang pada sprindik No 14-A. Kedua sprindik itu diteken oleh Bambang Widjojanto.

Dijelaskan oleh Endang Tarsa bahwa sprindik No 14-A terbit untuk membantu tim penyidik dalam perkara sprindik No 14. Membantu tentu maknanya memperkuat karena tim sebelumnya dirasa belum cukup. Istilah Endang: “Saya hanya membantu Pak Bambang Sukoco.

Saya lirik, Bambang hanya tersenyum mendengar keterangan Endang.


Dalam tim penyidik pertama berdasarkan sprindik No 14 ada nama Bakti Suhendrawan, yang kabarnya adalah teman Agus Harimurti Yudhoyono di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Fakta itu dibilang menarik bisa, dibilang biasa-biasa saja dan kebetulan juga bisa.

Pada kesempatan awal, saya bertanya tentang frasa “dan atau proyek-proyek lainnya” di dalam surat pemanggilan dan ternyata kata-kata itu berdasarkan pada sprindik yang diteken BW itu. Baik pada sprindik No 14 maupun pada sprindik No 14-A bunyi kalimatnya sama. Endang menjelaskana bahwa memang dasar surat panggilan berawal dari sprindik dan itulah simpulan gelar perkara. Hal itu tidak perlu dijelaskan di surat panggilan, cukup di jelaskan ketika pemeriksaan.

Ketika saya desak, apa itu maksudnya, dia menjawab, misalnya proyek pembangunan gedung Biofarma, pembangunan universitas-universitas, pembangunan gedung pajak —sesuatu yang saya tidak tahu maksudnya.

Saya menyampaikan usulan dan permintaan. Jika itu yang dimaksud, agar disiapkan surat pemanggilan baru yang secara jelas menyebutkan nama-nama proyek tersebut. Tetap saja tidak bisa, katanya. Karena dasarnya dari sprindik dan saksi-saksi sudah dipanggil dengan bunyi kalimat tersebut.

Kemudian penyidik lain, Salmah, membawakan contoh surat kepada saksi. Intinya, pokoknya tidak bisa, karena sudah sesuai prosedur dan sprindik. Meskipun berkali-kali saya katakan itu sebagai terobosan dan tidak melanggar aturan serta tidak bertentangan dengan sprindik, bahkan sebagai upaya kerja sama, tetap saja ditolak.


Endang Tarsa adalah penyidik senior yang juga Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK. Tentu saja pengalamannya panjang dan dianggap bisa menangani kasus saya sesuai arah keputusan KPK. Saya tidak tahu apakah ada pejabat setingkat direktur penyidik yang “turun gunung” menjadi anggota dari anak buahnya sendiri. Tentu saja ini kehormatan, karena untuk kasus gratifikasi Harrier dan atau yang lain-lain diturunkan penyidik senior kelas tinggi.

Tetapi, yang tidak saya sangka-sangka, Endang sempat bertanya tentang PPI. “Sudah ada di mana saja?” Begitu dia bertanya sambil bilang bahwa hal itu untuk pengetahuan saja.

Tentu pertanyaan menarik itu saya jawab juga. Karena, tidak ada yang rahasia dan perlu disembunyikan tentang PPI.

Ketika saya tanya tentang identitas Bambang Sukoco, dia menyebut sebagai alumni Yosodipuro. Tentu saya mengerti yang dimaksud, yakni markas HMI Cabang Solo. Dia bilang pernah menjadi bendahara pada zaman Adib Zuhairi menjadi Ketua Umum HMI Cabang Solo. Bambang mengaku kenal Johny Nur Ashari, Kholiq Muhammad, Yulianto, Dwiki Setiawan, serta beberapa teman saya dari HMI Solo.

Ada kesan, Bambang agak segan. Bahasa tubuhnya kurang nyaman dan sering menunduk.


Saya bilang kepada Bambang, tidak perlu memanggil “Pak”, panggil saja “Mas”. Dia bilang, “Iya, Pak. Iya, Mas.” Kadang panggil “Mas”, kadang panggil “Pak”. Terasa benar agak kikuk, meskipun saya berusaha mencairkan suasana agar santai. Kalau benar dia alumni HMI Solo seangkatan Adib Zuhairi, pasti dia agak tahu tentang saya zaman itu. Tetapi, saya menghormati posisi dan tugasnya sebagai ketua tim penyidik kasus saya. Sebagai penyidik yang berasal dari kepolisian dan sekarang sudah menjadi pegawai tetap KPK, Bambang tengah menjalani tugas dari pimpinan.

Ketika saya tanyakan, “Kok bisa saya jadi tersangka gratifikasi Harrier?” Dia hanya tertawa.

Kok aneh, saya bisa jadi TSK di KPK untuk kasus gratifikasi Harrier?” Dia tertawa lagi.

Buat saya, tawa Bambang punya makna besar dan saya yakin hatinya bergejolak.

Yang jelas, hari ini, Jumat, 10 Januari 2014, saya ditahan di lantai bawah KPK. Pasti ada yang senang dan bahagia dengan penahanan ini. Ada pula yang bersedih. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Itulah dua sisi kehidupan yang tak terpisahkan. Saya harus memandangnya biasa saja, karena pasti tidak ada yang kekal. Semua akan berganti. Semua akan berlalu.

(Bersambung)

Sumber:
www.asatunews.com

Wednesday, February 19, 2014

Menyikapi Iklan Politik


Gencarnya iklan politik di televisi menuai kritik publik. Beberapa waktu lalu, gabungan mahasiswa berbagai kampus dengan mengatasnamakan Gerakan Frekuensi Milik Publik mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, mendesak KPI agar bersikap tegas terhadap tayangan iklan bernuansa kampanye. KPI sejatinya telah menegur dan memberi peringatan tertulis kepada enam stasiun televisi nasional terkait dengan tidak proporsionalnya siaran iklan bernuansa politik dan pemberitaan tidak berimbang terhadap semua partai politik. Agaknya peringatan KPI itu diabaikan dengan dalih penilaian atas iklan politik sebagai iklan kampanye adalah domain Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

KPI kini menghadapi dua arus. Pertama datang dari dorongan publik agar bertindak tegas terhadap banyaknya iklan politik di industri layar kaca, khususnya terhadap para owner (para pemilik) media penyiaran yang aktif di partai politik. Arus kedua datang dari industri televisi (lembaga penyiaran). Pihak lembaga penyiaran kerap berkelit soal iklan politik bukanlah iklan kampanye. KPI dinilai tidak berkompeten untuk memberikan sanksi dalam permasalahan pemilu. Bahkan, jika kedua regulator di rezim Pemilu 2014 (KPU dan Bawaslu) tidak menindak iklan yang ditayangkan, maka tindakan KPI terhadap penayangan iklan politik bisa dinilai sebagai melampaui kewenangan.

Penilaian semacam ini menjadi pertimbangan KPI dalam konteks penguatan legal standing penindakan terhadap iklan politik televisi. Masalahnya, nomenklatur “iklan politik” tidak verbal disebut dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPR, dan DPRD maupun di UU Nomor 32 tentang Penyiaran. Problem penyikapan iklan politik kian pelik mengingat nomenklatur “iklan kampanye”, baik bagi KPU maupun Bawaslu, harus memenuhi unsur subyek, ajakan, dan penyampaian visi-misi secara kumulatif. Maka jika “tidak kumulatif”, iklan politik tak dapat dikategori sebagai iklan kampanye. Nuansa batin ini yang melatari kehati-hatian KPI terkait dengan indikasi iklan kampanye.


Konteks ini, KPI sedang berikhtiar menyikapi tuntutan publik atas iklan politik dengan berupaya mengambil kebijakan dengan paradigma progresif. Sebab, secara sosiologis, publik (pemirsa) ketika melihat tayangan iklan politik, apa pun bentuknya, tidak akan melihat definisi nomenklatur “iklan kampanye” sebagai sebuah kampanye. Yang dibutuhkan saat ini, bukan lagi pendekatan hukum normatif semata, melainkan lebih mengedepankan etika publik dan beragam pemaknaan yang progresif.

Sebagai lembaga publik, KPI menyadari tugas dan tanggung jawabnya adalah mengabdi bagi sebesar-besarnya kepentingan publik. Karena itu, selain telah menegur enam stasiun televisi, KPI sedang merumuskan kebijakan batasan dan atau larangan terhadap semua tayangan politik hingga dimulainya masa kampanye (penghentian sementara). Selain itu, keputusan KPI tentang penjelasan terhadap perlindungan kepentingan publik, siaran jurnalistik, iklan, dan pemilihan umum dalam tahap finalisasi.

Perangkat aturan teknis dan hukum normatif senyatanya belum mampu menjangkau pengaturan atas iklan politik di televisi. Dengan kecanggihan seni dan kreativitas program, industri televisi lihai berkelit dan mampu menyiasati aturan. Terlebih, televisi sejatinya beroperasi di domain non-teknis (kognisi pemirsa). Televisi mempunyai “mesin reproduksi makna” sedemikian canggih yang dipoles dalam program tayangan. Ia mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang dikatakan dengan persuasi yang sedemikian halus. Iklan politik di televisi menyediakan multimakna dalam merekonstruksi realitas tak terkatakan: kepentingan kampanye yang tersembunyi di balik program edukasi dan hiburan.


Televisi berkekuatan hegemonik menjalankan politik representasi. Realitas dipermak secara dramatis. Kepentingan kampanye disajikan dalam “realitas yang sudah dikemas” (manufactured realities). Di sini, KPI, KPU, dan Bawaslu berada dalam arus kekuasaan media (mediocracy) yang secara sempurna merekayasa program dengan kampanye halus (soft campaign). Dengan menggunakan pendekatan hegemoni ala Gramsci, potret “kuasa media” telah berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan bergerak ke pemirsa tanpa paksaan.

Karena itu, ikhtiar kebijakan KPI mesti diimbangi dengan kesadaran etis lembaga penyiaran, terutama dari para pemiliknya. Bahwa frekuensi milik publik memang tak sepatutnya dipergunakan sepihak untuk kepentingan politik demi meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu. Mesti disadari bahwa jutaan masyarakat pemirsa (publik) Indonesia saat ini kian cerdas. Mereka kian paham, iklan tidak semata-mata merepresentasi integritas figur.

Iklan sebagai unsur politik yang kerap didesain sedemikian rupa sehingga menjadi jauh dari realitas yang sebenarnya, nampak justru semakin stigmatis. Iklan yang demikian hanya mampu memperbesar popularitas, namun miskin nilai elektabilitas. Kesadaran etis pemilik media sebagai tokoh masyarakat –apalagi sebagai calon pemimpin– sejatinya diukur dari sejauh mana mereka lebih mengutamakan kepentingan publik dibanding dengan kepentingan politiknya semata.

Jadi, memang tidak selayaknya dan tidak sepatutnyalah bagi siapapun, yang menggunakan frekuensi milik publik namun untuk kepentingan politik mereka sendiri.

Danang Sangga Buwana,
Komisioner KPI Pusat
TEMPO.CO, 3 Februari 2014

Friday, February 14, 2014

Bencana: Drama yang Menguntungkan

“Drama kehidupan di daerah bencana ternyata menjadi keuntungan tersendiri bagi sejumlah pihak.”

Awal tahun 2014, Indonesia terus dirundung bencana. Berminggu-minggu sudah korban Gunung Sinabung, Karo, Sumatera Utara mengungsi. Masyarakat Kabupaten Karo itu terpaksa mengungsi akibat letusan Gunung Sinabung. Hingga pertengahan Januari, Gunung Sinabung telah meletus sebanyak 254 kali.

Bencana Sinabung ini bahkan kian bertambah pilu, tatkala seorang korban Sinabung menuliskan kegelisahan hatinya di dunia virtual. Kegundahan hati seorang ibu korban Sinabung tersebut pecah dan muncul di dunia virtual, akibat terpancing foto-foto yang diunggah Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Dalam surat yang beredar di dunia virtual tersebut, sang ibu “berterima kasih” atas hiburan yang diberikan Ibu Ani melalui foto-foto hasil karyanya. Dalam suasana duka di pengungsian, seorang ibu negara justru mengirimkan foto-foto berlibur ke pantai bersama putranya dan juga kebahagiaan rumah tangga istana.

Namun, drama pilu akibat bencana, ternyata tak hanya milik korban Sinabung. Hingga pertengahan Januari, sejumlah daerah di Indonesia masih dilanda banjir, tak terkecuali Ibu Kota. Walaupun penanganan dari Pemda DKI Jakarta terbilang cukup cepat, hujan masih terus mengguyur sejumlah titik di Indonesia.


Mengeruk Untung
Indonesia boleh saja masih menangis. Sejumlah pengungsi masih terus dihantui dinginnya malam di tenda-tenda pengungsian. Kekurangan pasokan air bersih, makanan, dan selimut masih menjadi doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan sejumlah pengungsi.

Namun, drama kehidupan di daerah bencana ternyata menjadi keuntungan tersendiri bagi sejumlah pihak. Salah satu yang mengeruk keuntungan cukup besar tentu saja media massa. Terutama media televisi. Sajian berita tiap hari yang disuguhkan televisi tak lepas dari daerah banjir dan kegetiran hati para pengungsi.

Tangisan ibu-ibu dan bayi di pengungsian, ricuhnya pembagian bantuan, atau kegelisahan hati para pengungsi yang “terhibur” dengan foto-foto ibu negara, menjadi suguhan yang menarik bagi media massa, tak terkecuali layar kaca. Tangisan dan harapan pilu tersebut, ternyata berbuah manis bagi televisi.

Tangisan dan harapan pilu tersebut, telah menjadi komoditas yang menarik untuk ditampilkan televisi. Drama yang umumnya muncul di layar kaca dalam bentuk sinema elektronik atau sinetron, kini dapat ditemukan dalam tenda pengungsian. Komoditias tersebut ditangkap, diolah dan dijual televisi kepada khalayak.

Budaya mengasihani melalui layar kaca menjadi hal yang lumrah terjadi dan bahkan dikonsumsi sejumlah pihak.

Televisi sebagai media massa memang memiliki tanggung jawab mengabarkan informasi terkini dari berbagai penjuru. Namun, saat dihadapkan kepada informasi, televisi telah menunjukkan dua sisi mata uang sekaligus kepada pemirsanya. Informasi yang disuguhkan media sekaligus merupakan upaya media untuk “menjual” informasi.


Televisi telah menjadi alat bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan. Dalam ekonomi politik media, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep dasar. Salah satu konsep dasar dirumuskan sebagai sebuah proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Konsep ini disebut komodifikasi. Secara sederhana komodifikasi merupakan upaya media massa untuk mengolah apa pun menjadi tayangan atau produk yang dapat menghasilkan keuntungan.

Vincent Mosco membagi komodifikasi dalam tiga bentuk. Bentuk pertama adalah komodifikasi isi atau content media komunikasi. Proses komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang penuh makna hingga menjadi pesan yang marketable.

Bencana kini telah menjadi konten yang menarik untuk “dijual” media massa. Content yang muncul di ruang-ruang redaksi adalah content yang dapat “dijual” kepada khalayaknya. Oleh sebab itu tiap content yang dihasilkan haruslah menghasilkan keuntungan.

Melalui apa keuntungan tersebut didapatkan televisi? Sebuah tayangan dikatakan memiliki tayangan yang baik, dewasa ini, tak lebih adalah tayangan yang dapat mempersembahkan rating dan sharing yang tinggi. Karena rating dan sharing tinggi itulah, parameter bagi pemasang iklan.

Inilah yang perlu direnungkan? Dalam berita yang mengumbar bencana, content berita seperti apakah yang menarik bagi khalayak? Ternyata content berita menarik dalam bencana dikategorikan sejumlah televisi sebagai isak tangis balita, hawa dingin yang menggigit para pengungsi, kisruhnya koordinasi bantuan, hingga hiburan foto-foto sang ibu negara bagi korban Sinabung.


Kedua, komodifikasi audience atau khalayak. Salah satu prinsip dimensi komodifikasi media massa menurut Gamham dalam buku yang ditulis Mosco menyebutkan, pengguna periklanan merupakan penyempurnaan dalam proses komodifikasi media secara ekonomi.

Khalayak merupakan komoditas penting untuk media massa dalam mendapatkan iklan dan pemasukan. Media dapat menciptakan khalayaknya sendiri dengan membuat program menarik, khalayak yang tertarik tersebut dikirimkan kepada pengiklan. Perih rasanya, saat melihat para pengiklan memasang iklan saat laporan langsung reporter dari medan bencana. Belum lagi, saat sejumlah breaking news bencana tersebut, ternyata disponsori sejumlah brand ternama.

Rasanya program peduli atau kasih yang memberikan bantuan kepada para korban menjadi sekadar keharusan belaka. Namun, program tersebut tak jarang justru kembali dijual kepada publik sebagai sebuah acara televisi. Apalagi, tak sedikit artis atau publik figur yang ikut mendompleng tayangan bencana tersebut. Namun, saat sorotan kamera padam, secepat itu pula kepedulian mereka terhadap para korban surut.


Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi sampai distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara mengonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang seringkali “belum layak” seperti yang seharusnya.

Hati bertambah perih, tatkala melihat reporter muda yang begitu menggebu, ternyata hanya boneka belaka bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan. Semangat idealisme mereka sebagai pewarta, dimanfaatkan kaum kapitalis dengan mengomodifikasi liputan langsung di lokasi bencana.

Bencana, tak lagi hanya sebuah informasi bagi kotak ajaib bernama televisi. Tiap tangis balita maupun ibu-ibu, hawa dingin di tenda pengungsian, menjadi komoditas yang punya nilai jual tinggi. Televisi telah menjadi sarana empuk untuk memperkaya diri kaum kapitalis. Lalu di mana suara hati nurani? Masihkah ia bersenandung pilu bagi mereka?

Altobeli Lobodally,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mercu Buana
SINAR HARAPAN, 5 Februari 2014

Friday, February 7, 2014

Banjir Bukan Bencana


Harian Kompas (23/1/2014) menilai pemerintah gagap menghadapi bencana, khususnya banjir. Banjir yang selalu melanda sebagian wilayah negeri ini setiap musim hujan rupanya selalu ditanggapi dengan semangat rutin.

Saban banjir datang, mengalirlah litani panjang tentang apa dan siapa penyebabnya, dilanjutkan dengan desakan pentingnya koordinasi antarwilayah. Untuk banjir Jakarta, entah sudah berapa kali alur kisah yang serupa disuguhkan dari tahun ke tahun.

Apabila direnungkan, bencana rutin sejatinya sebuah paradoks. Bagaimana mungkin bencana dibiarkan berlangsung rutin? Bukankah itu bak membiarkan seekor keledai terperosok lubang yang sama berulang-ulang? Karena itu, penanganan banjir memerlukan pendekatan baru, lepas dari belenggu kelaziman. Perlu terobosan cara pandang.

Dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud sebagai bencana adalah “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.

Dalam UU yang sama juga ditetapkan tiga jenis bencana: bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Banjir masuk dalam ranah bencana alam.

Menganggap semua kejadian banjir sebagai bencana alam adalah keliru. Penetapan semua banjir, tanpa terkecuali, sebagai bencana sangat boleh jadi biang keladi berulangnya kejadian banjir tanpa solusi permanen.


Manusia sang penentu
Seharusnya tidak semua banjir dianggap sebagai bencana alam. Pada kasus banjir Jakarta, misalnya, manusia merupakan unsur penentu yang sangat dominan. Dengan kata lain, banjir adalah akibat ulah manusia (anthropogenic), oleh sebab itu tidak seharusnya masuk ranah bencana. Jika banjir disebut sebagai bencana alam, per-definisi maka ia merdeka dari tanggung jawab manusia. Padahal banjir yang berulang melanda Jakarta jelas dipicu ulah manusia, mulai dari pembalakan hutan, konversi lahan terbuka hijau, hingga pembuangan sampah yang sewenang-wenang.

Tanpa menafikan peran perubahan iklim, kajian FKS Chan dan kawan-kawan dari Universitas Leeds (2012) menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.

Tim peneliti yang sama juga mengamati bahwa tidak dilaksanakannya prinsip pembangunan yang peka banjir di kota-kota delta Asia. Penanggulangan banjir umumnya lebih mengandalkan pendekatan proyek yang sifatnya ad hoc dan bukan sebagai bagian dari strategi penataan kawasan yang memberi ruang bagi air, seperti restorasi danau, situ dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, serta fasilitas penampungan hujan buatan.

Merujuk pada hasil kajian FKS Chan, banjir sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kerusakan lingkungan. Dengan begitu, tanggung jawab ataupun hak masyarakat dan pemerintah atas persoalan banjir seharusnya dapat dirumuskan secara jelas. Maka ketika warga negara memiliki hak mendapat perlindungan atas banjir, berarti pemerintah wajib menanggulanginya. Hal ini diatur dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan “kerusakan lingkungan” sebagai akibat “perusakan lingkungan” oleh ulah manusia.


Hak mengadukan
Dalam UU itu perusakan lingkungan hidup diartikan sebagai “tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Mendefinisikan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menuntut penetapan kriteria baku banjir yang berbasis pada kerusakan fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan. Tantangan teknis ini tentu dapat dipecahkan. Metode ilmiah untuk menetapkan kriteria baku itupun dapat diupayakan.

Ketika banjir telah ditetapkan sebagai kerusakan lingkungan, UU No 32/2009 menetapkan setiap orang yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi, memulihkan, dan mengendalikan kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang juga dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

UU ini juga menjamin hak setiap orang untuk mengadukan akibat dugaan perusakan lingkungan hidup. Mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.

Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Masyarakat juga berhak menggugat perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan atau untuk kepentingan masyarakat jika mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan.


UU ini juga memuat sanksi bagi pemerintah yang tidak melaksanakan kewajibannya. Bagi pejabat berwenang yang dengan sengaja tak mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang merusak lingkungan dan mengakibatkan hilang nyawa manusia dapat dipidana penjara dan denda.

Pemaknaan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab, selain para pelaku kerusakan lingkungan itu sendiri. Pejabat pemerintah pusat dan daerah yang berwenang dituntut untuk melakukan pengawasan secara sungguh-sungguh terhadap para pelaku kegiatan yang berisiko memicu banjir.

Terobosan pemaknaan terhadap banjir ini layak dipertimbangkan jika memang pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan banjir secara tuntas. Jika tidak, kisah banjir akan terus berulang diiringi suara gemuruh kemarahan dan keprihatinan yang lantas senyap kembali hingga banjir berikutnya tiba.

Budi Widianarko,
Pengajar di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan,
Unika Soegijapranata

KOMPAS,  5 Februari 2014

Saturday, February 1, 2014

Daftar Para Penerima Dana Haram Hambalang


Terdakwa korupsi proyek gedung olahraga di Bukit Hambalang, Deddy Kusdinar, akan menjalani sidang perdana pagi ini (7/11/2013). Deddy, yang mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, menyatakan kesiapannya menerima dakwaan yang akan dibacakan dalam sidang nanti.

Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama atasannya, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng. Mereka diduga menyalahgunakan kewenangan dalam proyek berbiaya Rp 1,077 triliun tersebut. Selain itu, Deddy juga dituduh memperkaya beberapa pihak termasuk Andi, Anas Urbaningrum, Mahyudin, Joyo Winoto, dan Politisi PDI-P, Olly Dondokambey.

Dalam dokumen yang salinannya diterima Tempo, miliaran rupiah dana Hambalang diduga mengalir ke sejumlah pejabat tinggi, pengusaha, dan anggota parlemen. Uang haram tersebut ada yang disalurkan melalui subkontraktor, dan ada pula yang dikirim langsung oleh konsorsium PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya Tbk.


Berikut daftar para penerima dana haram ini:
1. Kementerian Pemuda dan Olahraga
Pada 2010-2011 mencairkan uang pembayaran kepada Kerja Sama Operasi (KSO) PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya senilai Rp 471 miliar.

2. Kerja Sama Operasi (KSO) Adhi-Wika
Sebelum KSO terbentuk, dari 2009-2010, Adhi dan Wika telah mengalirkan ongkos komitmen Rp 19,32 miliar ke banyak orang.
Dan setelah KSO terbentuk dikeluarkan lagi Rp 15,22 miliar. Sehingga total dana yang mengalir ke pihak-pihak tertentu paling sedikit Rp 34,54 miliar.

A. Subkontraktor
1. PT Global Daya Manunggal
Mendapat kontrak pekerjaan struktur dan arsitektur asrama junior dan gedung serba guna senilai Rp 142,4 miliar. Perusahaan ini telah menerima pembayaran Rp 60,2 miliar.

Dari Global Daya Manunggal dana mengalir ke:
1. Mantan Menteri Olahraga Andi Alifian Mallarangeng (Rp 4 miliar dan US$ 550 ribu).
2. Adik Menpora, Andi Zulkarnain “Choel” Mallarangeng (Rp 4 miliar).
3. Mantan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Olahraga Deddy Kusdinar (Rp 250 juta).


2. PT Dutasari Citralaras
Mendapat kontrak pekerjaan mekanikal elektrikal dan penyambungan listrik PLN senilai Rp 328 miliar. Perusahaan ini telah mendapat pembayaran Rp 170,3 miliar. Tidak disebutkan aliran dana dari perusahaan milik istri Anas Urbaningrum, Athiyyah Laila ini.

B. Kiriman langsung
1. Perusahaan
- Commitment fee PT Dutasari Citralaras (Rp 28 miliar).
- Ganti rugi terhadap Grup Permai, perusahaan milik M. Nazaruddin (Rp 10 miliar).

2. Pribadi
- Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (Rp 2,2 miliar).
- Direktur Utama Dutasari Citralaras, Mahfud Suroso (Rp 28,8 miliar).
- Mantan Ketua Komisi Olahraga DPR, Mahyudin (Rp 500 juta).
- Anggota Badan Anggaran DPR, Olly Dondokambey (Rp 2,5 miliar).
- Mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto (Rp 3 miliar). 
- Mantan Sekretaris Kementerian Olahraga, Wafid Muharam (Rp 6,5 miliar).
- Mantan Kepala Biro Perencanaan Kementerian Olahraga, Deddy Kusdinar (Rp 1 miliar).
- Mantan Direktur Operasi Adhi Karya, Teuku Bagus M. Noor (Rp 4,5 miliar).
- Beberapa pejabat Kementerian Pekerjaan Umum (Rp 135 juta).

Sumber:
Audit BPK, Dokumen Pemeriksaan
Efri Ritonga

www.tempo.co