Monday, November 11, 2013

Masa Depan Sekolah


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ngotot mempertahankan kebijakan ujian nasional dengan berbagai cara. Salah satunya melalui konvensi UN baru-baru ini. Kemdikbud bahkan menghadirkan politisi senior Jusuf Kalla untuk meyakinkan masyarakat bahwa UN perlu dipertahankan dengan perbaikan teknis di sana-sini.

Akan tetapi, ada kontroversi di sini. Kalau sebelumnya Mendikbud berwacana bahwa urusan UN adalah ikhwal akademik, konvensi UN justru mencari justifikasi politis.

Makin janggal lagi ketika Kemdikbud justru menyibukkan diri dengan persoalan teknis, seperti pencetakan soal UN, tidak fokus pada persoalan-persoalan strategik kebijakan. Jadi, pendidikan nasional seperti lari cepat dengan membawa beban berat, tetapi ke arah yang salah!

Tulisan Acep Iwan Saidi dan Abduh Zen baru-baru ini di harian ini telah menguliti sesat pikir dan legalitas kebijakan UN. Dapat dipastikan UN akan terus menjadi polemik nasional justru karena Kemdikbud kurang fokus pada arah pendidikan menuju lanskap baru abad ke-21.

Anggaran yang besar untuk Kemdikbud terbukti tidak efektif meningkatkan relevansi pendidikan nasional karena Kemdikbud keliru mengambil pertempuran yang sebenarnya. Karena masalah sebenarnya pendidikan kita tidak di UN, tetapi di sekolah.


Penyakit kronis
UN sebenarnya hanya gejala dari penyakit kronis yang disebut schoolism. Ini seperti demam akibat malaria. Ini adalah penyakit yang muncul akibat menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Anak yang tidak bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik.

Orang yang tidak punya gelar dianggap tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba memburu gelar dengan cara apa pun agar dianggap kompeten.

Saat ini, kita melihat semakin banyak sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat kita tidak lebih terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK baru-baru ini adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik, tetapi DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup.

Salah satu fitur paling mencolok dari peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan sekolah!


Memang sejak semula sekolah diciptakan sebagai pendukung pokok industri yang berkembang selama 200 tahun terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil untuk bekerja di pabrik-pabrik skala besar.

Sejarah menunjukkan bahwa tugas pendidikan oleh keluarga di rumah telah diambil alih sekolah dan tugas produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih pabrik. Maka, mulailah kita saksikan kehancuran lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini terjadi sekitar 35 perceraian per jam di Indonesia.

Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM, angka kematian ibu melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa keluarga Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi dilupakan dalam banyak kebijakan publik.

Perilaku pelajar di bawah umur yang menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed Joesoef disebut salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat keluarga tidak lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah saat ini praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu.


Pelemahan keluarga
Bersamaan dengan pelemahan lembaga keluarga, sekolah menjadi tempat untuk menyombongkan diri. Konsep diri anak tidak dibentuk di rumah, tetapi di sekolah atau di luar sekolah, seperti geng motor.

Sebagai contoh, kini banyak pelajar di Kamal, Madura, kebut-kebutan menjelang maghrib hampir setiap hari dengan suara knalpot yang memekakkan telinga. Ikatan alumni sekolah “favorit” menjadi simbol kebanggaan kelompok masyarakat tertentu, sementara alumni sekolah pinggiran kehilangan kepercayaan dan harga diri.

Perkembangan zaman membuat gelombang internet datang merobohkan tembok-tembok sekolah. Hampir semua pertanyaan murid bisa dicari jawabnya di internet, bahkan jauh lebih kaya daripada jawaban yang diberikan oleh kebanyakan guru. Sehingga Sir Ken Robinson mengatakan bahwa sekolah sudah tidak kita butuhkan lagi.

Sugata Mitra juga membuktikan bahwa anak-anak yang normal tidak membutuhkan sekolah untuk belajar. Dia menyebut self-organized learning environment (SOLE) dengan kurikulum yang lentur menyesuaikan kebutuhan, bakat, dan minat anak. Sehingga anak bisa mengganti sekolah dengan biaya jauh lebih murah, tetapi jauh lebih efektif untuk belajar.


Sebelum internet ada, 40 tahun lalu, Ivan Illich telah mengusulkan jejaring belajar (learning webs) untuk menggantikan sistem persekolahan. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring belajar ini.

Pusat-pusat kegiatan masyarakat, seperti toko, bengkel, pasar, klinik, museum, perpustakaan, radio, kebun binatang, bahkan kantor polisi dan terminal, bisa menjadi simpul-simpul SOLE yang menyediakan kesempatan magang dan learning by doing atau learning by making things. Dan keluarga adalah salah satu SOLE terpenting dalam jejaring belajar tersebut. Belajar dan bekerja terjadi sekaligus dan sistemik.

Saat peran sekolah semakin berkurang dalam sistem pendidikan kita pada era digital ini, keluarga di rumah perlu kita perkuat agar mampu memikul tugas-tugas pendidikan dan tugas-tugas produktif. Maka, di tengah krisis lingkungan, krisis ekonomi dan krisis keluarga dalam skala global ini, harapan kita terletak di rumah, tidak di sekolah.

Daniel Mohammad Rosyid;
Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
KOMPAS, 7 November 2013