Wednesday, September 25, 2013

Demokrasi Enigmatik


Lima belas tahun sudah reformasi berjalan. Namun, demokrasi kita masih mengalami disorientasi di berbagai aspek. Bidang ekonomi ditandai cerita kemiskinan, kesenjangan sosial, dan mismanajemen pengelolaan sumber daya alam.

Politik menampilkan kartel politik, candy politics (politik penenang), dan mengguritanya korupsi pusat-daerah. Hukum kehilangan supremasi dan dalam bidang sosial muncul pameran kekerasan, separatisme, dan terorisme. Singkat cerita, demokrasi kita saat ini berupa demokrasi enigmatik (enigmatic democracy) yang sarat ketidakpastian.

Hal-hal fundamental demokrasi tetap saja dikuasai kelas pengatur (rulling class), sementara rakyat tersudut di area periferi. Dalam demokrasi seperti ini, kepentingan rakyat hanya mengandalkan keinginan baik (willingness) aktor-aktor politik. Jika aktor-aktor politik tidak berkehendak baik, demokrasi tinggal dekorasi semata.

Gaetano Mosca (1939) menyimpulkan, sampai kapan pun politik akan selalu berpusat pada the ruling class. Sebagai dapur demokrasi, partai seringkali tidak berurusan dengan fungsi representasi, sebaliknya justru mengaburkan tujuan bonum commune-nya.


Demokrasi sebagai sistem terbuka dan inklusif kemudian bermetamorfosis menjadi sistem tertutup. Itu tampak pada perekrutan kader parpol untuk berkompetisi pada hajatan Pemilu 2014. Dari calon legislatif tampak bahwa sistem meritokrasi dinafikan dan memberikan diskon politik besar bagi kerabat (kakak-adik, bapak-anak, suami-istri, serta paman-kemenakan) untuk meraih kursi legislatif.

Oligarki pun merebak karena dana yang dibutuhkan sangat besar, sehingga memaksa parpol mencari dana kepada pemodal. Padahal, motif pemodal masuk dunia politik adalah agar mendapat aset negara.

Pemodal sangat berpengaruh dalam penentuan kader dan mempengaruhi roda pemerintahan pusat-daerah. Demokrasi ini oleh J Ranciere (2006) disebut demokrasi individualistik, tempat bersarang para cukong dan politisi borjuasi. Politisi ini haus rente dan menggadaikan baju kehormatan politiknya untuk menumpuk banyak uang.

Di tengah hiruk-pikuk ini, posisi presiden serba enigmatik alias tak tentu. Terjadi ambiguitas akibat pembagian kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif yang tidak jelas. Demokrasi pun berjalan tanpa komando. Presiden gagap bertindak sehingga prasangka, gosip, dan huru-hara politik bertebaran di sekitar istana. Padahal, posisi presiden saat ini sangatlah kuat karena disokong 61 persen suara rakyat, yang sangat cukup untuk menjadikan presiden sebagai kapten, eksekutor kebijakan publik secara efektif.


Mencari komandan
Faktanya, presiden mendewakan kalimat “Saya serahkan pada proses hukum.” Ini model pengambilan keputusan pemula, bukan pemimpin. Ini terjadi karena presiden juga bagian dari masalah. Presiden melempem di hadapan mafia pajak karena presiden masih tetap berharap pada pemodal untuk melanggengkan kekuasaannya.

Demokrasi menuai paradoks: kesenjangan sosial meningkat dan rakyat kecil menjadi yatim-piatu karena ditinggal pergi pemerintah. Rakyat miskin seperti petani tak memiliki akses ke bank untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mengembangkan usaha. Di tengah kerasnya hukum kompetisi, petani tetap menjadi pihak yang kalah dalam pertarungan. Produk-produk pertanian yang dilemparkan ke pasar jatuh dalam harga murah.

Maka, pemilu tahun 2014 mendatang adalah momen yang tepat bagi republik ini untuk memilih presiden yang benar-benar menjadi komandan. Presiden harus berani melampaui aturan dan prosedur hukum yang berlaku, sejauh menyelamatkan kepentingan umum. Pengakuan atas Vladimir Putin sebagai The Man of the Year oleh Time, beberapa tahun lalu, adalah contoh bagaimana elastisitas posisi presiden dibutuhkan dalam keadaan tertentu. Putin mampu membawa Rusia ke meja kompetisi global.


Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus berani melampaui kontrak-kontrak politik dengan partai koalisi dan kontrak-kontrak dagang dengan pihak asing. Berhadapan dengan korporasi asing, presiden harus cerdik berdiplomasi dalam dunia multipolar seperti sekarang ini agar kedaulatan ekonomi dikembalikan ke pangkuan konstitusi.

Presiden punya kewajiban mutlak untuk memberikan komando dan target kepada aparat penegak hukum agar menyelesaikan perkara-perkara besar sehingga program reformasi birokrasi dapat berjalan efektif. Negara butuh komando untuk mencari solusi bagi persoalan bangsa.

Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok, adalah model. Pasangan ini adalah model pemimpin yang out of the box dengan mengandalkan pengalaman, menganalisis mana opsi yang terbaik dalam mengambil keputusan. Mereka mendobrak aturan hukum, birokrasi yang kaku, dan mencari terobosan baru tanpa melanggar aturan. Dua pasangan ini justru mengubah aturan agar mampu bergerak cepat.

Ferdy Harsiman;
Peneliti di Indonesia Today,
Alumnus STF Driyarkara-Jakarta

KOMPAS, 15 Juli 2013

Thursday, September 19, 2013

Mengurai Kegamangan Transparansi Birokrasi


Salah satu program kinerja USAID yang besar tantangannya adalah program pendampingan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di kabupaten kota.

Setelah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dinyatakan efektif berlaku dua tahun kemudian (2010) mestinya setiap Badan Publik yang berhubungan dengan penyelenggaraan Negara sudah membuat PPID. Melalui lembaga ini semua hal yang menyangkut kerja pemerintahan dihimpun, diklasifikasikan, didokumentasikan, disimpan, dan dipublikasikan. Bahkan UU tersebut memberi amanah agar semua informasi dan dokumentasi tersebut dapat diakses oleh publik kecuali yang masuk klasifikasi “dikecualikan”.

Melalui pintu masuk PPID inilah diharapkan dapat mendorong kinerja pemerintahan yang didasarkan pada semangat keterbukaan (transparansi), akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila informasi sudah terbuka untuk publik, dengan sendirinya keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan meningkat. Dapat dipastikan tingkat kepuasan masyarakat juga semakin besar karena masyarakat merasa menjadi bagian dari Negara, tidak lagi hanya sekedar sebagai obyek kekuasaan Negara.


Namun kenyataannya, hingga Mei 2013, di Jawa Timur terdapat 8 daerah Kabupaten/ kota yang belum membentuk PPID, yakni Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Pamekasan. Dari beberapa kali Lokakarya dan Pendampingan yang saya ikuti di beberapa daerah tersebut, ada kegamangan (khawatir yang berlebihan) bila sistem transparansi informasi benar-benar jalan: Pertama, akan menumbuhkan kekritisan masyarakat sehingga menjadi merepotkan birokrasi.

Komponen masyarakat (seperti LSM, Ormas, kelompok kritis, dan lain-lain) seolah mendapat jalan menjadi “hantu” yang menakutkan bagi kerja pemerintahan. Pertanyaannya adalah kalau memang tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan, mengapa mesti takut buka-bukaan? Justru saat ini momen yang baik untuk “bertaubat” memilih jalan yang benar. Kedua, PPID dianggap hanya menjadi beban kerja tambahan, sementara itu tidak ada insentif apa-apa dari bidang kerja ini.

Sebetulnya, secara fungsional lembaga-lembaga di struktur pemerintahan sudah menjalankannya. Pekerjaan menghimpun informasi, mengoleksi, menyajikan, melaporkan, dan sejenisnya itu sudah dilaksanakan. Di rumah sakit misalnya, penghimpunan dan pelaporan dokumen dilaksanakan untuk memenuhi akreditasi Rumah Sakit. Di perguruan tinggi, jauh hari sudah disibukkan untuk mengurus akreditasi BAN PT dan memenuhi sistem pelaporan ESBED Dikti.


Masalahnya, laporan-laporan tersebut belum diklasifikasikan berdasarkan jenis informasinya yang oleh UU 14/ 2008 menjadi klasifikasi: informasi setiap saat, informasi serta-merta, informasi berkala, dan informasi yang dikecualikan. Justru dalam sistem transparansi informasi ini Badan Publik memiliki rumah khusus yang legal untuk menyembunyikan informasi (tidak mengumumkan) melalui rumah “dikecualikan” tersebut. Ketiga, ada kekhawatiran bila PPID terbentuk kerja birokrat dalam bayang-bayang ancaman punishment penjara.

Joko Tetuko, Ketua Komisi Informasi Jatim menyatakan bahwa pasal-pasal ancaman tersebut adalah racun, yang mengacaukan optimisme keterbukaan informasi publik. Padahal bila ditelaah, ancaman hukuman yang ada hanyalah karena dengan sengaja menghilangkan atau merusak dokumentasi publik, kemudian membuat dokumentasi publik yang menyesatkan.

Undang-Undang KIP (Keterbukaan Informasi Publik) justru mengaturnya agar kelak persoalannya tidak menjadi liar atau anarkis. Keempat, dari beberapa lokakarya dan pendampingan, saya justru menemukan gejala aneh di internal pemerintahan kota dan kabupaten, yakni bahwa di lapisan menengah ke bawah (eselon IV, SKPD, UPTD) sudah siap dan antusias menjalankan fungsi PPID, namun justru di tingkat pengambil keputusan (eselon III ke atas) yang nampaknya masih gamang (bisa juga galau).


Hal tersebut makin mengindikasikan ada sesuatu yang hendak disembunyikan rapat-rapat sehingga bila PPID ini dijalankan maka akan terkuaklah sesuatu yang disembunyikan itu, dan kemudian akan mengancam kepentingannya. Kegamangan tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi bila memahami bahwa membangun transparansi informasi publik tidaklah bisa dicapai secara serta merta dan seketika (mendadak).

Jadi bila kelak pengembangan institusi (institution building) sudah selesai, masih dibutuhkan lagi kerja capacity building (pelatihan dan pembelajaran) guna mengoptimalkan sistem informasi dan publikasi. Untuk itu pasti dibutuhkan sinergi dari pemerintah dengan elemen-elemen masyarakat, serta perbaikan-perbaikan yang terus-menerus secara teknis maupun sosial budaya. Maka pertanyaannya adalah, siapa sesungguhnya yang enggan untuk berubah?

Redi Panuju;
Dosen Universitas Dr Soetomo,
Narasumber Program Kinerja USAID Jawa Timur

KORAN SINDO, 1 Juli 2013