Monday, February 18, 2013

Teori Konspirasi


“Konspirasi”. “Persekongkolan”. Istilah ini kembali menyeruak ke depan publik persis akhir Januari 2012 pascapenahanan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena dugaan terlibat suap bersama tiga tersangka lain yang diduga juga terlibat rasuah.

Para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) umumnya menyatakan, penahanan Luthfi adalah sebuah konspirasi di antara berbagai kekuatan dalam dan luar negeri untuk menghancurkan PKS menjelang Pemilu 2014. Sementara PKS sudah memasang target untuk meningkatkan perolehan suara, menjadi salah satu dari tiga kekuatan politik terbesar di negeri ini.

Bagi banyak kalangan publik Tanah Air dan juga kalangan asing yang mengamati perkembangan politik Indonesia, mekanisme pertahanan diri PKS dengan menggunakan kepercayaan pada “teori adanya konspirasi” merupakan upaya kontra produktif. Bagi mereka, cara berpikir seperti ini, alih-alih dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, sebaliknya justru membuat citra PKS kian pudar. Apakah presiden baru PKS, Anis Matta, berhasil dalam “pertobatan nasional”, konsolidasi partai, dan bakal mampu mencapai target Pemilu 2014, masih harus ditunggu.


Kelatenan Teori Konspirasi
Adanya kepercayaan dan teori konspirasi yang dipegang individu ataupun kelompok masyarakat bukan hal baru. Gejala semacam ini sudah ada sejak lama. Orang dan kelompok yang percaya pada teori konspirasi ini memang ada, baik dalam masyarakat yang masih primitif, masyarakat berkembang, maupun masyarakat maju sekalipun. Pikiran konspirasi, laten dalam masyarakat dan negara mana pun, dan dapat muncul ke permukaan publik sewaktu-waktu.

Berbagai teori dan kepercayaan tentang adanya konspirasi tertentu beredar dalam masyarakat, mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Pikiran dan persepsi yang dikuasai teori konspirasi juga ada pada berbagai bidang kehidupan, tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi, agama, sosial, budaya, kesenian, dan bahkan olahraga.

Di kalangan bangsa Yahudi ada teori tentang persekongkolan berbagai kalangan internasional sejak abad pertengahan yang mencapai puncaknya di zaman Hitler dengan holocaust untuk menghancurkan mereka. Di kalangan masyarakat Muslim juga ada teori dan kepercayaan tentang adanya konspirasi Dunia Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Di dunia sepak bola, lazim adanya pikiran dan persepsi tentang konspirasi di kalangan para wasit dan hakim garis untuk memastikan Manchester United, Real Madrid, atau Juventus untuk terus memegang dominasi dan hegemoni dalam pertarungan di liga nasional masing-masing. Karena adanya konspirasi semacam itu, hampir tidak mungkin bagi tim-tim sepak bola lain untuk menjadi juara.


Kenapa dan dari mana munculnya kepercayaan terhadap teori konspirasi tertentu di kalangan masyarakat tertentu? Karena kelatenan teori konspirasi, para psikolog, sejarawan, antropolog, dan ahli politik telah lama pula berusaha menjawab fenomena tersebut. Mereka antara lain berkesimpulan, sikap percaya orang atau kelompok tertentu pada adanya konspirasi jahat yang mengorbankan mereka, pada hakikatnya merupakan masalah psikologis. Lebih jauh, dalam kesimpulan banyak ahli tersebut, teori konspirasi merupakan manifestasi dari kegoyahan persepsi diri, histeria, delusional dan bahkan paranoia individu dan masyarakat terkait.

Lebih jauh lagi, kepercayaan pada adanya konspirasi juga bersumber dari bias kognitif yang menimbulkan distorsi penilaian terhadap gejala realitas pahit yang mereka hadapi. Dengan pikiran yang sudah dirasuki teori konspirasi, individu dan kelompok bersangkutan tetap bertahan dengan kepercayaan konspiratif itu meski banyak bukti dan indikasi membantah adanya persekongkolan tersebut.

Meminjam kerangka Tim Melley dalam masterpiece-nya, Empire of Conspiracy (2000), cara berpikir tentang konspirasi bersumber dari sedikitnya dua faktor; pertama, ketika seseorang atau kelompok orang memegang sangat kuat nilai individualistis dan in-group belaka; kedua, ketika individu dan kelompok seperti itu kehilangan sense of control sehingga mengalihkan masalah internalnya kepada pihak lain.


Teori Konspirasi dan Kepercayaan
Apakah teori konspirasi semacam itu benar dan berdasar? Bagi mereka yang terkuasai pikiran dan psikologi konspiratif, hal itu tentu saja benar. Mereka merasa adanya semacam konspirasi melalui semacam spekulasi berkenaan dengan keadaan atau situasi tertentu yang merugikan kepentingan mereka. Namun, ketika diminta bukti-bukti memadai, mereka umumnya tidak dapat memberikannya. Pengujian ilmiah-akademis tentang berbagai teori konspirasi yang beredar dalam masyarakat umumnya mengungkapkan, dugaan persekongkolan selalu hampir tidak berdasar dan tidak bisa dibuktikan. Sebaliknya, justru terdapat banyak indikasi dan bukti yang membantah berbagai teori konspirasi itu.

Sebab itulah, dalam berbagai kajian ilmiah akademis, pikiran dan teori konspirasi muncul dari diri seseorang atau kelompok karena ketidakmampuan mereka sendiri untuk menjelaskan hal-hal yang dalam persepsi pribadi susah mereka pahami secara logis dan rasional. Misalnya, bagi kalangan internal pihak yang tercekoki pikiran konspiratif, tidak masuk akal seorang figur pimpinan yang terlanjur sudah tepersepsikan sebagai pribadi bersih dan memiliki integritas kemudian dapat menjadi tersangka dalam kasus suap, gratifikasi, atau bentuk-bentuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) lain.

Dengan demikian, pikiran tentang adanya konspirasi sekaligus mencerminkan ketidakmampuan individu dan kelompok untuk menerima dan memahami kesenjangan di antara persepsi diri tadi dengan realitas pahit yang tiba-tiba muncul. Padahal, realitas itu sendiri masih harus diuji dan dibuktikan secara cermat dalam proses berikutnya, yakni apakah itu merupakan realitas hakiki atau semu belaka.

Karena itu, teori konspirasi lazimnya lebih merupakan mekanisme pertahanan diri yang memperlihatkan sikap apologetis dan defensif belaka. Teori konspirasi juga mencerminkan sikap melemparkan kesalahan dan tanggung jawab internal kepada pihak luar. Dalam konteks kehidupan berbangsa-bernegara dan berjamaah-berumat, percaya kepada konspirasi tertentu jelas tidak menolong, sebaliknya dapat mengikis sikap saling percaya, mutual trust, yang justru sangat penting dan urgen bagi adanya modal sosial. Dan, modal sosial amatlah mutlak bagi masyarakat, umat, dan bangsa untuk mencapai kohesi sosial demi kemajuan.

Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah;
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos

KOMPAS, 5 Februari 2013

Tuesday, February 12, 2013

Tak Ada (lagi) Parpol Islam


Amien Rais dan Noer Mohammad Iskandar

Pada hari Rabu (30/1/2013) sekitar jam 19.00 WIB, berlangsung diskusi tentang politik umat Islam menyongsong Pemilu 2014 di Restoran Nusa Dua, dekat Gedung DPR. Pertemuan rutin yang dimotori Amien Rais dan Noer Mohammad Iskandar itu menghimpun eksponen ormas-ormas dan parpol yang, katanya, berbau Islam untuk membicarakan peran politik umat Islam menyongsong Pemilu 2014.

Ketika berita itu muncul, peserta diskusi sedang mendengarkan pandangan Ketua Pemuda Muhammadiyah Saleh Daulay yang menggugat istilah parpol Islam. Bagi Saleh, untuk konteks Indonesia saat ini, tidak ada parpol Islam yang sebenarnya. Alasannya, orientasi politik semua parpol sama saja, tak ada yang khas Islam dan diperjuangkan oleh parpol tertentu. Di Golkar, yang dianggap bukan parpol Islam, banyak tokoh-tokohnya yang berbasis gerakan Islam.

Sementara di PDIP ada Baitul Muslimin, di Partai Demokrat ada Majelis Dzikir. Sebaliknya di PPP, PAN, PKB, dan PKS yang sering dianggap sebagai parpol Islam, tak jelas juga langkah-langkah islaminya. Ketika memperjuangkan aspirasi masyarakat, subyek yang diperjuangkan oleh semua parpol adalah umat Islam juga dan ketika terjadi korupsi atau bancakan atas kekayaan negara sama saja, hampir semua parpol tersebut berpartisipasi karena ada kader-kadernya yang jadi koruptor.


Kata Daulay, sebenarnya dalam faktanya Golkar, Partai Demokrat, dan PDIP adalah partai nasionalis yang religius; sedangkan PKB, PAN, PPP, dan PKS adalah partai religius yang nasionalis. Jadi jangan dipertentangkan, biar umat ini jernih memandang. Saat mendengar uraian Daulay tiba-tiba Blackberry saya berbunyi, “ting”, ada pesan masuk.

Saya kaget luar biasa karena pesan itu berbunyi, “Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai tersangka korupsi impor daging sapi,” pesan itu disertai copypaste berita dari sebuah media online. Astaghfirullah, berita itu seakan-akan menambah pernyataan Saleh Daulay secara langsung bahwa, “Di parpol yang disebut Islam pun ada koruptornya, sama dengan parpol yang tak disebut parpol Islam.”

Saya bukan anggota PKS, tetapi hampir semalam suntuk saya tak bisa tidur, terus memelototi televisi dari saluran satu ke saluran lain, memantau perkembangan kasus itu. Hati merasa teriris ketika menyaksikan “live” dari sebuah televisi saat Luthfi Hasan Ishaaq diambil oleh KPK justru ketika sedang memimpin rapat DPP PKS. Betulkah ini?

Saleh Daulay dan Luthfi Hasan Ishaaq

Bukankah baru beberapa saat sebelumnya Hidayat Nur Wahid, Suswono, dan Luthfi Hasan Ishaaq sendiri menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara kasus impor daging sapi dengan PKS maupun tokoh-tokohnya? Saya sungguh sedih karena selama ini, meski tak luput dari isu KKN, saya memandang PKS sebagai parpol yang masih bisa menjaga kebersihannya dari korupsi dan menunjukkan militansinya sebagai parpol Islam.

Kalau berbicara tentang parpol, sampai ke luar negeri sekali pun, saya sering menjadikan PKS sebagai contoh parpol yang berakhlak baik, anggota-anggotanya disiplin, dan relatif bersih dari KKN. Meski bukan anggota PKS, selama ini saya bangga dengan PKS yang berusaha mengibarkan bendera Islam dengan disiplin dan semangat untuk menunjukkan bahwa Islam itu “bisa” dan “Oke” bagi masa depan Indonesia.

Tapi dengan ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq, kampanye saya tentang partai bersih itu menjadi tak berlaku dan, terus terang, saya jadi agak malu karena kemudian berhamburan pesan yang sepertinya mengejek saya karena sering menjadikan PKS sebagai contoh parpol bersih. Dengan dijadikannya Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka oleh KPK tentu PKS dan Luthfi Hasan Ishaaq bisa melakukan pembelaan diri dan menuding KPK tak profesional atau mempolitisasi kasus untuk PKS.

Tapi saya sendiri meyakini lebih dari 90% bahwa KPK akan mampu membuktikan keterlibatan Luthfi Hasan Ishaaq dalam korupsi atau penyuapan di Pengadilan Tipikor kelak. Berdasar pengalaman selama ini, ketika KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, alat buktinya bukan hanya cukup, melainkan lebih dari cukup. Semakin dibantah, biasanya si pembantah semakin dipermalukan oleh fakta di persidangan.


Sebelum menangkap seseorang, biasanya KPK sudah mengantongi rekaman pembicaraan atau SMS si tersangka sejak jauh sebelumnya yang mencakup apa yang dibicarakan, kapan akan bertemu, berapa uang yang akan diantar, di mana antaran itu akan diserahkan, dan sebagainya. Tidak masuk akal jika dikatakan KPK melakukan penangkapan karena mendapat informasi beberapa jam sebelumnya dari masyarakat.

Yang benar, pastilah KPK sudah menyadap dan mengintai sejak berbulan-bulan sebelumnya, apalagi isu impor daging sapi sudah muncul sejak Januari 2011. Menurut saya, sebaiknya kita tak perlu mengklaim adanya parpol Islam. Sebab, seperti kata Daulay, di semua parpol tersebut ada tokoh gerakan Islamnya dan banyak program-program islaminya. Tetapi pada saat yang sama di semua parpol tersebut juga ada koruptor-koruptornya.

Menjadi benar bahwa di Indonesia ini tidak ada parpol yang lebih baik maupun parpol yang lebih jelek dari yang lain, semuanya sama. Tidak ada parpol yang bisa mewakili umat Islam untuk menunjukkan kemuliaan Islam. Secara nyata sekarang ini tak ada (lagi) parpol Islam, kecuali sekadar formalitas dan jargon-jargon yang akhirnya terasa palsu.

Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 2 Februari 2013

Tuesday, February 5, 2013

Bangsa yang Aneh


"The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn." [Alvin Toffler]

Kita ini sungguh-sungguh merupakan bangsa bernasib seperti yang digambarkan Toffler dalam kutipan di atas. Kita menjadi bangsa yang para pemimpinnya di segala lini merupakan penyandang buta-bisu-tuli alias tuna-total tak mampu belajar.

Kita menyatakan perang terhadap korupsi, tetapi korupsi semakin merajalela hingga ke sumsum tulang belakang tubuh bangsa. Kita berteriak-teriak tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, tapi sistem pendidikan nasional menghancurkan seluruh potensi kreatif dan kecerdasan anak bangsa sejak di satuan pendidikan anak usia dini.

Kita berkeluh-kesah tentang kebobrokan moral dan mental bangsa, tapi pada saat yang sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama -yang seharusnya menjadi menara suar bagi ketinggian ilmu dan akhlak- selalu berhasil mempertahankan rekor sebagai lembaga yang paling korup bukan kepalang. Bahkan kini disempurnakan dengan korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dengan demikian, bangsa ini kehilangan arah dan tujuan. Kita pun meratapi rendahnya budi pekerti dan karakter bangsa, tapi tak ada yang sungguh-sungguh berupaya melakukan perbaikan.


Kanker Mematikan
Segala sesuatu dan semua wacana tentang perubahan dan perbaikan bermuara hanya pada satu kubangan kebejatan: korupsi! Seluruh inisiatif dan niat baik dimangsa oleh budaya serba instan yang menjadi biang kanker mematikan. Ke arah mana pun kita berpaling, sejauh mata memandang, yang terhampar di hadapan hanya bentangan korupsi semata-mata, tanpa ujung tanpa akhir.

Tetapi masih ada segelintir orang yang terus berupaya membangun optimisme (atau ilusi?) bahwa harapan masih ada. Bahwa perekonomian tumbuh di atas 6 persen. Bahwa dengan mengurangi jumlah mata pelajaran dan menambah jam belajar di SD, SMP dan SMA -dengan tetap memberi tekanan pada menghafalkan dan melafalkan ayat-ayat suci- bisa dilahirkan generasi baru berkarakter dan berakhlak mulia (seolah-olah para koruptor di Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama bukanlah orang-orang yang pandai menghafal dan melafal!).

Kita terus diiming-imingi perubahan dan perbaikan di bidang pendidikan, tetapi dengan tetap menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Padahal sudah terbukti selama ini bahwa UN justru merupakan "pendidikan kriminalitas" yang diajarkan secara masif dan disokong dengan penuh semangat oleh para kepala daerah, kepala sekolah, dan para guru yang takut terciprat aib jika banyak muridnya tidak lulus UN sehingga mereka beramai-ramai mendorong dilakukannya aksi menyontek massal. Dan kejahatan itu dicitrakan sebagai perbuatan heroik, bukannya sebagai tindakan penghancuran moral anak didik sejak dini dan sistemik.


Fondasi Karakter
Pemerintah pun masih menganut paham bahwa ketentuan wajib belajar 12 tahun itu dimulai dari jenjang sekolah dasar (SD). Padahal sudah lama diketahui bahwa momentum terbaik bagi pembangunan kualitas manusia adalah pada masa "usia emas" (0-7 tahun). Itulah waktu emas bagi pembangunan fondasi karakter dan kecerdasan anak.

Dengan kata lain, jika pendidikan anak usia dini tetap diabaikan dalam strategi pendidikan nasional, harapan bagi terciptanya generasi baru bangsa yang lebih baik benar-benar hanya merupakan ilusi dan omong kosong! Jika alokasi dana dan daya lebih dititikberatkan pada satuan pendidikan di atas pendidikan anak usia dini, sama saja dengan upaya mendirikan bangunan di atas fondasi yang rapuh. Itu artinya, tak ada yang sungguh-sungguh memikirkan masa depan bangsa. Tak ada yang sungguh-sungguh mempersiapkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Para pemimpin bangsa seharusnya bisa melihat betapa seriusnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi perhatian kepada pendidikan anak usia dini agar bangsa Amerika masih punya sumber daya manusia yang bisa bersaing dengan bangsa Cina dan India di masa kini dan masa depan. Fakta bahwa bangsa Cina kini setiap tahun mampu menghasilkan 20 juta penutur bahasa Inggris, dan menghasilkan 600 ribu orang ahli teknik -bandingkan dengan Amerika Serikat yang menghasilkan 70 ribu dan India yang menghasilkan 350 ribu insinyur (Michael Backman, 2008)- itu membuat Obama sangat risau akan masa depan bangsanya. Untuk itu, ia pun segera membuat langkah-langkah nyata membangun "generasi Sputnik" yang kedua.

Sebagaimana diketahui, dalam pidato di depan para pelajar di North Carolina, beberapa waktu lalu, Obama menuturkan, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik ke luar angkasa pada 1957, bangsa Amerika terprovokasi dan langsung meningkatkan anggaran untuk studi matematika dan sains, yang kelak jadi kunci kemenangan Amerika dalam persaingan luar angkasa. "Lima puluh tahun kemudian (kini), momentum bagi generasi Sputnik kita datang lagi," katanya.


Berkubang dalam Paradoks
Kita memang bangsa yang aneh. Bangsa yang para pemimpinnya tak kunjung henti menciptakan dan berkubang dalam paradoks alias tak sama kata dengan perbuatan. Bangsa yang tak mau dan tak mampu belajar apa pun dari mana pun selain menjadi bangsa yang munafik dan korup.

Tentu saja, bangsa yang aneh ini tidak bisa diubah menjadi lebih "waras" dengan cara instan, mengingat begitu parahnya kerusakan yang terjadi di seluruh tubuh bangsa sejak menjadi bangsa yang terjajah, lalu gagal memaknai secara benar hakikat kemerdekaan dan hakikat reformasi.

Kalau tidak debil, kita seharusnya bisa belajar dan menempuh "jalan Jepang", yang bisa bangkit dan meraja lagi dalam kurun waktu 18 tahun sejak diluluh-lantakkan bom atom pada 1945. Atau menempuh "jalan Cina", yang bisa memperkuat otot-ototnya sebagai negara adidaya modern dalam kurun waktu 30 tahun sejak Deng Xiaoping memimpin reformasi politik-ekonomi pada 1978. Kita pun bisa menempuh "jalan Malaysia", yang menjadi negara maju selama 22 tahun kepemimpinan Mahathir Mohamad. Kita juga bisa menempuh "jalan Singapura", yang menjadi naga kecil berkat 30 tahun kepemimpinan Lee Kuan Yew.

Harus dikatakan, kita memang telah menjadi negara gagal yang menyia-nyiakan masa 67 tahun kemerdekaannya. Tetapi, kalau kita membaca kembali Mukadimah UUD 1945, para bapak pendiri bangsa kita rupanya telah melakukan kesalahan semantik, sehingga yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 itu bukan merupakan "kemerdekaan" yang sesungguhnya, melainkan proklamasi itu hanya "mengantarkan rakyat Indonesia ke 'depan pintu gerbang' kemerdekaan negara Indonesia ...."

Artinya, gerak maju kita hanya sampai di depan "pintu gerbang kemerdekaan" itu saja. Perjalanan kita macet di situ, kita pun baku caci, baku pukul, baku bunuh, dan baku jarah sampai hari ini di abad ke-21. Belum ada yang berhasil membuka pintu gerbang itu, lalu masuk ke dalamnya, dan memaknai kemerdekaan secara benar! Aneh.

Yudhistira ANM Massardi
Pengarang buku Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra,
pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

KORAN TEMPO, 13 Desember 2012