Thursday, September 27, 2012

Kusutnya Keagrariaan Kita


Tanggal 24 September 2012 kaum tani di Indonesia kembali memperingati Hari Tani Nasional sekaligus hari lahirnya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960). Namun, meski sudah berganti abad, masalah-masalah agraria tak kunjung teratasi. Kemiskinan, pengangguran, konflik, dan proletarisasi (baca: pemiskinan) petani masih terus mewarnai wajah pedesaan kita sampai hari ini.

Sejak Presiden Soekarno lengser, agenda reforma agraria juga terhenti. Akibatnya, ketimpangan agraria makin tajam dan konflik agraria meletus di mana-mana. Konsentrasi penguasaan tanah pun menunjukkan dalamnya ketidakadilan. Winoto (2010) menyebutkan hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah.

Ketimpangan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah terjadi hampir di semua sektor. Di kehutanan, terdapat 531 izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI), yang luasnya mencapai 35,8 juta hektar, dan hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57 izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas cuma 0,25 juta hektar. Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan akses secara legal atas kawasan hutan (M Sirait, 2012).

Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik swasta, 11,69 persen milik perusahaan negara, dan perkebunan rakyat hanya kebagian 35,56 persen. Di pertambangan, Jaringan Tambang (Jatam, 2010) mencatat, sejak 1998-2010 hampir 8.000 perizinan tambang dikeluarkan dan 3 juta hektar kawasan lindung telah beralih fungsi jadi tambang.


Ketimpangan juga terjadi di sektor kelautan. Lebih dari 20 pulau telah dikavling orang dan badan hukum asing untuk industri pariwisata. Sekitar 50.000 hektar konsesi budidaya berada di bawah penguasaan asing. Sekitar 1 juta hektar ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk perluasan perkebunan sawit dan pembangunan reklamasi pantai.

Potret ketimpangan kian nyata bila dibandingkan penggunaan lahan untuk sektor pertanian. Berdasarkan data BPS (2003), dari 37,7 juta rumah tangga petani hanya menggunakan lahan pertanian 21,5 juta hektar. Akibatnya, jumlah petani gurem dan petani tak bertanah semakin tinggi. Saat ini, dari 37,7 juta rumah tangga petani, 36 persen petani tak bertanah, dan 24,3 juta yang menguasai tanah rata-rata hanya 0,89 hektar per rumah tangga.

Ketimpangan agraria mengakibatkan diferensiasi penduduk pedesaan semakin meruncing. Terjadi penggolongan dan pelapisan sosial di masyarakat berdasarkan pemilikan dan penggunaan tanah. Maka polarisasi ekonomi pun tak terhindarkan.


Proletarisasi Petani
Konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini jelas erat hubungannya dengan polarisasi masyarakat pedesaan. Sejak lama para peneliti agraria mengingatkan bahwa sangat mengkhawatirkan jika ekonomi pedesaan bergerak ke arah polarisasi masyarakat, sehingga pertentangan kelas akan meningkat, dan stabilitas terganggu, akibatnya segala usaha pembangunan pertanian akan terhambat (Wiradi, 1994).

Struktur sosial lain yang tercipta dari langgengnya ketimpangan adalah proletarisasi petani yang semakin meluas. Proletarisasi ini ditandai dengan transformasi kelas petani menjadi buruh tani. Kaum proletariat ini hidup tidak lagi dengan mengolah tanah secara langsung, tetapi dari menjual tenaga ke pemilik modal. Proletarisasi berlangsung dalam wajahnya yang sangat brutal dimana ditandai dengan pengusiran dan perampasan tanah-tanah rakyat secara paksa.

Selain melahirkan diferensiasi masyarakat pedesaan dan proletarisasi petani, ketimpangan juga menyebabkan munculnya ketidakstabilan sosial-ekonomi. Ketimpangan juga mengakibatkan rendahnya produktivitas, khususnya di sektor pertanian, lantaran pertanian didominasi petani penggarap dan buruh tani. Mereka ini tak memiliki jaminan penguasaan atas tanah dengan demikian mereka tidak memiliki insentif untuk menciptakan modal ataupun melakukan investasi bagi peningkatan produktivitas tanahnya.

Sawah yang indah dan subur seperti ini lama-lama bisa hilang dan hanya tinggal kenangan.

Sejatinya, kondisi di atas menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengakhiri ketimpangan agraria dengan menjalankan agenda reformasi agraria. Inti dari reformasi agraria adalah land reform, yakni penataan ulang pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah lalu dilakukan redistribusi kepada petani tak bertanah.

Agar program land reform berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani, maka harus diikuti dengan program pendukung lainnya, seperti jaminan kredit pertanian, perbaikan infrastruktur pedesaan, pendidikan, dan perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian.

Reformasi agraria pada dasarnya tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum tani, tetapi juga untuk menguatkan dasar pembangunan nasional. Sebab, dengan terlaksananya reformasi agraria ini memungkinkan terjadinya pembentukan kapital yang menjadi dasar bagi proses industrialisasi pedesaan. Industrialisasi pedesaan adalah syarat penting bagi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat.

Idham Arsyad
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria
KOMPAS, 25 September 2012

Wednesday, September 26, 2012

Merindu Nasionalisasi Indonesia


Berangkat dari Jokowi ke Indonesia, esai ini bukan tentang pemilihan gubernur, politik Indonesia, atau baik-buruknya pemerintah dan pejabat. Inilah kerinduan manusia Indonesia.

Seusai Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta, bangsa Indonesia kini menggerakkan kaki sejarahnya menuju 2014. Namun, imaji mereka terhadap 2014 sangat buram dan penuh kesemrawutan.

Bangsa Indonesia hampir mustahil menemukan calon pemimpin yang berani pasang badan, misalnya untuk nasionalisasi Freeport. Bahkan, menghadapi kasus seringan Century, bangsa kita tidak memiliki budaya politik kerakyatan untuk mendorongnya maju atau menarik mundur.

Yang rutin, bangsa Indonesia adalah ketua yang tidak berkuasa atas wakil-wakilnya. Bagai makmum shalat yang tidak berdaulat untuk memilih imamnya. Bangsa Indonesia hidup siang-malam dalam penyesalan, dalam kekecewaan atas diri sendiri, tetapi dicoba dihapus-hapus dari kesadaran pikiran dan hati karena mereka selalu tidak mampu mengelak untuk memasrahkan kebun buahnya pada rombongan monyet yang silih berganti.


Manusia Berani
Manusia Indonesia adalah manusia tangguh, tidak peduli punya masa depan atau tidak. Mereka berani hidup tanpa pekerjaan tetap, berani beranak pinak dengan pendapatan yang tidak masuk akal. Berani menyerobot, menjegal, menjambret, dan mendengki seiring kesantunan dan kerajinan beribadah.

Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi.

Manusia Indonesia mampu tertawa dalam kesengsaraan. Bisa hidup stabil dalam ketidakjelasan nilai. Terserah mana yang baik atau buruk: Era Reformasi, Orba, atau Orla. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, atau Mega. Baik-buruk tidak terlalu penting. Benar-salah itu tidak primer. Setan bisa dimalaikatkan dan malaikat pun bisa disetankan kalau menguntungkan. Jangan tanya masa depan kepada mereka.

Maka, bawah sadar mereka tergerak memimpikan masa silam. Mereka memilih Jokowi, tidak peduli soal mobil esemka. Ahok biar saja katanya begini-begitu, siapa tahu dia keturunan Panglima Cheng Hoo yang lebih hebat dari Marco Polo.

Bangsa Indonesia mampu membikin “siapa tahu” dan “kalau-kalau” menjadi makanan yang mengenyangkan perut dan menenangkan hati.


Jokowi lho, bukan Joko Widodo. Kalau Joko Widodo assosiasinya ke Ketua Karang Taruna atau penganut kebatinan. Akan tetapi, tambahan “Wi” telah menyekunderkan “Joko”. “Wi” itu suku kata paling kuat bagi telinga bangsa Indonesia untuk menuansakan masa silam.

Sudah sangat lama hati rahasia bangsa Indonesia mengeluh kepada leluhurnya, sampai-sampai mereka membayangkan saat ini sedang berlangsung rekonsiliasi leluhur: dari Rakai Pikatan, Ajisaka, Bung Karno, Sunan Kalijaga, Gadjah Mada, hingga Gus Dur. Semua menangisi anak cucu yang galau berkepanjangan.

“Jokowi” itu nama yang mengandung harapan. Bangsa Indonesia sudah sangat berpengalaman untuk tidak berharap pada kenyataan karena mau berharap pada sesama manusia terbukti puluhan kali kecele. Mau bersandar pada Tuhan rasanya kurang begitu kenal.

Fauzi Bowo dirugikan oleh penampilannya yang bergelimang teknokrasi dan industri politik. Sosoknya, wajahnya, gayanya adalah prototipe birokrat yang menguras energi. Namanya pun kontra-produktif. Fauzi itu nama Islam lusinan, di tengah situasi global di mana Islam “harus jelek” bahkan “harus miskin, bodoh, dan pemarah”. Ditambah Bowo pula. Kalau “Prabowo” masih lumayan, punya arti kewibawaan. Bowo itu tipikal umum “wong Jowo”.

Begitu jadi orang Jakarta, Anda tidak lagi tinggal di Pulau Jawa sehingga setiap tahun harus “mudik ke Jawa”.

Jawa adalah entitas masa silam yang sudah jauh kita tinggalkan. Logat Jawa di siaran teve menjadi simbol kerendahan kasta budaya, dijadikan bahan ketawaan, diucapkan buruh atau pembantu.


Bukan Kendali Manusia
Pasti tidak ada maksud tim sukses Jokowi untuk berpikir demikian dan menyingkat Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejarah umat manusia pun tidak 100 persen dikendalikan manusia. Ada yang lain yang bekerja, malah mungkin lebih bekerja.

Waktu pun tidak linier, meskipun kita menitinya melalui garis linier. Proses-proses sejarah berlangsung dengan multisiklus dan lipatan-lipatan tak terduga yang sulit dirumuskan pengetahuan manusia sampai hari ini.

Maka, baik-buruknya gubernur terpilih Jakarta, siapa pun dia, terlalu relatif untuk diidentifikasi dan dirumuskan melalui beberapa gumpal ilmu politik, demokrasi dan pembangunan. Sejarah umat manusia tidak semeter dua meter, tidak semata-mata selesai dihitung per lima tahun: sesungguhnya kita tidak mengerti apakah yang baik dan benar itu Foke atau Jokowi.

Kita jalani hidup dengan sikap kristal: kerjakan yang baik di mana pun dengan apa atau siapa pun. Dipacu dengan rasa syukur dan sangka baik terhadap hari esok sehingga yang kemarin masih kita sangka, hari ini menjadi doa, besok menjelma fakta.

Bahkan, apa jadinya manusia kalau tak ada iblis. Bagaimana anak-anak kita naik kelas kalau tidak ada ujian. Apa jadinya kita semua kalau Allah tidak mengambil keputusan mentransformasikan Syekh Kanzul Jannah (bendaharawan surga), senior para makhluk rohani yang sangat dekat dengan-Nya, menjadi Iblis? Yang dikontrak Allah sampai hari kiamat, yang menolak bersujud kepada Adam, yang bahkan para malaikat pun memberi legitimasi “Ya, Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang toh kerjaannya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah.”


Mencari Asal
Orang memilih Jokowi mungkin setahap perjalanan di alur “sangkan paran”, bawah sadar mencari asal muasal, kerinduan kepada diri sejatinya. Di mana mereka menemukannya pada Jokowi. Ya, namanya, ya, sosoknya. Jokowi kurus seperti rakyat, kalah ganteng dari Foke. Mungkin rakyat sadar dulu salah pilih SBY karena gagah-ganteng.

Tidak penting, apakah Jokowi benar-benar mengindikasikan asal-usul itu atau tidak, bahkan Jokowi juga tidak akan dituntut-tuntut amat, apakah dia nanti mampu menjadi pemimpin yang baik atau tidak. Manusia Indonesia di Jakarta tidak sadar sedang mencari dirinya, bukan mencari Jokowi.

Jokowi beruntung karena mereka menyangka ia yang dicari. Namun, Jokowi punya peluang untuk membuktikan bahwa memang dia yang dicari.

Bagi orang Jakarta yang Sunda, diam-diam menemukan sosok manusia Sunda Wiwitan pada Jokowi. Bagi orang Jakarta yang Jawa dan darahnya mengandung virus wayang, Jokowi seperti Petruk, anaknya Kiai Semar, Sang Prabu Smarabhumi, perintis babat alas Jawa.

Allah menciptakan Adam dengan menyatakan, “Sesungguhnya Aku menciptakan khalifah di Bumi”. Manusia dan bangsa Indonesia mengakui mereka gagal mengkhalifahi kehidupan. Maka, mereka rindu, seakan-akan ingin mengulang dari awal, dengan sosok dan kepribadian yang mereka pikir sebagaimana di awal dulu.

Secara rahasia bangsa Indonesia berpikir bahwa “bukan ini Indonesia”. Maka bawah sadar mereka terbimbing untuk Nasionalisasi Indonesia.

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
KOMPAS, 22 September 2012

Tuesday, September 25, 2012

Restorasi Kemanusiaan Indonesia


Pancasila sudah tumpul dan tak bernyawa di dalam dada aparatur negara yang abai terhadap luka berdarah hingga hilangnya nyawa warga negara. Apakah kisah kekerasan itu akan diceritakan turun-temurun kepada anak-anak kita sebagai ahli waris Indonesia?

Kekerasan demi kekerasan, tembakan demi tembakan, letupan demi letupan, begitulah seolah wajah Indonesia. Pemangku pemerintahan dan penanggung jawab sebagai pelindung warga negara terkesan hanya meluapkan emosi karitatif mereka di media. Di samping itu, belum ada implikasi nyata atas pencarian tersangka dan tindakan hukum yang tegas.

Kejadian yang sama berulang-ulang. Ada pula suara sumbang mengatakan sebagian besar kejadian itu rekayasa. Begitu parahnya masalah kemanusiaan manusia Indonesia bila setiap peristiwa yang membunuh manusia merupakan rekayasa untuk kepentingan kelompok tertentu atau pihak tertentu.


Apa yang ingin kau cari Indonesia? Beragam budaya dan kaya akan sumber daya alam, tapi pemerintahan yang dijalankan manusia Indonesia, yang lahir dan besar di tanah air Indonesia, ternyata tak pernah tuntas menyelesaikan masalah hilangnya nyawa sesama manusia, saudara sedarah Indonesia.

Selain itu, kecemburuan pun merebak di tengah keanekaragaman warga negara. Semestinya keadilan yang diharapkan, tapi kesengsaraan yang dirasakan. Seharusnya kemanusiaan, tapi berganti menjadi kekerasan. Keyakinan pun bisa menjelma jadi keberingasan.

Tumpulnya kemanusiaan dan pudarnya kepercayaan diri sebagai manusia Indonesia tak terlepas dari watak manusia. Lantas, apakah yang tampak akhir-akhir ini adalah watak manusia Indonesia? Penyelenggara negara berjalan tak keruan. Hendak menuju ke mana sebenarnya pemerintahan? Wajah Republik ini seolah mengalami seperti apa yang pernah dikatakan Mochtar Lubis, “wajah lama tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas.”


Pemimpin Kemanusiaan
Terkadang kita seolah tak percaya, mengapa begini keadaan Republik kita ini. Warga seperti tak tahu siapa pemimpin publik mereka. Survei yang gegap gempita di media apakah cukup dengan responden yang hanya ribuan itu sebagai representasi suara rakyat dan menggambarkan sosok kepemimpinan yang dapat mengubah keadaan dan berperikemanusiaan?

Konspirasi politik nasional berlangsung terus seiring dengan penderitaan anak bangsa yang telah berlangsung lama. Apa lagi tentang nasib pemulihan harga dan harkat bangsa, hal itu makin lama menjadi kian tertunda. Kalau memang sudah begitu keadaannya, bagaimana melakukan perubahan dan menciptakan kemajuan negara? Titik dan koma tentang capaian kemajuan Republik ini masih buram. Di mana jalan terangnya? Tak sedikit pula kerusakan dan kebusukan politik hadir secara terang di ruang publik.

Pemerintah menganggap gampang semua persoalan bangsa. Segala persoalan hampir berkutat pada cerita yang sama. Jarang ada kisah pemimpin publik yang aksi kemanusiaannya benar-benar ikhlas tanpa pamrih dan tanpa pamer.


Restorasi Kemanusiaan
Sebenarnya, banyak orang biasa yang bukan penyelenggara negara paham mau dibawa ke mana Indonesia. Orang biasa itu mungkin saja berada di sekitar wilayah rumah kita. Namun karena kepongahan, barangkali kita tak menyadari keberadaan mereka. Orang-orang biasa yang saling membagi kebersamaan dan mengambil makna harkat kemanusiaan sambil bekerja membagi kasih sayang.

Almarhum Moeslim Abdurrahman mengatakan individu-individu yang biasa itu memiliki kepribadian kebajikan sosial (social virtue) untuk menciptakan masyarakat Indonesia menjadi baik. Ya, orang biasa yang berperikemanusiaan. Merasa dan memiliki Indonesia dengan sepenuh jiwa raganya. Menghargai kemanusiaan Indonesia, dan sama sekali bukan menggunakan manusia lain untuk memperalat dan menghilangkan nyawa sesama manusia Indonesia.

Manusia yang memperalat, bahkan membunuh nyawa manusia, disebut Soedjatmoko sebagai manusia tuna, pribadi zombi yang digerakkan satu motif serakah untuk mengeruk kemewahan tanpa batas. Memang, tidak ada resep yang mudah bagi masa depan Indonesia, sebagaimana tidak ada bentuk yang final tatkala manusia terus berinteraksi di antara sesama.


Oleh karena itu, restorasi kemanusiaan Indonesia sangatlah diperlukan. Yakni, merancang, memperkuat, dan melakukan segala sesuatunya dalam kerangka nilai-nilai yang signifikan pada proses mencapai tujuan hakikat sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka manusia Indonesia selain kita, manusia Indonesia itu sendiri?

Budayawan Sanusi Pane pernah menganjurkan kita agar kembali ke dasar Indonesia. Ke-Indonesiaan dan ketimuran harus memancar lagi di dalam masyarakat. Segala provinsialisme, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan dan kemanusiaan yang ada sejak dahulu hingga sekarang, harus dijauhi.

Artinya, restorasi kemanusiaan ialah perubahan diri sendiri. Tak boleh tidak, itu mesti bersifat perubahan jiwa, pandangan hidup, dan cara berpikir, secara nyata! Bukan sekadar iklan-iklan dan cuap-cuap pencitraan. Ya, itulah perubahan manusia untuk kembali menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

David Krisna Alka
Peneliti Populis Institute dan Aktivis Group Menara 62
MEDIA INDONESIA, 19 September 2012

Tuesday, September 11, 2012

Mengukur Kinerja Foke dan Jokowi


Warga Jakarta adalah individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa yang layak menjadi gubernur Jakarta.

Genderang perang ronde kedua pilkada DKI sudah ditabuh bertalu-talu. Pasangan Foke-Nara serta Jokowi-Ahok berusaha bersolek diri, menebar simpati dan janji, menyiapkan strategi dan amunisi, serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk memuluskan jalan menjadi gubernur DKI. Di sisi lain, pemilih semakin kritis dan cerdas memilah-milah semua informasi dan janji-janji.

Dengan demikian, pemilih diharapkan tidak menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan primitif-primordial seperti isu suku, agama, golongan, kumis, atau baju kotak-kotak. pemilih juga tidak boleh terkecoh oleh pemberitaan media massa dan media sosial yang berusaha memainkan emosi publik dimana seolah-olah pilkada DKI adalah pertarungan semut versus gajah, perubahan versus status quo, laskar rakyat versus laskar partai, dan nasionalis versus religius.

Pemilih yang cerdas dan rasional akan menjatuhkan pilihan berdasarkan fakta obyektif kinerja, kapasitas kepemimpinan, dan kemampuan manajerial para kandidat yang sedang berlaga. Marilah kita melihat fakta dan data statistik ukuran kemiskinan mutlak (absolut) dan kemiskinan relatif untuk mengukur kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi selama mereka berkuasa.


Kemiskinan Absolut
Kemiskinan mutlak (absolut) adalah ukuran ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, perumahan, pakaian, dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup layak setara dengan kebanyakan orang. Pada tahun 2010, warga Jakarta dinyatakan miskin absolut jika pengeluarannya kurang dari Rp 338.783 per kapita per bulan, sedangkan warga Solo dinyatakan miskin absolut jika pengeluarannya kurang dari Rp 306.584 per kapita per bulan.

Berdasarkan garis kemiskinan absolut ini, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta dan Kota Solo adalah masing-masing 4,04 persen dan 13,96 persen (BPS DKI Jakarta, 2011; BPS Jawa Tengah, 2011). Angka kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah se-Indonesia, sedangkan Kota Solo masih mengalami permasalahan yang serius dengan kemiskinan.

Angka kemiskinan Kota Solo tidak akan pernah turun mendekati angka kemiskinan DKI Jakarta, meskipun Jokowi menyelesaikan jabatan wali kota sampai 2015. Dengan demikian, tidak salah Amien Rais menyampaikan fakta bahwa tingkat kemiskinan Kota Solo masih tinggi dan berada di atas rata-rata nasional (Inilah online, 7 Agustus 2012).


Tetapi melihat satu titik waktu angka kemiskinan untuk menilai kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi adalah sebuah kecerobohan, gegabah, atau bahkan sebuah kezaliman. Sebab, kinerja hanya dapat diukur dengan membandingkan dua buah titik waktu selama gubernur/wali kota memangku jabatan.

Jadi marilah kita melihat angka kemiskinan DKI Jakarta dan Kota Solo periode 2007-2010 untuk memberikan penilaian yang lebih adil.

Angka kemiskinan DKI Jakarta tahun 2007 adalah 4,48 persen, sedangkan angka kemiskinan Kota Solo tahun 2008 adalah 16,13 persen. Selama kurun waktu 3 tahun (2007-2010), Fauzi Bowo mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,44 persen atau 0,15 persen per tahun. Di sisi lain, Jokowi selama kurun waktu 2 tahun (2008-2010) mampu menurunkan kemiskinan sebesar 2,17 persen atau 1,1 persen per tahun.

Berdasarkan data statistik ini, kinerja Jokowi dalam menurunkan angka kemiskinan jauh lebih kinclong dibanding kinerja Fauzi Bowo. Dengan asumsi penurunan kemiskinan secara linear, Jokowi membutuhkan waktu sekitar 14 tahun berkuasa untuk menghilangkan kemiskinan di Kota Solo, sedangkan Fauzi Bowo membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun berkuasa untuk memusnahkan kemiskinan dari bumi Jakarta.


Membandingkan kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi akan lebih menarik jika kita dapat melihat lebih mendalam angka kemiskinan relatif di kedua kota tersebut. Data kemiskinan ini tidak dipublikasikan oleh BPS, karena perhitungan kemiskinan relatif merupakan inisiatif baru dalam pengukuran kesejahteraan di Indonesia.

Kemiskinan relatif berkaitan erat dengan masyarakat inklusif dan ketimpangan sosial. Si A dengan penghasilan Rp 2 juta per bulan bisa dikatakan miskin secara relatif jika kebanyakan orang di sekeliling A berpenghasilan Rp 5 juta per bulan. Penghasilan A tidak cukup untuk mengimbangi gaya hidup kebanyakan orang, sehingga A akan teralienasi dan terpinggirkan dari pergaulan sosial. A hanya akan menjadi penonton dari proses gemerlap pembangunan tanpa bisa ikut menikmatinya.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Susenas (Sensus Ekonomi Nasional) 2005 dan 2008 serta garis kemiskinan relatif sebesar 60 persen rata-rata pengeluaran penduduk Jakarta dan Solo, maka angka kemiskinan relatif tahun 2005 di DKI Jakarta dan Kota Solo masing-masing adalah 39,61 persen dan 38,88 persen. Artinya, sekitar 40 persen warga Jakarta dan 39 persen warga Solo tidak dapat hidup pantas dan layak seperti kebanyakan orang di wilayah tersebut.

Dalam kurun waktu 2005-2008, angka kemiskinan relatif DKI Jakarta dan Kota Solo turun menjadi 33,43 persen (dari 39,61) dan 28,11 persen (dari 38,88). Artinya, selama 3 tahun Jokowi mampu menurunkan kemiskinan relatif sebesar 10,77 persen atau sekitar 3,6 persen per tahun. Sedangkan Fauzi Bowo hanya mampu menurunkan kemiskinan relatif sebesar 2,06 persen per tahun. Jika dilihat dari kinerja penurunan kemiskinan absolut dan relatif, Jokowi lebih unggul dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Namun demikian, hal ini tidak bisa menjamin 100 persen kesuksesan di Solo bisa ditransformasikan di Jakarta, karena adanya perbedaan ruang, waktu, dan skala masalah.


Penutup
Sekali lagi, warga Jakarta adalah individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa yang layak menjadi Gubernur Jakarta. Pemilih seharusnya tidak perlu takut berbeda dengan titah/perintah para pemimpin partai/organisasi sosial/keagamaan, karena titah bukanlah sabda, sehingga tiada dosa untuk tidak mematuhinya. Perlu kehati-hatian dan pertimbangan ekstra dalam menentukan pilihan, karena salah pilih gubernur berarti harus menunggu lima tahun lagi untuk memilih yang lain.

Semoga Jakarta mendapatkan pemimpin yang jujur, amanah, dan mampu merealisasi janji-janji mewujudkan Kota Jakarta yang aman, nyaman, dan ramah untuk semuanya.

Teguh Dartanto
Dosen dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 6 September 2012

Wednesday, September 5, 2012

Bersatu untuk Indonesia Raya


Baru saja kita merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-67. Kemerdekaan yang direbut melalui suatu proses perjuangan, yang berpuncak pada perang kemerdekaan, dari 17 Agustus 1945 hingga tahun 1950. Adalah fakta sejarah bahwa semua unsur rakyat Indonesia terlibat dalam perjuangan tersebut.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, atas inisiatif sendiri, I Gusti Ngurah Rai datang ke Jakarta untuk menghadap Panglima Besar Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat untuk membentuk pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara). Ia kemudian memimpin serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda di Bali.

Pada tanggal 19 November 1946, Belanda berhasil mengepung pasukan Ngurah Rai di Desa Margarana. Belanda sempat mengirim utusan untuk meminta Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya agar menyerah. Apabila menyerah, ia dan pasukannya akan dibiarkan hidup. Namun, ultimatum Belanda dijawab oleh I Gusti Ngurah Rai dengan teriakan “puputan”, yang berarti “bertempur sampai titik darah penghabisan”.


Pada 17 Juli 1946, Robert Wolter Monginsidi yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, membentuk suatu pasukan gerilya yang dinamakan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris). Pasukan Monginsidi terus-menerus melakukan perang gerilya terhadap Belanda di Sulawesi Selatan.

Dalam suatu operasi besar-besaran pada 28 Februari 1947, Belanda berhasil menangkap Monginsidi. Pada 27 Oktober 1947, Monginsidi berhasil meloloskan diri dan mulai menyerang kembali pos-pos Belanda. Namun, tidak lama kemudian Monginsidi tertangkap kembali untuk kedua kalinya.

Monginsidi diadili oleh Belanda. Dalam proses pengadilan ditawarkan: kalau ia menyatakan berhenti mendukung Republik Indonesia, ia akan mendapatkan hukuman yang ringan. Namun, apabila ia terus setia kepada Republik Indonesia, ia akan dijatuhi hukuman mati. Ia jawab kepada hakim, “Hukum matilah saya, jika tidak, kamu nanti yang akan saya bunuh pertama kali!”


Kita juga mengetahui kisah perjuangan Daan Mogot, seorang perwira TRI yang tergolong sangat cemerlang kariernya. Ia menjadi mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) pada usia 14 tahun.

Pada 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot dengan beberapa perwira dan pasukan tarunanya terlibat dalam pertempuran Lengkong di Tangerang dalam usaha merebut senjata untuk TRI. Dalam pertempuran tersebut, ia gugur bersama 36 perwira dan taruna. Di antara taruna yang gugur adalah dua orang paman saya, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo. Sujono pada saat itu usianya baru 16 tahun.


Demi “Merah Putih”
I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Monginsidi, dan Daan Mogot adalah contoh beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia yang kebetulan berasal dari golongan minoritas di negeri ini. Ada yang beragama Hindu, Katolik, dan ada yang Protestan.

Mereka berjuang demi kemerdekaan Indonesia bersama-sama dengan anak-anak bangsa dari golongan mayoritas, yang beragama Islam. Siapa di antara kita yang tidak kenal Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Ki Bagus Hadi Kusumo, Wahid Hasyim, dan lainnya?

Saya juga teringat, dalam perjalanan masa tugas saya sebagai perwira TNI, ada dua sukarelawan Timor Timur yang berjuang dan bertempur bersama saya di tahun 1978. Keduanya adalah keturunan etnis Tionghoa. Sukarelawan yang satu dikenal dengan nama Domingus “China” dari Ossue, yang satu lagi Roberto Lie Lin Kai, adik dari seorang tokoh Tionghoa dari Vikeke bernama Fransisko Ciko Lie.


Domingus dan Roberto bertempur bersama pasukan TNI —tanpa pangkat, tanpa jabatan, dan tanpa ikatan dinas— di hutan-hutan dan di gunung-gunung Timor Timur untuk Merah Putih.

Selain kisah-kisah mereka yang angkat senjata untuk Republik Indonesia, ada juga pahlawan-pahlawan yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di bidang lain. Misalkan, di bidang bulu tangkis kita mengenal Tan Joe Hok, orang Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Kita juga kenal Rudy Hartono, Christian Hadinata, Liem Swie King, Verawati Fajrin, Ivana Lie, Alan Budikusuma, dan Wang Lian Xiang alias Lucia Francisca Susy Susanti.


Pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik dari mengenal dan mengenang mereka adalah bangsa kita adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku, banyak agama, banyak ras. Mereka telah membayar saham yang sangat mahal untuk mendirikan, memperjuangkan, dan membanggakan republik ini dengan darah, keringat, dan air mata mereka.

Saya teringat kata-kata salah seorang senior saya, mantan Menteri Agama Dr Tarmizi Taher. Ia pernah mengatakan, “orang Nasrani, orang Hindu, orang Buddha, orang Konghucu, bukan indekos di negeri ini. Mereka ikut mendirikan negeri ini!”

Dengan suasana inilah hendaknya kita memandang masa depan kita dengan jiwa yang besar. Bahwa semua anak bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengabdi, untuk membela negara, bangsa, dan rakyat Indonesia.

Bersatu kita teguh. Bercerai kita runtuh!

Prabowo Subianto
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, ITB
KOMPAS, 23 Agustus 2012

Saturday, September 1, 2012

Menimbang Caliphating Hope


Tulisan serial Makkah-Aqsa-Baghdad, Dahlan Iskan di Jawa Pos di halaman 1 menarik. Pada seri terakhir Jumat, 24 Agustus 2012, Perjalanan Mengenang Tragedi di Karbala paragraf keempat dari akhir tulisannya, ada kalimat yang penting, ''... Bagaimana bisa terjadi, gara-gara politik kekuasaan, pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir justru ketika umat Islam menganut paham pemerintahan kekhalifahan.''

Kesan itu bisa menimbulkan sikap menjaga jarak, menjauh, dan apriori terhadap ide khilafah Islam yang justru telah, sedang, dan terus diopinikan oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (HTI).

Pemilihan judul Caliphating Hope terinspirasi tulisan Dahlan Iskan berseri di Jawa Pos setiap awal pekan, yaitu Manufacturing Hope, dengan spirit yang sama: untuk menumbuhkan hope dan merekonstruksi harapan, dream, dan ide besar tersebut.

Kekerasan politik-militer bukan menjadi monopoli pemerintahan kekhalifahan. Dalam sejarah kaum muslimin, memang banyak terjadi pertumpahan darah dalam bentuk peperangan dan insiden. Perang Badar dan Perang Uhud ketika zaman Rasulullah SAW, perang terhadap nabi palsu dan Perang Shiffin pada masa Khulafaur Rasyidin, tragedi Karbala pada masa khilafah Umayah, Perang Salib ketika khilafah Abbasiyah, ataupun khilafah Usmani saat penaklukan Konstantinopel dan Perang Dunia I.


Banyak darah mengalir, mulai zaman baheula seperti Namruj (masa Nabi Ibrahim), Fir'aun (masa Nabi Musa), Raja Nebukadnezar, hingga Kaisar Romawi Nero. Dalam sejarah non kekhalifahan juga terjadi pertumpahan darah seperti Inquisisi Ratu Isabella-Raja Ferdinand terhadap muslim Andalusia, era kolonialisme-imperalisme kuno oleh kerajaan-kerajaan Eropa, pertempuran Katolik-Protestan di Eropa selama berpuluh-puluh tahun, invasi Hitler yang meluluhlantakkan Eropa, hingga Revolusi Bolshevik Uni Soviet oleh Lenin.

Begitu juga halnya pada masa modern ketika khilafah Islam sudah tidak eksis lagi sejak keruntuhannya pada 1924, pertumpahan darah tetap terjadi seperti Perang Vietnam, perang Arab-Israel, genosida muslim Bosnia, serta invasi Amerika Serikat dan Barat ke Iraq dan Afghanistan. Jadi, tidak fair jika paham pemerintahan khilafah dituduh penyebab ''pertumpahan darah tidak henti-hentinya mengalir''.

Setiap sejarah memiliki beberapa sisi yang tidak dapat digeneralisasi secara gegabah, termasuk terhadap sejarah pemerintahan khilafah Islam. Sisi positif dan kegemilangan khilafah Islam seperti saat Fathul Makkah oleh Rasulullah (tanpa ada setetes darah yang tumpah), penaklukan dan pembebasan Mesir dari pajak Romawi yang mencekik saat Khalifah Umar bin Khattab, kemakmuran yang merata pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Di bidang lain, saat khilafah Umayah, mentradisinya intelektualisme Islam ketika pembukuan hadits (Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain), juga mentradisinya intelektualisme ijtihad oleh Imam Madzahibul Arba' (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Hambali), dan beberapa ulama besar dalam spritualisme sufiyah seperti Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailani, dan Rabi'ah al-Adawiyah.


Belum lagi dalam bidang sains dan teknologi saat khilafah Abbasiyah. Di antaranya, Ibnu Sina, peletak dasar ilmu kedokteran (kitab Qanun at-Thib masih menjadi referensi pakar kedokteran hingga sekarang), al-Khawarizmi (ahli ilmu falak dan matematika, di antaranya metode aljabar), Jabir Ibnu Hayyan (peletak dasar ilmu kimia murni dan terapan untuk industri parfum, pewarna, dan lain-lain), Ibnu Haytsam (pakar fisika optik yang menggambarkan cara kerja mata dan kamera), dan puluhan lainnya seperti al-Biruni, Ibnu Khaldun, Ibnu Batutah, dan Ibnu Taymiyah. Karena itu, khilafah Islam tidak selalu menimbulkan pertumpahan darah.

Sebagai pemilik hati yang sehat (qalbun salim) setelah melewati Ramadan, kita semua berharap agar memandang sebuah persoalan dengan jernih. Ini sebagai wujud syukur kita setelah terbebas dari hati yang sakit (qalbun maridh).

Ide khilafah Islam layak dipelajari dan diterapkan. Ini tidak semata-mata karena secara empiris telah eksis 13 abad. Bandingkan saja dengan pemerintahan kapitalisme-sekuler yang baru muncul pada abad ke-18. Apalagi, pemerintahan sosialisme-komunis yang tidak sampai satu abad. Tapi, semata-mata karena panggilan akidah Islam untuk dapat membumikan al-Quran dan al-Hadits. Panggilan menerapkan syariah Islam secara kaaffah (paripurna) dalam semua bidang kehidupan. Panggilan mewujudkan misi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk kaum muslimin.


Dalam konteks Indonesia, kami yakin, pemerintahan khilafah dapat mengantarkan Indonesia sebagai negara super power dunia. Salah satu modalnya karena kaum muslim di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, kekayaan sumber daya alam, posisi geo-strategis, akar historis Wali Sanga, dan lain-lain.

Jangan bunuh hope untuk masa depan cerah yang dapat mengeluarkan kehidupan manusia dari lingkaran setan sistem kapitalisme-sekuler yang telah gagal mewujudkan kemakmuran dan keadilan global. Bahkan sistem kapitalisme-sekuler ini telah menjerumuskan massal manusia kepada jurang krisis kemanusiaan.

Dengan metode memperjuangkannya secara benar sesuai yang diteladankan Rasulullah SAW, maka kabar gembira (bisyarah), khilafah akan kembali hadir di muka bumi segera menjadi kenyataan. Seperti disabdakan Rasulullah SAW '' . . . tsumma takuunu khilafatan 'alaa minhajin nubuwwah.'' (Kemudian akan berdiri kekalifahan sesuai dengan jalan benderang kenabian).

Bagaimana pendapat Anda?

Muh. Usman
Humas DPD HTI Jatim,
Dosen FK Unair dan Universitas Wijaya Kusuma

JAWA POS, 27 Agustus 2012