Friday, August 31, 2012

Senjakala Kapitalisme


Pada dasarnya, hanya ada dua sistem aturan hidup (way of life): sistem buatan manusia dan yang berasal dari Allah SWT. Sistem kehidupan buatan manusia secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi komunisme-sosialisme dan kapitalisme-demokrasi. Sejarah membuktikan bahwa komunisme telah gagal total dan ditinggalkan oleh seluruh penganutnya sejak 1989 berbarengan dengan runtuhnya Imperium Uni Soviet.

Sementara itu, kapitalisme-demokrasi yang begitu jemawa sejak era Adam Smith pada 1800-an mulai terlihat cacatnya dan sempoyongan sejak the great depression pada 1930. Setelah itu, kehidupan ekonomi dunia yang menganut kapitalisme dilanda krisis keuangan atau ekonomi secara berulang dan tak berkesudahan. Klimaks dari kegagalan sistem kapitalisme-demokrasi terlihat jelas sejak resesi ekonomi global pada 2008 yang dipicu oleh krisis keuangan di Amerika Serikat.

Hampir semua ekonom dunia peraih Nobel, termasuk Paul Krugman dan Joseph Stiglitz, serta Bank Dunia dan IMF yang merupakan anak kandung kapitalisme sepakat bahwa krisis ekonomi yang melanda Eropa, AS, Jepang, dan pusat-pusat kapitalisme lainnya tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Yang lebih mencemaskan, mereka pun kewalahan bahkan hampir menyerah untuk menemukan jalan keluarnya.


Nasib Demokrasi
Kehidupan politik yang berasaskan pada sistem demokrasi pun nasibnya setali tiga uang dengan kondisi ekonominya. Laporan utama the Guardian, 6 Juni 2012, dengan judul “British Democracy in Terminal Decline” mengungkapkan fakta yang menggemparkan dunia bahwa era demokrasi bakal segera berakhir.

Ada tiga indikator yang memperkuat fenomena tersebut. Pertama, semakin hegemoniknya pengaruh korporasi dalam proses pengambilan keputusan publik, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Kedua, semakin banyaknya politisi yang memperkaya diri dan hanya mementingkan kelompoknya. Ketiga, kian menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu sebagai wujud kekecewaan rakyat terhadap demokrasi.

Memudarnya demokrasi seperti itu sejatinya tidak hanya terjadi di Inggris, tetapi hampir di seluruh dunia, termasuk di Prancis dan AS sebagai kampiun demokrasi. Hegemoni kepentingan para pemilik modal telah menyuburkan money politics, suap, kolusi, dan korupsi.

Skandal penjualan kursi Barack Obama yang menghebohkan dunia pada 2008 hanyalah puncak dari gunung es. Saat itu, Gubernur Illinois Rod Blagojevich akhirnya dipecat karena terbukti menjual kursi senat yang kosong setelah ditinggalkan Obama yang terpilih menjadi Presiden AS.


Kebobrokan serupa juga tengah berlangsung di Cina dan emerging economies lainnya pengekor demokrasi. Banyak pemimpin partai berkuasa di negeri tirai bambu itu yang terlibat skandal korupsi dan bahkan pembunuhan lawan-lawan politik. Mega skandal terakhir pada tahun ini menyeret Bo Xi Lai dan istrinya, salah satu petinggi Partai Komunis Cina, yang selain menjarah uang negara juga membunuh secara sadis lawan politiknya.

Seakan tak mau kalah dengan tuan demokrasinya, praktik suap, money politics, dan korupsi semakin masif dan marak terjadi di Indonesia. Skandal korupsi Bank Century, Gayus Tambunan, proyek Hambalang, Wisma Atlet Palembang, dana infrastruktur Kemenakertrans, Kemendiknas dan 16 perguruan tinggi, alat kesehatan di Kemenkes, suap pengusaha Hartati Murdaya kepada Bupati Buol, simulator SIM polantas, hingga pencetakan al-Quran di Kementerian Agama telah melibatkan penjaga-penjaga setia demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi juga mendorong para pelakunya menjadi orang-orang munafik.

Dominannya pengaruh korporasi membuat kebijakan negara lebih memihak kepada pemilik modal dan korporasi, baik nasional maupun asing. Maka, lahirlah beragam UU dan kebijakan pemerintah yang menguntungkan pemilik modal dan merugikan rakyat banyak. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat, mayoritas politisi dan pejabat pemerintah lebih sibuk mementingkan kekayaan dirinya dalam upayanya mempertahankan kekuasaan.

Keserakahan serta orientasi hidup yang serba materi dan duniawi tanpa dimensi ukhrawi dari sistem kapitalisme juga memacu laju pemanfaatan sumber daya alam dan pembuangan limbah serta emisi gas rumah kaca ke lingkungan yang telah melampaui daya dukung bumi sejak awal 1990-an. Inilah akar masalah dari berbagai bentuk kerusakan lingkungan, termasuk global warming, yang telah mengakibatkan krisis pangan, energi, dan krisis air global. Dewasa ini sekitar dua miliar penduduk dunia menderita kekurangan pangan, kelaparan, atau gizi buruk (FAO dan WHO, 2012).


Secara rasional, setiap sistem kehidupan buatan manusia, tak terkecuali kapitalisme demokrasi, memang tidak mungkin sempurna. Sebab, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang lemah. Ciptaan manusia pasti tidak mungkin bersifat adil bagi seluruh manusia, tidak mampu mencakup seluruh ruang kehidupan di bumi ini, dan tidak akan dapat menjangkau masa depan lebih dari satu abad.

Sementara itu, ketika umat Islam melaksanakan sistem kehidupan ciptaan Allah (Islam) secara kafah sejak Fatkhu Makkah abad-7 M sampai penaklukan Spanyol pada abad-17 M, umat Islam mengalami masa kejayaan (the Golden Age of Moslem). Sekitar dua pertiga wilayah bumi yang berada di bawah kekhilafahan Islam ketika itu menikmati kehidupan yang maju, sejahtera, dan berkeadilan. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang pesat.

Bahkan, semua ilmuwan kontemporer yang jujur mengatakan bahwa iptek modern yang berkembang sekarang ini semua dasarnya adalah dari zaman keemasan Islam (Wallace-Murphy, 2007). Lebih dari itu, selain mengembangkan iptek, kejayaan Islam juga menebarkan kesejahteraan dan keadilan ke seluruh penjuru dunia. Karena, memang Islam adalah rahmat untuk alam semesta.

Rokhmin Dahuri
Ketua Bidang Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan Dewan Pakar ICMI
REPUBLIKA, 23 Agustus 2012

Tuesday, August 28, 2012

Serakah


Paholk, seorang petani Rusia, mendengar kabar bahwa bangsa Bashkir tidak menghargai tanah, ingin ia mencoba peruntungannya di sana. Setelah berminggu-minggu berjalan, sampailah ia di tengah perkampungan bangsa itu, lalu berkata kepada kepala suku, seorang yang gemuk sekali, lucu dan masih biadab.

“Pilihlah tanda yang kau sukai,” kata kepala suku itu acuh tak acuh. “Harganya hanya 1000 rubel.”
“Berapa luas tanahnya?” Paholk bertanya.
“Luas atau tidak, harganya sama saja.”

Akhirnya tercapai persetujuan, luas tanah itu harus dapat dikelilingi Paholk dalam satu hari, mulai dari matahari terbit sampai matahari terbenam. Pada jarak-jarak tertentu, ia harus membuat lubang dengan sekop sebagai tanda, sedangkan orang Bashkir akan mengikutinya dengan bajak agar batas itu jelas.

Tetapi kepala suku itu memperingatkan, “kamu harus sampai kembali di tempat sebermula, jika tidak, maka uang dan tanahmu akan dirampas.”

Paholk setuju. Paginya ia berangkat, dilepas oleh bangsa Bashkir, dihadiri kepala suku mereka. Mereka bersorak ketika Paholk berangkat. Udara dingin, tetapi setelah bangun dari tidur nyenyaknya semalam, Paholk bergerak dengan cepat. Ia tak berhenti sampai jarak yang dicapainya tiga mil. Pada saat itu matahari telah tinggi, hingga punggungnya panas. Diminumnya air persediaannya, lalu meneruskan perjalanan.


Tengah hari, ia berhasrat pulang. Lingkaran tak mungkin lebih besar lagi. Tetapi, makin jauh ia berjalan, tanah semakin subur. Terdapat pula sungai kecil yang jernih seperti yang diinginkannya. Bahkan ada lagi lembah yang subur, yang sangat baik untuk menanam kapas.

Pada suatu tempat, waktu sinar matahari bertambah panas dan persediaan air sudah menipis, ia ingin balik ke kelompok bangsa Bashkir yang masih menunggu di atas sebuah bukit. Tetapi bila demikian, tanah itu tentu tak akan merupakan lingkaran. Tidak, ia harus memiliki tanahnya, berbentuk sebuah lingkaran. Ia akan kaya, melebihi cita-citanya.

Akhirnya, ia berbalik pulang. Tetapi jalan sangat sukar ditempuh. Nafasnya terengah-engah, ia hampir-hampir tak kuat lagi menggali lubang tanda. Jantungnya berdegup keras, lidahnya melekat ke langit-langit mulutnya. Tulang-tulangnya sakit karena kelelahan.

Tetapi ia tak berani istirahat. Dipaksanya tenaganya bekerja terus.

Sekarang ia dapat melihat kelompok bangsa Bashkir itu. Mereka bersorak-sorak memberi semangat. Tetapi matahari telah merendah di daerah barat, semakin merendah dengan cepatnya. Dikumpulkannya seluruh tenaganya yang masih tersisa, kemudian berlari sejauh ratusan meter, lalu jatuh, tidak bergerak.


Ia telah memakai tenaganya berlebihan. Terpikir olehnya andaikata ia tidak melingkari lembah subur itu, semak-semak subur itu, dan memotong pulang dari lembah itu. Sekarang, ia kehilangan uang dan tanahnya.

Dengan susah payah ia berdiri kembali dan meneruskan perjalanannya. Peluh membasahi wajahnya dan membutakan matanya. Hari mulai gelap. Ia jatuh lagi, merangkak ke depan dengan susah payah. Bangsa Bashkir hanya tinggal beberapa meter lagi, ia masih dapat mendengar teriakan-teriakan mereka memberi semangat, masih sempat melihat wajah-wajah mereka.

Namun terlambat. Matahari telah terbenam. Dan ia kalah.

Akan tetapi, mengapakah bangsa Bashkir masih melambai-lambaikan tangan mereka dan bersorak-sorak? Tahulah ia sekarang. Ia berada di tempat yang lebih rendah. Sedang mereka di atas bukit, sehingga masih melihat matahari.

Waktu masih ada. Ia berlari secepat-cepatnya, lalu terjatuh di tengah-tengah bangsa Bashkir dengan wajahnya mencium tanah.

“Aaa …,” kata kepala suku dengan kagum. “Ia kuat dan berhati teguh. Telah luas tanah yang dimilikinya.”

Tetapi Paholk tidak bangkit. Mereka tengadahkan tubuh Paholk. Matanya terbuka dan menatap ke depan. Mati.

Akhirnya, bangsa Bashkir membunyikan tetabuhan, tanda berduka cita. Mereka menggali tanah bagi kuburan Paholk sepanjang enam kaki. Hanya sekiankah tanah yang dibutuhkan oleh seseorang?

Cerpen karya: Leo Tolstoy (1828 – 1910)


Conat Leo Tolstoy adalah seorang bangsawan Rusia yang lahir pada tanggal 28 Agustus 1828. Ia memiliki latar belakang budaya ningrat, pendidikan yang cukup dan kekayaan yang melimpah. Tetapi jemu dengan hidup yang demikian. Pada tahun 1880 ia sengaja menjadi pekerja kasar, dan pada tahun 1888 ia menyerahkan istananya kepada istrinya dan ia sendiri memilih hidup dalam kesengsaraan. Sejalan dengan gaya hidupnya itu, ia membenci orang-orang kaya dan keinginan orang untuk menjadi kaya.

Monday, August 27, 2012

Sekedar Menghitung nggak Dosa kan?


Konon menurut BAZNAS, potensi zakat di Indonesia pada tahun 2012 ini bisa mencapai Rp 300 triliun. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia menurut data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh BPS, ialah sebanyak 237.641.326 jiwa. Dari data jumlah penduduk ini, jika kita menggunakan asumsi data pertumbuhan penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, yakni 1.49% per tahun, maka penduduk Indonesia tahun 2012 ini akan berjumlah 244.775.796 jiwa. Untuk mudahnya kita bulatkan saja menjadi 250 juta jiwa.

Dan masih menurut BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Sekali lagi untuk mudahnya kita bulatkan saja menjadi 29 juta penduduk miskin.

Maka bila dana Rp 300 triliun dari pengumpulan zakat tersebut disalurkan semuanya kepada penduduk miskin, hasilnya tiap penduduk miskin di Indonesia akan mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sekitar Rp 10.350.000.- (Sepuluh juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Sungguh luar biasa kan ?!

Tapi harap maklum, itu semua hanyalah hitung-hitungan di atas kertas!
Sedangkan kenyataannya …???

Tuesday, August 14, 2012

Pasar dan Masjid di Televisi


Bulan Ramadhan adalah bulan religius dengan realisasi ibadah puasa dan praktik kesalehan sosial. Ramadhan menjadi selebrasi masif dalam ekspresi dan pemaknaan religiusitas. Selebrasi itu mendapati godaan-godaan mutakhir oleh televisi. Operasionalisasi modal untuk penciptaan pasar direalisasikan melalui bentuk program acara televisi. Televisi selama Ramadhan membuat klaim-klaim Islami. Klaim itu sugestif atas hasrat penonton sebagai konsumen. Acara apa saja bisa menjadi “Acara Islami” dengan pemenuhan konvensi atau normativitas dalam bentuk tuturan sampai pakaian.

Religiusitas dalam acara-acara televisi selama Ramadhan cenderung berada dalam ranah semu atau abu-abu. Muatan religius terkadang sekadar instrumen atau tempelan. Religiusitas rentan manipulasi dan komersialisasi karena cenderung memakai orientasi pasar ketimbang implikasi-implikasi konstruktif. Komersialisasi religiusitas tampak eksplisit dalam pelbagai program televisi selama Ramadhan. Muatan religius justru mengabarkan klise, repetisi, hiperbolis, dan simbolisasi dangkal. Religiusitas dalam bentuk acara-acara televisi cenderung reduksionis dan kehilangan auratik.

Televisi selama bulan Ramadhan memang menemukan momentum strategis untuk memainkan kuasa dan godaan. Jean Baudrillard (1985) dalam pemikiran pesimistis mengingatkan bahwa televisi adalah dunia; televisi mencair ke dalam kehidupan dan kehidupan melebur ke dalam televisi. Mekanisme itu membuat penonton berada dalam batas tipis ilusi dan realitas. Televisi sebagai pusat justru mengantarkan penonton pada situasi-situasi manipulatif, masif, ilusif, dan pasif.


Pesimisme Jean Baudrillard relevan dengan pesan-pesan melimpah dalam sekian acara televisi selama Ramadhan, yang membuat penonton mabuk dan riskan. Penonton cenderung kehilangan orientasi untuk mekanisme penerimaan dan absorpsi pesan karena kelimpahan pesan dalam frekuensi tinggi dan intensif tanpa jeda reflektif. Laku refleksi dalam fenomena itu kemungkinannya menjadi kecil untuk bisa direalisasikan sebagai kompensasi tindakan menonton televisi.

Kuasa televisi selama Ramadhan memang kerap membatalkan pemahaman etis dan kesadaran ruang-waktu. Acara-acara berlabel religius menggoda penonton dalam sirkulasi waktu ketat dan sesak. Operasionalisasi kuasa dan godaan televisi terjadi saat mulai sahur, buka puasa, shalat Tarawih, dan lain-lain. Putaran waktu dalam konsep religius dengan mudah ditaklukkan televisi dengan menempatkan penonton sebagai konsumen. Selebrasi Ramadhan sebagai bulan religius dalam pengertian waktu yang suci perlahan kehilangan makna dan aura. Sakralitas dalam laku ibadah mulai mengarah dan mengalah kepada profanisasi melalui laku menonton televisi.

Penempatan acara-acara televisi cenderung mengabaikan pemahaman waktu dalam konteks kaum muslim menunaikan ibadah. Waktu sahur dan shalat Subuh adalah kondisi waktu dengan sakralitas dan nuansa hening. Pemahaman waktu sakral itu jebol oleh kehadiran televisi dalam acara komedi, kuis, atau hiburan. Laku tertawa, hasrat mencari peruntungan, perang iklan, dan keramaian hiburan justru menjadi sasaran untuk pencapaian pasar, rating, atau pengerukan laba.


Penjebolan pun terjadi pula ketika waktu buka puasa. Acara komedi, kuis, atau sinetron melenakan penonton sehingga mengalihkan pengalaman religius dalam selebrasi masif televisi. Laku buka puasa perlahan mengalami reduksi atas refleksi dan keterlibatan substantif dalam pengalaman religius.

Acara-acara televisi itu terus menggoda penonton sampai melewati waktu-waktu sakral. Sinetron menempati posisi penting dalam perebutan pengalaman waktu religius. Sinetron-sinetron dengan label dan judul Islami terus menebarkan klise, cinta, artis, iklan, konflik, hedonisme, romantisme, sentimentalitas, marah, erotisme.

Penempatan waktu untuk penayangan sinetron-sinetron itu memang mengandung pertentangan antara kepentingan modal dan laku religius. Kesadaran waktu itu cenderung memberi pengaruh besar pada penonton untuk memilih menekuni televisi atau menekuni laku ibadah di masjid atau melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

Kuntowijoyo (1987) menilai bahwa zaman modern memang identik dengan pertarungan nilai, sistem, dan institusi. Ilustrasi representatif dari pandangan itu adalah ketegangan antara masjid dan pasar. Kuntowijoyo membuat interpretasi kritis atas Hadits Rasulullah Muhammad: “Sebaik-baik tempat adalah masjid dan sejelek-jelek tempat adalah pasar.” Hadits itu menjelaskan pemikiran dialektis Rasulullah Muhammad dalam memerkarakan masjid sebagai simbol agama dan pasar sebagai simbol kepentingan ekonomi.


Ketegangan antara masjid dan pasar semakin kentara dalam kehidupan mutakhir. Masjid sebagai simbol dan representasi laku religius dan masyarakat agama terus mengalami godaan-godaan pragmatis dari pasar. Pasar dalam pengertian ekonomi justru mengalami percepatan dan pembesaran untuk pembentukan masyarakat ekonomi.

Dalil ekonomi mulai merebut perhatian dalam bentuk pragmatisme dan penundukan masyarakat konsumen. Ketegangan mutakhir adalah masyarakat ekonomi mendesak masyarakat agama dengan tubrukan orientasi sakral dan profan. Fakta hari ini menunjukkan bahwa pasar telah membuat lakon absurd pencapaian pamrih ekonomi.

Televisi dalam konteks pemikiran masjid dan pasar adalah representasi dari kuasa modal dan pembentukan masyarakat penonton sebagai masyarakat konsumen. Agama tak luput dari ekspansi kuasa pasar untuk dihadirkan dalam bentuk program acara televisi dengan label religius.

Televisi selama bulan Ramadhan adalah bentuk kuasa pasar. Dan senyatanya, MODAL (baca: uang) bisa mengalahkan MORAL. Komodifikasi dan komersialisasi agama dalam bentuk program-program acara televisi menjadi bukti bahwa pasar hendak menjauhkan penonton dari masjid dalam konteks simbol dan realitas. Apakah memang harus begitu ?!

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 10 Agustus 2012



Ramadhan dan Kapitalisme

Selama ini, kita seringkali membaca ulasan tentang berkah Ramadhan di berbagai kesempatan, termasuk di blog ini. Banyak dijelaskan, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah di mana pada bulan ini Allah Swt menurunkan banyak sekali rahmat kepada umat Islam, maupun semua makhluk secara umum. Hal itu tentu saja tidak salah, bahkan sangat bisa kita rasakan sendiri kebenaran dan kebesaran nikmat Allah yang diturunkan, baik berupa kenikmatan jasmani berupa kesehatan, kenikmatan rohani berupa ketenteraman, maupun bentuk-bentuk kenikmatan lainnya. Namun, dalam pembahasan kali ini saya akan melihat Ramadhan dari sudut pandang yang berbeda, yaitu mengenai hubungan Ramadhan dan kapitalisme.

Seiring perkembangan zaman, kita juga harus menyadari bahwa Ramadhan tidak hanya menjadi momentum bagi umat muslim untuk mendekatkan diri pada Allah Swt dengan memperbanyak ibadah, baik berupa puasa, shalat sunah, sedekah, infaq, zakat, maupun ibadah lain. Bulan Ramadhan yang mulia ini, sekarang juga menjadi lahan bagi kaum kapitalis untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme dan momentum Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah ini, selanjutnya menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan.


Di Indonesia, momentum Ramadhan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kaum kapitalis dengan iklan-iklan yang menawarkan beragam produk dengan citarasa Ramadhan. Meskipun jika mau jujur, produk yang mereka tawarkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha mendekatkan diri pada Allah Swt yang menjadi tujuan utama umat muslim pada bulan suci ini.

Fenomena pemanfaatan momentum Ramadhan oleh kaum kapitalis ini bisa kita lihat setiap saat, dan di mana saja. Di siaran radio, televisi, internet, aneka gadget –utamanya hp- billboard dan berbagai macam iklan luar ruang, bahkan sampai ke dalam kamar yang merupakan ruang pribadi kita. Melalui iklan-iklan inilah, sebenarnya kaum Muslim dirangsang dan didorong untuk meningkatkan perilaku konsumtif dan berlebihan dalam kesehariannya. Dengan produk-produk yang sebenarnya tidak mereka butuhkan namun tetap saja mereka membelinya karena tergiur dengan iklan yang sangat cantik dan menggiurkan selera yang ditampilkan oleh kaum kapitalis demi memperkaya diri mereka sendiri. Fenomena menyedihkan yang semakin mengeratkan hubungan Ramadhan dan kapitalisme.

Fenomena gaya hidup berlebihan yang mengeratkan hubungan Ramadhan dan kapitalisme ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hidup sederhana yang diajarkan Nabi Muhammad Saw, apalagi dalam konteks bulan suci Ramadhan. Di mana seharusnya kita berlatih untuk lebih mengendalikan diri dan bersikap sabar, bertoleransi terhadap sesama umat yang mungkin kurang beruntung, dan beragam ibadah lain baik yang berdimensi vertikal (hablun min-Allah) maupun yang berdimensi horizontal (hablun min al-Naas). Bukan malah menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang yang belum jelas manfaatnya bagi kita.


Fenomena yang salah ini, seharusnya kita kembalikan lagi pada esensi ajaran Islam yang mendasar, yaitu tentang kesederhanaan. Hidup dengan apa adanya namun cukup layak, memperbanyak silaturrahim kepada sanak kerabat, bukannya malah silaturrahmi ke tempat-tempat belanja populer. Kita harus sadar, bahwa hubungan antara Ramadhan dan kapitalisme sebenarnya adalah hubungan yang terlarang, sehingga kita mengemban tugas untuk memisahkan keduanya. Bukan dengan melakukan protes-protes kepada kaum kapitalis untuk menghentikan iklan-iklan mereka. Tapi dengan memperbaiki kesadaran kita masing-masing sebagai muslim, dengan menjalankan ajaran Nabi dalam setiap sendi kehidupan.

Dengan begitu, kaum kapitalis pun akan mundur dengan sendirinya. Mari kita jadikan bulan Ramadhan ini agar menjadi sepenuh-penuh berkah yang akan mengantar kita pada Jannah (Surga), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.

Sumber:
www.muslim-academy.com

Wednesday, August 8, 2012

Fenomena Ustadz-ustadz Infotainment


Banyak jalan untuk jadi masyhur. Salah satunya lewat jalur pemberitaan infotainment dan tampil di televisi. Coba saja tanya ustadz Soleh Mahmoed yang  punya nama seleb: Ustadz Solmed.

Ustadz yang dalam bahasa Indonesia bermakna guru, selalu berkonotasi pada pemberi pelajaran di bidang agama Islam. Tapi kini ada jalan pintas menjadi ustadz kondang. Bukan sekadar mengajar ngaji dari satu surau ke surau lain, tapi dengan cara tampil di televisi. Apalagi sepanjang bulan Ramadhan, di saat acara keagamaan demikian marak, semakin banyak pula ustadz yang makin “eksis”.

Mereka panen rezeki dari membawakan acara siraman rohani. Bahkan, sebagian nekad memperbanyak canda dalam tayangan, termasuk di infotainment, hingga akhirnya didapuk jadi ustadz seleb.

Ustadz Solmed adalah satu di antara penceramah yang jadi seleb lewat jalur televisi. Dia dikenal lewat acara religi di berbagai stasiun seperti “Assalamu'alaikum Ustadz” di RCTI, “Cahaya Hati” di ANTV, “Titian Qolbu” di TV One, dan “Teropong Iman” di Trans TV.


Dapat stempel sebagai ustadz seleb, ia pun hanya tersenyum. “Nggak apa-apa, cara orang berdakwah itu kan berbeda-beda. Ada yang lewat nyanyi, ada melalui film, sampai yang jadi dalang wayang,” ujarnya.

Perihal keartisannya pun, dengan santai alumni pondok pesantren Assidiqiyah ini menilai bahwa seseorang yang telah muncul di depan publik secara otomatis sudah menjadi seorang selebritas. Sosok selebritas, katanya, memang tak melulu harus berangkat dari artis, melainkan lebih kepada tokoh yang telah dikenal banyak orang.

“Mungkin publik telah menganggap saya seleb, jadi mungkin juga mereka ingin lebih dekat dengan saya. Makanya mungkin infotainment meresponnya,” kata pria kelahiran 19 Juli 1983 itu.

Setelah muncul di banyak layar gosip, sontak popularitas Solmed meroket. “Insya Allah itu karena banyak orang yang mencintai saya, jadinya ingin nonton,” tutur suami April Jasmine itu.


Perjalanannya mungkin berbeda dengan Ustadz Cilik Guntur Bumi al-Qurthubi atawa Muhammad Susilo Wibowo.  Pria kelahiran 17 Februari 1982 itu pernah muncul dalam acara reality show televisi berjudul “Pemburu Hantu”. Dia juga sering mengadakan pengobatan massal di berbagai daerah. Kala itu, namanya belum setenar sekarang.

Berbeda dengan nama Solmed yang berasal dari singkatan nama panjangnya, Ustadz Cilik mendapatkan “nama bekennya” dari kyai besar yang juga mantan Presiden RI, almarhum KH Abdurahman Wahid (Gus Dur).  Namun namanya justru meroket setelah ia menikahi Puput Melati, mantan penyanyi cilik.

Tapi kata Guntur, “Justru saya lebih dikenal sebagai ustadz yang berdakwah di jalur kesehatan. Jika memang saya menjadi nyeleb setelah menikah dengan seleb, ya itu lumrah.”

Baginya, dengan menjadi langganan infotainment, jalur dakwah pun diakuinya semakin terbentang. “Dibandingkan para ustadz di belahan negara lain yang masih sulit berdakwah, saya tentunya beruntung,” akunya.

Sumber: VISTA
http://id.omg.yahoo.com/news/fenomena-ustaz-ustaz-infotainment.html



Taushiyah “Surat Pembaca” Tulus
dari Seorang Ibu untuk Ustadz Solmed

Sebuah surat pembaca datang dari seorang ibu bernama Wulan Darmanto yang mengaku prihatin dengan da'i muda yang kerap tampil di televisi. Dari hatinya yang tulus, ia memberi nasihat secara tertulis, khususnya kepada Ustadz Soleh Mahmud atau yang ngetop disapa Solmed.

Tentu saja, bukan didasari rasa benci atau pun bermaksud untuk ghibah, Ibu Wulan mengharapkan para da'i muda agar memberi teladan pada umat. Dan seharusnya pula, Ustadz Solmed menerima nasihat itu dengan lapang dada, dan tidak menjadikan kritikan itu sebagai ancaman. Adakalanya, ustadz muda yang bergaya bak selebritis tidak menyadari, bahwa popularitas itu sesungguhnya adalah ujian. Boleh jadi, Ustadz Solmed merasa 'ditodong' oleh media entertainment untuk diwawancarai. Boleh saja, diwawancarai, namun satu hal, gunakan bahasa dakwah, bukan bahasa seleb.

Berikut surat terbuka seorang Ibu dua anak ini yang tinggal di Pamulang kepada Ustadz Solmed:


Assalamu’alaikum, Pak Ustadz ....

Sebelumnya saya mohon maaf jika Bapak kurang berkenan dengan surat terbuka ini. Saya bukan Solmeder’s yang konon menggandrungi Pak Ustadz setengah mati. Saya juga bukan orang yang setia menyimak kajian Pak Ustadz di televisi. Saya hanya ibu rumah tangga yang sedang terheran-heran, mengapa Pak Ustadz yang mestinya jauh dari dunia gemerlap kok malah sering muncul di infotainment.

Beberapa hari lalu, saya membaca artikel di sebuah portal berita. Katanya Ustadz sedang
dekat dengan penyanyi anu yang sedang naik daun itu. Dalam hati saya membatin, sekaligus berharap, janganlah berita itu menjadi kenyataan.

Bukannya saya mengutuk sang biduan, Pak Ustadz. Tapi bapak harusnya lebih paham seperti apa ciri wanita shalihah dan bagaimana cara “mendekati” wanita tipikal seperti ini. Ada bantahan yang melegakan hati saya, bahwa Pak Ustadz dan penyanyi itu hanya berteman, tak lebih. Karena sebenarnya hati Pak Ustadz sudah diisi oleh wanita lain.


Tapi bantahan ini pun memberikan tanda tanya baru di hati saya; Pak Ustadz, sang guru ngaji yang masih bujangan, mengakui terang-terangan bahwa hatinya sudah terpikat oleh pesona seorang wanita? Esoknya, saya kembali melihat Pak Ustadz. Sayangnya bukan di tayangan pengajian, melainkan di infotainment; gudang beritanya para artis. Miris hati ini melihat bapak
yang dikenal masyarakat sebagai sosok da’i mau diwawancara berdua dengan wanita yang bukan mahromnya. Bahkan di tayangan tersebut bapak nyaris akan disuapi oleh si wanita. Oh, dialah rupanya si penunggu hati yang kemarin sempat Bapak singgung.

Tak butuh waktu lama untuk kembali melihat wajah Pak Ustadz di acara gosip selebritis. Kali ini Pak Ustadz dengan wajah sumringah bercerita bahwa Bapak baru saja memberikan mobil sebagai hadiah bagi sang wanita.

Wanita itu pun ada di situ, berdua dengan Pak Ustadz, ikut tertawa riang di depan kamera. Ah, Pak Ustadz, tahukah Bapak ada banyak ibu-ibu seperti saya geleng kepala melihat tingkah Bapak. Apalagi bolak balik Bapak menegaskan bahwa hubungan kalian adalah ta’aruf. Saya belum habis pikir, kok bisa makna ta'aruf tidak ada bedanya dengan pacaran.


Ustadz Solmed,

Sebagai ustadz tentu Bapak jauh lebih paham bagaimana cara berta’aruf yang benar dalam Islam. Bagaimana menjaga adab dalam bergaul agar tidak terjadi fitnah dan bagaimana pula menghijabi hati bagi lawan jenis yang bukan mahrom. Perih hati saya melihat tayangan infotainment menyebut Pak Ustadz dan wanita itu sebagai pasangan kekasih. Kalau sudah begini, apa bedanya Pak Ustadz dengan artis lain yang diwawancara berdua dengan pacar mereka? Pak Ustadz ta’aruf, mereka pacaran. Tapi sama-sama tampil berdua, menyiratkan kemesraan, dan sama-sama mau diekspos media infotainment.

Oh, mengapa ustadz yang seharusnya menjadi milik jamaah kini menjadi
komoditi seperti ini?! Ustadz adalah ustadz, jangan nyambi menjadi seleb. Itu adalah dua dunia yang berbeda, jauh berbeda. Tapi kalau boleh jujur, Pak Ustadz memang pantas menjadi selebritis.Wajah ganteng, hidup mapan. Seharusnya Bapak meneladani Briptu Norman, dia berani memilih untuk menjadi polisi atau selebriti.


Ustadz Solmed,

Waktu kecil, saya punya ustadz idola yang saya suka karena kerendahan suaranya dan entah mengapa hati ini selalu tersentuh kala melihat beliau berceramah. Ustadz kesukaan saya ini jarang tampil di televisi, belum tentu sepekan sekali. Ustadz Ihsan Tanjung namanya.

Rasa-rasanya bapak juga tahu suara hati sejumlah jamaah yang kini mulai gusar dengan mudahnya seseorang disebut ustadz. Bermodal wajah yang kameragenik, gaya yang terus up to date dan model berceramah yang atraktif, seorang penceramah kini bisa dengan mudah menjadi ustadz.

Lalu setelah terkenal, acara ceramahnya punya rating tinggi, naiklah derajatnya menjadi bintang iklan, bahkan MC acara hiburan.


Pak Ustadz,

Melalui surat terbuka ini, saya bukannya ingin menasehati Bapak. Toh saya juga jauh dari kefahaman terhadap ilmu agama. Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati seorang umat, bahwa sebagai da’i apa yang Bapak lakukan menjadi contoh dan teladan bagi umat. Jika memang sedang dekat dengan seorang wanita, janganlah mengklaim itu sebagai ta’aruf.

Kasihan muda-mudi kita Pak, bila kini mereka lebih merasa aman berdua-duaan dengan lawan jenis lantaran menganggap itulah proses ta’aruf seperti yang Pak Ustadz contohkan.

Konon Bapak baru akan menikahi si gadis empat bulan lagi. Empat bulan adalah waktu yang tidak sebentar bagi insan yang tengah mencandu asmara.

Saya pernah melewati fase seperti Pak Ustadz saat hendak menikah. Menunggu sebulan saja badan ini rasanya meriang tak karuan. Waktu menjadi terasa sangat lama. Dan bayangan di benak sudah terisi oleh hal yang tidak-tidak saja.


Semoga Ustadz Solmed membaca surat terbuka saya ini.

Sebaiknya segeralah nikahi gadis tersebut, karena masyarakat kini mulai enteng menyebut “Oh, itu to, pacarnya Ustadz Solmed ....” yang membuat miris  siapa pun yang mendengar. Jika memang Pak ustadz masih harus menunggu empat bulan lagi, janganlah memamerkan kedekatan kalian di televisi. Lakukanlah ta’aruf sebagaimana seharusnya dilakukan. Jangan menghaluskan bahasa dari pacaran menjadi ta’aruf. Sekali lagi, kasihan jamaah yang banyak mengidolakan Bapak dan berkiblat pada Bapak.

Cukup sekian surat dari saya, semoga besok dan seterusnya, saya tak lagi menjumpai Pak Ustadz di tayangan gosip. Karena ustadz adalah da’i, bukan selebriti.

Wassalammu’alaikum


Sumber:
www.voa-islam.com

Monday, August 6, 2012

Inflasi Ceramah Ramadhan


Ramadhan adalah bulan ibadah di mana muslim menunaikan ibadah puasa, tarawih, tadarus, iktikaf, dan sedekah. Selain itu, Ramadhan adalah bulan ceramah di mana muslim menyelenggarakan ceramah-ceramah keagamaan di masjid, mushala, perkantoran, radio, dan televisi.

Ceramah Ramadhan adalah tradisi keagamaan yang dikembangkan para pendakwah Islam di Indonesia. Al-Quran memerintahkan agar kaum beriman berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran (QS Al-Asr: 3) dan kasih sayang (QS Al- Balad: 17). Muslim wajib saling mengingatkan agar selamat dan sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam hadis disebutkan: agama adalah nasihat (al-dinu al-nasihat). Ceramah dianjurkan sepanjang masa, bukan khusus di bulan Ramadhan. Intensifikasi dan ekstensifikasi ceramah Ramadhan adalah kreativitas pendakwah Islam untuk menjadikan Ramadhan sebagai momentum peningkatan iman dan takwa.


Miskin Makna
Sangat disayangkan, ceramah Ramadhan justru terasa berlebihan dan miskin makna. Pertama, pengertian tausiah sebatas ceramah. Menurut al-Qurtubi di dalam tafsirnya, kata “tawashau” dalam surah al-‘Asr: 3 berarti “tahabbu”: saling mencintai, menyayangi, berbagi kasih dengan saling mengingatkan, menasihati, dan memberi. Frasa “tawashau bi al-marhamah” di dalam surah al- Balad: 17 berarti kasih sayang (rahmat) kepada makhluk.

Merujuk al-Qurtubi, tawashau harus diimplementasikan dalam bentuk konseling, aksi, dan tindakan yang menyelamatkan sesama manusia. Peringatan dapat berupa sanksi hukum bagi yang bersalah atau advokasi bagi yang lemah. Berwasiat kepada makhluk berarti melestarikan alam semesta, flora dan fauna. Kedua, ceramah dilaksanakan semata-mata sebagai formalitas mengisi waktu kosong, atau syarat-rukun suatu pertemuan.


Di media massa, khususnya televisi, ceramah telah menjadi bagian dari hiburan dan komersialisasi Ramadhan. Ceramah Ramadhan takluk pada budaya pop dan subordinat program komedi yang merajai tayangan media televisi. Para ustadz dan ustadzah dituntut tampil ngepop dan melucu sebagaimana layaknya komedian.Televisi adalah “lahan basah” dan media strategis bagi para ustadz dan ustadzah untuk memopulerkan diri.Tentu saja tidak seluruh ustadz dan ustadzah di televisi larut dalam arus budaya pop dan takluk pada kehendak rating pemirsa.

Tetapi tanpa ketulusan dan komitmen dakwah yang tegas, ceramah agama terasa sangat kering nilai dan miskin makna spiritual. Ketiga, materi ceramah sangat monoton, monolitik, dan repetitif.

Sebabnya antara lain adalah; Pertama, pengurus atau takmir masjid tidak cukup berkualitas dan kreatif mengembangkan topik aktual dan kontekstual. Mereka terlalu sibuk menyusun jadwal ceramah dan penceramah.

Kedua, kualitas penceramah yang “asal comot”: masih taraf belajar atau “langganan tetap”: jam terbang tinggi, mendalami agama dan raja podium tetapi karena keterbatasan waktu, ceramahnya tidak ubahnya seperti album rekaman yang diulang-ulang.


Peningkatan Mutu dan Manajemen
Walaupun terdapat banyak kelemahan, tradisi ceramah Ramadhan tetap penting dikembangkan. Ceramah Ramadhan adalah pendidikan publik yang strategis. Pengembangan ceramah Ramadhan dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, pengkajian yang berbasis teks (text-based) berdasarkan buku atau kitab tertentu. Model ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi pendidikan agama di masjid, pesantren, atau madrasah.

Pengkajian Tafsir al-Misbah oleh Prof Quraisy Shihab di televisi adalah bentuk modern dari model tradisional ini. Alternatif lainnya adalah pengkajian berbasis tema (theme-based). Pengkajian disusun untuk tema tertentu dengan pengkajian yang berkelanjutan. Dengan model ini, umat akan memiliki landasan dan wawasan keberagamaan yang mendalam dan kuat. Kedua, peningkatan kapasitas dan profesionalisme pengurus atau takmir masjid.

Selama ini masjid dikelola dengan manajemen “seikhlasnya”. Praktiknya, para takmir bekerja serabutan, mengerjakan semuanya, sebisanya, seluangnya, dengan imbalan seadanya. Masjid dan komunitasnya perlu mengembangkan pengelolaan dengan lebih profesional sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Konsep ikhlas dan profesional perlu ditafsirkan kembali dalam konteks ketakmiran dan tata kelola masjid yang modern.


Dengan kualitas dan profesionalitas, takmir diharapkan mampu mengelola kegiatan keagamaan dengan lebih baik, kreatif dan inovatif. Ketiga, diperlukan pelaksanaan regulasi yang lebih tegas oleh pihak-pihak berwenang untuk mengawasi siaran-siaran di media massa, khususnya siaran agama di televisi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu lebih tajam menilai dan memastikan agar isi dan penyajian acara agama tidak menyimpang, bertentangan, kontraproduktif, dan justeru merusak umat.

Jika langkah-langkah pembaharuan tidak dilakukan, ceramah Ramadhan tak akan berdampak apa pun dalam kehidupan sosial dan keadaban publik. Ceramah terus menggema, tapi korupsi tetap menggurita, kriminalitas merajalela, dan moral porak-poranda. Saatnya kita berbenah agar ceramah tidak hanya formalitas, rutinitas, seremonial, dan pengisi waktu luang belaka.

Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen IAIN Walisongo, Semarang
Koran SINDO, 4 Agustus 2012