Monday, July 30, 2012

Jokowi


Jokowi adalah salah seorang pemimpin visioner yang dimiliki Indonesia. Setidaknya, inilah hasil studi yang penulis ikuti, yang dibiayai sepenuhnya oleh Universitas Indonesia.

Pertama, studi sosiologi pembangunan dari Laboratorium Sosiologi FISIP UI bertajuk “Penataan Sektor Informal Menuju Pembangunan yang Inklusif” oleh Paulus Wirutomo, et all (2011). Kedua, studi “causal map” kepemimpinan wali kota tentang daya saing daerah oleh Ita Prihantika dan Sudarsono Hardjosoekarto (2011).

Bersama beberapa studi yang lain, kedua studi ini telah menggambarkan karakter kepemimpinan Jokowi (dan pasangannya Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo), yang sangat visioner, berpikir serba-sistem, dan pro-rakyat: tidak hanya dalam kata, tetapi lebih nyata dalam perbuatan.


Pembangunan Ekonomi Wong Cilik
Karakter kepemimpinan Jokowi antara lain diwarnai oleh sistem nilai inklusif, pada tataran personal dan tataran kebijakan.

Dalam pembangunan ekonomi, komitmen untuk berpihak pada wong cilik telah dicanangkan sebagai janji politik sejak pencalonannya pada periode pertama. Slogan “PKL adalah utama, dan mal bukan prioritas” merupakan salah satu cermin sistem nilai inklusif, yang berakar pada nilai pribadi, dan berwujud menjadi prinsip kebijakan pemerintah kota.

Banyak pernik kebijakan penataan PKL Kota Solo yang menggambarkan prinsip pembangunan yang inklusif ini. Pentungan diganti dengan buku perda; gusur paksa diganti dengan dialog dan rembug warga.

Penataan dan relokasi dibarengi dengan penyiapan sarana, prasarana, dan dana yang memadai. Bahkan bantuan administrasi, serta promosi usaha juga diberikan sebagai paket kebijakan “memanusiakan” wong cilik.

Karakter pembangunan inklusif seperti ini tidak berarti memusuhi kelas atas. Mal tetap ada dan jaringan waralaba bermodal besar tetap tumbuh. Namun keberpihakan dan perlindungan Jokowi terhadap wong cilik itu sungguh di atas rata-rata yang dilakukan oleh sebagian besar daerah lain.

PKL yang digusur disediakan alternatif tempat usaha. Selain dapat menciptakan keadaan yang membuat para pedagang mau berpindah dan menetap seterusnya di tempat yang baru, hal ini juga diamati oleh Paulus Wirutomo (2012) telah memicu perkembangan “kultural” dan “proses sosial” dalam bentuk perubahan sistem nilai di kalangan para PKL.

Kepemimpinan dan kebijakan Jokowi telah membentuk budaya berorganisasi, partisipasi dalam penataan pasar mereka sendiri, pengembangan mekanisme kontrol sosial, penanaman mentalitas “saudagar”, partisipasi dalam pelatihan, serta akses modal di antara PKL.


Pembangunan Budaya
Pembangunan ekonomi berbasis wong cilik tersebut juga dibarengi dan sejalan dengan perhatian yang luar biasa pemerintah Kota Solo terhadap pembangunan sosial budaya. Slogan “Mewujudkan Solo sebagai Kota Wisata Berbasis Budaya dan Lingkungan Hidup” dapat dikatakan merupakan perwujudan visi personal Jokowi dan FX Hadi Rudyatmo yang menjadi prinsip Pemerintahan Kota.

Paulus Wirutomo menyebut pembangunan sosial Kota Solo bersifat luas jangkauannya (broad-base), yang mencakup pembangunan identitas budaya kota, pengembangan partisipasi masyarakat, pembudayaan antikekerasan, serta penyediaan ruang publik (public sphere) untuk merangsang munculnya aktivitas dan kesadaran kewargaan bagi masyarakat, khususnya PKL.

Konservasi budaya dan tradisi masa lalu dikemas dalam konteks kekinian dalam berbagai bentuk dan manifestasi. Salah satu yang sangat menonjol adalah terbitnya jadwal kegiatan (calendar of events) Kota Solo.

Jadwal ini dapat diakses secara sangat luas termasuk melalui laman yang menggambarkan betapa masifnya kegiatan budaya, seni, sosial, dan kepariwisataan. Tidak kurang dari 50 kegiatan dijadwalkan pada 2012, yang berarti hampir setiap minggu terdapat kegiatan kultural dan kepariwisataan.

Padahal sesungguhnya potensi wisata Kota Solo tidaklah selengkap beberapa daerah lain. Pantai tidak punya, gunung dan air terjun milik Kabupaten Karanganyar, pemandian dan wisata agro milik Kabupaten Boyolali, Wonogiri, serta Klaten.

Tak hanya itu, Wisata spiritual milik Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen; bandara ada di Kabupaten Boyolali; serta wisata situs purba ada di Kabupaten Sragen.

Bandingkanlah, misalnya dengan Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki semua potensi wisata: pantai yang sangat indah, gunung dan air terjun yang memesona, kuliner yang maknyus, dan kultural yang aduhai, bahkan ada bandara internasional. Namun Lombok Tengah tidak memiliki kalender kegiatan (calendar of events) yang terencana dan terakses luas.


Daya Saing Daerah
Profil kepemimpinan visioner Jokowi juga terungkap dalam tesis magister Ita Prihantika (2011), yang bertajuk “Visi Wali Kota tentang Daya Saing Daerah”, di mana penulis bertindak sebagai pembimbing akademik.

Dengan menggunakan metode manual yang dikembangkan oleh Ackerman, et all (1992), dan dilanjutkan dengan simulasi system dyamics dengan metode Number, teridentifikasi tiga variabel penting dalam persepsi Jokowi tentang daya saing daerah, yaitu kebijakan pro-rakyat, lingkungan usaha produktif, serta kualitas infrastruktur dan lingkungan hidup.

Jokowi juga sangat percaya hubungan kausal antara daya saing daerah dengan kesejahteraan sosial dan pendidikan. Tidaklah mengherankan bila perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin di Kota Solo sangatlah menonjol.

Bahkan, seorang mahasiswa program doktor sosiologi yang baru saja menyelesaikan riset lapangan menemukan fakta bahwa sebagian besar tunjangan jabatan Jokowi sebagai wali kota habis untuk membeli buku tulis dan sabun mandi.

Bagasi mobil dinas Jokowi selalu dipenuhi dengan bungkusan berisi buku tulis dan sabun mandi. Setiap ada kesempatan jumpa warganya yang wong cilik, Jokowi selalu memberi tanda mata bungkusan tersebut. Ini adalah salah satu cerminan visi Jokowi tentang kesehatan dan pendidikan warganya.


Pilkada DKI
Sebagai warga DKI, penulis menyambut gembira dengan munculnya pasangan-pasangan balongub yang sangat berkualitas. Semua pasangan berbobot dan kredibel. Kebetulan penulis mengenal semua pasangan yang berlaga, dari cukup dekat sampai sangat dekat.

Rekam jejak personalnya juga sangat lengkap, baik ketika sebagai sejawat di birokrasi maupun sebagai akademikus. Sayang sekali, hanya data tentang Jokowi yang penulis miliki sebagai hasil kajian ilmiah tentang sosiologi pembangunan dan kepemimpinan.

Kriteria umum untuk memilih kepala daerah dan wakilnya adalah pasangan yang dapat melaksanakan mandat konstitusional Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pilihlah pasangan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatan pelayanan umum, dan membangun daya saing daerah.

Untuk Gubernur DKI dan Wakilnya tentu harus dilengkapi dengan kecakapan untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

H Sudarsono H
Dosen FISIP UI, Mantan Dirjen Otda dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri
SINAR HARAPAN, 21 Juli 2012

Bid’ah Ramadhan


Alhamdulillah, kita sudah masuk bulan Ramadhan lagi. Ponsel saya penuh lagi dengan SMS dan BBM (yang tidak pernah disubsidi) ucapan permintaan maaf menjelang bulan puasa. Padahal baru dua pekan yang lalu, pas pertengahan bulan (nishfu) Sya’ban, ponsel saya juga penuh dengan ucapan serupa. Nanti, waktu Idul Fitri, dan Idul Adha juga, orang saling bermaaf-maafan, termasuk lewat SMS, BBM dan oya, lupa, internet. Padahal waktu zaman saya SR (sekolah rakyat) sampai kuliah, tradisi bermaaf-maafan hanya untuk Idul Fitri. Waktu itu, di luar keluarga, kerabat dan tetangga dekat (fisik), kita biasa berlebaran (bermaaf-maafan) dengan kartu pos.

Untuk yang tinggal di Jakarta, menjelang Lebaran selalu ada tukang-tukang lukis kartu pos di depan Kantor Pos pusat di Pasar Baru. Yang punya duit bisa beli kartu Lebaran cetak di toko buku, atau mengirim telegram Lebaran yang disediakan oleh Kantor Pos. Karena harganya cukup mahal (pakai prangko), walaupun hanya setahun sekali, kartu yang dikirim tidak banyak, terbatas pada keluarga, kerabat dan teman dekat (di hati) saja. Sekarang, berkat teknologi ponsel dan internet, kita bisa bermaaf-maafan dengan sebanyak-banyak orang yang kita mau.

Tetapi kalau dulu kita harus nongkrong minimal sejam di tukang lukis kartu (sambil merancang kata-kata yang berbeda-beda untuk tiap alamat), sekarang cukup dengan pencet-pencet, copy-paste dan send, sambil duduk dalam bus Transjakarta (karena kalau duduk di Busway bisa digilas bus Transjakarta atau kendaraan lain yang menyerobot masuk Busway). Celakanya, karena teknik copy-paste itu, kita jadi tidak ingat lagi pernah ngirim apa ke siapa. Istri saya pernah ngirim ucapan ke seseorang (copy-paste) dan menerima balasan dua hari kemudian dengan ucapan yang persis sama dari orang itu juga.


Saya pernah iseng-iseng mengarang ucapan selamat lebaran ke teman dekat, beberapa hari kemudian ucapan karangan saya itu balik ke saya sendiri dari orang lain. What a small world, kata pepatah Inggris. Jadi teknologi telah mendangkalkan rasa keberagamaan kita. Boleh saja kita makin sering bermaaf-maafan, tetapi nyatanya konflik sosial makin sering dan makin sadis. Dulu konflik antaragama, terus antarsekte, ada juga konflik politik, konflik masalah agraria, sekarang sudah masuk ke konflik keluarga, KDRT, bahkan anak bunuh bapak atau ibunya gara-gara tidak dikasih uang pulsa (teknologi lagi).

Padahal setiap lebaran seharusnya kita justru mencium tangan atau sungkem kepada orang tua. Setahu saya di Arab sana tidak ada tradisi bermaaf-maafan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari yang lain. Mereka beragama tanpa aksesori, karena awalnya memang mereka tidak banyak mempunyai budaya yang berwarna-warni seperti kita di Indonesia. Orang Arab berpuasa ya berpuasa saja, nanti Idul Ftri ya salat sunah berjamaah, sudah. Titik.

Bahkan di Arab selama bulan puasa kebanyakan orang tidur di siang hari, dan beraktivitas di malam hari. Lain halnya dengan kita. Dari zaman nenek moyang, sebelum Islam masuk, kita sudah punya macam-macam tradisi, yang kemudian diteruskan menjadi tradisi ketika kita sudah ber-Islam. Itulah sebabnya, orang Jawa punya tradisi nyadran, atau berziarah ke makam orang tua sebelum Ramadhan. Di kantor saya di kampus UPI YAI, kami beramai-ramai menyumbang makanan untuk selamatan munggah.


Konon ini tradisi Sunda, pokoknya baca doa bersama dan (ini yang penting) makan-makan. Etnik lain juga punya tradisi makan-makan, seperti nyorog (saling antar makanan) di etnik Betawi, di Aceh ada meugang, yaitu menyembelih kerbau, dan di Kudus ada dandangan serta di Semarang ada dugderan, dua tradisi yang ada unsur makanannya. Nanti pada saat Idul Fitri lebih seru lagi. Aneka makanan akan disajikan dan diantarkan, khususnya ketupat. Bahkan di Jawa Tengah ada tradisi Lebaran ketupat, sebagai penutup enam hari puasa Syawal. Itulah sebabnya mengapa sembako jadi mahal setiap kali mau puasa atau mau Lebaran.

Selain tradisi makan-makan, Ramadhan di Indonesia juga diwarnai dengan tradisi air. Di Riau ada lomba perahu yang dinamakan jalur pacu. Banyak etnik yang mentradisikan keramas menjelang Ramadhan. Maksudnya menyucikan diri, sehingga kita melaksanakan puasa dengan jiwa yang putih bersih bagaikan bayi yang baru lahir. Di Mandailing tradisi itu disebut marpangir, di Minangkabau namanya balimau, di daerah Solo, Yogya, dan sekitarnya namanya padusan. Tentu saja tradisi-tradisi itu tidak ada hubungannya dengan Islam yang asli dari sononye.

Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan Rasulullah tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri (seperti kita-kita: beli kue, pasangi lilin, nyanyi “Happy birthday”, tiup lilinnya, potong kuenya), yang di Indonesia dirayakan sebagai Maulud Nabi malah dijadikan hari libur nasional. Karena itu ada sebagian ulama masa kini yang melarang tradisi-tradisi itu karena dianggap bid’ah (mengada-ada, tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadits). Tetapi kalau semua dianggap bid’ah suasana keberagamaan kita jadi kering.


Di Arab, dahulu radio pernah dianggap haram, apalagi televisi. Walaupun begitu ketika di tahun 1980-an saya berdinas ke Arab, televisi sudah diperbolehkan, tetapi masih hitam-putih dan isinya cowok melulu, mulai dari pembaca berita sampai yang main musik gambus dan rata-rata semuanya berewokan. Bete banget kan, nontonnya? Waktu itu, saya hanya bisa bersyukur, “Alhamdulillaah... untung saya bukan orang Arab!”

”Tetapi sekarang Arab pun ikut-ikutan bid’ah. Nabi dulu melempar jumrah dari bawah saja, sekarang bisa dari lantai dua atau lantai tiga. Sa’i juga konon dibuat dua lantai (saya berhaji tahun 1995, jadi tidak tahu persis keadaan sekarang). Bahkan nanti akan ada kereta api cepat Makkah-Madinah. Padahal dulu Rasulullah berhijrah dengan naik unta selama beberapa minggu. Ini kan bid’ah juga? Tetapi semua itu tidak dinamakan bid’ah karena dibuat untuk kepentingan umat, banyak manfaatnya, dan tidak menimbulkan mudharat. Begitu juga sebenarnya tradisi-tradisi adat kita.

Para wali, membawa Islam ke Indonesia dengan jalan damai, lewat jalur budaya. Karena itu banyak kebiasaan-kebiasaan nenek moyang, atau tradisi agama Hindu atau Budha, yang berakulturasi dengan budaya Islam. Orang Kudus makan daging kerbau dalam menyambut puasa, untuk menjaga perasaan umat Hindu yang waktu itu masih banyak. Mengapa makan-makan? Karena orang Indonesia doyan makan (tamu-tamu saya dari luar negeri selalu heran, karena setiap rapat, walau sekecil apapun, selalu ada makanan ‘besar’, minimal lemper dan risoles).


Mengapa air? Karena agama-agama selalu dekat dengan air. Orang India menganggap sungai Gangga sebagai sungai keramat. Orang Kristen membaptis dengan air. Apalagi orang Islam. Minimal lima kali sehari (di luar mandi dua kali sehari), perlu air untuk berwudlu. Pernah di sebuah gedung pertemuan, tidak tersedia sarana wudlu di toilet. Maka toilet pun jadi becek dan kotor. Kaki naik ke wastafel, habis itu buat kumur-kumur orang lain. Tidak apa-apa, pokoknya air. Wajarlah kalau para wali yang kreatif itu memanfaatkan tradisi untuk menyiarkan Islam. Tanpa kreativitas para wali itu, tidak mungkin hari ini Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Tradisi-tradisi yang berwarna-warni itu merupakan pengikat emosional antara kita (individu) dengan keluarga dan kerabat (hablun minannas) dan dengan Allah dan Rasul serta Kitab sucinya (hablun minallah).Tetapi kalau sekarang kita mau mengharamkan tradisi yang dianggap bid’ah itu, akan hilanglah ikatan-ikatan batin itu. Maka tetangga sendiri bisa ditipu, orang tua sendiri bisa dibacok, bahkan al-Quran pun bisa dikorup.

Selamat berpuasa, maaf lahir batin.

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Koran SINDO, 22 Juli 2012

Friday, July 27, 2012

Tradisi Lonjakan Harga Sembako


Lonjakan harga bahan pangan kebutuhan pokok masyarakat dan komoditas pertanian yang selalu terjadi menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran, seakan telah menjadi kebiasaan atau tradisi buruk di Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah seakan tidak berdaya atau seperti menunjukkan ketidakmampuan untuk mengendalikannya. Barangkali saja pemerintah memang melakukan pembiaran? Padahal, masalah dan kendala yang menjadi pemicu lonjakan harga sembilan bahan pokok (sembako) secara berulang setiap tahun sebenarnya bisa diantisipasi. Namun, pemerintah sepertinya tidak melakukan upaya nyata untuk mengatasinya. Yang terlihat, pemerintah justru menganggap enteng masalah kenaikan harga sembako tersebut.

Pejabat pemerintah yang berwenang mengurusi masalah ini terkesan tidak serius dan cenderung membiarkan rakyat menjadi "korban" permainan spekulan dan oknum pedagang besar. Pemerintah hanya mengandalkan operasi pasar (OP) dan pasar murah yang bersifat sesaat dan terbatas. Namun seperti yang terlihat setiap tahunnya, semua upaya itu tidak bisa menyelesaikan masalah.

Harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan setiap hari menjelang puasa tahun ini. Lonjakan kenaikan harga sembako bahkan sudah mencapai 40 persen dibanding sebelumnya. Sudah barang tentu, lonjakan harga yang menggila ini jelas memukul daya beli masyarakat. Kalangan pedagang pun mengaku terkena imbasnya, karena permintaan menurun dan mereka khawatir ditinggalkan para pelanggannya.

Untuk mengurai lebih jauh upaya dan langkah apa yang efektif untuk menekan lonjakan harga bahan kebutuhan pokok pada setiap momentum perayaan nasional dan hari raya keagamaan seperti Ramadhan dan Lebaran maupun untuk jangka panjang, berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Abdul Choir dengan ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr Sri Adiningsih, baru-baru ini.


Pemerintah terkesan membiarkan gejolak pasar ini hingga terus terjadi. Apa persoalan mendasarnya dan cara untuk menekan harga sembako?

Pemerintah melalui kementerian yang bertanggung jawab tidak melaksanakan fungsi dan peran yang menjadi kewajibannya dalam menjaga harga pangan dan kebutuhan masyarakat lainnya. Kementerian Perdagangan selalu menyatakan stok pangan secara nasional mencukupi, namun di daerah belum tentu cukup semuanya, sehingga kenaikan harga terus terjadi.

Pemerintah jangan memberikan alasan lonjakan harga yang terjadi setiap tahun ini semata-mata karena permintaan yang tinggi. Lonjakan harga bahan kebutuhan masyarakat seperti saat ini hanya terjadi di Indonesia. Harus kita akui, ini memalukan.

Persoalan supply and demand biasa terjadi di negara mana pun, tetapi harga di pasar dalam negerinya bisa terjaga atau dikendalikan.

Di negara-negara lain, harga bahan kebutuhan masyarakatnya selalu terjaga dengan baik karena memang pemerintahnya memberikan perhatian serius dan perlindungan yang mencukupi. Bandingkan dengan Indonesia yang membuka keran perdagangan bebas seluas-luasnya.



Lalu, bagaimana langkah efektif untuk menekan harga dan stabilisasi seluruh komoditas dalam jangka panjang?

Kondisi infrastruktur yang buruk dan menjadi pemicu mahalnya biaya logistik selama ini tidak pernah mendapat perhatian penuh. Apalagi, kemacetan angkutan barang di pelabuhan tidak bisa diatasi secara serius. Misalnya, kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Merak, Banten hingga puluhan kilometer (km), tentu selain menghambat pasokan juga mengakibatkan biaya transportasi naik berlipat-lipat.

Beban biaya atau ongkos transportasi ini nantinya akan berdampak terhadap harga jual barang. Artinya, beban ini harus ditanggung masyarakat. Di samping itu, pemerintah juga terlihat membiarkan banyaknya pihak-pihak yang mengambil kesempatan (keuntungan) dari gejolak pasar. Dengan kondisi seperti ini, maka kita tidak bisa berharap harga-harga kebutuhan masyarakat bisa terkendali. Meskipun terjadi kenaikan harga, seharusnya terkendali dalam batasan yang wajar.


Lalu bagaimana operasi pasar dan pasar murah yang selalu dijadikan pembenaran oleh pemerintah, sehingga tidak bisa dikatakan pemerintah tidak melakukan apa-apa?

Operasi pasar yang digelar oleh pemerintah tidak bisa menyelesaikan lonjakan harga bahan pangan dan kebutuhan masyarakat lainnya. Selain terbatas beberapa komoditas saja, operasi pasar juga tidak bisa menjangkau seluruh pasar tradisional di daerah yang selama ini mengalami lonjakan harga. Berapa banyak pasar tradisional di tiap daerah, tentunya tidak bisa terjangkau operasi pasar semua.

Jadi, apa pun langkah yang dianggap bisa menekan kenaikan harga ini dan antisipasi yang dilakukan, syaratnya infrastruktur harus dibenahi. Kalau tidak, maka masyarakat tidak bisa berharap masalah harga yang selama ini dikeluhkan dan membebani perekonomian rumah tangga ini bisa diatasi.


Hal apa yang harus diperbaiki oleh pemerintah agar benar-benar mampu melakukan fungsinya dalam menjaga stabilitas harga pangan dan melindungi masyarakat?

Dalam menjaga ketahanan dan stabilitas harga pangan, sebenarnya pemerintah bisa mencontoh langkah yang diterapkan oleh berbagai negara maju. Misalnya, perlunya penerapan teknologi pascapanen pertanian sehingga harga produk pertanian, tidak jatuh pada saat panen raya tiba dan harga tidak melonjak pada saat hari raya seperti saat ini.

Program peningkatan produksi pertanian yang tengah digenjot oleh pemerintah perlu dilengkapi dengan sistem manajemen stok yang baik dan dengan memanfaatkan teknologi pascapanen untuk hasil pertanian.

Namun, hal ini tidak pernah digarap secara serius. Padahal, pemerintah sudah sangat mengerti dan memahami penerapan teknologi tersebut akan sangat membantu tidak hanya di kalangan petani, namun juga di masyarakat luas untuk mendapatkan kebutuhan pangan dengan mudah dan murah.

SUARA KARYA, 21 Juli 2012

Thursday, July 26, 2012

Negara yang Membunuh Rakyatnya


Benarkah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya? Kalau bisa, kapankah suatu negara bisa dikategorikan sebagai ‘kriminal’ keji atau pembunuh atas rakyatnya? Dengan modus apakah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya?

Kranenburg, pakar di bidang politik ketatanegaraan dan penganut teori negara kesejahteraan, menyatakan tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraan yang dimaksudkannya itu meliputi berbagai bidang yang luas dengan berlandaskan kesederajatan.

Kalau suatu negara sampai tidak berusaha maksimal menyejahterakan rakyatnya, negara itu layak dikategorikan melakukan kejahatan bertajuk kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), manakala akibat ketidakseriusan atau pengabaiannya itu, banyak rakyat yang kehilangan (tercerabut) hak keberlanjutan hidupnya.

Banyak cara yang dibuat elemen negara untuk membunuh rakyat. Membunuh seseorang atau sejumlah orang dari rakyat tidak selalu dengan cara langsung seperti mencekik atau menusuk dengan senjata. Caranya bisa melalui kebijakan represi yang bercorak dehumanisasi, menghambat dan menyumbat mengalirnya sumber daya strategis bangsa yang bermaksud mengairi (memenuhi) dan menyejahterakan atau menjaga keberlangsungan hidupnya, minimal dari ranah pemenuhan hak pangan atau kebutuhan ekonomi sehari-harinya.


Apologi yang Salah
Di negeri ini, pola pembunuhan rakyat sudah demikian sering dilakukan negara. Memang banyak elemen negara yang menolak atau tidak mau digolongkan sebagai pembunuh warga (rakyat). Mereka berapologi tangan mereka tetap bersih dari lumuran darah rakyat. Mereka bahkan menyebut diri sebagai kelompok strategis yang bertanggung jawab yang sudah menunjukkan perannya sebagai abdi negara yang mengabdi total pada rakyat.

Apologi itu jelas salah karena praktik pengabaian, pembiaran, dan bahkan
pengkleptokrasian yang dilakukan sejumlah elite negara telah mengakibatkan kemiskinan di berbagai pelosok Tanah Air. Mereka menjadi korban ‘pembunuhan’ yang dilakukan elite negara yang bermental serakah atau yang sibuk mengumpulkan dan menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya.

Dalam ulasan tajuk Media Indonesia (7 Juli 2012) disebutkan, kemiskinan punya dampak begitu mengerikan. Tidak hanya bisa memicu manusia menjadi maling demi menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga mampu mendorong seseorang bunuh diri untuk mengakhiri hidup. Misalnya lantaran tak kuasa menahan impitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor. Tragisnya lagi, janda asal Serang itu tidak bunuh diri sendirian, tetapi mengajak mati buah hatinya, Salman yang baru berumur tiga tahun.

Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa membakar diri bersama dua anaknya. Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya, seorang ibu dan empat anaknya di Malang mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera dirinya.

Pemerintah lebih sering atau selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang. Pemerintah memang berhak terpukau oleh angka-angka yang resmi dirilis BPK ini, tetapi fakta menunjukkan kondisi riilnya bersifat paradoksal. Angka-angka tersebut jauh dari mencerminkan fakta yang ada.


Momentum Sakral
Pengabaian, pembiaran, hingga pengkleptokrasian yang dilakukan (elemen) negara itu memang merupakan rangkaian bentuk pembunuhan yang menimpa rakyat. Kasus bunuh diri tidak boleh sebatas dibaca sebagai eksaminasi moral dan ketauhidan manusia yang bunuh diri, tetapi sebagai eksaminasi moral dan keimanan setiap pemimpinnya, yang masih gagal menjalankan peran kepemimpinan yang ‘menghidupkan’, menyelamatkan, dan menyejahterakan rakyatnya.

Kehadiran bulan Ramadhan sejatinya merupakan momentum menyakralkan peran kepemimpinan elemen negara dalam relasinya dengan rakyat. Di bulan ini, idealnya para pemimpin mencari segala jenis ‘virus’ yang selama ini menyerang dan membunuh rakyat mereka.

Pemimpin kita selama ini memang hanya fasih berucap, bersilat lidah, berkilah, dan bermain-main apologi demi membenarkan atau menahbiskan keberhasilan dirinya, sementara kemaslahatan masyarakat tidak mendapat perhatian yang selayaknya. Komunitas elite itu merupakan deskripsi sosok pemimpin yang tidak berbeda dengan pengkhianat dan ‘penjagal’ hak-hak masyarakat. Mereka tidak benar-benar ‘berpuasa’ dari ketidakadilan struktural atau praktik-praktik yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan.

Mereka itu gemar jadi ‘pengutip’ atau pemalak atas hak-hak orang kecil, menyalahalamatkan atau ‘menyunat’ bantuan operasional sekolah, membengkakkan harga raskin, membuat biaya birokrasi jadi mahal, menjarah bantuan bencana alam, atau berbagai hak dan kepentingan milik masyarakat dikonversi (dirampok) supaya jadi hak pribadi, partai politik, dan kroninya.


Pemimpin negeri ini memperlakukan diri dan kelompoknya jauh melebihi kepentingan riil masyarakat. Syahwat memiliki, merampas, menjarah, dan menguasai dibiarkannya menjadi kekuatan yang mendorong dan menentukan gerak liberal dan serba permisif (het doel heiling de middelen) yang melahirkan berbagai bentuk keprihatinan di berbagai bidang kehidupan fundamental.

Bagaimana bisa dikatakan hati pemimpin negeri ini bersinarkan cahaya cinta pada masyarakat dan ‘berpuasa’, kalau masyarakat yang lokasinya hanya beberapa meter (bertetangga) dari kantor pemerintahan daerah saja dibiarkan tidak terurus sehingga mereka terpaksa berprofesi menjadi pengemis instan?

Komunitas elite yang menyebut diri sebagai pemimpin Indonesia sangat pintar menabur janji atau mengobral pernyataan yang membius dan menyesatkan masyarakat, sehingga menggiring masyarakat agar meyakini atau memercayainya.

Sayangnya, janji itu tidak pernah mereka buktikan dalam kinerja atau dinihilkan dari komitmen struktural mereka. Padahal, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan, “Keadilan (kecintaan) seorang pemimpin lebih utama seribu kali jika dibandingkan dengan ibadah ahli ibadah.”


Selama ini, masyarakat lebih sering mendapatkan kosakata yang tersusun menarik di atas kertas atau melalui pidato-pidato bombastis ketika kampanye, kunjungan kerja, dan pertemuan-pertemuan resmi para pemimpin, yang tidak pernah diaplikasikan dalam kehidupan riil masyarakat.

Bunuh diri yang dijadikan opsi sejumlah orang akibat kemiskinan berlarut yang menimpa mereka merupakan bukti bahwa pemimpin kita belum ‘berpuasa sejati’ dari syahwat memburu kemapanan dan kenyamanan eksklusif kekuasaan. Mereka masih lebih menahbiskan kecintaan pada dirinya sendiri, kroni, dan partainya jika dibandingkan dengan memikirkan kepentingan riil rakyatnya.

Mereka yang bunuh diri itu sebenarnya masih ingin menikmati hidup lebih lama di Bumi Pertiwi ini, tetapi akibat pemimpinnya yang bermental menihilkan komitmen kerakyatan atau tidak ‘memuasakan’ egoisme dan ambisi pribadi dan kelompok eksklusifnya, baginya, melanjutkan hidup di antara hati pemimpin yang sudah tuli tidak ada artinya lagi.

Kalau penguasa kita benar-benar sudah berpuasa sejati seperti yang didoktrinkan Nabi Muhammad, tentulah penguasa itu meneladaninya, seperti sabdanya, “Tempat terbaikku ialah orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah.” Itu berarti setiap pemimpin yang berpuasa berkewajiban menjadikan ‘orang-orang kecil dan orang-orang yang lemah’ sebagai pembuktian amanat kerakyatan mereka dan bukan menjadikan hak-hak publik (orang kecil) sebagai obyek pengabaian, pereduksian, dan pengkleptokrasian mereka.

M Bashori Muchsin,
Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 20 Juli 2012

Friday, July 20, 2012

Puasa Ramadhan dan Idul Fitri Ikut Siapa?


Mungkin bagi kaum muslimin di Indonesia, isu perbedaan waktu memulai puasa Ramadhan dan lebaran Hari Raya Idul Fitri sudah tidak asing lagi. Sudah beberapa tahun terakhir, kejadian ini selalu terulang. Perpecahan pun terjadi antar kelompok ormas dan bahkan berimbas kepada perbedaan pendapat antar anggota keluarga.

Sebagian dari kita mungkin cuek saja, tidak terlalu peduli dengan kejadian seperti ini. Puasa mau ikut pemerintah monggo, silakan, mau ikut ormas lain atau negara lain silakan. Yang penting tidak saling adu fisik, tidak jotos-jotosan, begitu pikir yang lain. Kan perbedaan di antara kaum muslimin itu rahmat, kata sebagian yang lain.

Ketika perbedaan penentuan awal bulan hijriyah itu sudah menimbulkan perbedaan di antara kaum muslimin, kadang kita memang hanya mampu bersikap seperti di atas dengan maksud agar tidak terjadi imbas atau efek yang lebih buruk lagi.

Tetapi sebenarnya siapakah yang berhak menentukan awal puasa atau Idul Fitri ini? Apakah pemerintah atau ormas atau masing-masing individu kaum muslimin diberikan kebebasan untuk memilih? Bagaimana halnya dengan pendapat para ulama mengenai isu perbedaan semacam ini?


Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Awal Ramadhan dan Idul Fitri

Jika ada sebuah negeri yang melihat Hilal (Hilal Ramadhan atau Hilal Syawal), apakah wajib atas negeri lainnya untuk mengikutinya?

Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat al-Hanafiah, al-Malikiah, dan sebagian asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.

Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah al-Baqarah:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (Hilal Ramadhan), hendaknya dia berpuasa.”

Dan juga Hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (Hilal Ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (Hilal Syawal).”
(HR. al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)

Dalam Hadits Ibnu Umar, disebutkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ

“Jika kalian melihatnya (Hilal Ramadhan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (Hilal Syawal) maka berbukalah (selesai Ramadhan). Jika Hilal terhalangi dari kalian maka hitunglah dia.”
(HR. al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080)

Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan:

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ

“Kalau mendung menghalangi kalian melihatnya maka hitunglah dia menjadi 30.”

Mereka mengatakan bahwa perintah dalam Hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.

Inilah kondisi ideal yang kita harapkan. Namun persatuan seluruh negeri kaum muslimin sampai hari ini belum terjadi kembali.


Bagaimana Jika Suatu Negara Telah Melihat Hilal Sementara Negara Lain Tidak Mengikutinya?

“Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada di antara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan umat untuk mengamalkannya. Jika penguasanya bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Ramadhan dan pelaksanaan Shalat ‘Ied di negeri mereka”.
(Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah (Komisi Fatwa Ulama Ahlul Hadits Saudi Arabia, no. 388)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
(Lihat Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juz 25, hal. 117)

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna Hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa Idul Fitri dan Idul Adha) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat Hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk mengabaikan persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”
(Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, jilid 2, hal. 443)


Apakah Harus Mengikuti Penanggalan Islam di Arab Saudi?

“Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban (Iedul Adha) di hari kalian berkurban.”
(Lihat Fatawa Ramadhan, hal. 112)

Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Namun, tidak sedikit yang menganggap hal-hal penentuan kalender Islam semacam ini bukan merupakan otoritas pemerintah. Mereka beranggapan pemerintahnya sesat, berbuat zalim dan bukan merupakan ulil amri yang wajib ditaati.


Mengikuti Keputusan Penguasa yang Zalim

Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa, yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).”
(HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab ss-Sunnah, dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu Rasulullah ditanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya namun jangan mencabut (meninggalkan ketaatan darinya).”
(HR. Muslim, dari sahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Di dalam Hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.”
(Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Semoga bermanfaat.

Sumber: www.blog.al-habib.info

Wednesday, July 18, 2012

Ada Apa dengan Angka 13 ?


Amatilah bendera Amerika Serikat, Stars and Stripes, kemudian hitunglah garis horisontal merah dan putih, strip merah berjumlah 7 dan strip putih berjumlah 6. Maka bila dijumlahkan: 7 + 6 sama dengan 13.

Menurut sumber resmi pemerintah Amerika Serikat, angka 13 ini melambangkan jumlah koloni Inggris di wilayah Amerika Serikat pada abad 18 yang lalu. Tepatnya pada tahun 1776, sebanyak 13 koloni Inggris mendeklarasikan negara Amerika Serikat. Kemudian angka 1776 ini diabadikan dengan angka Romawi MDCCLXXVI di lapisan paling bawah pada batu penyusun piramida uang 1 dollar.

Dan apabila rangkaian huruf yang menyusun angka Romawi MDCCLXXVI ini ditambahkan dengan jumlah huruf pada tulisan: NOVUS ORDO SECLORUM, hasilnya adalah 26. Bukankah 26 adalah 13 + 13 ?!


Bukan hanya itu saja! Karena angka 13 juga muncul dalam berbagai simbol, diantaranya:
•    13 bintang di atas kepala burung elang yang membentuk lambang bintang Daud.
•    13 garis vertikal merah dan putih pada perisai.
•    13 anak panah dalam cengkeraman kaki kiri burung elang.
•    13 daun dan 13 buah zaitun dalam cengkeraman kaki kanan burung elang.
•    13 huruf yang membentuk tulisan: E PLURIBUS UNUM.
•    Salah satu sisi bulu sayap ditambah bulu ekor berjumlah 26. Lagi-lagi, bukankah 26 adalah 13 + 13 ?!
•    13 huruf yang membentuk tulisan: ANNUIT COEPTIS.
•    13 lapis batu bata yang menyusun piramida.


Dalam sejarah, terdapat istilah “Friday the 13th”? Karena pada hari Jumat, tanggal 13 Oktober 1307,  telah terjadi peristiwa pembantaian Ksatria Templar oleh Paus Clement V dan Raja Philip IV dari Perancis, dengan alasan karena mereka dianggap aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Kristen mainstream.

Angka 13 adalah The Sacred Numbers bagi upacara Kabbalah dalam ajaran Yahudi. Yakni angka keramat, angka yang disucikan, dan angka simbol pengorbanan. Angka 13 juga merupakan jumlah lingkaran, atau "node", yang membentuk Metatron Cube dalam ajaran Kabbalah.


Angka 13 ini juga sebagai simbol Nabi Musa dengan 12 suku-suku Bani Israel, Nabi Isa dengan 12 muridnya, dinasti Rotschild dengan 12 dinasti Yahudi lainnya yang menguasai dunia yang berkumpul di Bavaria pada tahun 1776. Tahun didirikannya organisasi rahasia Illuminaty dengan Adam Weishaupt yang terpilih sebagai Grandmaster pada saat itu. Harap dicatat, pada tahun 1776 pula dideklarasikan berdirinya Negara Amerika Serikat yang lepas dari koloni Inggris.

Dalam Yudaisme, anak laki-laki yang menginjak usia 13 tahun dianggap sudah dewasa dan menjadi “Mitzvah Bar”, yaitu anggota penuh dari iman Yahudi dan sudah memenuhi syarat untuk dihitung sebagai anggota “Minyan”.

Selanjutnya, menurut Moses Maimonides, seorang filosof Yahudi yang kenamaan dan sangat berpengaruh, ada 13 prinsip iman Yahudi yang menjadi pedoman dasar bagi para penganut Yudaisme. Selain itu, menurut tafsir para tokoh Yudaisme atau para Rabi Yahudi, dalam Kitab Taurat, Tuhan memiliki 13 atribut yang harus diimani.


Di masa kini, apabila kita jeli, selain yang terdapat di dalam mata uang ONE DOLLAR Amerika, simbol-simbol seperti itu bertebaran di sekitar kita.

Silahkan dicermati dan diteliti misalnya, lambang Departemen Keuangan Amerika Serikat (Department of the Treasury). Di sana ada 13 bintang yang membentuk piramida. Dan di dalamnya ada gambar kunci. Kunci apakah gerangan? Konon itulah Solomon Key, kunci menuju harta karun King of Solomon.

Bagi kita bangsa Indonesia, adakah arti dari semua ini? Saya nggak tahu. Termasuk dengan ungkapan “Celaka tiga belas!” Siapakah yang bakal “celaka”, dan kenapa harus 13 ???

(dari berbagai sumber)

Friday, July 13, 2012

Pencarian Moeslim Abdurrahman, Haruskah Berhenti?


Jumat malam, 6 Juli 2012, Dr Moeslim Abdurrahman meninggalkan kita semua, menuju ke haribaan Sang Pencipta, yang selama ini dia cari.

Berhentikah kita mencari kebermaknaan Tuhan bagi kehidupan umat manusia seperti yang selama ini dilakukan melalui ucapan dan tindakan Kang Moeslim Abdurrahman? Entahlah, karena pencarian kita itu apakah sudah sampai, baru berada di tengah jalan yang benar, atau kita sebenarnya sedang sesat jalan? Hanya kita sendiri yang bisa menggugat meski orang lain bergemuruh membenarkan atau sebaliknya menyatakan sesat jalan.

Dalam sebuah buku kecil kumpulan karangan berjudul Satu Tuhan Seribu Tafsir terbitan Kanisius, Moeslim menulis: “Ini sekadar bagian atau contoh dari kerumitan teologis: Mengapa pluralitas sebenarnya adalah sebuah keniscayaan, sementara klaim kebenaran pada dasarnya adalah tafsiran yang terbatas karena sejak awal dibatasi oleh sejarah seseorang yang lahir dari komunitas yang memang berbeda- beda, disamping perbedaan struktur sosial yang menjadi lokus inkulturasi dan akulturasi agama dan keyakinannya.


Tuhan “Objektif”, saya kira tidak mungkin untuk tidak menimbang dan mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi dan menjadi kendala setiap manusia untuk taqarrub, yakni berusaha mendekati-Nya, tentu dalam kapasitas masing-masing dan dalam konsep Tuhan “Subjektif” yang dikenalnya dan pemahaman tentang kehendak-Nya sesuai dengan teks suci yang diwarisinya.”  (halaman 9).

Tulisan itu merupakan komentar atas apa yang menurutnya: “Dan persoalannya, bagaimana mungkin kita mau menghapus pilar-pilar peradaban itu hanya karena alasan politik, toh ada hukum Tuhan yang tidak mungkin kita lawan. Bahwa seorang anak manusia pasti akan dilahirkan oleh ibunya dan seorang bayi sebelum lahir tidak mungkin berunding dulu dengan Tuhan, dari kandungan perempuan mana ia akan lahir, di kawasan budaya dan komunitas mana ia mau dibesarkan, termasuk permintaan misalnya janganlah Tuhan menitipkan ruhnya di keluarga yang miskin sebab mungkin bisa menghalangi tingkat kesalehan hidupnya di dunia nanti akibat kemiskinannya itu.” (halaman 8-9). Tulisan Moeslim itu penting kita baca kembali menjelang bulan suci saat banyak orang atas nama Tuhan yang diyakininya menutup kafe-kafe dan nanti juga menutup warung makan agar tidak buka di siang hari, sementara ribuan orang menanti suapan dari tangan-tangan yang bergantung kepadanya.

Mengapa orang tidak mengembangkan lapangan kerja di percetakan kitab suci agar tidak bekerja di kafe atau warung makan pinggir jalan. Mungkin juga karena pencetakan kitab suci pun telah dikorupsi, mungkin sejak lama, hanya baru ketahuan sekarang. Atau, ini sebagai penanda kiamat sudah dekat sehingga Dajjal pun menguasai bidang-bidang yang semestinya memuliakan asma Allah.


Moeslim yang saya kenal ialah muslim yang berani dan bisa membuka jendela imannya untuk menengok iman model tetangganya agar ia bisa berdialog dan tukar pengalaman tentang pencarian abadi kebertuhanan yang tidak pernah selesai. Karena itu, kadang ucapan dan tindakannya membuat banyak orang terhenyak kaget, ketika keyakinannya yang selama ini dipandang sudah baku dan mutlak benar itu seolah coba diurai kembali.

Tampilan yang sederhana mencerminkan keluguan sikap hidup sekaligus kejujuran yang ia coba pegang teguh, juga dalam praktik beragama yang ia peluk sejak sebelum “lahir” itu. Lahir dari keluarga yang saleh di Lamongan, Jawa Timur pada 1948, hingga sarjana belajar ilmu tentang agama yang diyakini sejak sebelum lahir, memperoleh master dan doktor antropologi di University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat.

Pernyataan, ucapan, dan tindakan Moeslim sesudahnya itu seolah mempertanyakan kembali praktik ajaran yang dipelajari di Tanah Air. Walaupun itu semua merupakan cara meneguhkan kembali keyakinannya dengan cara lanjut karena “maqam”-nya sudah naik ke bintang 11. Ia akrab dengan tokoh-tokoh NU walaupun besar dari keluarga Muhammadiyah. Ia akrab dengan tokoh-tokoh Hindu, Buddha, dan Kristiani meskipun Moeslim ini adalah seorang muslim yang saleh.


Dalam gerakan Islam modernis terbesar di negeri ini ia pernah dipercaya sebagai ketua Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan. Ia juga menjabat sebagai ketua Al-Ma‘un Institute yang didirikan mengacu pada legenda yang identik dengan aksi-aksi kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Meski demikian, tidak segan ia melancarkan kritik ke tubuh gerakan ini sehingga pernah ia lontarkan perlunya kelahiran Muhammadiyah Jilid II saat ia melihat gejala kemandekan ijtihad dalam gerakan ini.

Pada Agustus 2003, bersama penulis dan beberapa tokoh nasional, Moeslim Abdurrahman berangkat umrah. Saat naik bus dari Bandara King Abul Aziz menuju Kota Mekkah dalam suatu obrolan muncul pertanyaan “entah dari siapa” tentang “Apa yang paling menarik dari ribuan orang yang setiap saat berziarah umrah ke Tanah Suci?” Semua penumpang susul-menyusul melontarkan jawaban spontan, tapi yang membuat penumpang bus itu terhenyak ialah jawaban Moeslim Abdurrahman.

Atas pertanyaan tersebut, Moeslim menjawab, “Paling penting dari ziarah haji dan umrah ini ialah berapa juta real yang masuk sebagai devisa pemerintahan Arab Saudi!” Sontak penumpang bus peziarah umrah itu tergelak … tapi ... segera terdiam … sambil bergumam lirih yang didengar telinga masing-masing. Bagaimana sebenarnya peziarah itu menangkap makna dari jawaban Moeslim tersebut? Mungkin dibawa Moeslim menghadap Tuhan.


Dari sekian banyak buku dan karya tulis yang lahir dari kepalanya, yang menarik ialah ketika Moeslim menulis: “… legitimasi Tuhan anehnya juga dapat membenarkan orang boleh membunuh orang lain karena panggilan-Nya, bahkan mengesahkan permusuhan yang berkepanjangan juga dengan alasan karena ajaran-Nya. Maka, tidak heran, dalam berbagai pertikaian politik seolah-olah yang terjadi adalah Tuhan menyerang Tuhan.

Masing-masing Tuhan saling berebut menang, bahkan tidak hanya yang menang dalam permusuhan itu, yang mengaku telah memperoleh bukti bahwa merekalah yang sesungguhnya mendapat pertolongan-Nya karena mereka di pihak yang benar. Tetapi yang kalah pun, untuk menjaga semangatnya, mengaku bahwa mereka sebetulnya sedang dicoba Tuhan, yakni apakah mampu tetap teguh bertahan dengan kekalahannya itu sebagai pembela kebenaran.” (Satu Tuhan Seribu Tafsir, halaman 6-7).

Seperti komentar banyak temannya, Moeslim yang dekat dengan Gus Dur itu adalah pemikir kritis yang menggugah banyak orang yang mengantuk. Banyak warisan yang ditinggalkan Kang Moeslim, namun satu hal yang penting dicatat ialah pertanyaannya suatu saat bahwa: “Apakah kita ber-Tuhan sesungguhnya karena untuk melawan Tuhan orang lain?” Selamat jalan meniti lorong labirin tanpa batas kecuali pembatasan Tuhan Kang Moeslim, kita semua akan menyusulmu dengan cara berbeda.

Abdul Munir Mulkhan,
Anggota Komnas HAM RI 2007-2012,
Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005

Koran SINDO, 10 Juli 2012



Berkurang Satu Tokoh JIL,
Moeslim Abdurrahman Meninggal Dunia

Cendekiawan yang mengaku Muslim dan dekat dengan mantan Presiden Abdurahman Wahid meninggal dunia, Jumat 6 Juli 2012 malam di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Berita kematian tokoh Muhammadiyah yang juga penggiat JIL (jaringan "islam" liberal) ini menyebar lewat jejaring sosial twitter, seperti dilansir situs Tempo.co.

“Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun. Telah wafat Kang Moeslim Abdurrahman malam ini di RSCM sekitar pukul 20-an. Al-fatihah,” tulis Allisa Wahid, putri almarhum Gus Dur melalui akun twitternya @allisawahid. Allisa melanjutkan, Moeslim adalah salah satu jembatan NU dan Muhammadiyah. Konsep-konsep gerakannya fokus untuk Islam Rahmatan lil'alamiin, tentunya versi JIL.

Tokoh muda Nahdatul Ulama, Zuhairi Misrawi juga menuliskan kematian Moeslim Abdurrahman melalui akun twitternya di @zuhairimisrawi. Zuhairi menulis, Moeslim adalah tokoh Muhammadiyah yang dekat dengan NU. “Selamat berjumpa Gus Dur di alam baka, Kang,” tulis Zuhairi.

Moeslim Abdurrahman lahir di Lamongan, 8 Agustus 1958. Tokoh ini dikenal dekat dengan banyak kalangan. Beberapa karyanya antara lain Kang Towil dan Siti Marginal, Islam Transformatif, Semarak Islam Semarak Demokrasi, dan Islam Sebagai Kritik Sosial.

Namun yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana Moeslim Abdurrahman sebagai tokoh JIL ini mengacak-acak Islam lewat tulisan dan pernyataan-pernyataan nyelenehnya yang dia anggap sebagai kebebasan berpikir. Jadi kematiannya ini, bisa jadi berkah bagi umat Islam, berkurangnya satu tokoh perusak Islam di Indonesia.

eramuslim.com
Sabtu, 07 Juli 2012



Tanggapan ....

Dalam kitab Is’adur Rafiq Syarah Sulam Taufiq, halaman: 84 juz 2, disebutkan, telah berkata Imam Ghazaly dalam Ihya ‘Ulumuddin: “Bahwa secara umum melaknat seseorang merupakan perbuatan yang mengandung bahaya, sedangkan diam tidak berbahaya. Bahkan sampai Iblis pun tidak boleh melaknatnya.”

Sungguh banyaklah orang yang bermain-main dengan laknat pada lidah manusia, padahal telah datang hadits bahwa seorang mukmin tidaklah melaknat.

Maka tidak sepatutnya melepaskan kata dengan melaknat sesama. Dan menyibukkan diri dengan berzikir adalah lebih baik, namun bila tidak, maka diam niscaya lebih baik.

Dan mendoakan orang lain dengan keburukan adalah dekat dengan melaknat, sekalipun kepada orang yang menzaliminya. Seperti ucapan: “Semoga Tuhan tidak memberi kesehatan kepadamu, atau semoga Tuhan tidak memberi keselamatan kepadamu.”

Rasulullah tak pernah mengumpat selama hidupnya, bahkan sekalipun disakiti oleh orang-orang Kafir Qurays, beliau tetap mendoakan kebaikan kepadanya. Bacalah tarikh Nabi ketika berdakwah di kota Thaif. Walaupun penduduk Thaif melempari dengan batu dan kotoran yang disertai dengan caci-maki yang tak terperi. Rasulullah sama sekali tidak membalas dengan cacian apalagi laknat.

Semoga Allah mengampuni kita semua dari segala salah dan khilaf.

Imam Muharror

Monday, July 9, 2012

Sultan: Perang Anti Tembakau Itu Hanya Rekayasa


Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menganggap perang anti tembakau sebagaimana diungkapkan dalam buku “Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat” adalah rekayasa perusahaan farmasi transnasional . Ia menyampaikan hal ini di Bantul, DIY, Senin 2 April 2012.

Ia menegaskan, ada muatan bisnis di balik kampanye perang anti tembakau. “Jika tidak diwaspadai secara politis mudah ditunggangi kepentingan bisnis global yang akan mematikan industri rokok kita sendiri,” ujar Sultan seperti dilansir kompas.com.


Sultan menilai kampanye bahwa nikotin berdampak negatif bagi kesehatan adalah publikasi sesat yang dirancang industri farmasi berskala raksasa.

Perang anti tembakau juga disinyalir sebagai ancaman serius yang bakal menyebabkan pengangguran dan kemiskinan petani tembakau di Indonesia.

www.theindonesianway.com



Menjadi Orang Indonesia

Tanah air, tanah tumpah darah, kita kenang karena selalu hidup di dalam jiwa kita, dengan getaran dan derap yang hanya bisa dibandingkan dengan getaran cinta. Jangan lupa, di sana lahir pula makna “cinta” tanah air.

Dan “cinta” seperti itu tak ternilai harganya ––jika “cinta” boleh dan dianggap layak dimaterialisasi dan diberi harga. Maka, tanah air, tempat tumpah darah kita merupakan ikatan primordial yang paling kuat di antara banyak unsur primordial yang dianggap kuat. Kampung halaman, teman-teman, sungai, sawah, gunung, telaga, dan di sisi lain ada ingatan akan pantai, jala, ikan, pohon-pohon nyiur melambai, ombak, gelombang pasang, perahu kandas, dan pasir.

Atau bau amis air laut bercampur bau ikan dan embusan angin kencang yang menjadi sahabat perahu layar. Dan jika kenangan macam itu dirumuskan dalam sebuah puisi, tanah air yang begitu kongkret itu akan tampil dalam ungkapan alegoris, seolah kita sedang mengenang sebuah dongeng: sesuatu yang jauh tapi dekat, yang imajiner tapi sekaligus sangat nyata.Kenangan menghidupkan kerinduan, yang sering berat ditahan.


Kita punya acara pulang basamo pada hari-hari menjelang Lebaran karena kampuang nan jauh di mato bagaikan memanggil-manggil. Tapi tanah tumpah darah itu juga tampil dalam wujud atau kenangan akan negara kita. Dalam lagu Imagine, lagu “terbaik” The Beatles, digambarkan negara yang membuat kita rela berkorban jiwa untuknya, dikenangnya dari sisi imajiner, andaikata —atau sebaiknya— negara tak ada, supaya kita tak bicara mengenai kerelaan mati demi negara.

Tapi tentara memandang perkara ini dengan sikap patriotik, mati demi negara, berkorban jiwa, sebuah kemuliaan. Apalagi mati di medan laga melawan kaum imperialis dan kolonialis yang menegasikan hak-hak setiap bangsa, tiap manusia, yang lahir “suci”, bebas dan merdeka. Agama mengajarkan mati membela tanah air setingkat dengan mati membela agama.

Kematian macam itu disebut “syahid” dan fikih, hukum agama, membebaskan kewajiban untuk memandikannya. Mati syahid itu mati dalam kesucian. Kitab suci pun menyebutkan: “Adakah kau mengira mereka itu mati?” Dan tentara, prajurit, yang prawireng yudha, gagah berani,  disebut dies only ones, sedangkan yang pengecut —mungkin berperang tapi tidak ikhlas, tidak rela berkorban tapi mati juga— disebut dies many times.


Mati nyalinya, mati keberaniannya, mati semangatnya, mati kerelaannya, mati tidak ikhlas tapi tetap mati. Saya kira ini kutukan Tanah Air terhadap mereka yang enggan membelanya. Bumi, bagi mereka yang paham akan bahasa spiritual, merupakan makhluk hidup. Dan bumi, -dengan begitu- juga mengenal “kecewa” atau “marah”.

Kita minum air yang memancar dari dalamnya, kita makan buah yang tumbuh di atasnya, kita memakan sayur dan nasi, semua berasal dari tetumbuhan yang diakomodasi dengan baik oleh kesabaran bumi, Ibu Pertiwi. Maka, ada saatnya Ibu Pertiwi mengharap bukti cinta kita padanya. Ibu Pertiwi meminta kita untuk berbakti. Kita pun berdendang dengan derap cinta orang dewasa: “Padamu negeri kami berjanji. Padamu negeri kami berbakti. Padamu negeri kami mengabdi.” Dan ujungnya sebuah sumpah: “Bagimu negeri, jiwa raga kami.”


Agresor Asing
Bumi, Ibu Pertiwi, Tanah Air, meminta bakti kita. Maka, pengakuan kita bahwa kita bangsa Indonesia, kita menjadi orang Indonesia, memiliki konsekuensi. Pengakuan membawa tanggung jawab. Dengan dada membusung dan sikap tegas: aku orang Indonesia, siap mengabdi kepentingan Indonesia, dan membela keluhuran Indonesia, jangan hendaknya ada bangsa asing mengganggu kita.

Dan banyak negara asing, kaum agresor —istilah Bung Karno— di tahun 1960-an yang melakukan “serangan” terhadap negara kita bukan dengan mengerahkan barisan prajurit, melainkan dengan menggerakkan sejumlah kecil kaum lobbyists yang gesit melobi ke berbagai pejabat tinggi, menyodorkan uang, dan meminta prioritas ini dan itu melalui aturan perundang-undangan. DPR, DPRD, menteri, gubernur, bupati, masing-masing dengan staf mereka, dibujuk dan diberi duit.

Juga para aktivis, sejumlah kaum profesional, dan sebagian kaum ilmuwan. Dalam perang dagang yang dahsyat, para pelobi, dibantu dan dikontrol sebuah lembaga besar bernama Bloomberg Initiative, bekerja keras “menjarah” tembakau dan kretek kita. Lembaga besar itu beroperasi di tingkat internasional dan telah mengumumkan siapa dan lembaga-lembaga apa di seluruh dunia yang telah menerima uang dari mereka.


Kita menjadi tahu, ada tokoh, ada lembaga, ada pejabat, yang kelihatannya begitu hebat berjuang demi kesehatan masyarakat, berkat pengaruh uang tadi. Sebagian, mungkin, ada yang murni memikirkan kesehatan kita. Tetapi petanya mungkin begini: ada orang yang tidak tahu apa-apa, bahwa di balik program kesehatan itu ada uang dan kepentingan asing. Ada yang pura-pura tidak tahu.

Dan ada yang memang tahu dan tetap gigih meneriakkan apa yang pada dasarnya mengandung kebohongan itu, seolah teriakannya merupakan kemurnian perjuangan di bidang kesehatan. Di sini perlu ditegaskan kembali: di balik ungkapan “kesehatan masyarakat” itu kekuatan asing bekerja keras, mendanai kegiatan tingkat dunia, merancang, memonitor pelaksanaan, dan membaca hasil-hasilnya.

Hal ini bukan lagi rahasia. Di tingkat dunia, operasi “menjarah” tembakau dan kretek kita itu persis berada di balik tembok perang bisnis. Perusahaan farmasi dunia mau merampas tata niaga tembakau dan kretek kita untuk dicaplok bagi kepentingannya sendiri. Pejabat kita dibeli dan dengan harga murah. Begitu juga kaum profesional di bidang kesehatan dan sejumlah kaum ilmuwan dan aktivis.


Semua berteriak demi kesehatan masyarakat. Ada yang, sekali lagi, sadar dan tahu persis bahwa di belakangnya ada kaum kolonialis dan imperialis, yang menjajah kita dengan cara canggih. Ada yang pura-pura tidak tahu dan tetap berpura-pura dalam segenap gerak-geriknya. Ini jelas kemunafikan dalam mengkhianati negerinya. Ada yang sungguh tidak tahu dan bekerja dengan tekun. Ini jenis kenaifan yang sempurna.

Tanah air, tanah tumpah darah kita, yang dikhianati itu tahu siapa yang berkhianat. Dan tanah air, Ibu Pertiwi, akan bertindak. Berapa pun banyaknya uang yang mereka terima dari kaum kolonialis dan imperialis itu, semua tak berarti. Duit itu tidak berkah. Dan dalam bahasa agama, kelak harta itu hanya akan menjadi bahan bakar api neraka yang siap melahapnya.

Kita, orang Indonesia, tak boleh main-main. Loyalitas, biarpun kecil, harus diwujudkan. Perjuangan, biarpun tampak sepele, harus dilakukan. Untuk Tanah Air, kita menyediakan cinta. Dan cinta itu boleh membakar kita dan membuat kita terbakar dalam keindonesiaan yang utuh dan sejati karena kita sudah bulat menjadi orang Indonesia.

M. Sobary,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
Koran SINDO, 5 Maret 2012

Sunday, July 8, 2012

Meluruhkan Stigma Negatif Rokok


“Sesungguhnya senyawa dalam asap rokok tidak semata-mata senyawa radikal bebas tapi banyak polimer berbentuk kumpulan butiran partikel.”

Dalam satu tarikan napas, cobalah Anda membuat daftar unggulan kekayaan warisan budaya bangsa, yang mencerminkan jiwa asli bangsa Indonesia. Dapat dipastikan muncul antara lain Pancasila, batik, keris, gamelan, nasi tumpeng, angklung, wayang kulit, dan rokok kretek. Mungkin Anda bertanya dalam hati kenapa rokok kretek muncul dalam daftar imajinasi kultural itu?

Jawaban paling sederhana dapat dilihat dalam karya Mark Hanuzs (2000), Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Buku itu mengulas rokok kretek yang disebutnya aroma jiwa bangsa Indonesia. Selain itu, menjadi napas hidup bagi banyak orang. Ada petani tembakau, petani cengkih, pemasok pupuk, pabrik rokok, buruh linting, tenaga pengangkut, pedagang rokok, pabrik lem, pabrik kertas, iklan media, dan sebagainya. Selain itu, menambah pundi-pundi keuangan negara.


Aktivis kesehatan yang antirokok, menistakan dengan stigma negatif sebagai sumber berbagai penyakit, sama seperti narkoba. Padahal di balik itu, tanpa kita sadari, sedang terjadi “perang nikotin” yang nilainya miliaran dolar Amerika! Tapi sekarang, dengan temuan divine kretek, perokok tak usah khawatir karena dijamin sehat. 

Artinya, kini perokok tidak perlu lagi takut stigma negatif yang menyudutkan rokok sebagai penyebab berbagai penyakit. Kini, banyak ilmuwan mampu menjinakkan bahaya merokok bagi kesehatan. Pada dasarnya, pemanfaatan bahan alam sangat bergantung pada pengetahuan atas bahan alam itu sendiri.

Salah satu ilmuwan anak bangsa yang memberi sumbangan berharga perihal temuan divine kretek, rokok sehat, dan peluruh radikal bebas adalah Dr Gretha Zahar, dibantu Prof Sutiman Bambang Sumitro dari Universitas Brawijaya, Malang. Inti temuannya adalah asap rokok tidak lagi berbahaya bagi kesehatan manusia, lewat kajian ilmiah yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Asap rokok dianalisis dengan instrumen gas chromatography.


Wujud Penghargaan
Sesungguhnya senyawa dalam asap rokok, tidak semata-mata senyawa radikal bebas tapi banyak polimer berbentuk kumpulan butiran partikel. Nikotin merupakan salah satu bagian kecil dari butiran partikel dari asap rokok. Jadi, ketika asap rokok masuk dalam tubuh, nikotin tidak dapat berbicara sendiri. Padahal komponen paling berbahaya dari asap rokok justru radikal bebasnya. 

Tetapi lewat set peluruh radikal bebas (scavenger), temuan Dr Gretha dan Prof Sutiman, dihasilkan divine kretek, yang asapnya dijamin tidak berbahaya karena tidak lagi mengandung radikal bebas. Radikal bebas antara lain partikel logam mercury (Hg), yang mengendap dalam tubuh, dapat ditangkap, dijinakkan, dan diluruhkan. Itu temuan dari anak bangsa yang luar biasa, berdasarkan kearifan lokal.

Dari semua itu, asap rokok tidak perlu direduksi dengan stigma negatif bagi kesehatan tapi perlu dibahas dengan mempertimbangkan keberadaan bahan polimer kompleks sesuai realitasnya. Kini sudah dibuktikan, peluruhan komponen radikal bebas pada asap rokok lewat serangkaian set peluruh radikal bebas (scavenger), yang dilapiskan pada filter atau dicampurkan dalam cengkih, punya efek positif terhadap sistem kesehatan biologis.


Temuan ini menerapkan nanosains dan nanobiologi sehingga siapa pun dapat merokok dengan divine kretek dan dijamin tidak membayakan kesehatan. Bahkan Prof Dr Sarjadi SpPA, guru besar Fakultas Kedokteran Undip, menilai divine kretek dan scavenger, merupakan temuan luar biasa. Boleh dibilang, salah satu mahakarya ilmu pengetahuan dan tonggak peningkatan kesehatan manusia berdasarkan kearifan lokal.

Sudah dibuktikan divine kretek dapat menyembuhkan penyakit kanker, kardiovaskuler, autis, stroke, paru-paru, dan menjaga kesehatan tubuh. Oleh ilmuwan Prancis, temuan Dr Gretha sedang dipromosikan untuk Hadial Nobel. Kalau kita tidak menghargai karya anak bangsa sendiri, lantas apa kata dunia?

FS Swantoro,
Anggota Tim Penulis Buku Divine Kretek: Rokok Sehat
SUARA MERDEKA, 28 Februari 2012

Sunday, July 1, 2012

Mafia Berjubah Demokrasi


Demokrasi seperti berwajah ganda. Pada satu sisi, demokrasi adalah instrumen yang dipercaya untuk mengagregasi kepentingan publik. Namun, pada sisi lain, ia justru menggerogotinya. Ini sulit dimungkiri manakala demokrasi dipilih sebagai jalan untuk memperbaiki kesemrawutan bangsa, namun ternyata melahirkan mafia dengan berlindung di balik "jubah" demokrasi.

Dewasa ini demokrasi hanya diidentikkan dengan peran partai politik dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pada sisi publik, memberikan suara pada saat pemilu adalah tanggung jawab final dan untuk selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada wakil yang dipilihnya.

Pemilu pun seakan bermetamorfosis menjadi seremonial yang liberal. Betapa tidak, aktor-aktor politik cenderung memanfaatkan pragmatisme publik untuk meraih dukungan suara. Politik uang dengan segala bentuknya menjadi transaksi terbuka karena dilakukan nyaris secara terang-terangan. Pemilu, yang seharusnya menjadi tempat kontestasi gagasan dan program-program pro-publik, justru beralih menjadi ajang perlombaan kekayaan. Partai politik pun menjadi aktor utama dalam "kontestasi" ini. Partai cenderung memunculkan ruang transaksi tersebut pada saat penjaringan calon di kalangan internal partai.

Fenomena ini pada akhirnya berimplikasi pada pembajakan fungsi-fungsi negara karena ada upaya mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan pada saat pemilu. Maka, tidak mengherankan jika di kemudian hari bermunculan para aktor politik yang menyandang "gelar" tersangka hingga terpidana kasus korupsi.


Mafia Demokrasi
Kualitas demokrasi yang begitu buruk ini sebetulnya mencerminkan situasi demokrasi di Indonesia secara umum. Maka, benarlah pandangan yang dikemukakan oleh Brian C. Smith (1998) yang mengungkapkan bahwa pemilu di tingkat daerah yang begitu buruk akan berbanding lurus dengan kualitas pemilu nasional.

Jamak diketahui, perilaku elite di tingkat lokal tak kalah "beringas" dari elite politik di tingkat nasional. Setali tiga uang dengan itu, manakala tangan hukum bekerja, ramai-ramailah para elite lokal dan nasional itu dijebloskan ke penjara.

Pemilukada langsung sebagai instrumen penguatan demokrasi di tingkat lokal berubah menjadi alat legitimasi semu bagi sebagian kepala daerah. Kuatnya peranan pemodal dalam menyokong sumber daya, termasuk dana bagi calon tertentu, telah dimanfaatkan untuk "membeli" suara. Bahkan publik pun ikut "menyukseskan" prosesi ini dengan bersikap pragmatis.

Keterpilihan kepala daerah, yang awalnya diharapkan memberikan napas baru bagi daerah, justru menjadi ancaman bagi daerah. Banyak kepala daerah yang pada saat berkuasa berusaha membangun kekuasaan di lingkaran keluarga dan kroninya.


Muncullah dinasti-dinasti politik di daerah. Tujuannya tidak lain adalah memperkuat kedudukan secara politik untuk menguasai sumber daya ekonomi daerah. Mereka berusaha menciptakan lingkaran kekuasaan untuk mengamankan sumber daya ekonomi tersebut demi kepentingan kelompoknya. Gambetta (2000; 164), sebagaimana dikutip oleh Jeffrey A. Winters (Oligarki, 2011), bahkan menyamakan perilaku ini layaknya seorang mafia, memonopoli sebanyak-banyaknya sumber daya di suatu daerah.

Di tingkat nasional, hal semacam ini seolah direplikasi, sumber daya ekonomi nasional (APBN) disiasati untuk kepentingan kelompok-kelompok berkuasa. Mafia juga bekerja pada level ini, proyek-proyek infrastruktur pemerintah dibajak oleh elite berkuasa untuk membiayai kegiatan politiknya. Muncullah kasus Wisma Atlet, Hambalang, hingga kasus korupsi yang diduga melibatkan beberapa perguruan tinggi. Merekalah para penjahat dan mafia yang menggerus nilai-nilai demokrasi. Bersikap seolah-olah seperti wakil rakyat, namun perilakunya lebih serupa dengan mafia.


Deliberatif Demokrasi
Publik seharusnya menyadari bahwa fenomena ini juga disebabkan oleh perilaku pragmatis yang selama ini memang dipelihara. Tidak hanya oleh partai politik, tetapi juga oleh publik. Publik seharusnya menjadi bagian dari upaya perbaikan demokrasi. Perilaku politik pragmatis harus dihentikan karena terbukti berdampak negatif bagi publik sendiri. Untuk itu, perlu ada gagasan baru untuk membangun demokrasi yang lebih sehat. Jurgen Habermas mencoba menawarkan gagasan yang kemudian dipahami sebagai demokrasi deliberatif (deliberative democracy).

Deliberatif dalam bahasa Latin disebut deliberatio, yang berarti "konsultasi", "menimbang-nimbang", atau dalam bahasa politik diterjemahkan sebagai "musyawarah". Secara sederhana, demokrasi deliberatif menghendaki peningkatan intensitas partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Tujuannya agar kebijakan yang dihasilkan setidaknya akan mendekati harapan semua pihak.


Pemahaman tentang demokrasi perlu diluruskan melalui diskursus ini. Demokrasi, yang oleh publik hanya dipahami dalam bentuk penyelenggaraan pemilu, harus direkonstruksi ulang. Penyerahan mandat melalui pemberian suara pada saat pemilu bukan berarti memberikan keleluasaan yang tak terbatas bagi para pejabat publik untuk menentukan sendiri kebijakannya. Maka, publik seharusnya mengambil peran yang lebih besar karena berkaitan langsung dengan hajat hidupnya sendiri.

Absennya publik dalam proses pengambilan kebijakan justru memperbesar peluang bagi para mafia untuk melakukan aktivitasnya. Di samping itu, publik juga perlu memberi punishment (hukuman) bagi partai politik yang memunculkan mafia-mafia demokrasi. Tidak memilih partai yang korup adalah langkah awal bagi publik untuk melakukan perlawanan secara politik.

Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Dimuat di Harian KOMPAS, 23 Mei 2012 dan Koran TEMPO, 26 Mei 2012