Tuesday, May 29, 2012

Corby – The Ganja Queen


Pernahkah Anda menonton film The Ganja Queen? Film dokumenter yang dibintangi ‘Sang Ratu Ganja’ Schapelle Corby, itu mendapat rekomendasi empat setengah (dari lima) bintang di situs Amazon.

Disutradari Janine Hosking, film yang dirilis dalam bentuk DVD oleh Home Box Office (HBO) pada November 2008 itu mengisahkan perjalanan Corby, tentu dalam versinya sendiri, yang mengaku tidak bersalah dan diperlakukan tidak adil di depan pengadilan dan penjara Kerobokan Bali.

Kalau saja HBO menayangkan ulang film berdurasi 92 menit itu lagi, pasti ratingnya bakal melejit. Pasalnya, secara cukup mengejutkan wanita cantik yang kini berusia 34 itu mendapatkan grasi lima tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, grasi ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia di Australia, yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.


Tak pelak, berbagai media di Indonesia dan Australia pun ramai memberitakan grasi bagi Corby. Pemerintah pun menuai banyak kritik, karena pemberian grasi itu dianggap tidak sejalan dengan kebijakan memperketat hukuman bagi kasus narkoba dan upaya pemberantasan barang haram itu.

Kritik pedas antara lain dilontarkan pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra. Kata Yusril, sepanjang sejarah baru kali ini Presiden RI memberikan grasi atau mengampuni kejahatan narkoba. “Presiden-presiden sebelumnya tak pernah melakukan hal itu, baik terhadap napi WNI maupun napi asing,” kata Yusril.

Sesungguhnya, selain DVD di atas, terdapat tiga buku yang menceritakan Corby secara sangat berbeda dengan yang disiarkan media massa. Yang pertama adalah Schapelle Corby, My Story. Buku setebal 301 halaman itu ditulis Corby bersama Kathryn Bonella. Kemudian, ada Schapelle Evidence Facts Truth, karya wartawan bidang kriminalitas Gold Coast Bulletin, Tony Wilson, setebal 256 halaman.

Tapi buku Wilson itu kurang mendapat respon sebagus buku Corby yang lain yang berjudul panjang, No More Tomorrows: The Compelling True Story of an Innocent Woman Sentenced to Twenty Years in a Hellhole Bali Prison. (Tak Ada Hari Esok: Kisah Nyata tentang Wanita Tak Bersalah yang Dihukum Dua Puluh Tahun dalam Neraka Penjara Bali). Buku No More Tomorrows yang juga ditulis Corby bersama Kathryn Bonella, ini berhasil meraih international best seller.


Awalnya Kathryn Bonella datang ke Bali untuk menggarap program televisi Australia, 60 Minutes. Eh, ia betah di Bali rupanya. Maka pada 2005, Kathryn pindah ke Bali untuk menulis buku setebal 304 halaman itu bersama Corby.

No More Tomorrows mengisahkan perjalanan Corby ke Bali pada 8 Oktober 2004. Semula, liburan selama dua pekan itu dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun saudara perempuan Corby di Bali.

Ternyata tamasya itu menjadi mimpi buruk baginya, setelah petugas di Bandara Ngurah Rai Denpasar menemukan 4,2 kilo marijuana alias ganja di dalam tas Corby yang tidak terkunci. Lalu, Schapelle Corby dipenjara pada Mei 2005 di Kerobokan, Bali. Dengan vonis 20 tahun, seharusnya ia baru bebas pada tahun 2024.

Marijuana itu, menurut Corby, ‘disimpan seseorang di dalam tas sesudah ia check in.’ Akibatnya, ia terpaksa menanggung konsekuensi kejahatan orang lain di sebuah negara yang vonis bagi penyelundup narkobanya, menurut Corby, “merupakan salah satu yang paling berat di dunia.”

Itu kata Corby. Padahal di negara lain ia mungkin sudah dihukum mati.


Tidak cukup begitu, dalam bukunya Corby menceritakan joroknya sel, ketidaknyamanan dan kekerasan yang diterimanya di penjara Kerobokan.

Patut dicatat, dari dalam penjara itu Corby bisa menulis secara bagus, piawai, menegangkan, menarik, sehingga banyak dipuji pembaca di Barat. Yang menarik adalah bahwa banyak kritik dialamatkan kepada media (Indonesia) yang dianggap telah memutarbalikkan fakta karena seolah mendukung keputusan pengadilan Bali.

Tetapi kritik balik yang dilontarkan kepada Corby menolak hal itu. Pasalnya, banyak yang sulit menerima kenyataan: bagaimana mungkin orang tidak tahu ada ‘barang titipan’ diselundupkan ke dalam tasnya, jika barang itu seberat 4,2 kilo? Apalagi di negara dengan privacy tinggi seperti Australia, segala hal (termasuk bebenah kopor) lazimnya dikerjakan sendiri.

Bagaimana pun, kita bisa menduga, kelak begitu Corby bebas, ia bakal menulis lebih banyak lagi –dan namanya kian moncer, sementara nama Indonesia dan Bali sendiri bisa makin tercemar.

Maka tak heran bila ahli hukum mengingatkan agar hadiah grasi itu jangan sampai memberi kesan Indonesia lemah terhadap Australia.


Pakar hukum internasional UI, Hikmahanto Juwana, misalnya, menyarankan agar Presiden tidak boleh terlihat lemah di mata publik Indonesia setelah mengabulkan grasi itu.

“Ini mengingat publik Indonesia tahu bahwa Australia sudah menekan pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengupayakan perlindungan bagi Corby,” kata Hikmahanto. Oleh karena itu, Hikmahanto berharap Presiden SBY juga harus meminta Australia segera menyelesaikan sejumlah masalah hukum WNI yang ada di negara Kangguru itu. “Di sinilah Pemerintah SBY harus meminta kepada pemerintah Australia resiprositas atau timbal balik atas pengabulan grasi Corby,” katanya.

Repotnya, meski misalnya nanti pemerintah Indonesia bisa meminta perlakuan serupa (reciprocal) kepada pemerintah Australia, toh itu tidak menjamin publik Australia bisa menerimanya, karena publik di negara bebas seperti Australia sangatlah dominan suaranya sehingga pemerintah di sana pasti lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Sekarang saja, sebagaimana ditunjukkan lewat kasus Corby itu, kita melihat bahwa mungkin pemerintah Australia (yang sangat mendengarkan suara rakyatnya) telah meneruskan tekanan itu kepada pemerintah Indonesia, demi upaya perlindungan bagi Sang Ratu Ganja.


Namun Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr membantah telah menjalin kesepakatan dengan pihak Indonesia, bahwa grasi Corby diberikan sebagai pertukaran atas pembebasan tiga WNI dari tahanan Australia. Menurut Bob Carr, pembebasan tiga warga Indonesia itu tak lain karena mereka masih anak-anak.

Sejalan pernyataan Carr, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah mengatakan, grasi itu diberikan bukan karena kesepakatan khusus antara Indonesia dan Australia, melainkan ‘atas dasar pertimbangan kemanusiaan.’

Tetapi, orang kemudian bertanya, bila memang benar Corby bersalah seperti yang dituduhkan kepadanya, yang berarti ia turut berperan merusakkan moral dan kesehatan bangsa Indonesia, maka apakah sekitar lima juta anak bangsa korban narkoba tidak lebih perlu mendapatkan ‘pertimbangan kemanusiaan’?

Atau jangan-jangan Corby memang tidak bersalah, sebagaimana yang dikatakannya dalam film dan buku-bukunya, dan kita terlanjur menghukumnya?

Syafiq Basri Assegaff
Konsultan Komunikasi,
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta

INILAH.COM, 24 Mei 2012

Saturday, May 26, 2012

Neo-kolonialisme, Kepanjangan Tangan dari Imperialisme


Berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan menyerahnya Jerman kepada pihak Sekutu Barat -termasuk Uni Soviet- pada tahun 1945, telah memicu proses dekolonisasi di seluruh Dunia. Saat itu nampak ada tanda-tanda imperialisme akan segera berakhir. Namun setelah lebih dari setengah abad kemudian, negara-negara kaya ternyata tak mau melepaskan tanah jajahannya begitu saja. Mereka masih berupaya keras untuk terus terlibat di negara-negara berkembang yang kebanyakan masih miskin dan belum berpengalaman membangun negara.

Menurut para pengamat yang kritis, keterlibatan negara-negara kaya tersebut tak lebih dari wajah baru imperialisme. Operasi mereka di negara-negara berkembang sering menyamar sebagai bantuan pembangunan. Secara teoritis, sistem ini bisa disebut sebagai neo-kolonialisme. Intinya, negara-negara berkembang masih menjadi lahan eksploitasi negara-negara maju. Sebagaimana akan kita lihat, praktek neo-kolonial telah mengambil berbagai bentuk. Dalam hal ini yang paling jelas adalah kasus di Indonesia.


Kontrol ekonomi
Selama beberapa dekade, pilar paling utama “kontrol neo-kolonial” ditegakkan melalui keterlibatan ekonomi yang luas di negara berkembang. Pertama-tama, kebijakan ini dilakukan melalui “bantuan” keuangan yang ditawarkan. Sebagai imbalan atas dana dan investasi ini, negara-negara miskin dipaksa untuk mematuhi peraturan yang ketat. Peraturan ini kemudian mengikat ekonomi ‘negara lemah’, terutama negara-negara di Asia Tenggara dan Afrika. Akibat ikatan yang kuat bagi ‘negara lemah’ ini, tentu saja menempatkan mereka di bawah kontrol yang ketat dari negara-negara ekonomi kuat.

Indonesia, hingga saat ini, telah dan masih menumpuk utang luar negeri yang besar. Dan debitur utamanya adalah IMF, Bank Dunia dan Jepang. Sebagian besar utang luar negeri tersebut terjadi pada masa 30 tahun pemerintahan Suharto, yang dimulai pada tahun 1967. Sejak tahun 1967 dan seterusnya inilah, kebijakan ekonomi Indonesia menjadi sangat tergantung pada keputusan pihak asing.


Pihak asing yang merupakan negara-negara donor itu dikumpulkan dalam sebuah konsorsium yang dikenal sebagai Kelompok Antarpemerintah untuk Indonesia (IGGI), yang kemudian direformasi menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI), yang akhirnya dibubarkan pada tahun 2007. Konsorsium pemberi pinjaman ini terutama Barat, termasuk IMF, harus dimintai persetujuan ketika Indonesia mengajukan anggaran. Dan mereka juga menilai berapa banyak “bantuan” (pinjaman) yang akan disediakan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang lebih bagaikan hidup dalam penjara. Kondisi yang ketat bisa dilihat misalnya pada privatisasi paksa di berbagai sektor serta suku bunga pinjaman yang sangat tinggi yang harus ditanggung Indonesia.

Negara-negara kaya juga mulai membidik bahan baku bagi industri mereka dari banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Seperti halnya banyak negara berkembang lainnya, Indonesia sangat kaya akan minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, emas, dan lain-lain. Sebagian besar bahan baku itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara maju seperti AS. Sebagai imbalan bagi investasi asing yang masuk ke negara berkembang tersebut, para investor dari negara maju sering memperoleh hak monopoli untuk eksploitasi dan operasinya. Selain itu, skala besar eksploitasi bahan-bahan ini di Indonesia mengklaim lahan secara luas, masal dan dengan rentang waktu yang panjang, antara 50 hingga 100 tahun. Begitu pula yang terjadi di negara-negara miskin lainnya, sehingga mengancam mata pencaharian dan sumber kehidupan penduduk setempat.


Cara-cara lain eksploitasi
Selama dekade terakhir, investasi asing yang luas telah mencakup semua sektor di Indonesia. Tapi, ada cara baru untuk eksploitasi ekonomi yang muncul. Salah satu cara yang dikembangkan sebagai akibat dari krisis pangan dunia akhir-akhir ini adalah pembelian dan atau penyewaan lahan dengan waktu yang sangat panjang (kontrak karya). Berbagai negara kaya minyak mulai membeli sumber daya lahan dan pertanian di negara miskin, dengan maksud untuk mengamankan pasokan pangan mereka sendiri. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai ‘land grabbing’, kini lebih mengancam kehidupan para petani di Asia Tenggara dan Afrika.

Eksploitasi neo-kolonial tidak hanya beroperasi di bidang ekonomi atau pertanian, tetapi juga di bidang politik, agama, ideologi dan budaya. Sebagai akibat dari meningkatnya globalisasi, negara-negara menjadi lebih mudah dan lebih tunduk pada eksploitasi. Penyebaran budaya internasional (Barat) melalui globalisasi menjadi lebih memudahkan Barat untuk mendominasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kini sedang dan sudah berubah. Jumlah supermarket gaya Barat dan jaringan restoran cepat saji, misalnya, telah tumbuh sangat cepat hanya dalam beberapa tahun terakhir hingga jauh ke pelosok desa. Dengan pola konsumsi yang telah berubah ala Barat, pada akhirnya membuat sejumlah besar konsumen Indonesia lebih tergantung dari perusahaan multinasional Barat. Maka tidak mengherankan, bila neo-liberalisme dan globalisasi telah menjadi subyek perdebatan yang sangat tajam di Indonesia.


Pariwisata masal sebagai praktek neo-kolonial
Di antara sekian banyak cara neo-kolonialisme beroperasi, pariwisata masal juga harus disebutkan. Selain berbahaya karena terlihat nyata di depan mata, pariwisata masal di negara-negara ‘Dunia Ketiga’ memiliki karakter yang sangat eksploitatif. Alasan utamanya adalah terletak pada hubungan yang tidak setara antara wisatawan, yang secara ekonomi kaya dan dominan, dengan kepatuhan ‘lokal’ penduduk setempat yang umumnya miskin. Hal ini sering dianggap pula sebagai pihak ‘lain’ yang lebih inferior. Ketidaksetaraan ini dapat memiliki efek yang dramatis. Tidak hanya melalui sikap neo-kolonial mereka ketika berkeliling mengeksplorasi tujuan wisata, tetapi inilah bentuk eksploitasi fisik dan budaya yang sebenarnya.

Dua efek yang langsung bisa disebutkan di sini, yang pertama, pariwisata masal di Asia Tenggara menjadi lebih berkembang dan lebih terkait dengan pariwisata seks. Di Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, pariwisata telah berkembang menjadi industri besar. Terutama wanita, dan yang menyedihkan banyak juga anak-anak yang sering ‘dipaksa’ terlibat dalam industri seks. Kedua, di daerah tujuan wisata populer seperti Bali, pariwisata masal dengan cepat mengubah budaya lokal menjadi komoditas global. Dengan kondisi seperti ini dan dengan banyak cara lainnya, kebanyakan negara berkembang telah menjadi sangat tergantung dari segala macam keterlibatan asing. Inilah harga yang harus dibayar yang nampaknya terlalu mahal.


Orang kaya dan orang miskin
Puluhan tahun setelah dekolonisasi, kepanjangan tangan imperialisme nampaknya masih menggurita di sepenjuru dunia. Utamanya ke negara-negara miskin atau sedang berkembang. Orang kaya dari negara maju, masih akan dan terus berdatangan mengeksploitasi kaum miskin di bekas koloninya dan di negara-negara miskin lainnya.

Kenyataannya, hingga kini masa kolonial memang belum sepenuhnya berakhir. Dan, neo-kolonialisme sebagai kelanjutan dan kepanjangan tangan dari imperialisme memang tidak ditemukan dalam semalam. Sejarah mereka sudah demikian panjang dan tua. Jadi kekuasaan kolonial mungkin memang tidak akan pernah berakhir. Kecuali … bila ajal sudah menjemput mereka.

Sumber tulisan:
Ed Caffin,
[diedit seperlunya oleh pengunggah]
http://latitudes.nu/neo-colonialism-the-long-arm-of-imperialism/

Wednesday, May 23, 2012

Demokrasi Terjajah


Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk melembagakan sistem demokrasi sosial atau sosio-demokrasi. Dalam sistem demokrasi seperti itu, kedaulatan rakyat tidak hanya ditegakkan dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Bung Hatta pernah mengemukakan, “Jika di sebelah demokrasi politik belum terdapat demokrasi ekonomi, rakyat belum merdeka.”

Amanat melembagakan demokrasi ekonomi dijabarkan melalui ketiga ayat asli dalam Pasal 33 UUD 1945: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; serta (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun, sebagaimana berlangsung sejak 17 Agustus 1945, amanat melembagakan sistem demokrasi sosial itu terus-menerus ditentang pihak kolonial dan kaki tangannya. Dalam rangka itu, selama 67 tahun belakangan ini, pihak kolonial telah melancarkan berbagai subversi untuk menelikung amanat UUD 1945 itu.


Subversi Kolonial
Secara ringkas, rangkaian subversi yang dilakukan pihak kolonial menelikung pelembagaan sistem demokrasi sosial itu adalah: (1) melancarkan Agresi I dan II dalam tahun 1947-1948; (2) memaksakan tiga syarat ekonomi melalui penandatanganan kesepakatan KMB pada tahun 1949; (3) melakukan destabilisasi ekonomi-politik melalui pemberontakan PRRI/Permesta pasca-pembatalan KMB pada tahun 1956; (4) menyelundupkan beberapa ekonom Indonesia ke AS untuk mempelajari kapitalisme; (5) mendelegitimasi pemerintahan Soekarno melalui peristiwa G-30-S pasca-penerbitan UU No 16/1965; (6) memaksa Soekarno menandatangani UU No 7, 8, 9/1966 dan UU No 1/1967 demi memulihkan kesepakatan dalam KMB; (7) menyokong terbentuknya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner pada tahun 1967; (8) melakukan liberalisasi tahap pertama melalui pelaksanaan deregulasi dan debirokratisasi pada tahun 1982; (9) melakukan liberalisasi tahap kedua melalui penandatanganan LOI pada tahun 1998; serta (10) memulai proses legalisasi neokolonialisme melalui penerbitan beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan amanat UUD 1945.


Penjajahan Permanen
Di satu sisi, rangkaian subversi neokolonialisme itu tidak hanya berakibat pada terhalangnya proses pelembagaan sistem demokrasi sosial di Indonesia. Tindakan itu menjerumuskan bangsa ini ke dalam kondisi yang saya sebut sebagai keterjajahan permanen. Transformasi yang dialami Indonesia dalam 67 tahun sesungguhnya tidak lebih dari transformasi dari kolonialisme menuju neokolonialisme.

Di sisi lain, yang tampil mencolok pasca-penandatanganan LOI pada tahun 1998, adalah proses pelembagaan demokrasi di Indonesia yang melenceng ke arah pelembagaan sistem demokrasi liberal atau demokrasi korporasi.

Artinya, dalam era demokrasi terjajah seperti saat ini, yang terjadi tak lagi sekadar semakin dalamnya cengkeraman kapitalis asing di sini. Kekuatan kapital kini sudah menjadi faktor dominan dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi-politik di Tanah Air, baik dalam proses perebutan kekuasaan maupun dalam proses penyusunan perundang-undangan dan juga dalam perumusan kebijakan.


Menjongoskan Bangsa
Sejalan dengan itu, ketergantungan partai-partai politik dan pemangku kekuasaan terhadap sokongan kaum kapitalis semakin meningkat. Sebagaimana berlangsung di sejumlah negara yang melembagakan sistem demokrasi korporasi, maka fungsi partai politik di Indonesia cenderung berubah: dari penyalur aspirasi rakyat menjadi pembela kepentingan kapitalisme. Karena negara diurus para petinggi partai politik, fungsi negara pun turut berubah: dari memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi memajukan akumulasi kapital dan menjongoskan kehidupan bangsa.

Dengan latar belakang seperti itu, mudah dipahami jika berbagai kebijakan ekonomi-politik nasional cenderung bertentangan dengan aspirasi rakyat banyak. Hal itu tidak hanya tampak secara mencolok dalam penyelenggaraan sektor strategis, seperti keuangan dan pertambangan, tetapi sudah mulai menyelinap pula ke sektor-sektor yang selama ini menjadi tumpuan hidup rakyat banyak, seperti pertanian dan usaha kecil.

Akibatnya, ketergantungan terhadap impor berbagai kebutuhan pokok rakyat terus berlanjut dan meningkat. Bahkan, di negeri bahari yang terletak di lintasan khatulistiwa ini, pemenuhan kebutuhan garam industri dan garam rakyat pun harus didatangkan dari luar. Persoalannya bukan karena tak tersedia sumber daya untuk memenuhi kebutuhan itu, melainkan karena hal itu tak sejalan dengan kebutuhan melestarikan kolonialisme di negeri ini.


Harus Bangkit dan Bersatu
Pertanyaannya, tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk mengakhiri cengkeraman neokolonialisme yang disertai dengan pelembagaan sistem demokrasi korporasi tersebut? Secara normatif jawabannya sesungguhnya sudah dikemukakan oleh Pasal 33 UUD 1945. Persoalannya, bagaimana menjadikan pesan normatif itu menjadi sebuah kekuatan yang riil?

Jawaban praksisnya terletak pada pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat. Berbeda dari pengorganisasian rakyat melalui partai-partai politik atau elemen-elemen di bawahnya, pengorganisasian kekuatan ekonomi rakyat yang dilakukan untuk melawan neokolonialisme harus secara jelas ditujukan mencegah berlanjutnya ekspansi kapitalisme di negeri ini.

Musuh bersama kekuatan ekonomi rakyat yang terorganisasi bukanlah sesama pelaku ekonomi rakyat, melainkan jaringan kekuatan kapital yang mencengkeram negeri ini. Jadi, bagi siapa saja yang masih ingin bebas dari penjajahan neokolonialisme, maka kekuatan ekonomi rakyat harus bangkit dan bersatu!

Revrisond Baswir
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
KOMPAS, 21 Mei 2012

Tuesday, May 22, 2012

Perjudian Politik bagi Jokowi


"Keputusan maju dalam pilgub di DKI sesungguhnya perjudian politik karena jika gagal, kariernya di pemerintahan bakal berakhir."

Hasil terbaru survei Laboratorium FISIP Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang dilakukan di enam wilayah DKI (Jakarta Pusat, Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Kepulauan Seribu) yang diumumkan Rabu (2/5) menunjukkan popularitas pasangan cagub Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini meningkat pesat dalam dua bulan menjelang Pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 11 Juli nanti.

Padahal pada bulan sebelumnya, duet Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) selalu unggul dalam survei apa pun. Hasil survei Unas mengurutkan pasangan Hidayat-Didik (32,6 persen) di pucuk teratas, disusul Foke-Nara (30,9 persen), dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dengan 28,20 persen suara.


Tiga pasangan lainnya, yakni Alex Noerdin-Nono Sampono (Alex-Nono), Faisal Basri-Biem Benyamin (Faisal-Biem), dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria (Hendardji-Riza) tidak disebutkan karena hasilnya dianggap kurang signifikan. Jadi, kita bisa memperkirakan pilgub nanti sesungguhnya hanya pertarungan tiga pasang kandidat, meski diprediksi tak bisa satu putaran mengingat ada 6 pasang kandidat dengan syarat minimal memperoleh 50 persen suara plus 1.

Seandainya dua putaran, bisa diprediksi yang bakal maju adalah Foke-Nara versus Hidayat-Didik atau Foke-Nara melawan Jokowi-Ahok. Bahkan ada kemungkinan Foke-Nara bakal kalah bila para pendukung lima pasang cagub-cawagub bersatu mendukung pasangan Hidayat-Didik atau Jokowi-Ahok.

PKS sebagai basis dukungan massa dan mesin politik partai Hidayat cukup mengakar dan solid. Apalagi partai itu memenangi Pemilu 2009 di DKI, dan nama Hidayat sudah dikenal semasa menjadi Ketua MPR dan Presiden PKS. Foke, calon incumbent, juga memiliki infrastruktur politik kuat serta tingkat elektabilitas dan akseptabilitas tinggi. Dia dikenal sebagai birokrat senior pernah menjabat sekda, wagub, dan gubernur.


Kompleksitas Problem
Adapun Jokowi selain populer di media massa dan merakyat, ia memiliki keterampilan politik cukup tinggi, mampu menjalin komunikasi politik dengan baik, memiliki kemantapan stabilitas emosi, serta gaya kepemimpinan, penampilan fisik, dan integritas moral tinggi. Dia juga menjadi nominasi wali kota terbaik di dunia, versi The City Mayor Foundation.

Perebutan kursi DKI-1 makin menarik mengingat peta kekuatan politiknya selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, meski hanya berkutat pada tiga pasangan, yakni Hidayat-Didik, Foke-Nara, dan Jokowi-Ahok. Sebanyak 6,2 juta pemilih DKI menginginkan pemimpin yang bersih dari korupsi, memiliki loyalitas tinggi, dan berkomitmen kuat membela rakyat kecil.

Pilgub DKI menjadi tantangan berat bagi Jokowi, meski namanya dikenal luas, ia belum paham 100% kompleksitas utama persoalan Ibu Kota, seperti banjir, sampah, dan kemacetan. Belum masalah lainnya seperti persoalan transportasi, keamanan, premanisme, anak jalanan, kemiskinan, kekumuhan, urbanisasi, pengangguran, PKL, dan sebagainya.


Jokowi dianggap banyak pihak sukses memimpin Solo yang berpenduduk sekitar 0,5 juta jiwa dengan budaya Jawa yang santun, namun belum tentu bisa sukses memimpin Jakarta yang wilayahnya jauh lebih luas, dengan beragam budaya yang sangat heterogen, dan populasinya yang lebih dari 10 juta jiwa. Belum lagi pengelolaan APBD 2012 sebesar Rp 36,2 triliun, yang mayoritas habis untuk gaji, tunjangan, dan honor pegawai.

Idealnya, Jokowi bertarung di DKI tahun 2017 setelah menjajal Pilgub di Jateng 2013. Bila menang di Jateng dan sudah 4 tahun menjabat, bolehlah maju di Jakarta. Keputusan maju dalam pilgub di DKI sesungguhnya perjudian politik. Karena jika gagal, kariernya di pemerintahan bakal berakhir.

Sebaliknya jika berhasil, karier politiknya di tingkat nasional makin cemerlang, bahkan tidak mustahil bisa masuk bursa kabinet atau bahkan maju di Pilpres 2014.

Tjipto Subadi
Dosen Prodi Pendidikan Geografi FKIP dan Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

SUARA MERDEKA, 7 Mei 2012

Saturday, May 12, 2012

Politik Perbincangan dan Matinya Bahasa


Mencoba memahami lebih dalam tata laku penguasa dan politisi dalam perspektif kebudayaan hari ini kian mendekatkan saya pada kesimpulan bahwa tabiat politisi kita telah kian dekat ke arah katastrofe kemanusiaan: nilai-nilai manusia yang melekat pada dirinya sebagai makhluk beradab runtuh.

Kiamat kemanusiaan sedemikian mula-mula diniscayakan oleh matinya politik dan hukum. Matinya politik dan hukum terjadi ketika keduanya tak mampu mencapai tugas yang diembankan kepadanya: menata negara-bangsa dengan baik (politik) yang berfondasi pada keadilan hakiki atas nama kemanusiaan yang adil dan beradab (hukum).

Ilmu politik modern, sebagaimana jauh-jauh hari dikatakan Vaclav Havel (1992), kiranya telah melucuti subyek politisi sebagai manusia berhati nurani di satu sisi dan menjadikannya robot yang piawai mengelola kepentingan dengan menggunakan hukum sebagai alibi obyektivitas. Lihatlah, politisi yang diindikasikan korupsi atau melakukan kejahatan lain selalu mudah mengatakan, ”saya serahkan perkara kepada penegak hukum”, ”jangan intervensi hukum”, ”kita lihat saja faktanya di pengadilan”.


Alibi atas nama obyektivitas itu akhirnya bisa dilihat sebagai modus operandi yang mudah dibaca. Pernyataan seorang politikus teridentifikasi korupsi di ujung kamera televisi hanyalah sebuah rangkaian dalam narasi politik tanpa nurani yang akan bersambung pada narasi hukum yang buta terhadap keadilan. Bukankah kita terbiasa menyaksikan bahwa ”perkara yang telah diserahkan kepada penegak hukum” itu luar biasa membias.

Kini kita tak lagi melihat apa wujud ”fakta dalam persidangan”. Yang ada ”fakta yang telah disubyektivikasi oleh hukum kepentingan”, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Jadi, ruang sidang hanya tempat pembuangan akhir bagi sampah busuk politik yang telah mengendap di berbagai tempat kejadian perkara: di lembaga eksekutif dan legislatif, dan jangan-jangan KPK, juga hanya jadi tempat pembuangan sementara.



Politik Omong Kosong

Ketika situasi politik dan hukum telah sekarat, pada titik itulah bahasa mengalami kematian. Artinya, bahasa tak lagi memiliki kekuatan mengusung nilai keadaban manusia. Bahasa sudah sangat dikotori sehingga sebagai alat ia sudah macet, sementara sebagai entitas budaya yang semestinya dihormati telah menjadi sampah (disampahkan). Bahasa yang mati tidak lagi mengonstruksi pengetahuan, tetapi hanya menimbulkan kegaduhan.

Terjadi paradoks di sini: kematian bahasa terjadi bukan karena sudah tak ada lagi penuturnya, melainkan justru karena ia telah kelebihan tuturan. Jika bahasa ilmiah mengandaikan satu kalimat satu informasi (efektif), dalam bahasa yang mati, 1.000 kalimat hanyalah omong kosong.

Di dalam kematian bahasa sedemikian, aktivitas manusia terhenti pada perbincangan tak bermakna. Aktivitas politik dan hukum, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, hanya sebuah dagelan. Bahasa menjadi steril dari realitas dan karena itu hanya menjadi ”sengkarut linguistik” yang saling bertegangan, tetapi tak merujuk pada substansi.


Menarik jika situasi ini dianalogikan pada linguistik struktural Saussurian yang melihat makna bahasa hanya dibangun oleh relasi di dalam bahasa itu sendiri, bukan dengan sesuatu di luar dirinya. Kata kasar, misalnya, bermakna semata-mata terdapat kata lain yang berbunyi kasur dan kasir, demikian selanjutnya. Ini tampak berbanding lurus dengan situasi semacam ”perbincangan tentang Anas Urbaningrum diangkat hanya karena diinterpelasi Nazaruddin, Anggie menjadi tersangka semata-mata karena disebut Rosalina, Miranda Goeltom karena Nunun Nurbaeti”.

Semua relasi itu, sebagaimana kita saksikan, sejauh ini tak berpengaruh apa pun pada upaya penegakan hukum di satu sisi dan penyelesaian kasus korupsi itu sendiri di sisi lain. Semua berhenti sebagai ujaran, sebagai bahasa tak bermakna. Di luar itu, kematian bahasa tampak tengah terjadi pula di televisi. Berbagai perbincangan memperlihatkan bagaimana gosip politik diumbar nyaris ”tanpa batas”. Dalam acara ini kesantunan berbicara sering diabaikan. Seolah-olah ada kode etik jurnalistik bahwa seorang presenter bisa seenaknya memotong pembicaraan narasumber.

Pada kasus lain, perbincangan yang menghadirkan dua pihak berseberangan sering dibiarkan pula ”adu jotos bahasa” lengkap dengan segala unsur suprasegmentalnya. Alih-alih informasi utuh dan seimbang sebagai syarat pemberitaan tersampaikan, yang terjadi malah bias informasi, bahkan mempertontonkan ketidakadaban berbahasa.


Bagaimanakah agar bahasa kembali dihidupkan? Dalam konteks matinya politik, kiranya pernyataan John F Kennedy layak diingat kembali: ”Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan.” Bagi saya, pesan ini mula-mula bisa dibaca bahwa kebusukan politik dan kekuasaan meniscayakan kebusukan bahasa atau kebusukan politik tampak dari bagaimana bahasa digunakan (dimatikan). Puisi itu sendiri per definisi adalah penggunaan bahasa (Wellek dan Warren, 1949) —tentu saja yang estetik dan karenanya bertenaga.

Dalam puisi, kata Chairil Anwar, makna harus digali hingga ke akar kata. Sebab itulah, Kennedy berpendapat bahwa kebusukan politik (kematian bahasa) hanya bisa disembuhkan dengan kembali memberi roh pada bahasa. Namun, apakah kita bisa berharap pada ”politik perpuisian” hari ini? Dengan agak berat saya harus mengatakan, harapan itu sangat tipis. Dalam amatan saya, puisi (umumnya kesenian) kita hari ini terlalu asyik dengan diri sendiri. Sejumlah penyair dan seniman memang melakukan eksplorasi bahasa, tetapi lebih pada fungsi bahasa untuk bahasa (bandingkan dengan ”seni untuk seni” dalam modernisme).

Barangkali jalan puisi yang ditempuh Rendra atau Taufik Ismail (pada masa mudanya) tak pas untuk hari ini. Perlu dipikirkan dan ditempuh strategi bahasa puisi dan kesenian secara berbeda, yang mampu menggetarkan nurani publik dan kebebalan politikus busuk. Seiring dengan itu, kita harus selalu ingat: jika salah satu ciri yang membedakan manusia dengan binatang adalah bahasa, kematian bahasa meniscayakan kematian subyek manusia. Alih-alih berharap munculnya negarawan sebagai manusia setengah dewa, yang lahir justru penguasa dan politisi setengah binatang.

Acep Iwan Saidi,
Ketua Forum Studi Kebudayaan,
Fakultas Seni Rupa Dan Desain, ITB Bandung

KOMPAS, 28 April 2012

Wednesday, May 2, 2012

Politik Selembar Foto


Foto hitam-putih yang sudah kabur dan berbintik itu ada di hampir semua halaman buku ketika cerita sejarah sampai ke babak Pemberontakan Madiun 1948. Enam mayat menggelimpang dalam galian besar yang dangkal. Tali-tali tambang putih masih melilit leher dan tangan di belakang. Saling mengait satu dengan lainnya. Dan sesosok algojo yang mirip penggali kubur sedang memegang "benda" dengan dua tangannya. Di bawah foto itu kemudian diberi keterangan: “Korban-korban keganasan PKI Madiun”. Foto itu terdapat di buku 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945-1960 (1995: 177)

Selalu saja, untuk menunjukkan kekejaman PKI, foto inilah yang diajukan ke muka pembelajar sebagai satu-satunya saksi hidup yang mengutuk PKI dan gerombolannya. Foto ini nyaris suci dan terjaga dengan cara diproduksi dan reproduksi puluhan kali di puluhan buku ajar untuk mengukuhkan sejarah resmi penguasa. Selembar foto kutukan kepada kaum pembunuh yang amoral itu kini dipertanyakan. Bukan gugatan dengan deret ukur argumen, tapi menampilkan semua frame foto itu. Foto-foto itu terdapat di buku Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 275-282) karya Harry A. Poeze.


Dalam buku itu ditampilkan 10 frame foto. Rupanya, foto yang tampil sendiri selama puluhan tahun itu adalah rangkaian peristiwa. Itu adalah frame kesepuluh. Frame pertama, bagaimana manusia-manusia bernasib buruk dalam kubur massal itu diinterogasi di bawah todongan senjata laras panjang. Frame berikutnya, para tahanan itu diarak dari satu tempat ke tempat lainnya, disuruh menggali sumur matinya, kemudian ditembaki satu per satu. Yang belum mati dicincang bayonet dan kemudian diakhiri foto yang terdapat di buku-buku sejarah.

Di sinilah soalnya. Keterangan utama kesepuluh foto itu adalah bahwa korban-korban itu anggota PKI di Magetan, dan bukan korban kekejaman PKI. Lebih lanjut, tulis Harry Poeze, memang tak banyak foto yang menggambarkan kekejaman PKI dalam ofensi Madiun 1948. Selain 10 foto yang membatalkan ruang sadar kita yang diringkus selama puluhan tahun, ditampilkan juga lima foto pembantaian anggota PKI di alun-alun Magetan. Disaksikan ratusan warga, "algojo" PKI bernama Sipong itu dinaikkan di atas perancah tinggi. Tubuh bermandi darah itu kemudian dilempar, dan warga diberi hak mencincangnya sampai mati. Nyaris sama dengan frame kamera video adegan pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan petani Mesuji, Lampung.


Dari foto-foto itu, tahulah kita foto bukan sekadar pelengkap dari teks pada sebuah buku. Foto memiliki peran penting, bahkan boleh dibilang kuat-otonom. Dan yang pasti, foto menjadi saksi paling menggetarkan ketika sejarah sedang berlangsung. Bukan hanya foto "kekejaman PKI" yang punya takdir seorang diri maju ke hadapan mahkamah sejarah memberi pendapat visual pada sebuah peristiwa penting. Contoh lain adalah foto pembacaan teks Proklamasi dan pengibaran bendera Sang Saka di Pegangsaan Timur, Jakarta, dari Mendur Bersaudara. Dua lembar foto dan hanya dua-duanya di dunia yang menggambarkan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa sakral politik itu. Tentu yang mencengangkan adalah selembar foto saat Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman berpelukan di serambi Gedung Agung Yogyakarta pada 10 Juli 1949.


Foto itu ingin memperlihatkan kepada rakyat bagaimana mesra dan akurnya pemimpin politik dan militer yang sebelum-sebelumnya mengalami keretakan yang hebat karena perbedaan strategi: diplomasi atau perang. Peristiwa itu adalah "politik foto" karena tak terjadi begitu saja. Soekarno-lah yang menjadi sutradara mengatur pose berpelukan itu. Bahkan beberapa kali fotografer diminta Soekarno mengulang mengambil gambar ketika ia merasa kurang tepat.

Foto pun menjadi drama politik. Ia tak netral. Bisa diatur untuk kepentingan apa pun. Ketika ada peristiwa penting, dan Saudara masuk dalam frame, pastilah Saudara bernasib mujur atau malah buntung. Mujur, jika foto itu seperti peristiwa pembacaan teks Proklamasi. Tapi nasib buntung dan menerbitkan waswas ketika peristiwa dalam foto itu adalah hal yang tak disukai penguasa (baca: tentara).


Demikian itulah yang digambarkan Milan Kundera di halaman pertama bukunya yang terkenal: Kitab Lupa dan Gelak Tawa (terbit pertama kali 1978). Februari 1948, pemimpin Komunis Clement Gottwald melangkah keluar menuju balkon sebuah istana Baroque di Praha untuk berpidato. Salah satu pengapit Gottwald, Clementis, menanggalkan topi bulunya buat Sang Ketua karena salju lebat turun. Foto terkenal itu disebarkan ribuan kopi karena dipakai sebagai patok sejarah: di atas balkon itulah Partai Komunis lahir.

Empat tahun kemudian Clementis dituduh berkhianat dan digantung. Foto Clementis yang sudah kadung tercetak di foto bersejarah itu, oleh seksi propaganda partai, segera dihapus. Hasil cropping itu: Gottwald sendiri berdiri di balkon. Satu-satunya yang tersisa dari Clementis hanyalah topi yang terpacak di kepala Gottwald. Peristiwa “foto politik” itulah yang melatari munculnya kutipan paling terkenal dari Kundera: “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.”

Muhidin M Dahlan,
Penulis Trilogi Lekra Tak Membakar Buku
Koran TEMPO, 10 Maret 2012