Thursday, December 16, 2010

WikiLeaks dan Diplomasi


Pembocoran informasi rahasia oleh situs WikiLeaks telah membuat wajah Amerika Serikat merah padam.

Kita tak habis pikir, kok bisa dokumen berklasifikasi rahasia jatuh ke tangan pihak yang tidak punya kewenangan. Kalau saja dokumen tersebut milik negara yang tidak canggih dalam penanganan informasi, hal itu mudah dimengerti. Namun, bukankah yang mengalami kebocoran informasi adalah negara maju dalam teknologi informasi?

Dari kawat diplomatik antara kedutaan AS di sejumlah negara dan Washington, dunia mengerti apa penilaian diplomat AS tentang pemimpin dunia, yang banyak di antaranya merupakan sahabat AS. Ada komentar tentang kanselir Jerman, presiden Perancis, dan mantan pemimpin Inggris. Kalau hanya komentar tentang pemimpin, di negara demokrasi itu hal umum. Yang menghebohkan adalah pengungkapan bahwa pemimpin negara Arab mengimbau AS untuk menyerang Iran guna menghentikan program nuklirnya.


Kita bisa melihat, dalam soal menilai pemimpin, yang jadi kikuk adalah AS, sedangkan untuk soal Iran, tak disangsikan lagi yang terbongkar adalah sikap politik negara-negara Arab. Negara Arab sahabat AS memilih tidak mengomentari isi informasi yang dibocorkan ini. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan, ia percaya hubungan diplomatik AS dengan negara yang disebut bisa menahan keguncangan yang terjadi.

Di luar reaksi yang muncul, baik dari negara yang pemimpinnya disebut-sebut dalam kawat maupun dari AS sendiri, pengamat diplomasi bisa melihat dan membandingkan, apa yang disampaikan dalam diplomasi, dan apa yang sebenarnya menjadi isi hati.

Untuk negara Arab, ternyata apa yang diungkapkan di belakang layar berlainan dengan apa yang disampaikan di forum. Seperti dikutip International Herald Tribune, mana berani negara-negara Arab menyampaikan imbauan kepada AS untuk menyerang Iran.


Hal lain yang dapat kita simak dari pembocoran oleh WikiLeaks ini adalah kuatnya visi Julian Assange, pendiri dan pemimpin redaksi situs yang amat masyhur di dunia ini. Kita bisa mengatakan, sungguh berani dia, padahal AS sudah memperingatkan sebelum pembocoran dilakukan.

Kita catat juga misi WikiLeaks, membocorkan informasi rahasia dilakukan untuk memerangi korupsi pemerintah dan korporasi. Itulah keterbukaan yang berani. Kita juga bisa mencatat, ternyata di balik berbagai informasi yang kita tahu, sebenarnya masih ada banyak lagi informasi yang kita tidak tahu, dan boleh jadi maknanya bertolak belakang dari yang kita dengar di ruang publik.

Dalam kaitan ini, kearifan yang bisa kita tangkap adalah di era informasi yang penuh liku dan jebakan, kita tak bisa begitu saja larut dalam kelimpahan informasi. Rupanya tetap —atau bahkan semakin— dibutuhkan kewaspadaan tersendiri. Selain itu, rupanya diperlukan juga komunikasi lebih jujur dan tulus, bahkan di antara pihak yang tergolong sahabat sekalipun.

Tajuk Rencana KOMPAS
http://cetak.kompas.com/read/2010/12/02/02551391/tajuk.rencana


Perang WikiLeaks Memanas

Para pendukung WikiLeaks terus mengobarkan perang data di internet dengan menyerang situs pihak-pihak yang dianggap anti-WikiLeaks. Sementara WikiLeaks terus membocorkan kawat rahasia yang menunjukkan rasa superioritas AS terhadap negara-negara lain.

Situs perusahaan kartu kredit Visa cabang Eropa (www.visaeurope.com) dan situs resmi Pemerintah Swedia (www.regeringen.se) menjadi sasaran terbaru kelompok aktivis peretas (hacktivist) bernama Anonymous.

Harian Aftonbladet di Swedia melaporkan, situs regeringen.se mati beberapa jam dari Rabu tengah malam hingga Kamis (9/12) dini hari. Sementara situs visaeurope.com masih belum bisa diakses dari Jakarta hingga Kamis petang.

Sebelumnya, kelompok hacktivist yang sama juga menyerang blog lembaga layanan keuangan ThePayPalBlog.com, situs bank PostFinance di Swiss, situs kantor jaksa penuntut Swedia, situs kantor pengacara dua wanita Swedia yang melaporkan pendiri WikiLeaks Julian Assange dalam kasus pelecehan seksual, dan situs dua politisi AS penentang WikiLeaks, yakni Sarah Palin dan Senator Joe Lieberman.


Anonymous mengincar perusahaan-perusahaan yang telah memutuskan, dengan alasan apa pun, untuk tak berurusan lagi dengan WikiLeaks,” ungkap juru bicara Anonymous berjuluk Coldblood dalam wawancara dengan BBC Radio 4.

Coldblood mengatakan, Anonymous telah merekrut sedikitnya 4.000 peretas di seluruh dunia, yang siap menyerang pihak-pihak yang memiliki ”agenda anti-WikiLeaks” dalam sebuah gerakan yang dinamakan Operation Payback (Operasi Balas Dendam).

Kami berusaha menjaga internet tetap bebas dan terbuka, tetapi beberapa tahun belakangan pemerintah (berbagai negara) mencoba membatasi kebebasan itu. Situs web yang tunduk pada kemauan pemerintah akan menjadi sasaran kami,” kata dia.


Superioritas AS
Bocoran terbaru dari WikiLeaks makin menunjukkan AS merasa superior terhadap negara lain dan bisa bertindak sewenang-wenang kepada siapa pun.

Dalam sebuah kawat tertanggal Februari 2007, AS meminta Jerman tak menangkap dan menahan 13 agen CIA yang terlibat kasus salah tangkap seorang warga negara Jerman, Khaled-el-Masri, pada 2003. Masri dituduh sebagai anggota Al Qaeda dan disiksa lima bulan di sebuah penjara rahasia di Afganistan sebelum dibebaskan.

Dalam kawat tersebut, AS mengancam apabila Jerman jadi menangkap para agen CIA itu, hubungan Jerman-AS akan terganggu. Jerman akhirnya membatalkan surat perintah penahanan terhadap mereka.


Dalam kawat lain tertanggal 23 Februari 2010, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Afrika Johnnie Carson menyebut China sebagai ”kompetitor ekonomi yang sangat agresif, jahat, dan tak bermoral” dalam sebuah pertemuan dengan para eksekutif perusahaan minyak di Nigeria.

Lebih dari 1.600 perusahaan China menanam investasi senilai 1,44 miliar dollar AS di Afrika pada 2009. ”China berada di Afrika untuk (kepentingan) China sendiri,” cetus Carson.

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/10/04264433/perang.wikileaks.memanas


Dari Gosip sampai "Bukan Rahasia"

Masih berpikir Amerika Serikat adalah negara bebas yang menjunjung tinggi kemerdekaan pers, kebebasan mendapatkan informasi, dan bisa memisahkan urusan negara dengan ranah pribadi? Jika masih, berpikirlah ulang ....

Badan-badan pemerintah federal AS telah mengeluarkan peringatan, setiap pegawai negeri di negara itu yang membaca bocoran dokumen kawat diplomatik rahasia di WikiLeaks bisa dipecat dari pekerjaannya.

Salah satu badan pemerintah itu adalah Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih. Kantor tersebut mengirim memo berisi larangan kepada setiap pegawainya yang tak punya otorisasi dan seluruh rekanan untuk membaca dokumen rahasia di situs WikiLeaks maupun situs apa pun, baik di komputer milik pemerintah maupun komputer pribadi mereka.


Belakangan beredar surat elektronik yang berisi peringatan, pelajar dan mahasiswa yang ketahuan membaca dokumen rahasia di WikiLeaks, sekadar memasang link menuju dokumen itu atau mengomentari isinya di situs jejaring sosial bisa terancam tak akan diterima bekerja sebagai pegawai negeri di AS.

Pemerintah AS berpendapat, dokumen-dokumen tersebut masih berstatus rahasia meski sudah beredar luas di internet maupun dimuat di media massa. ”Jadi, membaca, menyebarkan, atau sekadar mengomentari dokumen-dokumen itu bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap Executive Order 13526 tentang Informasi Keamanan Nasional Rahasia,” tutur Maura Kelly, asisten dekan bidang pengembangan karier di Boston University.

Padahal, isi dokumen yang dikategorikan rahasia, yang bocor di WikiLeaks, itu banyak yang sekadar berisi gosip macam di arisan ibu-ibu, seperti mengomentari kepribadian dan kebiasaan orang sampai jenis hidangan yang disajikan dalam pesta pernikahan.


Salah satu kabel, misalnya, mengomentari pemimpin Libya Moammar Khadafy yang selalu didampingi perawat ”bahenol” dari Ukraina. Presiden Turkmenistan disebut ”tidak terlalu cerdas” dan ”pembohong terlatih”, yang konon pernah mengharuskan setiap orang yang masuk ke ruangannya memakai celana yang tersetrika licin.

Dalam kawat lain yang dikutip majalah The Economist, seorang diplomat menggambarkan pesta pernikahan yang dihadiri Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov di kawasan Kaukasus Utara, Rusia. Hidangan dalam pesta itu digambarkan sebagai ”potongan-potongan sapi dan kambing” yang direbus jadi satu di sebuah kuali besar.

Laporan kuliner lain datang saat Duta Besar AS untuk Eritrea Ronald McMullen diundang piknik makan siang oleh seorang pejabat senior negara di Afrika itu. ”Bapak Duta Besar dan ibu disuguhi jeroan kambing bakar yang diberi madu dan saus pedas (tetapi disajikan tanpa sendok garpu) dan dilumuri minuman tradisional yang semi difermentasi dan rasanya asam, namanya ’sewa’,” demikian bunyi kawat diplomatik itu.


Banyak juga yang berisi informasi yang sudah diketahui publik atau bahkan dicomot dari koran atau majalah umum. Salah satu dokumen berlabel rahasia (baru boleh dipublikasikan tahun 2019) hanya berisi informasi bahwa Kanada adalah teman setia AS dan bahwa politisi Partai Konservatif di Inggris tidak rukun dengan politisi dari Partai Liberal Demokrat. Sesuatu yang sudah lazim diketahui semua orang.

Ada pula satu kawat dari Kedubes AS di Ankara, Turki, yang seluruh paragrafnya diberi tanda ”bukan rahasia”, tetapi dokumennya sendiri secara utuh dilabeli ”rahasia”.

Aneh bukan?

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/10/04272156/dari.gosip.sampai.bukan.rahasia

Thursday, December 2, 2010

Perang Kurs dan Prospek Rupiah


Perekonomian dunia kini dicekam oleh perang kurs —atau perang mata uang (currency wars)— yang melibatkan para raksasa ekonomi Amerika Serikat, China, Zona Euro, Jepang, dan Korea Selatan. Jika tidak dikendalikan, hal ini akan menjerumuskan kembali perekonomian dunia ke jurang resesi berikutnya (double dip recession). Bagaimana dampak perang kurs terhadap rupiah dan perekonomian kita?

Sangat bisa dimengerti jika AS akhir-akhir ini gusar terhadap China. Pada Agustus 2010, AS mencatat rekor defisit perdagangan terbesar terhadap China, mencapai 28 miliar dollar AS. Dengan demikian, dalam 12 bulan ini, defisit terhadap China sebesar 250 miliar dollar AS. Secara total, defisit AS terhadap seluruh dunia kini 632 miliar dollar AS. Ini fantastis, yang mau tidak mau harus ditekan.

Bahwa AS mengalami defisit perdagangan, ini merupakan keniscayaan. Sudah cukup lama AS menderita ”defisit kembar”, yakni defisit perdagangan dan defisit anggaran pemerintah. Meski AS kini masih tetap berstatus negara dengan kekuatan ekonomi terbesar (PDB-nya sekitar 15 triliun dollar AS), perekonomiannya sudah digerogoti oleh negara-negara lain, terutama China dan Jepang (PDB masing-masing 5 triliun dollar AS).

Pada dasawarsa 1930-an, ekonom Jepang, Kaname Akamatsu, meramalkan fenomena flying geese, yakni kawasan Asia akan menjadi semacam sayap dalam formasi ”angsa terbang”. Maksudnya, perekonomian AS pada suatu titik tertentu akan kejenuhan. Pertumbuhan ekonominya sulit dipacu lagi. Perdagangan AS kalah dengan negara-negara lain yang lebih unggul secara komparatif dan kompetitif.


Investasi di AS juga kian tidak efisien, seiring dengan mahalnya upah tenaga kerja. Karena itu, banyak industri yang direlokasi ke Asia yang kaya penduduk dan sumber daya alam. Jepang merupakan negara terdepan dalam formasi ”angsa terbang” ini, disusul ”empat macan Asia” (Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura), lalu ”macan kloter kedua” (Thailand, Indonesia, dan Malaysia), serta kini China dan India.

Jadi, dengan atau tanpa perang kurs, sesungguhnya AS sudah amat menyadari bahwa daya saing produknya kalah dibandingkan kawasan Asia, terutama China. Namun, di sisi lain, AS juga mencium gelagat China yang sengaja memperlemah mata uangnya, yuan, agar daya saingnya lebih hebat lagi.

Dengan perekonomian yang selalu tumbuh double digit serta punya cadangan devisa terbesar di dunia (sekitar 2,5 triliun dollar AS), mestinya kepercayaan pada yuan sangat tinggi. Majalah Newsweek (18 Oktober 2010 dan 8 November 2010) melaporkan, merek mode terkenal, Louis Vuitton, Hermes, dan Fendi, serta mobil mewah Mercedes Benz dan BMW kini beramai-ramai menyerbu China. ”China terlalu kaya”, tulisnya.

Konsekuensinya, permintaan atas yuan juga kian besar sehingga mestinya menguat tajam. Ternyata tidak terjadi. Memang yuan menguat, dari 8 yuan (2005) menjadi 6,8 yuan per dollar AS (2010), tetapi belum sebesar ekspektasi mekanisme pasar.


Patut diduga, Pemerintah China sengaja menahan yuan agar tidak terlalu kuat. Caranya? Dengan cerdik (atau nakal?) mereka tidak membiarkan yuan menjadi mata uang global. Hal serupa pernah dilakukan Jepang ketika mereka menolak penggunaan yen dalam transaksi internasional, agar yen tidak menguat (yendaka) berlebihan, pada dasawarsa tahun 1990-an.

AS mulai frustrasi karena berbagai persuasinya pada China selalu kandas. Kini muncul jurus baru yang sebenarnya tidak lazim, yaitu AS sengaja mencetak uang sebanyak 600 miliar dollar. Kurs dollar AS akan merosot. Inilah esensi perang kurs dewasa ini: China tidak mau merevaluasi yuan sesuai mekanisme pasar, sedangkan AS menambah pasokan dollar agar kursnya melemah.

Ekonom terkenal Jagdish Bhagwati dari Columbia University, New York, khawatir atas kurs yuan terlalu dilebih-lebihkan. Namun, sebaliknya, pencetakan uang oleh Fed yang merupakan bagian dari kebijakan moneter AS mestinya tidak usah dikomplain Pemerintah China (Newsweek, 15 November). Sedangkan Menteri Keuangan AS Timothy Geithner malah mengatakan, perang kurs tidak membawa dampak negatif terhadap negara-negara lain.

Saya tidak sependapat. Jika perang kurs terus terjadi, dollar AS akan melemah dan rupiah akan terus menguat. Dalam teori penentuan kurs, ada dua hal yang perlu dicapai. Pertama, kurs seyogianya mencerminkan kredibilitas perekonomian suatu negara. Berarti, kurs yang baik adalah cenderung kuat.

Namun, harus juga dipertimbangkan hal kedua, yakni kurs yang baik adalah yang dapat mendukung daya saing produk-produk negara itu di pasar global. Artinya, kurs yang terlalu kuat justru tidak baik karena akan mengganggu daya saing.


Jadi, ke depan akan kita saksikan demonstrasi negara-negara maju yang seperti berlomba memperlemah mata uangnya masing-masing demi mencapai posisi neraca perdagangan yang lebih baik. Bagi AS, kepentingannya adalah menurunkan defisit perdagangan, terutama terhadap China.

Maka, Bank Indonesia harus menghitung, sampai level berapa rupiah diizinkan menguat. Memang ada manfaat penguatan rupiah, misalnya bagi produsen yang mengimpor mesin atau barang modal. Biaya produksi bisa ditekan, yang juga akan menekan inflasi. Karena faktor inilah saya yakin inflasi kita bisa di bawah 6 persen tahun 2011.

Namun, rupiah yang terlalu kuat juga akan merangsang masyarakat berbelanja barang impor dan bepergian ke luar negeri, yang bisa menguras cadangan devisa yang kini mencapai rekor 92 miliar dollar AS.

Pasca-kegagalan lobi AS terhadap China, pelemahan kurs mata uang negara-negara kunci akan menjadi tren tahun 2011. Ini memerlukan peningkatan kewaspadaan BI pada gejala penguatan rupiah. Saya yakin, perekonomian Indonesia akan sehat apabila rupiah dijaga pada kisaran sempit Rp 9.000 - Rp 9.200 per dollar AS.

A Tony Prasetiantono,
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/22/05103983/perang.kurs.dan.prospek.rupiah