Monday, September 27, 2010

Nama, atau Mengapa Juliet Salah

Romeo and Juliet karya William Shakespeare

Sebuah klise: What is in a name?

Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597, kata-kata itu diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap kali orang kerepotan karena soal nama, dikutiplah Juliet (atau persisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun Capulet dan Montague bermusuhan.

What's Montague? It is nor hand, nor foot, Nor arm, nor face, nor any other part Belonging to a man.

Nama, buat Juliet, hanya tempelan. Nama bukan tangan, kaki, lengan, atau wajah. Romeo, doff thy name!, katanya kepada sang pacar agar menanggalkan tempelan itu. Juliet sedang mabuk kepayang. Baginya cintanya tak akan buyar kalaupun Romeo Montague menamakan diri "Johny Puyol."

Tapi klise terjadi karena repetisi dan, dalam hal ini, repetisi terjadi karena ternyata orang berkali-kali dibikin repot oleh nama. Romeo and Juliet jadi sebuah tragedi (yang dikenang terus selama hampir 500 tahun) justru karena Juliet salah berteori; ia tak tahu ada banyak hal yang terdapat dalam sebuah nama.

Terutama di Indonesia. Di negeri ini, pemberian nama adalah sebuah kehebohan. Di masa kecil, Bung Karno diganti namanya dari "Kusno" jadi "Sukarno". Ayahnya berharap anak laki-laki itu tak akan sakit-sakitan lagi. Malah dengan nama baru itu ia diharapkan akan seperti Karna, tokoh cerita wayang itu. Menurut penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna seorang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si anak.

Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan sekedar tempelan. Nama punya daya performatif.

Ya, Juliet salah.

Bung Karno diganti namanya dari "Kusno" jadi "Sukarno"

Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak sembarangan memberi nama anaknya. Yang laki-laki: "Guntur", "Guruh", Taufan" -- kata-kata yang punya daya sugestif tentang kedahsyatan alam. Yang perempuan: "Mega" dan "Sukma". Kedua kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut. Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi penting: "Guntur" dan "guruh" dipilih karena lebih bagus terdengar ketimbang "gledek". Bung Karno & segenap bangsa Indonesia akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang anak bernama "Gledek Sukarnoputra".

Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat (dan sifat) orang tua ketimbang nasib si anak. "Guntur", "Guruh", "Taufan", "Mega" menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-hal yang sublim, yang tak statis, dan terkait dengan langit.

Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa di Jawa Tengah yang miskin - melihat ke arah lain. Nama anak + cucunya dipinjamnya dari benda sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril ("paku rel kereta api"), Lugut ("miang pada bambu"), Drejeg Lalang ("umbi alang-alang"). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.

Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin ini bagian dari kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi dewasa dan mandiri, seorang anak Indonesia mengubah namanya yang ia rasakan tak cocok lagi buat dirinya: Yapi Panda Abdiel Tambajong jadi "Remy Sylado", sastrawan tenar. Almarhum wartawan Budiman S. Hartojo lahir sebagai Munawir. Apalagi di Jawa Tengah: orang lazim meninggalkan nama muda dan memakai jeneng tuwa: Harjowiryo, dulu Sukidi.

Yapi Panda Abdiel Tambajong alias "Remy Sylado"

Nama, dengan demikian, sebuah pengukuhan diri dan penanda transisi.

Tapi yang ditandai tak hanya transisi pribadi. Indonesia pernah menyaksikan politik penamaan bergerak dalam skala besar - satu bukti bahwa bahasa, yang punya kekuasaan atas diri kita, juga terlibat dengan benturan kekuasaan di masyarakat luas. Untuk memperkuat ke-Indonesia-an, elite politik mendesak orang Indonesia keturunan Cina mengubah namanya agar tak terasa "Cina" lagi. Peng-Indonesia-an juga ditujukan ke yang lain. Bung Karno memberi nama baru kepada bintang film Lientje Tambayong - karena bunyi "tje" itu adalah warisan Belanda - dan jadilah "Rima Melati."

Politik penamaan bisa dilakukan berbeda. Di Jawa, nama menunjukkan kelas: "Suryo Sumirat" nama khas bangsawan; "Paidin," "Kromo" umumnya petani. Sebagai satu sikap politik, para tokoh PKI menyebut diri seperti kaum bawah itu: Njoto, Njono, Rewang. Njoto dan Njono tak memakai sebutan "Su-," karena sering yang pakai "Su" di awal namanya adalah priyayi.

Tapi akan salah untuk menyimpulkan bahwa kita selalu memberi bobot politik pada sebuah nama. Orang Tapanuli tak jarang memberi nama anak dengan hal yang tak luar biasa: "Radio", "Kantor", "Sutradara", misalnya. Di Jawa Barat, ada ayah yang memberi nama mirip merk mobil: "Fia Fiati" atau "Honda Impalawati."

Nama juga dipakai untuk pengingat-ingat. Seorang pelukis Bali menamai anaknya "I Made Waikiki", diambil dari nama Pantai Waikiki, Honolulu. Anak peremuan itu lahir ketika sang ayah berpameran di Hawaii. Ada yang bernama "Amagapa": untuk mengingat kapal Amagapa yang membawa ayah ibu ke Manado. Ada "Delanov": ia lahir 8 November. Ada "Ampeno Herlino". Artinya, "Ampek Nopember Hari Lahirnyo" (dia orang Minang).

Jika kita amati, sumber yang dipakai untuk menemukan nama di Indonesia tak terbatas ragamnya. Bisa pangkat militer: "Kapten", "Letnan", atau tokoh sejarah: "Gandhi", "Kennedy", "Mussolini".

Mahatma Gandhi, John F Kennedy, Benito Mussolini

Ada juga judul buku. Saya beri nama anak saya pertama "Hidayat Jati". Seorang teman di Amerika bertanya apa maksud kata-kata itu. Saya jawab, saya tak tahu; saya cuma mengambilnya dari judul buku Ronggowarsito, sastrawan Jawa abad ke-19. Teman saya terbelalak: "Kamu sampai hati menamai anakmu seperti judul buku?" (Dia pasti tak akan memberi nama anaknya "Gone With the Wind").

Tapi orang Indonesia tak mudah terbelalak dalam soal ini. S. Prinka almarhum, desainer grafis Majalah TEMPO, mendapatkan namanya dari akronim: "Prinka" adalah "Perjuangan Republik Indonesia Merdeka"; maklumlah, ayahnya seorang perwira polisi di masa revolusi. Teman saya, Choki Sapta Wanusi, hasil akronim yang lain: "Sapta" berarti "tujuh", dan "Wanusi" dari "Pahlawan Revolusi". Bisa diperkirakan ia lahir kapan.

Begitu beragamnya sumber yang dipakai, hingga terkadang sulit kita melacak "etimologi" sebuah nama Indonesia. Ada seorang yang punya nama "Marmorita-rita stell taurantia gutata". Saya tak tahu apa artinya dan kenapa dipilih. Tampaknya ada semacam anggapan, dahsyatnya nama tergantung dari panjangnya. Misalnya (ini benar-benar ada): "Buyung Abdurahman Nanda Aria Megat Sambat Elang di Laut." Orang tak perlu cemas bagaimana memanggilnya. Toh akhirnya si anak cuma dipanggil dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Si Marmorita-rita stell taurantia gutata, misalnya, dipanggil "Muning".

Tapi nama juga bisa dipilih tanpa mau terdengar dahsyat, bahkan tanpa ornamen. Ada anak yang dinamai "Disiplin Pribadi" (dipanggil "Ipin"). Penyanyi Melly Goeslow dan suaminya Anto Hoed punya anak yang mereka beri nama yang lugas: "Anakku Lelaki".

Lucu? Bagi saya, charming. Dalam hal menciptakan nama, saya kira bangsa Indonesia paling inovatif, dan paling bebas, di dunia. Dan dalam suasana jengkel kepada Malaysia kini, saya bisa menghibur anda bahwa kita lebih kaya dalam perkara ini. Di Malaysia, variasi nama Melayu tak jauh beranjak dari Anwar, Badawi, Harun, Muhammad, Musa ....

Sebenarnya Malaysia tak aneh. Di Amerika, Eropa, dan dunia selebihnya, yang ada hanya varian nama baptis yang itu-itu juga: John, Paul, Tom, James, William. Di Amerika bisa disusun buku pedoman memberi nama bayi. Di Indonesia itu mustahil.

Ayu Utami pengarang novel "Saman"

Maka bagi orang Amerika & Eropa, nama-nama Indonesia membingungkan. Ada satu pasangan Jerman yang memberi nama bayinya "Lilian Ayu". Ketika didaftarkan untuk administrasi penduduk, si petugas tak mau menerima; "ayu" itu bukan nama, katanya. Tak menyerah, si ayah pun membeli novel Saman, dengan foto Ayu Utami di sampul. Buku itu ditunjukkan ke sang birokrat. Baru ia tahu, "Ayu" bukan sayur-mayur.

Kebingungan yang lebih terkenal menyangkut apa yang disebut surname. Umumnya di Indonesia orang tak memakai "family name" - atau tak ada ketentuan yang pasti tentang itu. Ketika Ahmad Sahal mendaftarkan anaknya, Sri Mulyani, ke sebuah sekolah di Inggris, ia dipanggil "Mr. Mulyani". Orang Inggris tak tahu, di Indonesia, orang tak selalu mengikuti nama suami atau ayah.

Kita sering repot tentang itu, tapi sebenarnya kita bisa bangga. Sebab diam-diam di sini tersirat pengakuan bahwa tiap orang tak mesti tergantung identitasnya dari kepala rumah tangga.

Qori Sandioriva, misalnya. Ia muncul sebagai dirinya, Miss Indonesia Universe 2010, bukan sebagai anggota sebuah keluarga; "Sandioriva" itu "Qori". Bukan wakil sebuah puak. Dari nama itu, tak tampak dari "suku" apa atau dari agama apa dia. Ia wakil Indonesia.

Sebagaimana Rima Melati. Bung Karno telah meneladani ke-Indonesia-an dengan memilih nama itu, sebagaimana ia memberi nama putrinya "Megawati", bukan "Waljinah". Bung Karno menghindari nama yang tipikal Jawa (atau kelompok suku dan etnis lain), dan dengan demikian menunjukkan: tanahair ini bukan hanya multi-kultural, melainkan "inter-kultural".

Jika di Malaysia atau Singapura ada garis yang jelas antara "Harun" dan "Stephen", di Indonesia kita bisa bersua dengan "Stephen Harun" dalam diri satu orang. Jika di Semenanjung Muhammad Ali pasti orang yang masuk dalam kategori Melayu, di sini belum tentu. Tigapuluh tahun yang lalu seorang teman punya kenalan bernama Muhammad Islam. Agamanya Kristen.

Juliet salah, tapi ada bagusnya dia bertanya., What is in a name? Sebab ternyata banyak cerita dalam sepotong nama. Terutama jika kita tak anggap nama sebagai tanda identitas yang mengungkung, melainkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pribadi-pribadi. Merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpunan. Bukan sebuah angka.

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/09/06/CTP/mbm.20100906.CTP134542.id.html

Thursday, September 23, 2010

Tirani Imitasi


Malam menjelang Idul Fitri, seorang teman berkirim pesan layanan singkat (SMS), ”Kamu terlalu sering mengkritik SBY, kini saat yang tepat untuk mohon maaf lahir dan batin.” Saya tersenyum membacanya dan membalas pendek, ”Baiklah kawan.”

Untuk Presiden SBY dan para letnan di lingkaran dalam Istana, mohon maaf lahir dan batin. Kalau penulis mengkritik, itu bukan karena alasan pribadi. Jalan mendaki dan sulit dipilih hanya agar terjadi keseimbangan politik dan kontrol kebijakan. Sejujurnya, daripada dicap nyinyir, sebenarnya lebih menarik mengamati tokoh-tokoh lokal karena bisa menumbuhkan optimisme. Selain genius, karakter mereka juga sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja tulus tanpa diberati pamrih).

Sebaliknya, politik Jakarta sudah dibanjiri karakter imitasi. Kepedulian elite nasional didominasi sebatas komitmen ketika berbicara di depan televisi, radio, koran, dan kibaran umbul-umbul. Akibatnya, ketika ada pendadakan seperti perusakan tempat ibadah dan tindak kekerasan, pemerintah terkesan lambat mengambil tindakan. Presiden tidak segera berdiri di podium Garuda dan mengatakan, ”Republik tidak dibangun atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan.” Kesan pengabaian pun akhirnya merebak tak terbendung.


Bukan sepi pamrih
Jika langkah Presiden seperti itu, ia akan menjadi sandaran bagi kegalauan dan kegetiran hidup rakyat. Namun, kalau yang diekspos rapat dulu, dari sisi waktu, momentum sudah mengempis. Warga yang menderita kehilangan pegangan dan kepercayaan. Apalagi yang keluar kemudian hanya pernyataan keprihatinan dan janji akan ada penyelesaian bijaksana dan adil.

Mencermati geliat Indonesia hari ini, saya merasa tidak ada lompatan yang luar biasa. Pertumbuhan ekonomi memang terjadi, tetapi kalah dinamis dibandingkan dengan Filipina dan Thailand yang didera demonstrasi terus-menerus. Posisi Indonesia sebagai tujuan investasi memang membaik, tapi tetap di bawah Vietnam.

Di sisi lain, luka di hati rakyat semakin melebar. Bukan saja biaya hidup menjadi semakin mahal, tetapi perasaan aman untuk beribadah pun telah terkoyak. Selain itu, kemiskinan juga masih menyebar, pengangguran dan angka putus sekolah tinggi, pasokan energi terbatas, jalur logistik semrawut, dan pembangunan infrastruktur berhenti pada slogan. Ini belum lagi kalau masalah-masalah yang menggantung, seperti kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan kasus Bank Century, ikut diperhitungkan. Republik seperti berjalan tanpa arah, mengapung begitu saja.


Situasi itu masih berlangsung, menurut hemat saya, adalah karena tidak efektifnya kepemimpinan nasional. Karakter sepi ing pamrih rame ing gawe yang kuat dan otentik belum tampak pada diri elite Republik. Citra justru menjadi sandaran utama untuk memelihara klaim keberhasilan program aksi kebijakan yang dijalankan.

Padahal, pemerintah sejatinya bisa melakukan apa pun demi kepentingan rakyat. Mengutip Jusuf Kalla, tugas pemerintah adalah memerintah, bukan mengimbau. Dengan demikian, Presiden bisa memerintah siapa pun dan menggerakkan apa pun untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Dalam konteks ini, demi rakyat, tidak perlu takut jika harus mempunyai musuh sekalipun.

Akan tetapi, faktanya, Presiden, menteri, dan anggota Dewan secara umum belum bisa menjadi sandaran bagi keluh kesah dan kegetiran hidup rakyat. Bahkan, jika merujuk pada kampanye Pilpres 2009 di Pekanbaru, SBY malah mengkritik masyarakat. Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai penyakit tidak pandai bersyukur, tidak mudah berterima kasih, tidak jujur, dan tidak obyektif. Sementara itu, seperti yang kita saksikan, anggota Dewan cenderung asyik memikirkan diri sendiri dengan minta dana aspirasi, kunjungan kerja ke luar negeri, pembangunan gedung baru, dan lain-lain.

Rasanya saat ini sulit menemukan figur nasional yang berkarakter sepi ing pamrih rame ing gawe. Para elite pada umumnya hanyut pada pencitraan diri dan mengikuti arus oportunistik sehingga menjadi imitasi. Mereka telah melupakan visi dan misi ketika kampanye, yang akhirnya tak lebih dari sekadar spirit imitasi. Pendeknya, mereka telah berubah menjadi tirani imitasi.


Mudah rusak
Saat ini kita telah diperintah oleh kekuatan pencitraan sebagai realitas semu yang terpancar tanpa jeda dari iklan televisi, radio, koran, kibaran umbul-umbul, dan politik uang. Tirani imitasi itu membentuk kepercayaan kita bahwa Presiden, menteri, dan anggota Dewan sudah bekerja keras untuk rakyat. Ekonomi tumbuh pesat, kemiskinan menurun drastis, konsolidasi demokrasi berjalan sempurna, dan lain-lain.

Namun, yang namanya imitasi, meskipun penampilannya bagus, pasti mudah rusak, sobek, luntur, dan kusam. Untuk menyebut beberapa contoh, tampaknya ekonomi tumbuh, tapi sebenarnya keropos karena bersandar pada hot money. Demokrasi menguat, tapi sekadar prosedural, bukan substansial. Pendapatan per kapita naik, tapi kesenjangan sosial semakin ekstrem. Selain itu, penyelesaian semua masalah hanya diserahkan pada kebijakan waktu, bukan pada penetrasi negara yang kuat dan efektif.

Itulah gambaran Indonesia saat ini. Anda mau melanjutkannya? Saya tidak. Percayalah, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).

Sukardi Rinakit
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate dan Universitas Mercu Buana
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/21/04135732/tirani.imitasi

Wednesday, September 8, 2010

Opini Kolonel Penerbang Adjie Suradji


Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.


Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus —hendaklah hukum ditegakkan walaupun dunia harus binasa— (Ferdinand I, 1503- 1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), otomatis korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma) —apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?


Keberanian
Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin —kepentingan rakyat— keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?


Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan-perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).


Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya —dengan jargon reformasi gelombang kedua— SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini.

Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji, Anggota TNI AU
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/06/03101393/pemimpin.keberanian.dan.perubahan


9 Manifesto Adjie Suradji

Kenal Adjie Suradji? Sebelum anggota TNI AU ini mengirim opini ke redaksi KOMPAS, tidak banyak yang mengenal namanya. Dia hanya tentara aktif militer biasa berpangkat kolonel yang bekerja di angkatan udara. Tapi setelah tulisannya ditayangkan KOMPAS di halaman 6, Senin (6/9/2010), kehebohan langsung muncul di mana-mana. Jejak perbincangan masyarakat seputar tulisan berani dan berisi ini bisa dilihat di Twitter, Facebook dan Forum-forum online.

Saya pribadi melihat tulisan ini, di luar siapa yang sedang dikritik oleh penulis, sangat berisi dan ditulis dengan bahasa yang runut dan tersusun rapi. Konsep hukum yang dipadu dengan teori manajemen yang disajikan Adjie seakan ingin menyadarkan kepada publik pembaca bahwa mengurus negara bukan hanya perkara politik, tapi juga memerlukan ilmu manajemen yang memadai. Dan penanganan korupsi yang sudah mendarah daging di negeri ini tidak cukup hanya dengan tindakan simbolistik, tapi perlu perjuangan dan pengorbanan dari seorang pemimpin. Ya, pengorbanan. Dan hanya dengan keberanian, maka seorang pemimpin rela berkorban.

Setelah selesai membaca tulisan Adjie Suradji berjudul “Pemimpin, Keberanian dan Perubahan“, saya membayangkan penulis sebagai orang yang gemar membaca dan menganalisa beragam fakta yang tersaji di depannya. Lalu saya membaca ulang tulisan tersebut, sambil mengambil stabilo untuk menandai beberapa kutipan penting.

Dan Anda tahu, hampir semua paragraf di tulisan itu berubah warna hijau stabilo! –karena banyaknya kutipan yang saya anggap bermanfaat dan inspiratif.

Saya lalu membaca berita-berita terkait penayangan tulisan sang kolonel. Dan seperti mudah ditebak, langkah Adjie langsung dikecam oleh pejabat militer yang berwenang. Dia dianggap tidak dalam posisi mengkritisi atasannya sendiri, apalagi Presiden adalah panglima tertinggi. Terlebih di bawah namanya, si penulis jelas-jelas menyantumkan identitasnya sebagai Anggota TNI AU. Ini jelas sebuah pembangkangan! Lalu beredar kabar seputar jati-dirinya, etos kerjanya dan masalah yang sedang dia hadapi di oditur militer.

Kesimpulannya, tulisan ini bermasalah!


Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak masuk ke persoalan internal Adjie, karena secara struktural, hal ini memang bisa saja dianggap melanggar –dan ini berlaku di semua institusi ketika seorang karyawan atau anggota mengkritik atasannya di muka publik (bukan di media internal).

Saya lebih fokus mengambil beberapa poin penting dari tulisan tersebut. Dan setelah saya hilangkan poin-poin yang menjurus langsung ke pihak tertentu, saya masih menemukan banyak ilmu dari Adjie. Setelah saya edit seperlunya, berikut rangkuman tulisan sang kolonel, yang saya sebut sebagai 9 Manifesto Adjie Suradji:

1. Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan, tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian.
2. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.
3. Presiden dan Perubahan: Soekarno sang Proklamator, Soeharto sang Bapak Pembangunan, Habibie sang Teknokrat, Gus Dur sang Pluralis, Megawati sang Ratu Demokrasi.
4. Di era reformasi, berdiri banyak lembaga baru untuk memberantas korupsi, seperti KPK, Pengadilan Tipikor dan Satgas Pemberantasan Mafia. Tapi realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.
5. Yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati.
6. Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin -kepentingan rakyat- keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.
7. Secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan.
8. Setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan-perubahan signifikan.
9. Masyarakat Indonesia berharap kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini.

Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Iskandar Zulkarnaen
http://politik.kompasiana.com/2010/09/07/9-manifesto-adjie-suradji/


Kolonel Penerbang Adjie Suradji

Anggota TNI Angkatan Udara Adjie Suradji secara terbuka mengkritik kepemimpinan dan keberanian SBY. Siapakah Adjie Suradji?

Berdasarkan penelusuran INILAH.COM, Senin (6/9/2010), Adjie kini berpangkat Kolonel dengan jabatan sebagai Staff Operasi Mabes TNI AU.

Sewaktu berpangkat Letnan Kolonel Penerbang, Adjie menjabat sebagai Komandan Lanud Sjamsudin Noor selama dua tahun pada 1997-1999.

Kini Adjie lebih dikenal sebagai pemerhati masalah terorisme. Ia juga pernah menulis buku berjudul 'Terorisme' pada 1999.

Keberaniannya mengkritik secara terbuka lewat tulisan opini di Kompas, Senin (6/9/2010) tentu saja melahirkan tanda tanya.

Seorang prajurit aktif tidaklah biasa, bahkan mungkin tidak boleh, mengkritik atasannya, apalagi seorang Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, yakni Presiden, lewat media massa.

Adjie dianggap telah "menyerang" kepemimpinan Presiden lewat tulisan berjudul: 'Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan'.

http://www.inilah.com/news/read/politik/2010/09/06/801931/inilah-prajurit-tni-pengkritik-sby/

Monday, September 6, 2010

Pidato SBY dalam Konflik Indonesia - Malaysia


Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air yang saya cintai dan saya banggakan,

Malam ini, saya ingin memberikan penjelasan kepada rakyat Indonesia mengenai hubungan Indonesia – Malaysia. Marilah kita mengawalinya dengan melihat perkembangan dan dinamika hubungan kedua negara, salah satu hubungan bilateral Indonesia yang paling penting.

Hubungan Indonesia dan Malaysia memiliki cakupan yang luas, yang semuanya berkaitan dengan kepentingan nasional, kepentingan rakyat kita.

Pertama, Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya dan kekerabatan yang sangat erat - dan mungkin yang paling erat dibanding negara-negara lain, dan sudah terjalin selama ratusan tahun. Kita mempunyai tanggung jawab sejarah, untuk memelihara dan melanjutkan tali persaudaraan ini.

Kedua, hubungan Indonesia dan Malaysia adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. ASEAN bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir ini, antara lain karena kokohnya pondasi hubungan bilateral Indonesia - Malaysia.


Ketiga, ada sekitar dua juta saudara-saudara kita yang bekerja di Malaysia – di perusahaan, di pertanian, dan di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama, baik bagi Indonesia maupun Malaysia.

Sementara itu, sekitar 13,000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, dan 6,000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Ini merupakan asset bangsa yang harus terus kita bina bersama, dan juga modal kemitraan di masa depan.

Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara.

Investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah US$ 1.2 miliar, dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah US$ 534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 Miliar pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia – Malaysia sungguh kuat.

Namun, hubungan yang khusus ini juga sangat kompleks. Hubungan ini tidak bebas dari masalah dan tantangan. Ada semacam dalil diplomasi, bahwa semakin dekat dan erat hubungan dua negara, semakin banyak masalah yang dihadapi.


Contoh masalah dan tantangan yang kita hadapi adalah menyangkut tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Kita tahu bahwa keberadaan 2 juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia, disamping memberikan manfaat bersama, juga memunculkan kasus-kasus di lapangan yang harus terus kita kelola. Oleh karena itulah, sejak awal, saya berupaya keras untuk memperjuangkan hak-hak Tenaga Kerja Indonesia, antara lain menyangkut gaji dan waktu libur; memberikan perlindungan hukum, dan mendirikan sekolah bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia.

Dalam kunjungan saya yang terakhir ke Malaysia, kita telah berhasil mencapai kesepakatan, mengenai pemberian dan perlindungan Hak bagi tenaga kerja kita di Malaysia.

Berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia di Malaysia, pemerintah aktif melakukan langkah-langkah pendampingan dan advokasi hukum, untuk memastikan saudara-saudara kita mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya.

Selain masalah TKI dan perlindungan WNI, kita juga kerap menjumpai masalah yang terkait dengan perbatasan kedua negara. Masalah ini memerlukan pengelolaan yang serius dari kedua belah pihak.

Karena itulah, menyadari kepentingan bersama ini, saya dan Perdana Menteri Malaysia sering berkomunikasi secara langsung, di samping forum konsultasi tahunan yang kami lakukan, untuk memastikan bahwa isu-isu bilateral ini dapat kita kelola dan carikan jalan keluarnya dengan baik.


Saudara-saudara sekalian,

Akhir-akhir ini, hubungan Indonesia Malaysia kembali diuji dengan terjadinya insiden di seputar perairan Pulau Bintan pada tanggal 13 Agustus 2010 yang lalu. Berhubung insiden ini menjadikan perhatian yang luas dari kalangan masyarakat Indonesia, pada kesempatan ini, saya ingin memberikan penjelasan tentang duduk persoalan yang sesungguhnya, dan langkah-langkah tindakan yang diambil oleh pemerintah kita.

Sejak saya menerima laporan mengenai insiden ini tanggal 14 Agustus 2010 pagi, saya langsung memberikan berbagai instruksi. Pertama, saya minta agar ketiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan segera dikembalikan dalam keadaan selamat. Kedua, saya juga memerintahkan untuk mengusut tuntas apa yang sebenarnya terjadi dalam insiden tersebut.

Segera setelah itu, Menko Polhukam dan Menteri Luar Negeri melakukan tindakan-tindakan cepat, untuk mengelola penanganan insiden tersebut dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Terhadap insiden ini, kita semua sangat prihatin, dan saya ingin agar masalah ini segera di selesaikan secara tuntas, dengan mengutamakan langkah-langkah diplomasi. Saya ingin mengatakan bahwa sejak terjadinya kasus ini pemerintah telah bertindak. Sistempun telah bekerja.


Saya juga menekankan bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan secara cepat, tegas dan tepat, karena berkaitan dengan kepentingan nasional kita. Memelihara hubungan baik dengan negara sahabat, apalagi dengan Malaysia, sangat penting. Tetapi, tentu kita tidak bisa mengabaikan kepentingan nasional, apalagi jika menyangkut kedaulatan dan keutuhan NKRI.

Dalam kaitan ini, saya telah mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia, yang intinya menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya insiden tersebut. Saya juga mendorong agar proses perundingan batas maritim dapat dipercepat dan dituntaskan. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri telah memanggil Duta Besar Malaysia di Jakarta untuk menyampaikan nota protes.

Menteri Luar Negeri juga telah melakukan komunikasi intensif dengan Menteri Luar Negeri Malaysia. Dalam perkembangannya, alhamdulillah, ke-3 petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan itu kini telah kembali ke tanah air.

Berkaitan dengan ketiga petugas KKP tersebut, Pemerintah Indonesia menerima informasi tentang perlakuan yang tidak patut yang dialami oleh mereka. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia meminta penjelasan atas kebenaran informasi itu. Melalui jalur diplomasi, diperoleh informasi bahwa Pemerintah Malaysia saat ini sedang melakukan investigasi atas masalah perlakukan terhadap tiga petugas KKP tersebut.


Saudara-saudara,

Yang jelas, di masa depan, insiden seperti ini harus kita cegah, agar tidak terus menimbulkan permasalahan di antara kedua negara. Upaya ini bisa kita lakukan dengan cara segera menuntaskan perundingan batas wilayah di antara Malaysia dan Indonesia, serta bentuk-bentuk koordinasi dan kerjasama di antara kedua belah pihak, dengan semangat untuk tetap memelihara hubungan baik kedua bangsa.

Perihal penanganan terhadap 7 nelayan Malaysia yang memasuki wilayah perairan Indonesia, kepada mereka telah diambil tindakan-tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setelah prosesnya selesai mereka kita kembalikan ke Malaysia, sebagaimana kelaziman yang berlaku di lingkungan ASEAN selama ini. Perlu diketahui, dalam kasus yang sama, banyak nelayan Indonesia yang diduga memasuki wilayah perairan negara sahabat, juga dikembalikan ke negeri kita.

Saudara-saudara se-bangsa dan se-tanah air,

Belajar dari pengalaman ini, pemerintah Indonesia berpendapat bahwa solusi yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi insiden-insiden serupa adalah, dengan cara segera menuntaskan perundingan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Perundingan ini menyangkut batas wilayah darat dan batas wilayah maritim, termasuk di wilayah selat Singapura, dan perairan Sulawesi, atau perairan Ambalat.

Indonesia berpendapat bahwa perundingan menyangkut batas wilayah ini dapat kita percepat dan kita efektifkan pelaksanaannya. Semuanya ini berangkat dari niat dan tujuan yang baik, agar insiden-insiden serupa yang akan mengganggu hubungan baik kedua bangsa dapat kita cegah dan tiadakan. Saya sungguh menggaris-bawahi, sekali lagi, agar proses perundingan yang akan segera diteruskan oleh kedua pemerintah benar-benar menghasilkan capaian yang nyata.


Saudara-saudara,

Kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah adalah kepentingan nasional yang sangat vital. Pemerintah juga sangat memahami kepentingan itu, dan terus bekerja secara sungguh-sungguh untuk menjaga dan menegakkannya. Namun demikian, tidak semua permasalahan yang muncul dalam hubungan dengan negara sahabat selalu terkait dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Oleh karena itu, kita harus bisa menilai dengan tepat setiap masalah yang muncul, agar penyelesaiannyapun menjadi tepat pula.

Meskipun demikian, sekecil apapun permasalahan yang muncul dalam hubungan bilateral, akan tetap kita selesaikan demi menunjang kepentingan nasional kita. Kita harus senantiasa menjaga citra dan jatidiri kita sebagai bangsa yang bermartabat dalam menjalin hubungan internasional, tanpa kehilangan prinsip dasar politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan yang diabdikan untuk kepentingan bangsa kita.

Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya juga merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Indonesia. Saya sungguh mengerti keprihatinan, kepedulian, bahkan emosi yang saudara-saudara rasakan. Dan apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang dan ke depan ini, sesungguhnya juga cerminan dari keprihatinan kita semua.

Saya juga mengajak untuk menjauhi tindakan-tindakan yang berlebihan, seperti aksi-aksi kekerasan, karena hanya akan menambah masalah yang ada. Kekerasan sering memicu terjadinya kekerasan yang lain. Harapan untuk menyelesaikan masalah ini dengan serius dan tepat, tanpa disertai aksi-aksi yang destruktif, juga saya terima dari saudara-saudara kita rakyat Indonesia yang saat ini berada di Malaysia.


Saudara-saudara sekalian,

Cara kita menangani hubungan Indonesia – Malaysia akan disimak dan diikuti oleh negara-negara sahabat di kawasan Asia, bahkan oleh dunia internasional. Selama ini sebagai Pendiri ASEAN, Indonesia sering dijadikan panutan di dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di kawasan, maupun di belahan bumi yang lain. Oleh karena itu, marilah seraya kita tetap memperjuangkan kepentingan nasional kita, karakter dan peran internasional Indonesia yang konstruktif, dan dengan semangat untuk memelihara perdamaian, terus dapat kita jaga.

Terakhir, insiden yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia baru-baru ini akan kita tuntaskan penyelesaiannya. Indonesia akan terus mendorong Malaysia untuk benar-benar menyelesaikan perundingan batas wilayah yang sering memicu terjadinya insiden dan ketegangan. Dengan demikian, dengan dapat dicegahnya ketegangan dan benturan-benturan yang tidak perlu, saya yakin permasalahan, hubungan baik dan kerjasama bilateral antara Indonesia –Malaysia akan berkembang lebih besar lagi.

Ke depan dalam hubungan antar bangsa yang lebih luas, kita harus terus menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah kita, dan terus membangun diri menjadi negara yang maju, sejahtera, dan bermartabat, dengan tetap menjaga hubungan baik dan kerjasama dengan negara-negara sahabat.

Sekian.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.