Friday, March 19, 2010

S o p i r


Khusus di pagi itu W, melihat ke luar jendela, ke arah langit yang masih belum terang penuh, dan bertanya, atau berdoa, atau berharap-harap cemas: -"Tuhan seluruh alam, akan bebaskah kita hari ini dari kebencian?"- sambil tak sadar ia pakai kata "kita" di kalimat itu. Seakan-akan "Tuhan" termasuk subyek yang ikut bertanya. Mungkin karena ia tak tahu di mana Tuhan -jangan-jangan Tuhan akrab merasuk ke dalam dirinya- atau mungkin karena ia makin merasa, di dunia yang berhari-hari dipanasi politik dan maki-maki dan suara bising di TV, Tuhan juga perlu teman untuk melawan kebencian dan kebisingan.

W, perempuan berumur 43 tahun itu, menyukai hening, -bukan karena hening punya makna religius yang dalam, tapi karena hening, di kota besar ini, semacam ruang yang bisa bebas dari kolonisasi suara yang menjerit-jerit: dominasi enam pengeras suara sehabis subuh dan knalpot ribuan sepeda motor yang melintas tak jauh dari rumahnya. Hening itu sebentar, tapi begitu berharga dan mengejutkan -seperti anggrek putih yang sendirian di kebun di sebelah kamarnya itu, kebun dengan tiga batang pohon dan 3 x 3 meter persegi petak rumput. Anggrek itu di sana tampak yang paling beda, sebuah selingan, sebuah surprise.

Kalau hidup tanpa surprise, apa jadinya dengan Penciptaan? W bertanya pada diri sendiri. Ia ingat seseorang mengutip Kant: "Die Sch pfung ist niemals vollendet". Penciptaan tak pernah usai. Pagi bukanlah serangkaian repetisi.


Ia memang merasa bisa bersyukur, pagi ini yang ia dapatkan adalah sejuk yang baru. Mungkin karena setelah beberapa malam yang gerah dan pengap, kebun itu memberinya oksigen yang seakan-akan datang buat pertama kali. Atau mungkin karena burung-burung. Tanpa mengenal mana yang prenjak dan mana yang kutilang, ia dengarkan kicau sehabis gelap itu seperti harapan yang kembali. Ternyata tak semua bisa digusur gedung-gedung kota yang mengalahkan pepohonan tempat beberapa makhluk hinggap dan hidup. Seperti halnya tak semua dibinasakan oleh bising. Biarpun cuma beberapa menit. Kata akhir mengenai kehidupan ini belum bisa diucapkan.

Tapi benarkah? Benarkah selingan dan surprise ringkas itu punya makna yang lebih besar dalam hidup -terutama hidup di kota yang luas tapi berjubel itu? Bisakah ia masih berharap dari manusia, bukan dari burung dan kembang?

Pengantar koran datang. Ia malas membaca halaman pertama: terlalu banyak kabar dan statemen buruk. Ia malas membaca halaman opini: terlalu banyak tulisan yang tak memberinya jawab terhadap yang diucapkannya tadi tentang kebencian. Ia hanya membaca halaman iklan, kemudian melupakannya.

Setelah sarapan kecil, ia putuskan untuk pergi lebih pagi ke kantor. Ia tinggalkan secarik kertas dengan pesan kepada suaminya yang baru akan pulang siang nanti dari Yogya, menengok T, anak mereka yang bersekolah di sana: "Makanan sudah aku siapkan di kulkas".

Lalu ia berjalan ke ujung gang, menunggu taksi.


Sopir taksi itu mengenal betul jalan ke arah kantornya di Kemang Timur. Sambil duduk di jok belakang, W mencoba mengirim beberapa pesan pendek lewat telepon genggamnya ke asistennya. Tapi tiba-tiba matanya tertarik ke sebuah foto keluarga yang tak lazim tertempel di dasbor: sepasang suami-istri dan seorang anak perempuan. Pasti sopir itu dan keluarganya.

"Ini anak saya, Bu," tiba-tiba sopir itu berkata, tahu bahwa penumpang di belakangnya memperhatikan foto itu.

"Dia besok akan dioperasi otaknya," katanya lagi.

"Kenapa, Pak?"

"Dia sering pingsan. Dia sudah SMA, anaknya pinter, rapornya bagus. Tapi dia sering pingsan dan harus berhenti bersekolah. Kata dokter, ada cairan dalam otaknya yang mengganggu. Mungkin karena sering jatuh dulu waktu kecil."

"Dia anak kami satu-satunya, Bu. Saya bikin apa saja supaya dia bisa sembuh. Saya orang miskin. Tapi dia harus selamat."


"Pasti mahal sekali biayanya, Pak?"

"Saya berusaha dapat surat keterangan tanda miskin, Bu. Aduh, bukan main susahnya. Saya datang bolak-balik ke kantor Kecamatan Balaraja -kami tinggal di Tangerang- dan selalu ditolak. Malah nggak dilayani. Delapan kali, Bu. Delapan kali saya ke sana, menghadap. Membawa surat lengkap dari RT, RW, kelurahan...."

"Sampai sekarang belum dapat surat itu?"

"Akhirnya saya marah, Bu. Saya meledak, begitulah. Saya bilang pada ibu-ibu petugas yang menerima surat-surat itu, 'Apa ibu-ibu nggak pernah punya anak, nggak pernah anaknya sakit?' Saya bilang, 'Baca, nih, Bu, baca: apa yang tertulis di surat dari lurah saya ....'"

"Akhirnya mereka baca...."

"Lalu?" tanya W.

"Ternyata ibu-ibu itu masih punya hati, Bu. Mereka nangis setelah membaca. Mereka kasih saya surat keterangan itu. Jadi Alhamdulillah, saya bisa bawa anak saya ke dokter untuk dioperasi tanpa bayar...."

"Syukurlah, Pak, saya ikut senang," sahut W.

Tiba-tiba nada suara sopir itu berubah. "Tapi saya nyesel, Bu, saya jadi sedih banget."

"Saya sedih banget kok saya sampai marah-marah kepada para petugas di kecamatan itu. Itu kurang patut, kan, Bu. Sewenang-wenang, namanya...."


W terdiam.

Ia ingat sejuk tadi pagi, setelah malam yang gerah. Ia ingat burung. Ia ingat kembang anggrek. Ia merasakan sesuatu yang mengguncangkan hatinya. Ia bersyukur berjumpa dengan seorang yang seperti jadi jawab untuk doanya tadi pagi. Tapi sengajakah Tuhan membuat keadaan begitu muram hingga selingan seperti kisah sopir itu jadi sangat berarti? Bila demikian apa kehendak-Nya?

W turun dari taksi. Sopir itu berkata: "Doakan, ya Bu, anak saya supaya selamat."

Di kantor, di mejanya, ia berdoa. Untuk seorang anak perempuan yang tak dikenalnya. Tapi ia makin tahu Tuhan tak bisa diduga. Mungkin Ia pertama-tama adalah pengguncang hati. Selebihnya Penciptaan berjalan. Belum selesai.

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/03/15/CTP/mbm.20100315.CTP133011.id.html

Wednesday, March 17, 2010

"Kaus Merah" Banjiri Kota


Puluhan ribu warga Thailand dari kelompok Kaus Merah, pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, terus membanjiri kota Bangkok, Sabtu (13/3). Aksi yang dilukiskan sebagai ”protes sejuta orang” itu mencapai puncaknya pada Minggu ini.

Aksi mereka bertujuan menuntut Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva mundur dari jabatannya. Mereka yakin, Abhisit meraih kekuasaan secara ilegal. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatan militer dan kelompok penguasa tradisional Thailand yang cemburu dan takut popularitas Thaksin terus berkibar.

Para pemimpin aksi ini menegaskan, tidak ada jalan bagi perdamaian di Thailand kecuali membubarkan pemerintahan dan Abhisit mundur dari jabatan perdana menteri. Mereka juga menuntut agar pemilihan umum digelar secara dini.

Protes massal ini digelar berselang dua minggu setelah Mahkamah Agung Thailand memutuskan penyitaan terhadap kekayaan Thaksin senilai 1,4 miliar dollar AS atau kurang-lebih Rp 13 triliun.

Massa yang tergabung dalam Front Persatuan Demokrasi Melawan Kediktatoran dan menamakan diri kelompok Kaus Merah ini mengepung Bangkok dari arah utara dan timur laut. Mereka bersumpah akan merobohkan pemerintahan Abhisit. Mereka pun yakin, hanya dengan cara itu idola mereka, Thaksin, diperbolehkan kembali ke Thailand.

Protes ini sekaligus merupakan babak baru krisis politik yang mendera Thailand sejak Thaksin digulingkan dalam kudeta militer pada tahun 2006. Pemerintah Thailand telah mengerahkan 40.000 hingga 50.000 personel gabungan tentara dan polisi antihuru-hara guna mengawal aksi ”protes sejuta orang” itu.

Massa mendesak pemerintah agar tidak menggunakan kekuasaan, tetapi menciptakan perdamaian di seluruh negeri dengan memberikan pengampunan kepada Thaksin. Selain pengampunan, juga agar mantan perdana menteri itu diizinkan pulang ke tanah air tanpa proses hukum. Thaksin, yang kini menjadi penasihat ekonomi pemerintahan Kamboja, dijatuhi hukuman dua tahun penjara dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.


Datang dari desa-desa
Puluhan ribu warga yang mengenakan kaus merah terus membanjiri kota pada Sabtu. Mereka datang dengan truk, bus, mobil pribadi, dan sepeda motor. Konvoi massa terlihat di berbagai ruas jalan strategis menuju pusat kota. Sebagian besar massa berasal dari wilayah pedesaan di timur laut dan utara, asal Thaksin.

Di Wang Noi, yang terletak di utara kota, konvoi pengunjuk rasa dengan bermacam kendaraan berarak-arakan hingga sepanjang 7 kilometer di jalan raya. Kemacetan lalu lintas tidak terhindarkan di sepanjang jalan, sejauh 50 kilometer dari Bangkok.

Sabtu kemarin, puluhan ribu pengunjuk rasa dari pedesaan sudah masuk ke Bangkok. Woravat Auapinyakul, anggota parlemen dari partai pro-Thaksin, yakni Partai Puea Thai, mengatakan, masih ada paling tidak 600.000-700.000 orang yang sedang dalam perjalanan ke Bangkok. Ditambah dengan anggota Kaus Merah yang sudah terlebih dahulu tiba di Bangkok dan pendukung yang menetap di Bangkok, jumlah pengunjuk rasa mendekati satu juta orang.

Sekalipun para pemimpin dan koordinator lapangan aksi tersebut sudah menegaskan tidak akan melakukan kekerasan selama unjuk rasa, pusat-pusat kegiatan bisnis sudah mulai tutup dan acara-acara sosial dibatalkan. Suasana di berbagai sudut kota yang biasanya padat oleh arus lalu lintas yang semrawut berangsur-angsur lengang.


Investor khawatir
Pasukan keamanan bersenjata lengkap berdiri di banyak tempat strategis, seperti bank dan kantor pemerintah, menyusul adanya peringatan tentang potensi sabotase, termasuk pengeboman. Investor khawatir tentang kemungkinan munculnya kekerasan. Pemerintah, yang sedang berkonsentrasi pada pemulihan ekonomi dari resesi, juga mengkhawatirkan hal itu.

Selama tidak ada keadilan, Thailand tidak bisa bersatu,” kata Jaran Ditthapichai, salah seorang tokoh dan pemimpin kelompok Kaus Merah. Dia lalu menegaskan lagi, ”Kami ingin kekuasaan dikembalikan ke tangan rakyat.”

Hasil sebuah jajak pendapat di Bangkok baru-baru ini menunjukkan, sebagian besar penduduk, terlepas dari keyakinan politik mereka, sudah muak dengan gelombang protes atau unjuk rasa. Protes telah mengganggu ekonomi, termasuk industri pariwisata yang selama ini amat menguntungkan Thailand.

Saya sangat muak dengan protes ini. Tidak peduli siapa yang menjadi perdana menteri. Perekonomian telah terganggu, begitu juga sektor lain. Setiap kali diumumkan adanya rencana unjuk rasa, turis pun pada hengkang,” kata Yai Oat-Ngam, seorang pemilik restoran di Bangkok.

KOMPAS, 14 Maret 2010

Monday, March 15, 2010

Obama dan Rezeki Minyak Kita


Melihat skandal demi skandal yang terus menimpa setiap presiden Indonesia, satu kesimpulan bisa diambil, negara ini tak kunjung luput dari presiden dengan pemerintahan yang berlumuran masalah korupsi. Jika presiden yang bersangkutan tidak terlibat langsung, setidaknya pemerintahannya tak henti-hentinya menghasilkan skandal korupsi.

Setiap periode kepresidenan, slogan antikorupsi, antimanipulasi, selalu menjadi agenda. Namun, secepat itu pula slogan tersebut selalu diingkari.

Mau contoh? Pada era Soeharto ada kasus Pertamina. Era BJ Habibie ada skandal Bank Bali. Saat era Gus Dur ada kasus Bulog. Pada era Megawati ada kasus penjualan tanker Pertamina. Kini Bank Century. Setiap pemerintahan memberi kontribusi pada skandal manipulasi dan korupsi.

Adakah kaitannya dengan kedatangan Presiden AS Barack Obama? Ada! Negaranya Obama memiliki peraturan bernama Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) 1977. Ini adalah peraturan yang diawali hasil temuan Office of The Special Prosecutor. Pada dekade 1970-an, badan AS ini menemukan tindakan 400 korporasi AS yang menyuap pejabat di negara asing demi keuntungan bisnisnya.

Saat itu marak terjadi kejahatan kerah putih yang menodai etika bisnis AS di luar negeri. Dengan peraturan ini, perusahaan AS yang menyuap pejabat di negara perusahaan itu beroperasi akan dikenai hukuman. AS tidak ingin korporasinya meracuni birokrasi dan sistem lokal.


Nah, di Indonesia ini ada banyak tambang minyak dan gas yang ditangani perusahaan AS. Chevron, Exxon, Conoco adalah raksasa perminyakan AS yang mendominasi pertambangan minyak. Freeport dan Newmont mendominasi tambang logam mulia dan nonmulia.

Namun, kenaikan harga minyak, gas, dan logam mulia yang membubung tinggi selama lima tahun terakhir tidak memberi Indonesia uang banyak. Rakyat malah disuguhi pemadaman listrik dan jalan-jalan yang rusak.

Pejabat negara selalu mengatakan pemerintah tidak punya uang banyak, termasuk untuk memperbaiki jalan-jalan rusak yang mengacaukan mobilitas warga dan akibat selanjutnya memandekkan produktivitas.

Kenaikan harga minyak dan emas yang tak kita nikmati itu belum tentu disebabkan aksi manipulasi dan korupsi korporasi AS. Namun, tentu ada masalah besar dengan manajemen sumber daya minyak dan sektor pertambangan itu.

Logikanya, pemilik rezeki minyak adalah Indonesia, tetapi ke mana rezeki dari kenaikan harga minyak itu? Padahal di sisi lain, raksasa perminyakan dunia tahun lalu mencatatkan keuntungan besar.


Ketika masih menjabat sebagai Dubes Jepang di Indonesia, Yutaka Iimura tak ragu-ragu untuk mengatakan, ”Adalah Jepang dengan investasinya, yang benar-benar memberi kontribusi pada pembangunan ekonomi.”

Jepang memberi kontribusi pada penyerapan tenaga kerja lewat bisnis manufaktur hingga otomotif. Walau Jepang tidak bisa dikatakan malaikat, banyak pihak yang merasakan buah manis dari korporasi Jepang.

Nah, bagaimana dengan keberadaan raksasa tambang AS di Indonesia? Hasil produksi mereka tak membuat Indonesia ketiban rezeki nomplok minyak dan emas, sebagaimana dialami negara-negara penghasil minyak.
Adakah persoalan mengenai bagi hasil yang tidak adil antara negara kita dan kontraktor minyak AS itu? Adakah peraturan yang membuat raksasa minyak AS, bukan Pertamina, sebagai pemilik kekayaan alam kita?

Pengamat perminyakan, Dr Kurtubi, mengatakan, Indonesia telah kehilangan kedaulatan atas kekayaan migas dan logam mulia serta tambang lainnya. Namun, dia mengatakan, jangan serta merta menyalahkan asing, salahkanlah diri kita yang tidak membuat Indonesia menjadi tuan di negara sendiri soal kekayaan pertambangan.


Strategi nonpasar
Namun, tidak bisa dilupakan juga, korporasi AS paham dengan taktik strategi nonpasar (non-market strategy). Di dalam taktik ini, terkadang ada lobi korporasi terhadap pejabat negara, agar bisnis yang digeluti korporasi itu memberi keuntungan sebanyak mungkin bagi dirinya. Ini antara lain bisa dilakukan dengan menyuap pejabat lokal demi keuntungan bisnis sendiri, bukan keuntungan rakyat. Istilahnya, ”Ini bisnis bung!”

Keadaan seperti ini sudah lama menjadi keprihatinan global. Karena itu, muncul inisiatif global bernama Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) —yang bertujuan mendorong transparansi kontrak, produksi, dan bagi hasil— yang didorong Norwegia.

Tidak sedikit pula negara yang merasa telah tertipu sekian lama. Venezuela, Bolivia, Rusia, dan terbaru adalah Uganda, yang mencoba berpikir soal renegosiasi kontrak bagi hasil sektor pertambangan.


Lain dari masalah itu, mari kita lihat sebentar fakta berikut ini. Ketika Indonesia didera masalah teroris, AS amat getol mencecar terorisme Indonesia, termasuk Hambali yang kini di bawah otoritas AS. Bahkan AS pun mengeluarkan peringatan yang disebut travel warning bagi warganya agar berhati-hati jika berkunjung ke Indonesia.

Namun, beranikah kita menggugat teroris energi, di mana hasil energi itu tidak memakmurkan? Malahan kenaikan harga energi membuat Indonesia, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memaksa pemerintah menaikkan subsidi. Ini adalah subsidi pada produsen minyak karena kita menjual harga minyak murah ke rakyat, yang dibeli dengan harga tinggi dari produsen minyak. Bukankah subsidi itu otomatis terkompensasi dengan keuntungan dari kenaikan harga minyak?

Ada pula postulat yang mengatakan, Indonesia mengimpor BBM mahal, sementara BBM lokal Indonesia berharga lebih murah jika diekspor. Mengapa kita sebagai negara miskin ini justru memakai BBM yang lebih mahal ketimbang memakai BBM lokal yang lebih murah? Kita ”bersilat lidah” ?


Kita melihat Petronas dari Malaysia telah berjaya dan turut memberi modal besar bagi negara untuk mendorong pembangunan. Hasilnya adalah perekonomian Malaysia yang kini menjadi magnet bagi sebagian besar pekerja Indonesia.

Beranikah kita menggugat isu energi ini lebih tajam? Beranikah kita mendalami lebih saksama untuk mempertanyakan kebenaran manajemen migas ini? Dr Kurtubi sudah pernah menggugat hal ini beberapa waktu lalu, walau kemudian juga diam sendiri karena menganggap gugatannya tidak disambut.

Nah, inilah salah satu isu yang amat layak diajukan kepada Obama. Presiden AS ini paham hukum dan turut prihatin dengan ketidakadilan global.

Namun, pembenahan tidak tergantung pada Obama. Kita memang harus mau serius dan tahu cara menggugat esensi manajemen migas. Jika ini tidak dilakukan, kunjungan Obama hanya akan menjadi sekadar ajang pamer citra bagi pemerintahan, sebagaimana diutarakan Ikrar Nusa Bakti, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pekan lalu, dalam sebuah seminar di Jakarta.


Hanya dengan keberanian inilah, kita bisa melangkah lebih jauh, termasuk dengan menggugat perusahaan AS lewat FCPA, seandainya ada ketidakberesan dalam perilaku korporasi energi AS itu.

Ada banyak program penting dalam hubungan bilateral Indonesia-AS. Namun, hubungan bilateral paling signifikan adalah masalah energi ini. Dubes AS sendiri, Cameron R Hume, dalam bincang-bincang dengan wartawan, pekan lalu, mengatakan, kita harus ada pemikiran kembali soal penataan hubungan Indonesia-AS. Dia tidak menyinggung soal energi. Hume mengatakan, pemikiran kembali hubungan itu terkait dengan tatanan geopolitik yang sudah berubah.

Hume juga tidak merinci apa yang dimaksudkan dengan perubahan tatanan geopolitik itu. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini kita melihat pemudaran kekuatan AS, secara ekonomi dan politik global. AS masih kuat, tetapi tidak lagi sedahsyat pada era Perang Dingin. Saat ini tidak perlu ada lagi ketakutan besar dengan sanksi ekonomi AS. Praktis hubungan ekonomi Indonesia lebih berkiblat ke Asia. Kini China sudah tampil sebagai kekuatan ekonomi baru, yang sudah makin mengimbangi AS.

KOMPAS, 14 Maret 2010

Saturday, March 13, 2010

Jalan Paradoks Sjahrir


Perkenankan saya mengaku, saya belum pernah bertemu muka dengan almarhum Sutan Sjahrir. Ketika beliau wafat di Zürich, Swiss, 9 April 1966, saya bahkan belum tahu membaca dan menulis. Tatkala menginjak dewasa, sayup-sayup saya mendengar orang sering menyebut namanya.

Tanpa tahu mengapa, ia terdengar sebagai satu di antara deretan nama yang menjulang tinggi ke angkasa Indonesia. Namun, lantaran jarak generasi, ia lebih terdengar sebagai gema ketimbang suara.

Ketika mulai melek-huruf, sesekali saya membaca renungan-renungannya dari penjara dan pembuangan. Sebagai anak muda, saya merasa renungan-renungan itu menyimpan teka-teki yang misterius tetapi menawan. Saya kadang membaca ulasan dari para ahli atau juga kenang-kenangan dari para muridnya, pengagum, dan kritikus Sjahrir. Namun, jauh dalam hati, saya merasa ada yang selalu saja lolos dari genggaman ulasan dan refleksi kenangan itu. Saya tidak mengerti apa. Mungkin itu suara keabadian yang tak pernah tertampung oleh keterbatasan. Mungkin juga karena Sjahrir terlalu besar untuk kita, atau kita terlalu kecil untuk Sjahrir.


Dilema pilihan
Sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih kepada Sjahrir, perkenankan saya mengajukan satu kemungkinan memahami mengapa Sjahrir selalu lolos dari genggaman ideologi yang pasti. Ia seorang sosialis, tetapi corak sosialismenya terlalu licin untuk dipatok dalam kategori sosialisme yang luas dipahami. Dalam pemahaman sederhana saya, itu lantaran Sjahrir adalah seorang yang menghidupi dan memeluk erat-erat apa yang akan saya sebut ”jalan paradoks”.

”Paradoks” adalah posisi atau sikap yang kelihatan kontradiktif atau tidak masuk akal karena secara logis tampak tidak konsisten, tetapi sesungguhnya mengandung ”kebenaran” lebih tinggi karena didasarkan pada fondasi lebih kokoh dan lebih lengkap daripada yang tampak. Ambillah satu contoh kecil. Kita mungkin pernah mengalami luka batin yang dalam. Luka batin tidak akan sembuh dengan kita tolak, tetapi justru dengan kita peluk/terima sebagai bagian sejarah hidup, luka batin itu akan pergi/sembuh. Suatu X dicapai bukan dengan kategori yang sama (yaitu X), tetapi melalui non-X. Dalam ungkapan penyair Jerman, Friedrich Schiller, yang diangkat Ignas Kleden dalam pengantar buku Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (2010), hidup hanya dimenangkan dengan mempertaruhkan hidup itu sendiri.

Paradoks tampil dalam berbagai wajah. Salah satunya adalah dilema pilihan. Namun, ada beda antara dilema praktis dan dilema eksistensial. Contoh dilema praktis adalah jika kita harus memilih salah satu dari dua acara yang diadakan pada waktu yang bersamaan karena secara fisik kita tak mungkin berada di dua tempat sekaligus. Ketidaksanggupan kita berada di salah satu acara bukan cacat atau ketidakmatangan pilihan, tetapi persis kelugasan pilihan praktis yang sederhana. Banyak dilema pilihan adalah dilema praktis seperti itu. Perkaranya kadang kecil, kadang besar. Putusan Sjahrir bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan Jepang juga bercorak dilema praktis semacam itu.

Akan tetapi, mana yang dipilih Sjahrir: nasionalisme atau internasionalisme, kebebasan individual atau solidaritas sosial? Boleh juga itu berupa dilema aksi atau refleksi, spontanitas individu atau tertib tatanan, yang lokal atau yang global, roh atau materi, dan sebagainya? Itulah dilema-dilema eksistensial. Ia disebut ”eksistensial” sebab tegangan-tegangan itu secara niscaya senantiasa terlibat dalam perjuangan kita meraih kualitas hidup-personal ataupun hidup-bersama yang bermutu dan matang. Dengan kata lain, dilema memilih ”kebebasan individual atau solidaritas sosial” adalah oposisi semu. Memilih salah satu dengan menyingkirkan yang lain adalah resep pasti menuju kesesatan dan ketidakmatangan. Keduanya hanya perlu dipeluk erat-erat dan dihidupi dalam tegangan abadi sebagai paradoks eksistensial.

Jika alam tidak suka kehampaan, politik tidak suka kerumitan. Itulah mengapa dunia politik praktis berisi kelugasan kubu-kubu pilihan eksklusif ”ini atau itu”. Pilihan eksklusif itu tentu sering niscaya lantaran ia dilema praktis yang sederhana. Akan tetapi, pada banyak momen lain, dunia politik juga berisi dilema-dilema eksistensial: kebebasan atau solidaritas, nasional atau global?

Tergelincir ke salah satunya adalah resep pasti menuju kesesatan. Yang diperlukan adalah menghidupinya sebagai tegangan abadi. Itulah mengapa dalam diri Sjahrir, kita menemukan keengganan tetapi sekaligus kesediaan terhadap dunia politik. Dalam bahasa Sol Tas yang mengenal Sjahrir: ”Dia terlibat dalam politik dari rasa kewajiban, bukan dari minat”.


Mengenali patologi
Seperti apa Sjahrir menuliskan jalan paradoks itu? Dari serakan renungan-renungannya, beginilah contoh ia meyakini jalan paradoks itu:

Hanya merekalah yang sudah matang dan mengerti akan kehidupan oleh pengalaman, tidak lagi menyobek kehidupan itu dalam dua bagian yang bertentangan satu dengan yang lain; tapi mereka itu melihat peralihan-peralihan, sambungan-sambungan, percampuran-percampuran dari kedua bagian itu.” (Surat 16 Desember 1934).

Kali lain, Sjahrir menulis prinsip menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas:

Suatu perasaan yang luas dan dalam, suatu rasa bahagia yang sungguh-sungguh, tidak pernah eksklusif. Kita ingin membaginya kepada orang lain... Sebab itu kukira kebahagiaan pribadi yang setinggi-tingginya yang bisa kita raih, mestilah berbarengan dengan kebahagiaan umum umat manusia.” (Surat 22 Juli 1934).

Sjahrir menulis, memilih salah satunya adalah ”gambaran manusia yang belum matang”.

Apa yang boleh kita pelajari dari keluhuran jalan paradoks Sjahrir itu? Pertama, silakan mengenali patologi apa yang sedang membusukkan periode sejarah kita dewasa ini? Apakah ia ekstremisme agama, ekstremisme pasar, globalisme, ataukah campuran semua itu? Menurut jalan paradoks Sjahrir, ekstremisme adalah buah busuk dari ketidakmatangan pribadi dan kolektif. Terhadap patologi itu, jalan menuju kematangan hidup pribadi dan berbangsa menuntut kita melancarkan gerakan balik. Kedua, jalan paradoks Sjahrir juga mengajar kita bahwa pemimpin politik sejati bukanlah mereka yang haus akan kursi dan kekuasaan, tetapi mereka yang justru punya sikap curiga dan skeptis terhadap kekuasaan dan jabatannya.

Saya belum pernah bertemu muka dengan Sjahrir. Pada hari pemakamannya, saya bahkan belum tahu menulis dan membaca. Akan tetapi, bahwa sekian tahun kemudian saya boleh belajar dari Sjahrir tentang rahasia kehidupan dan tentang ”jalan paradoks” bagi kematangan politik, ekonomi, budaya, dan intelektual suatu bangsa, itu sudah sebuah kegembiraan.

Sjahrir memang tidak bisa lagi bersuara, tetapi ia tetap nyaring bergema.

B Herry Priyono, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.
KOMPAS, 8 Maret 2010

Friday, March 5, 2010

Di Depan Opera House Sydney, 5.200 Orang Difoto Telanjang


Sebanyak 5.200 orang rela meloloskan pakaiannya bersama-sama. Aksi telanjang bersama ini dilakukan di depan Opera House Sydney pada hari Senin (1/3/2010) untuk sebuah sesi pemotretan oleh Spencer Tunick, seniman yang tinggal di New York.

Cuaca tak terlalu mendukung ketika pemotretan dilakukan. Dingin, mendung, di hari pertama musim gugur, pemotretan massal telanjang berjudul "Mardi Gras: The Base" ini dimaksudkan untuk merayakan Sydney Gay dan Lesbian Mardi Gras, akhir pekan lalu.

Ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur, Tunick menginstruksikan peserta untuk melakukan beberapa pose, dari berdiri, berbaring, dan bahkan saling memeluk dengan menempelkan pipi masing-masing, selama lebih dari satu jam.


"Saya ingin semua pasangan untuk merangkul dan mencium, dan semua teman-teman untuk berciuman dan semua orang asing untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan," kata Tunick, sambil mengarahkan kerumunan orang-orang yang polos itu.

Beberapa peserta ada yang terkejut dengan pemandangan tak biasa ini. "Saya pikir itu sedikit aneh, tapi lucu karena ketika kau telanjang dan orang lain telanjang, anda merasa seolah kau berpakaian, karena semua orang kelihatan sama," kata Steven Anglier, yang mengenakan wig jadi dia bisa menonjol dalam foto. "Ini benar-benar pengalaman yang aneh karena anda pikir mungkin ada sesuatu yang seksual di belakang, tapi tidak ada."


Tunick telah menghasilkan hampir 100 foto instalasi di seluruh dunia, dan mengatakan karyanya bukan soal eksibisionisme ataupun erotisme, melainkan mengungkapkan kerentanan hidup di sebuah pemandangan kota.

Tapi argumen itu tidak membuat kesan kepada pihak berwenang di rumahnya sendiri, di Amerika Serikat. Pasalnya, Tunick telah ditangkap tujuh kali karena foto telanjang bareng-bareng ini.

Karya terbesarnya dibuat di Meksiko pada 6 Mei 2007, di mana ia mengabadikan 18.000 orang telanjang di kota Meksiko Zocalo Square.

Nur Haryanto
TEMPOInteraktif, 3 Maret 2010

Dusta dalam Politik


”Barangsiapa tidak menghendaki apa-apa selain mengatakan kebenaran, berdirilah di luar pertarungan politis”.

Pernyataan Hannah Arendt dalam Wahrheit und Lüge in der Politik ini sangat dimengerti oleh para politikus di mana pun.

Kejujuran tidak pernah menjadi keutamaan politis. Sebaliknya, dusta selalu saja berlaku sebagai alat yang diizinkan dalam politik. Peristiwa-peristiwa yang tidak enak pada masa lalu, krisis kepemimpinan atau korupsi yang menggerogoti anggaran negara adalah obyek-obyek dusta para pemimpin. Untuk menutupi celah antara pernyataan dan kenyataannya, politikus tidak memberi kebenaran, tetapi pembenaran.


Dusta kuasa
Sejak politik dipikirkan, dusta dalam politik sudah mendapat alasannya. Dalam buku kedua The Republic, Plato membenarkan dusta demi kepentingan umum. Dusta kuasa berfungsi —katakanlah— sebagai obat penangkal bahaya sebagaimana dokter juga tidak mengatakan yang sebenarnya agar semangat hidup pasiennya tetap ada. Demi stabilitas negara, dalam krisis yang menghadang, berdusta kepada rakyat tampaknya lebih bermanfaat daripada mengatakan kebenaran. ”Dusta mulia” atau noble lie —demikian sebutan Plato— lalu diizinkan karena memiliki tujuan ”mulia”.

Lebih daripada tujuan yang tampak altruis itu, dusta dalam politik sesungguhnya berakar pada kegelisahan pemimpin akan citra kekuasaannya yang memudar. Oleh karena politik terbangun dari opini, dusta memompa kembali citra diri lewat opini. Karena itulah, Machiavelli dalam bab 18 The Prince menobatkan dusta sebagai salah satu virtue, kepiawaian, politis.

Pemimpin tidak harus berbelas kasih, setia pada janji, religius, dan jujur, tetapi ia harus ”tampak memiliki” ciri-ciri itu karena ”setiap orang ada dalam posisi untuk melihat, sedikit saja yang datang menyentuhmu”. Konferensi pers digelar, talk show (obrolan di televisi) dirancang, dan juru bicara dikirim. Semakin kempis citra itu, semakin besar kebutuhan untuk menggelembungkannya lewat media.


Altruisme dusta mulia segera dibantah oleh kenyataan bahwa sebagian besar dusta kuasa itu egoistis, yakni dilakukan demi tujuan kekuasaan itu sendiri. Atribut ”mulia” itu semu. Menurut Arendt, dusta memungkinkan seorang pemimpin ”mengambil keuntungan untuk mengetahui lebih dulu apa yang ingin didengarkan oleh publiknya”. Penjelasan kepada publik dipersiapkan rapi-rapi agar publik percaya, sementara dia tahu bahwa segala kecohan itu hanya demi memenangkan publik agar tetap loyal kepadanya.

Dusta dalam politik tentu saja mencederai fairness. Pertama, publik diremehkan, diinfantilisasi, dan haknya untuk tahu dirampas. Kedua, dengan merancukan keterangan yang seharusnya diketahui publik, si pendusta menikmati posisi free rider: dia meraih keuntungan dari dustanya tanpa risiko untuk dibohongi juga.

Semua pendusta, termasuk yang ada dalam politik, memiliki keinginan seperti pihak yang ia bohongi untuk tidak dibohongi. Dusta dia reservasi bagi dirinya sendiri, dan ia menuntut orang lain untuk jujur. Jika demikian, dusta bukanlah aspirasi terdalam dari si pendusta sendiri. Dia menginginkan kejujuran. Dusta kuasa, sekalipun berdalih ”demi kepentingan umum”, melukai aspirasi semua orang akan kebenaran.


Kuasa dusta
Dalam republik normal para penipu politis tidak sanggup melawan kenyataan. Kenyataan selalu saja lebih besar daripada jejaring dusta yang dirajut bersama kroni-kroninya. Di sini dusta masih dikenali sebagai dusta. Keadaan tentu berbeda dalam sebuah negara dengan ”dusta terorganisasi”, seperti dalam rezim otoriter.

Jika demi menyelamatkan kedudukan mereka, para pemimpin berperilaku seolah-olah mempercayai dusta orang yang di atas mereka, distingsi antara kebenaran dan dusta menjadi kabur. Seperti salah cetak yang dihasilkan komputer secara konsisten akan memberi kesan beres, dusta yang direpetisi secara sistematis akan dipersepsi sebagai kebenaran. Sejarah diputarbalikkan, fakta dibengkokkan, testimoni diatur sebelumnya, dan buku-buku kritis dilarang. Dusta kuasa yang lalu merongrong akal sehat publik lambat laun berubah menjadi kuasa dusta.


Politik itu sendiri sudah mendorong dusta. Mengapa? Karena politik adalah bisnis visi dan, seperti dikatakan Arendt, antara visi politis dan kepentingan diri pemimpin di satu pihak dan dusta di lain pihak terdapat hubungan yang erat. Dilambungkan oleh visinya sendiri, pemimpin kerap mengabaikan fakta lapangan yang bertentangan dengan keyakinannya. Bukankah fakta adalah obyek opini, dan opini berasal dari kepentingan yang berbeda-beda?

Jika demikian, opini pemimpin akan menjadi absolut ketika fakta tidak lagi dihargai. Terus mengkhotbahkan visinya, dia akhirnya yakin akan keyakinannya sendiri. Penipuan diri pemimpin ini cepat direpetisi oleh mereka yang menggantungkan nasib kepadanya, mulai dari lingkaran dalamnya, tetapi kemudian juga di luarnya jika media mereproduksi dusta itu. Karena itulah, pemimpin kerap mendaku suksesnya, sementara publik tidak menikmati apa pun dari hal itu.


Hanya dusta?
Jika politik hanya berisi dusta, percaya kepada pemimpin tentu adalah tindakan absurd. Bahwa dusta masih bisa dikenali sebagai dusta menunjukkan bahwa politik juga mengandung fakta. Dalam demokrasi, fakta tak mengenakkan ingin dibuka menjadi obyek diskursus publik. Aspirasi terdalam semua orang, termasuk si pendusta, untuk tak dibohongi menjadi alasan untuk menelanjangi dusta kuasa.

Dalam demokrasi pun para politikus memang masih bisa berbohong, tetapi dusta di sini tidak berlaku sebagai sebuah prinsip. Sebaliknya, dalam situasi tersebut kejujuran menjadi sebuah keutamaan politis. Dalam arti ini, meski politik merupakan arena dusta, kejujuran harus masuk ke dalamnya sebagai desakan dalam ruang publik karena tidak ada jalan lain untuk mengubah selain lewat politik.

Pertama, karena memasuki pertarungan politis, desakan untuk jujur itu sendiri berciri politis, juga membawa trik dan taktik. Begitu kejujuran masuk dalam arena politis, ia akan kehilangan spontanitasnya dan mengambil posisi politis yang rentan untuk dipalsukan. Namun, desakan untuk jujur itu sendiri akan merangsang partai-partai yang berlawanan untuk saling menyingkap dusta, asal tersedia arena yang fair untuk mereka. Proses ini menguntungkan publik untuk mengakses kebenaran.


Kedua, ruang publik itu sendiri tidak bersih dari dusta dan manipulasi karena distorsi kuasa ada di dalamnya, tetapi —seperti ditegaskan Habermas— pemeriksaan diskursif atas kebijakan publik akan meningkatkan transparansi karena hanya opini yang menebus klaim kebenaran, ketepatan, dan kejujuranlah yang dapat dipercaya. Publik akan diuntungkan untuk mengakses kebenaran bila pihak-pihak yang bertarung, berkompetisi untuk mendesakkan kejujuran. Ketiga, desakan untuk jujur tidak cukup berciri moral; ia harus masuk ke ranah hukum sebagai tuntutan transparansi kepada publik.

Sissela Bok dalam Lying mengatakan bahwa ”semua kebenaran” berada di luar jangkauan, tetapi hal itu tidak berkaitan dengan pilihan kita, apakah kita berdusta atau tidak. Pilihan itu sedikit banyak berkaitan dengan keadaan mana yang lebih menguntungkan kita. Jika negara hukum demokratis mampu mendesak para pemimpin untuk jujur sehingga berdusta tidak akan menguntungkan posisi mereka, sekalipun tidak dapat dilenyapkan, dusta dalam politik dapat dibatasi.

Kata ”dibatasi” sengaja dipilih karena rezim yang hendak melenyapkan semua kemungkinan dusta dapat terjebak dalam kebijakan totaliter yang mengintervensi ruang privat dengan sistem pendeteksi bohong. Di dalam ”fanatisme kebenaran” itu kejujuran ada sebagai paksaan. Jadi, biarkan dusta tetap sebagai kemungkinan, maka kejujuran pun mungkin sebagai keutamaan.

F Budi Hardiman, Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara, Jakarta
KOMPAS, 12 Februari 2010

Tuesday, March 2, 2010

Kerbau yang Menderita


Siapa hidup di tanah tumpah darah Saijah, dia pasti mengenal kerbau. Dikisahkan oleh Multatuli, Saijah yang berumur tujuh tahun itu sangat mencintai kerbaunya. Celakanya, kerbau kesayangan itu dirampas oleh penguasa karena Pak Saijah, ayahnya, tak dapat melunasi pajak tanah. Saijah khawatir, pada masa mendatang tak ada lagi teman yang bisa diajak mengerjakan tanahnya. Lalu apa yang bisa mereka makan?

Pak Saijah, yang warga Desa Badur, Distrik Parangkujang, Karesidenan Lebak, Banten, itu lalu menjual keris pusaka, warisan ayahnya. Keris itu tidak terlalu bagus, tetapi sarungnya berikat perak yang ada nilainya. Keris itu laku 24 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau lagi.

Saijah segera bersahabat dengan kerbau itu. Kata Multatuli, arti bersahabat itu adalah Saijah amat mencintai kerbau tersebut dan sebaliknya si kerbau amat setia kepada si kecil Saijah. Apa pun yang diperintahkan Saijah, kerbau itu selalu menurutinya. Suara Saijah memberinya tenaga untuk membelah tanah dengan bajaknya. Sayang, kerbau tercinta ini kembali dirampas penguasa.


Alasannya sama. Pak Saijah lalu menjual lagi warisan orangtuanya berupa sangkutan kelambu dari perak, laku 18 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau baru lagi. Saijah tak segera jatuh cinta pada kerbaunya yang baru. Ia masih teringat kerbaunya yang lama, dan sedih, jangan-jangan kerbau kesayangan itu disembelih orang di kota. Namun, lama-lama Saijah menyayangi juga kerbaunya yang baru, apalagi, kata Pak Penghulu, kerbau baru itu punya user-useran yang akan membawa rezeki.

Suatu hari Saijah dan kawan-kawannya menggembalakan kerbau-kerbau mereka. Tiba-tiba terdengar suara auman macan. Anak-anak itu menyengklak kerbaunya, memacunya untuk segera lari. Saijah juga segera melompat ke punggung kerbaunya. Malang ia terpelanting dan jatuh ke tanah. Si kerbau segera melindunginya. Ketika macan mendekat hendak menerkam Saijah, kerbau itu menanduk perutnya. Macan terkapar dan mati.

Kerbau itu terluka dan ibu Saijah merawat luka-lukanya karena kerbau itu telah menyelamatkan nyawa anaknya. Sayang, lagi-lagi kerbau itu dirampas penguasa karena Pak Saijah tak sanggup melunasi pajak tanah. Waktu kerbau itu dirampas, Saijah berumur 12 tahun dan Adinda, tunangannya, telah pandai menenun sarung dan membatik.


Karena sudah tidak mempunyai uang, Pak Saijah menggarap sawahnya dengan kerbau sewaan. Hati Pak Saijah sedih karena tidak mempunyai kerbau sendiri. Tak lama kemudian, ibu Saijah juga meninggal karena sedihnya, dan hilangnya kerbau itulah awal dari penderitaan yang kemudian dialami oleh Saijah dan Adinda.

Kerbau adalah bagian hidup warga Nusantara. Kehilangan kerbau sama dengan kehilangan nyawa. Kerbau memang tak bisa dipisahkan dari penduduk Nusantara. Itulah yang diuraikan oleh sarjana Belanda, J Kreemer, dalam bukunya, De Karbouw, Zijn Betekenis voor de Volken van De Indonesische Archipel (1955).

Dengan panjang lebar Kreemer menunjukkan bagaimana hubungan kerbau dengan hidup harian penduduk Nusantara. Kerbau mempunyai kisah-kisah yang pre-historis. Paling penting, kerbau adalah binatang pertanian (landbouwdier), yang membantu petani mencari nafkah. Kerbau juga binatang transportasi dan binatang niaga. Di banyak tempat, kerbau digunakan untuk lomba atau karapan.

Kerbau juga dianggap binatang mistis. Di Toraja, orang percaya, bila tiba-tiba ada kerbau masuk kampung dan tak kembali lagi ke tempat penggembalaannya, berarti akan ada orang mati. Kerbau juga dipercaya bisa menitikkan air mata bila majikannya meninggal dunia.


Dirampas haknya
Di Jawa ada kepercayaan, kerbau adalah patron bagi pertanian. Karena itu, petani yakin bahwa kerbau dengan sendirinya dapat diajak membajak dengan tepat dan benar. Maka, sambil membajak, ada doa yang diucapkan demikian, ”O pelindung para tani, bantulah kami. Singkirkanlah segala penyakit dan wabah. Buanglah segala tikus dan hama”.

Di beberapa desa di Jawa, demikian penelitian Van Hien seperti dikutip Kreemer, tiap malam Jumat Paing, orang membuat sesaji untuk kesejahteraan kerbau-kerbau mereka. Mereka percaya, kerbau itu mempunyai roh dan danyang-danyang. Dengan sesaji itu dipanggillah roh dan danyang-danyang agar mau melindungi kerbau-kerbau mereka, membuatnya menjadi sentosa dan sehat agar bisa diajak untuk kuat membajak.


Kerbau tiba-tiba diajak demonstrasi ikut meramaikan politik kita, akhir-akhir ini. Sayang, kerbau hanya dijadikan dan ditangkap sebagai bahan olok-olokan. Kalau dipahami benar makna kerbau bagi masyarakat Nusantara, Presiden mestinya tidak perlu tersinggung. Sama dengan kerbau, berarti menyelami betul nyawa dan hidup penduduk Nusantara, lebih-lebih penderitaannya. Juga, serajin dan sesetia binatang yang sepanjang sejarah menemani petani membajak tanah untuk mencari nafkah.

Dari pihak demonstran, kerbau mestinya tak hanya disajikan sebagai simbol kedunguan dan kemalasan, tetapi juga simbol milik yang dirampas oleh penguasa sehingga membuat rakyat menderita, seperti kisah Saijah. Jika demikian, tepatlah kritik mereka terhadap pemerintah: tidakkah sampai sekarang hak-hak wong cilik masih terus dirampas oleh penguasa seperti di zaman Saijah dan Adinda? Kerbau adalah lambang penderitaan sekaligus keselamatan dan kesejahteraan rakyat Nusantara. Siapa menolak dan menistakan kerbau, dia menjauhi keselamatan dan kualat terhadap rakyat Nusantara.

Sindhunata, Budayawan
KOMPAS, 11 Februari 2010


Demi Orang-orang Rankagsbitung
Puisi WS Rendra

Saya Telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan

oleh para penguasa

dengan gaya yang anggun

dan sikap yang gagah
tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.



Dengan bahasa yang rapi

mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.

Serta dengan budi bahasa yang halus

mereka saling membagi keuntungan

yang mereka dapat dari rakyat

yang kehilangan anak dan ternaknya.

Ya, semuannya dilakukan

sebagai suatu kewajaran.