Tuesday, January 26, 2010

DEMOKRASI: Antara Kedaulatan Ilmu dan Kedaulatan Kambing


Pria yang ramah dan cerdas ini, sebelum belakangan menjadi orang rumahan, dulu merupakan orang lapangan yang langkah da’wahnya sudah merambah hampir seluruh propinsi di Indonesia. Kenapa sekarang betah tinggal di rumah? “Terlalu asyik mengajar orang lain bisa membuat kita lupa mengajar diri dan keluarga. Padahal, diri dan keluarga itulah sasaran da’wah yang pertama dan harus diutamakan.” Begitulah jawaban diplomatisnya. “Tapi suatu hari, saya juga akan terjun ke lapangan lagi,” katanya.

Tapi, siapa sih dia? Dia menolak namanya dipublikasikan, apalagi disertai fotonya. Yang pasti, dari obrolan sekitar dua jam, yang berkisar pada fungsi dan peran Al-Qurãn di zaman sekarang, tulisan di bawah ini adalah hasilnya.

Tolong jelaskan, bagaimanakah Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?

Pertanyaan itu saya sambut dengan pertanyaan lagi. Pertama, apa tantangannya? Kedua, tahu tidak cara mendapatkan jawaban dari Al-Qurãn? Sejarah menegaskan bahwa Al-Qurãn turun sebagai response (jawaban) atas satu challenge (tantangan). Itu yang terjadi pada masa Nabi. Kini juga bisa terjadi, peran Al-Qurãn sebagai respon seperti dulu itu berulang, atau sebenarnya tetap demikian. Ibarat alat, dia tidak akan kehilangan fungsi. Tapi, masalahnya, maukah kita memfungsikannya?


Bila tantangannya, misalnya, demokrasi?

Demokrasi bukan tantangan bagi Al-Qurãn. Tapi, sebaliknya saya menantang, bisakah prinsip demokrasi diubah, dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan ilmu?


Maksud Bapak?

Kedaulatan rakyat itu kan sama dengan kedaulatan kambing! Akhirnya yang muncul ke permukaan adalah serigala. Kenapa? Karena serigala berilmu, punya strategi dan taktik untuk membuat kambing memilih mereka sebagai pemimpin, sehingga mereka jadi bebas makan kambing toh?

Jadi, seperti kata Nurcholis bahwa demokrasi bisa membuat tuyul terpilih jadi presiden?

Ya, karena itu tadi, prinsip kedaulatan rakyat.


Tapi katanya suara rakyat adalah suara Tuhan.

Jadi, Tuhan berbicara melalui rakyat, begitu? Yang saya tahu, Tuhan berbicara melalui kitab-Nya, kepada para rasul-Nya. Lalu para rasul itulah yang berbicara kepada rakyat, menyampaikan ajaran Tuhan. Bila si rakyat menerima ajaran Tuhan, otomatis mereka akan menyuarakan ajaran Tuhan. Mereka akan berani berkata kepada para pemimpin, “Hai, kalian jangan korupsi!” misalnya.

Tapi bila ajaran Tuhan tidak ada di otak mereka, bisa-bisa mereka malah menggemakan suara Setan! Artinya, bisa saja suara rakyat memang identik dengan suara Tuhan, bila si rakyat itu memang tahu suara Tuhan dan mereka menyuarakan aspirasi Tuhan, bukan aspirasi perut mereka. Bila mereka hanya menyuarakan aspirasi perut, atau aspirasi libido (seks) seperti kata Freud, ya suara rakyat identik dengan suara Setan. Bila rakyat sudah mewakili aspirasi Setan, wajar saja bila mereka memilih tuyul atau setan gundul sebagai pemimpin. Lalu, di lapangan informasi, misalnya, bertebaranlah media massa yang menawarkan pornografi dan pornoaksi.


Lalu, yang Bapak maksud dengan kedaulatan ilmu?

Saya maksud dengan kedaulatan ilmu adalah ilmu sebagai imam atau pemimpin. Seperti kata Nabi, ilmu adalah imam bagi amal (perilaku) manusia. Tapi kebanyakan manusia bergerak, hidup, mengikuti tradisi atau bahkan kelatahan saja. Kebanyakan manusia tidak mempertanyakan apakah yang mereka lakukan setiap hari itu benar atau tidak menurut ukuran suatu ilmu? Bagi umat Islam, misalnya, benar atau tidak yang mereka lakukan itu menurut ukuran kitab suci mereka, yang merupakan ’standar ilmiah’ mereka?

Maksud Bapak?

Ya, orang Islam itu kan setiap melakukan sesuatu harus dimulai dengan Bismillah. Tapi sadar tidak kita, struktur ilmu apa yang harus dibangun ketika kita mengucapkan Bismillah?

Wah, saya makin tak mengerti nih!

Anda kan mempertanyakan tentang kedaulatan ilmu. Sebelum bicara kedaulatan ilmu dalam skala besar, katakanlah dalam konteks kenegaraan, kita harus periksa diri sendiri dulu. Pertama adalah cara berpikir kita. Sudahkah kita berpikir ilmiah? Berpikir ilmiah itu kan mulainya dari metode. Metode itu sebenarnya kan struktur, atau bangunan, atau bentuk ilmu. Setiap ilmu mempunyai metode sendiri, yang membedakannya dari ilmu-ilmu lain. Nah, Al-Qurãn sebagai ilmu juga kan ada metodenya.

Memangnya Al-Qurãn itu ilmu?

Lha, ajaran dukun saja diakui sebagai ilmu, kenapa ajaran Allah tidak?


Bukankah Al-Qurãn sebagai wahyu itu lebih tinggi dari ilmu?

Dianggap lebih tinggi tapi diperlakukan lebih rendah, itulah kenyataannya! Artinya, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka kita jadi setengah hati dalam menjadikannya pedoman hidup. Akhirnya pedoman itu menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan sejak awal sekali, mulai dari penerjemahan, karena Al-Qurãn dianggap bukan ilmu, maka penerjemahannya pun menjadi tidak ilmiah. Sebagai contoh, Bismillahirrahmanirrahim diartikan “Dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang ….

Di mana letak kesalahan terjemahan itu?

Coba terjemahan itu dibawa ke Aceh, ketika baru hancur karena tsunami! Atau ke tempat yang baru-baru ini dilanda air dari Situ Gintung. Di sana yang terlihat dan terasa adalah Allah Mahakejam, bukan Pengasih dan Penyayang.


Itu kan pikiran orang tak beriman!

Bukan! Itu pikiran orang-orang yang tidak ilmiah, karena memang tidak diajari berpikir ilmiah oleh para Kiai mereka. Coba perhatikan (sambil tertawa), setiap ada bencana, para Kiai itu menghibur dengan kata-kata, ada juga yang berdoa sambil nangis-nangis. Lucunya, sambil menangis mereka mendikte Allah untuk berbuat begini dan begitu, atau jangan berbuat begini dan begitu. Sebenarnya siapa yang jadi Tuhan? Allah atau kita? Kalau kita mendikte Allah, berarti kita dong yang jadi Tuhan! Setiap terjadi bencana, di mana-mana, dengan berbagai cara, muncul pengakuan tentang kedudukan Tuhan sebagai Penguasa, tapi tidak ada pengakuan bahwa Tuhan itu Pengatur, yang peraturan-Nya harus diikuti.

Dalam konteks Aceh, bukankah di Aceh justru sudah diberlakukan Syari’at Islam, peraturan Allah?

Dalam kenyataan, apa benar ajaran Allah diterapkan di sana? Bagaimana dengan bisnis ganja yang terus berjalan? Bahkan setelah peristiwa tsunami, masih ada orang yang tertangkap karena hendak menyelundupkan ganja. Itu hanya contoh ekstrim saja ya! Yang ingin saya katakan adalah bahwa Islam di Aceh, atau di belahan bumi Indonesia yang lain, sama sajalah dengan di negara-negara Arab atau yang lain. Resminya negara Islam, tapi tetap saja yang berlaku secara real adalah peraturan tuyul. Masih ada para penguasa yang feodalis, ada korupsi di sana-sini, ada penindasan, pelecehan seksual, dan macam-macam.

Itu dari sisi perilaku manusianya. Dari sisi konsepnya, apa yang disebut Syari’at Islam itu kan Fiqih. Fiqih itu kan macam-macam, ada beberapa aliran, ada beberapa mazhab. Di antara mazhab-mazhab itu, entah yang mana yang mewakili ajaran Allah yang sebenarnya. Ya, orang boleh saja mengatakan bahwa perbedaan pendapat, yang melahirkan mazhab-mazhab itu, adalah rahmat. Tapi bagi saya, lahirnya mazhab-mazhab itu hanya membuktikan bahwa manusia tidak mau tunduk pada peraturan Allah. Islam yang tadinya hanya satu, satu Tuhannya, satu kitabnya, satu rasulnya, oleh manusia yang lahir belakangan kok dijelmakan menjadi puluhan atau ratusan mazhab?


Dalam kenyataan, perbedaan pendapat itu kan tidak bisa dihilangkan Pak!

Anda boleh berbeda pendapat dengan saya, kalau antara anda dan saya tidak mempunyai tujuan real dan praktis yang sama. Misalnya, kita cuma ingin beradu wacana. Tapi kalau kita punya tujuan nyata dan praktis yang sama, keunggulan sebuah konsep atau wacana ditentukan oleh kemampuannya mencapai tujuan itu. Ketika kita hendak membangun sebuah rumah, misalnya, kita harus berangkat dari sebuah gambar yang dibuat oleh seorang arsitek yang kita sepakati. Kalau kita membawa dua gambar dari dua arsitek yang berbeda, padahal kita hendak membangun rumah di satu lahan yang sama, apa yang akan terjadi? Baguslah kalau nanti dua rumah bisa dibangun. Tapi bagaimana kalau kita malah berantem memperebutkan lahan, untuk mewujudkan gambar masing-masing?

Maksud saya, ketika kita berhadapan dengan Al-Qurãn sebagai sebuah teks, saya kira sudah hampir pasti bahwa kita akan berbeda pendapat.

Ya, kalau kita berangkat secara liar, semau gue, memang bisa begitu. Tapi coba kita berangkat dari satu titik keberangkatan yang sama. Nah, titik keberangkatan ini kalau dalam konteks ilmu adalah metode atau prosedur. Kalau kita menggunakan metode yang sama dalam mengkaji Al-Qurãn, hasilnya, kesimpulan yang kita dapat pasti akan sama.

Dari mana kita dapatkan jaminan kepastian itu?

Kalau anda mempelajari teori ilmu, filsafat ilmu, anda pasti tahu bahwa sebuah metode itu tidak berdiri sendiri tapi ada perangkat-perangkat lain yang membuat metode itu bisa tegak, bisa membawa kita pada tujuan nyata dan praktis tadi. Nah, sepanjang kita berpegang pada satu metode dengan segala perangkat pendukungnya, lalu kita hubungkan dengan tujuan nyata dan praktisnya, maka di situ kita bisa memusatkan perhatian secara bersama-sama.

Bagaimana bila tujuannya berbeda?

Kalau tujuannya berbeda, metodenya berbeda juga dong! Tapi kita, sesama umat Islam, masak sih punya tujuan berbeda. Ambil contoh gampang saja; kita bikin masjid, misalnya, apa tujuan kita beda?


Kalau contohnya masjid, kan banyak masjid didirikan oleh banyak mazhab. Maksud saya, perbedaan mazhab tidak membuat tujuan membangun masjid jadi berbeda.

Ya, karena masjid hanya sarana fisik, yang seandainya dia tidak ada pun, kita tetap bisa melaksanakan tujuan kita. Untuk shalat ritual, misalnya. Tapi, bila tujuannya hanya shalat ritual, shalat tidak harus dilakukan di dalam masjid. Tapi ketika sebuah masjid dibangun, tujuan hakiki yang mau dicapai bukan lagi sekadar melakukan shalat ritual. Masjid itu harus menjadi sarana pemersatu, bukan malah menjadi alat pemisah satu mazhab dengan mazhab yang lain.

Ngomong-ngomong soal masjid, dalam peristiwa tsunami di Aceh dulu itu, ada beberapa masjid yang selamat, sementara bangunan-bangunan lain hancur. Begitu juga dalam peristiwa Situ Gintung. Bagaimana Bapak membaca hal itu?

Tidak semua masjid selamat, banyak juga yang hancur. Saya dengar ada 270 masjid yang hancur. Untuk yang tidak hancur, mungkin karena bangunannya memang bagus. Sedangkan masjid yang dekat Situ Gintung itu, kan jelas kelihatan bahwa masjid itu tidak terhantam langsung oleh limpahan air. Air hanya lewat di sampingnya. Tapi bisa jadi juga, Allah memang campur tangan di situ. Karena seperti yang terjadi di Turki, di sebuah lokasi gempa, ada sebuah masjid yang tetap tegak dan utuh, sementara bangunan-bangunan di sekelilingnya hancur.


Jadi, ada unsur campur tangan Allah juga ya?

Ya, siapa tahu? Tapi, kalau memang ada kejadian seperti itu, lalu siapa yang campur tangan? Setan? Punya kuasa apa setan? Mungkin itu memang peringatan dari Allah, bahwa masjidnya memang sudah benar, tapi manusianya yang masih salah.

Jadi, bencana di Aceh dan Situ Gintung itu memang layak mereka terima, sebagai hukuman?

Bencana alam itu tidak pilih bulu! Salah atau benar, kalau dia ada di tempat bencana, pasti kena juga. Kalau bicara hukum, itulah hukum alam, sunnatullah. Tapi kalau bicara hukuman, hukuman Allah hanya untuk orang-orang yang berdosa. Bagi yang tidak berdosa, bencana itu merupakan ujian. Tapi kalau bicara masjid, Rasulullah dulu juga membangun masjid. Tapi bersamaan dengan pembangunan masjid, atau malah sebelumnya, mental manusianya juga dibangun. Kita sekarang membangun masjid yang bagus-bagus, hingga bisa tahan gempa, tapi mental manusianya dibiarkan tidak terbangun. Maksud saya terbangun, terbentuk menjadi manusia-manusia yang mau hidup dengan ajaran Allah.

Bukankah masjid-masjid itu selalu ramai dengan kegiatan keagamaan?

Ya, masjid-masjid ramai, tapi kosong dari petunjuk. Kosong dari nilai-nilai Al-Qurãn. Yang ramai di sana cuma kegiatan-kegiatan ritual, malah cenderung bersifat hura-hura. Selesai dari kegiatan ritual dan hura-hura, masjid-masjid itu menjadi bangunan yang mati dan terasing. Hati manusia yang tinggal di sekelilingnya, tidak ada di sana. Kenapa? Karena masjid tidak menawarkan nilai-nilai pragmatis yang mereka butuhkan.

Apa yang Bapak maksud dengan nilai-nilai pragmatis itu?

Ya nilai-nilai yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti rasa persatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan sebagainya, yang dampaknya tentu akan luas. Akan berpengaruh pada banyak segi kehidupan, termasuk masalah ekonomi. Gampangnya, bila sebuah masjid berfungsi sebagaimana mestinya, manusia-manusia yang tinggal di sekitarnya akan hidup dalam suasana persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan. Sehingga tidak perlu ada orang yang merana sendirian karena kemiskinan, misalnya.


Apakah itu berhubungan dengan zakat?

Ya, katakanlah begitu. Peran masjid memang sangat berhubungan dengan zakat, tapi bukan zakat seperti yang dipahami kebanyakan orang sekarang. Zakat yang saya maksud adalah, antara lain, zakat sebagai suatu sistem ekonomi.

Bagaimana pula zakat yang merupakan sistem ekonomi?

Gampangnya: zakat itu kebalikan dari riba. Bila riba itu menguntungkan segelintir orang berduit dengan memeras orang miskin, zakat adalah sebaliknya. Orang berduit memberikan manfaat dari duitnya kepada orang-orang miskin, tapi bukan dengan cara memberikan derma! Seperti kata Nabi, berikan kail, bukan berikan ikan. Saya kira, ini butuh penjabaran yang cerdas.

Sekarang sudah banyak berdiri Bank Syari’ah. Apakah itu penjabaran cerdas yang Bapak maksud?

Cerdas dalam hal meniru yang sudah ada. Sedikit memodifikasi. Intinya sama saja. Tapi saya tak ingin bicara banyak tentang itu. Kita lihat saja.

Kembali ke soal agama dan ilmu. Bapak seperti menyamakan agama dengan ilmu. Padahal, katanya agama dan ilmu itu berbeda. Beragama tidak boleh berlogika, misalnya.

(Tertawa) Manusia itu makhluk logika, hayawanu-natiq! Tak ada manusia yang tak berlogika. Logika itu jalan pikiran toh? Justru logika itulah yang membedakan orang dewasa dengan anak kecil, orang terpelajar dengan orang yang kurang ajar. Logikalah yang membedakan satu manusia dengan manusia yang lain. Yang satu ada yang berlogika ilmu, yang lain berlogika dongeng, berlogika mitos.

Nah, kita yang mengaku beragama Islam ini kebanyakan berlogika dongeng. Al-Qurãn, yang sebenarnya ilmiah, kita pahami dengan logika itu, sehingga terkesan ada pemisahan antara logika agama dengan logika ilmu. Sebagai contoh, mari kembali ke soal terjemahan Bismillah. Secara harfiah, oke-lah ar-rahmãn diterjemahkan Pengasih dan ar-rahïm diartikan Penyayang. Bahwa Allah bersifat Pengasih dan Penyayang, itu memang benar. Tapi bagaimana bentuk nyata dari sifat-sifat itu? Itu yang harus ditegaskan, sehingga tidak perlu ada yang keliru memahaminya. Dan tidak perlu ada yang mempertanyakan sifat-sifat itu ketika terjadi bencana alam, misalnya.


Ini masalah tafsir atau apa?

Ya, masalah tafsir memang. Tapi bukan berarti masalah ilmiah murni yang merupakan lahan garapan para pakar. Ini berkaitan juga dengan sistem pengajaran agama yang harus bersifat mencerahkan, bukan hanya berupa dogma atau doktrin. Dalam pengajaran Al-Qurãn, misalnya, orang harus dibimbing untuk memahami logika Al-Qurãn, bukan malah dicekoki logika para pengajar atau juru tafsir. Nah, ini sebenarnya jawaban dari pertanyaan anda yang pertama: “Bagaimana Al-Qurãn menjawab tantangan zaman?

Jawaban itu memang ada dalam Al-Qurãn. Tapi dibutuhkan usaha, kerja keras, untuk menggalinya. Itu tidak bisa diberikan secara gampangan, oleh saya, misalnya. Karena masalahnya berhubungan dengan pembentukan logika tadi. Al-Qurãn punya logika tersendiri. Kita juga mempunyai logika sendiri-sendiri. Ketika berhadapan dengan Al-Qurãn, sering kali logika kitalah yang main, sehingga logika Al-Qurãn akhirnya tidak ‘bicara’. Itu kan kurang ajar namanya!

Kurang ajar atau tidak tahu?

Ya, kurang ajar itu kan sama dengan kurang ajaran (kurang belajar), kurang diberi pelajaran, alias kurang pendidikan, makanya jadi tidak tahu!

Berarti setiap orang harus dilibatkan mempelajari tafsir Al-Qurãn, begitu?

O, iya. Al-Qurãn kan petunjuk untuk manusia, hudan lin-nãs(i), bukan hanya petunjuk untuk para ustadz atau Kiai.


Tapi, mempelajari tafsir itu kan sulit?

Makanya jangan disebut mempelajari tafsir dong. Mempelajari Al-Qurãn saja. Mempelajari kitab Allah, yang kita akui sebagai pedoman hidup kita. Bila tidak dipelajari, berarti pengakuan itu bohong. Sulit memang sulit. Tapi kalau kita butuh, yang sulit itu kan terus dicari.

Tidak bisakah orang-orang awam diberi penjelasan seperlunya saja, tanpa harus terlibat dalam proses belajar?

Kalau anda mau jadi serigala, dan orang lain mau anda jadikan kambing, silakan. Tapi melalui Al-Qurãn itu Allah mengajarkan prinsip-prinsip hidup. Di antaranya adalah prinsip tawãshau bil-haqq(i), saling menasihati atau saling menjaga agar sesama orang beriman itu tidak menyimpang dari kebenaran. Prinsip itu tidak akan bisa berjalan bila ilmu tidak memasyarakat, tidak menjadi kesadaran masyarakat.

Contohnya?

Dulu ada Kiai yang menikah satu malam. Masyarakat heboh mempertanyakan, mungkin ingin mengeritik, tapi tak punya ilmu. Prinsip tawãshau bil-haqq macet, karena ilmu juga tidak mengalir, tidak dialirkan, alias hanya tergenang di satu tempat, yaitu di otak para Kiai itu. Alhasil, walau salah, Kiai tetap tidak bisa disalahkan. Seolah-olah can do no wrong. Apa yang diperbuat selalu benar. Di dunia tasauf, misalnya, semakin aneh kelakuan seorang guru (mursyid) malah dianggap semakin membuktikan ketinggian derajat kewaliannya. Biar heran, muridnya tak boleh protes. Kalau protes juga, jawabannya adalah: pemahaman kamu belum sampai! Saya pikir, itu adalah trick untuk memojokkan orang bodoh, atau untuk membuat sang guru jadi tidak tersentuh. Yang jelas, kalau kita memperhatikan sejarah Nabi Muhammad, tidak ada cerita bahwa beliau pernah berperilaku ganjil. Perilaku beliau adalah perilaku yang menjawab pertanyaan, bukan menimbulkan pertanyaan, karena bisa ditiru.


Tapi meniru akhlak Nabi itu kan sulit sekali, Pak.

Ya, tentu saja. Saya tidak pernah mengatakan bahwa itu mudah. Karena itulah kita harus belajar, harus berlatih. Dalam belajar, tentu ada trial and error. Itu biasa. Tapi jangan salah dalam prinsip. Kalau prinsipnya benar, trial and error itu berjalan dalam garis yang benar. Berarti kita menjalankan rencana Allah. Bila prinsipnya salah, trial and error itu berjalan dalam garis rencana Iblis. Bila kita ingin belajar Al-Qurãn, misalnya, itu benar. Lakukan trial and error, tapi cukup di tataran ilmu, jangan di tataran praktis.

Mengapa?

Bila main di tataran praktis, sebelum ilmu dikuasai dengan mantap, bisa-bisa kita jadi teroris!

Apa bahayanya bila kita jadi teroris?

Sedikitnya ada dua bahayanya kalau kita jadi teroris. Pertama, citra agama kita rusak. Kedua, tindakan teror itu bisa dimanfaatkan orang untuk menghancurkan agama kita melalui tangan kita sendiri.


Kalau begitu, saya menangkap kesan adanya kesenjangan antara ilmu dan amal?

Ketika anda belajar, di sekolah misalnya, jelas sekali antara ilmu yang anda pelajari dengan parktiknya itu ada kesenjangan. Ada jarak. Kenapa? Karena sekolah adalah tempat menuntut ilmu saja. Praktiknya nanti, di luar. Jadi, ada giliran untuk belajar, dan ada giliran untuk menerapkan ilmu yang dipelajari. Tapi repotnya sekarang, setelah lulus sekolah anak-anak malah tidak bisa bekerja. Kalau begitu, masalahnya bukan jarak, bukan giliran, tapi ada dikotomi antara ilmu yang dipelajari dengan kenyataan yang harus dihadapi. Di situ kita lihat ilmu tidak menjadi petunjuk hidup, tapi sebatas alat untuk asah otak. Tapi yang saya lihat, sekolah malah membuat otak anak kita jadi tumpul. Menghadapi masalah kecil saja mereka sudah mengeluh.

Bagaimana soal pendidikan agama?

Dalam pendidikan agama, lain lagi ceritanya. Para Kiai mengajarkan ilmu praktis yang bernama Fiqih. Hidup kita diatur dengan hukum halal-haram, wajib-sunat, makruh-mubah. Shalat hukumnya wajib. Mengerjakan shalat dapat pahala, tidak mengerjakan berdosa. Apa yang dibaca dalam shalat? Al-Qurãn. Kalau yang dibaca tidak dipahami bagaimana? O, tidak apa-apa. Paham nggak paham, pahala tetap dapat. Ini kan konyol. Di satu sisi Allah menurunkan Al-Qurãn untuk mencerdaskan kita, eh para Ahli Fiqih malah menyuruh umat untuk tetap bodoh.


Jelasnya?

Jadi, yang ingin saya tegaskan di sini adalah manusia hidup itu harus ilmiah. Karena itu ada kewajiban untuk menuntut ilmu. Selagi ilmu belum dikuasai, jangan beramal dulu, jangan praktik dulu. Nah, para Ahli Fiqih mengajarkan sebaliknya. Bagi mereka, ilmu belakangan; yang penting praktik. Muncullah tindakan-tindakan konyol. Orang beramal tanpa dasar ilmu. Contoh gampangnya, para artis, pejabat, pengusaha, pergi haji karena mereka punya duit. Pulang beribadah haji, mereka jualan daging lagi; pamer paha, pamer dada, korupsi, menipu. Seiring dengan itu, orang-orang miskin yang tak punya dana untuk makan, untuk menyekolahkan anak, dibiarkan menonton mereka sambil gigit jari.

Kan ada alternatif di samping Fiqih. Tasauf, misalnya.

Ah, Tasauf itu lebih gila lagi! Di satu sisi Nabi melarang kita memikirkan zat Allah, tapi mereka malah mengajak orang mencari-cari Allah. Sudah jelas bahwa Allah menurunkan Al-Qurãn sebagai wakil-Nya. Kenapa mereka tidak menekuni Al-Qurãn saja?


Saya kira, mereka malah menekuni Al-Qurãn!

Ya, tapi hanya untuk pembenaran pikiran mereka.

Kata mereka, Nabi Muhammad juga dulu pada hakikatnya seorang sufi?

(Tertawa keras) Itu jalan pikiran yang bagus. Tapi kalau Nabi Muhammad seorang sufi, mengapa perilaku mereka berbeda dengan Nabi Muhammad? Kalau Nabi Muhammad seorang sufi, maka sufi sejati adalah yang memiliki persamaan terbanyak dengan Nabi Muhammad, bukan malah memperlihatkan perbedaan yang menyolok. Yang jelas, seperti kata ‘Aisyah, akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, dan saya lihat konsep Al-Qurãn dengan ajaran Tasauf itu bertolak belakang.

Karena akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qurãn, maka yang harus diutamakan adalah pengkajian Al-Qurãn, begitu?

Ya.


Menurut Bapak, di mana letak sulitnya mempelajari Al-Qurãn?

Saya melihat yang terberat itu adalah sisi pragmatisnya. Maksud saya, ini masalah situasi kejiwaan ya, yang menuntut kita untuk bersikap pragmatis. Ketika kita hendak mengkaji Al-Qurãn, misalnya, kita harus berusaha memproyeksikan diri ke dalam posisi ketika Nabi Muhammad mengkaji Al-Qurãn.

Caranya?

Misalnya, Nabi Muhammad pada waktu itu dalam keadaan haus akan informasi akurat. Kita pun harus memproyeksikan diri seperti itu. Haus informasi akurat dari Allah, karena jenuh dengan informasi bohong dari sekeliling kita!

Itu yang sulit. Saking sulitnya, saya sampai mengarang doa: Ya Allah, jadikanlah aku orang yang amat sangat cinta pada ajaran-Mu, amat sangat cinta pada rasul-Mu …!” Sulit, sulit sekali. Jangankan amat sangat cinta, cuma cinta biasa saja sudah sulit.


Tapi kita harus berusaha, karena setelah kesulitan itu pasti muncul kemudahan kan?

Saya sering mendengar orang mengatakan itu! Tapi jelasnya bagaimana?

Kita kan sudah bicara panjang-lebar bahwa Al-Qurãn itu ilmu, pedoman, petunjuk, dan sebagainya. Nah, walaupun sulit mempelajarinya, setelah belajar kan kita mendapatkan ilmu-Nya. Selanjutnya, ilmu-Nya itulah yang akan mendatangkan kemudahan, karena dia benar-benar jadi pedoman. Jadi petunjuk yang benar-benar fungsional, bermanfaat secara praktis!

http://id-id.facebook.com/notes/ahmad-husein/demokrasi-antara-kedaulatan-ilmu-dan-kedaulatan-kambing/262047546697

Thursday, January 21, 2010

Bumi Haiti Terguncang


Lengang dan senyap mulai menyergap. Beberapa kejap mata akhirnya menghidupkan kesadaran, bumi baru saja berguncang di Haiti. Pemandangan berubah: gedung runtuh, perkantoran ambruk, rumah-rumah rata dengan tanah. Mulailah terdengar rintih dan jerit tangis kesakitan. Orang-orang mulai merangkak ke tempat terbuka, di pinggir jalan atau di tanah lapang.


Gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter mengguncang Haiti. Sampai kini tercatat lebih dari 50 ribu jiwa melayang. Pejabat setempat bahkan menyatakan kemungkinan korban jiwa mencapai 100 ribu jiwa. Bau busuk mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan-jalan di ibukota Port-au-Prince mulai menyesakkan dada.

Istana Presiden Haiti pun remuk diterjang gempa

Tim penyelamat yang terdiri dari 260 orang telah tiba dan 30 negara telah berjanji akan mengirim bantuan. Cina, Perancis, Islandia, Amerika Serikat dan Venezuela adalah tim pertama yang sampai tujuan. Sedangkan Washington mengirim tentara, kapal, helikopter, pesawat, tim penyelamat, rumah sakit terapung dan lebih dari 5.000 tentara. Indonesia pun tak kalah sigap, dengan mengirim tim medis, obat-obatan,dan penjernih air.

Nurharyanto
http://tempointeraktif.com/galeri/gempa.haiti/

H A I T I . . . . .


Port-au-Prince, dengan penduduk sekitar 846.200 jiwa (1995), adalah ibu kota Haiti. Kota ini terletak di Teluk La Gonave.

Kota ini didirikan pada tahun 1749 oleh pemilik perkebunan gula Perancis. Lalu pada tahun 1770 menjadi ibu kota. Pada tahun 1804 menjadi ibu kota Haiti merdeka.

Republik Haiti adalah sebuah negara di Karibia yang meliputi bagian barat pulau Hispaniola dan beberapa pulau kecil lainnya di Laut Karibia. Haiti merupakan negara kedua yang merdeka di Benua Amerika setelah Amerika Serikat. Dia juga salah satu produsen gula terpenting di dunia.


Motto: L'Union Fait La Force
(Perancis: "Kesatuan Membawa Kekuatan")

Wednesday, January 20, 2010

Port-au-Prince Diluluh-Lantakkan Gempa Bumi


Haiti, negeri kepulauan di Karibia, Selasa sore 12 Januari 2010 dilanda gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter, sejumlah besar rumah di Ibukota Port-au-Prince mengalami kerusakan berat atau rubuh, lalu lintas dan telekomunikasi putus, jumlah korban tewas dan luka-luka sampai sekarang masih sulit diketahui. Menurut pemimpin pemerintah Haiti, jumlah korban tewas kemungianan mencapai puluhan ribu orang.


Presiden Haiti Rene Garcia Preval mengatakan kepada CNN Amerika bahwa kerusakan akibat gempa bumi sulit dibayangkan, dan sekarang masih belum dapat memberikan angka konkret jumlah korban tewas dan luka-luka. Perdana Menteri Haiti Jean Max Bellerive mengatakan kepada media massa bahwa jumlah korban tewas akibat gempa bumi kemungkinan akan melampaui 100.000 orang.


Lembaga PBB untuk Haiti menyatakan, kerusakan di Port-au-Prince besar dan luas. Istana presiden, rumah sakit, penjara utama, hotel dan super market rubuh diguncang gempa bumi. Gedung kantor pusat misi stabilitas PBB untuk Haiti juga rubuh, dan sekurang-kurangnya 16 staf PBB dikonfirmasi tewas dalam gempa bumi.


Fasilitas komunikasi di Haiti kini sudah putus sama sekali, komunikasi telepon, telepon genggam dan internet lumpuh, hubungan dengan dunia luar dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satelit maritim. Sebagian besar jalan di Port-au-Prince tertutup reruntuhan dan pohon tumbang.


Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB tentang keadaan bencana di Haiti menyatakan, sekitar sepertiga dari 9 juta penduduk Haiti mengalami bencana, sebagian besar daerah di Port-au-Prince hancur, layanan pokok seperti suplai air dan aliran listrik lumpuh sama sekali.


Seorang juru bicara Palang Merah Haiti menyatakan, pihaknya kini sedang bekerja ekstra keras, namun persediaan obat dan alat kedokteran serta kantung jenazah sangat kurang.


Berhubung gempa susulan terus menerus terjadi, banyak orang terpaksa bermalam di ruang terbuka dan menjauhi tembok, dan sejumlah besar lainnya mengungsi ke daerah pedesaan yang relatif ringan keadaan bencananya. Port-au-Prince di waktu malam gelap gulita karena fasilitas listrik masih belum diperbaiki.

Sumber: China Radio International (CRI)

Wednesday, January 13, 2010

U s i n a r a


ALKISAH, seekor burung deruk yang luka, terbang, panik, ketakutan, dan putus asa. Di belakangnya seekor lang memburu. Terdesak, deruk itu pun menerobos masuk lewat sebuah tingkap, dan terjatuh di sebuah bilik yang lengang.

Di ruang puri itu, Raja Usinara sedang duduk, membaca, hanya ditemani dua orang abdi.

Burung malang yang terlontar di kaki baginda itu berkata, ”Tolonglah saya!” Suaranya lamat-lamat.

Usinara melihat tubuh unggas itu berdarah. Burung itu pun diangkatnya, dan disuruhnya salah satu abdi membawa air dan obat. Ketika ia bersihkan luka itu dengan hati-hati, tiba-tiba terdengar suara yang membentak, berat dan gelap, dari arah jendela: ”Kembalikan ia kepadaku!”

Di bendul jendela itu dilihatnya seekor lang besar dengan pandang yang liar. ”Deruk itu milikku!” lang itu berkata. ”Aku telah berhasil menggigitnya: itulah tanda ia mangsaku. Hukum perburuan menentukan demikian. Berikan kembali ia kepadaku. Lihat, aku gemetar. Aku lapar. Sudah sepekan aku tak memangsa apa-apa.”

Untuk beberapa saat Usinara yang terkejut itu kehilangan kata-kata. Tapi akhirnya raja yang lembut hati itu —yang juga melihat bagaimana lang itu memang gemetar karena lapar— menawarkan sebuah jalan lain: ia akan memberikan daging apa saja yang diminta burung buas itu asal deruk itu dibebaskan.


”Kau bilang daging apa saja?”

”Ya, apa saja yang kau minta.”

Tak terduga-duga, lang itu berkata, ”Kau gantikan daging deruk itu dengan dagingmu sendiri.”

Usinara terhenyak. Ia sadar ia terjebak janji yang sulit. Tapi ia tak hendak ingkar. ”Berapa banyak?” tanyanya.

”Seberat tubuh deruk itu saja,” jawab si lang.

Maka dacin pun disiapkan dan belati yang tajam dihunus. Burung kecil itu pun ditimbang, juga kemudian daging dari tubuh Usinara yang dikerat. Dalam jumlah kati yang sama daging segar itu disajikan ke depan si lang, yang memakannya dengan lahap.


Tapi begitu serpihan daging terakhir lenyap di paruhnya yang menakutkan, burung buas itu berkata, ”Aku masih lapar.” Dan ia menuduh Usinara ingkar janji. ”Kau berdusta. Daging yang kau berikan pasti masih kurang dibanding dengan berat badan deruk mangsaku. Ia harus ditimbang lagi!”

Mendengar itu, Usinara pun menyuruh tubuh deruk itu diletakkan di dacin kembali. Ternyata benar: badan unggas itu jauh lebih berat dari semula. Bahkan hampir seberat tubuh sang raja.

Meski terkejut dan pucat, Usinara mengambil belati dan merenggutkan jangatnya sendiri, sepotong demi sepotong. Darah membasah di ruang itu. Tampak baginda menahan sakit, tubuhnya kian lama kian lemah, dan akhirnya rubuh ….

Dalam kisah yang terselip di antara ribuan seloka Mahabharata ini (yang saya ceritakan kembali dengan variasi saya sendiri), Usinara tidak mati. Lang pemangsa dan mangsanya yang luka itu sebenarnya dewa-dewa; mereka datang untuk menguji amal sang raja ….

Tapi bagi saya, kehadiran para dewa justru tak penting dalam kisah ini. Yang membuat kita terpukau ialah bahwa Usinara tak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Ia masuk ke dalam situasi itu begitu saja semata-mata untuk menyelamatkan seekor burung yang tak berdaya. Kisah Usinara adalah kisah pengorbanan diri yang radikal.


Dalam Mahabharata, tokoh Bhisma juga sebuah tauladan pengorbanan: putra mahkota itu berjanji tak akan naik takhta, juga tak akan kawin dan punya anak, demi kebahagiaan ayahnya. Tapi Bhisma telah meniadakan masa depannya untuk seorang yang sedarah. Usinara sebaliknya: ia berikan raga dan nyawanya untuk keselamatan makhluk lain yang tak ia kenal. Ia melakukan yang tak berhingga. Ia kerelaan tak berbatas.

Maka kita terpana —juga karena yang dilakukan Usinara sesuatu yang sama sekali baru. Keputusannya tak dianjurkan adat dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi moralitas —dan mencapai dasar yang ”ethikal”, yakni semacam kebaikan budi, atau cinta kasih, yang memberikan segalanya, menanggungkan segalanya, demi liyan: bagi yang bukan bagian diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pintuku, yang tak kukenal —yang tak akan memberikan apa pun kepadaku, tapi terancam, ketakutan, tertindas, menderita.

Dan Usinara memberikan dirinya bukan karena patuh kepada aturan atau taat kepada Tuhan. Usinara tak dikendalikan pamrih, tak menuruti kalkulasi dosa & pahala yang sering dilakukan orang beragama dalam tata buku moral mereka. Lakunya adalah laku kemerdekaan.

Apa gerangan yang mendorongnya? Adakah imbauan dari yang ”ethikal” hanya terjadi pada tokoh dongeng? Mungkinkah kebaikan budi itu menggerakkan hati orang pada umumnya?


Tak setiap orang Usinara, tentu. Tapi dalam pengalaman manusia ada perbuatan yang, meskipun tak dramatis, paralel dengan yang dilakukan raja itu: satu hal yang menyebabkan kita berpikir, mengikuti postulat Kant, bahwa dalam diri manusia ada yang menyebabkan dirinya —dengan otonomi penuh, dengan kemauan bebas— menghormati dan mematuhi panggilan ”hukum moral”: diam-diam seorang wartawan menampik bayaran uang untuk menulis fitnah, menolak juga godaan untuk jadi pahlawan. Diam-diam seorang pejabat memilih diberhentikan ketimbang mematuhi perintah atasan yang melanggar hukum ….

Tapi apa itu sebenarnya, dari mana datangnya das Faktum der Vernunft itu? Tak bisa dijelaskan. Faktum itu tak mungkin ditunjukkan di dunia empiris. Kita, kata Kant, hanya ”mengerti ketidakmungkinannya untuk dimengerti”.

Mungkin justru sebab itu kita takjub: Usinara tak bertolak sebagai ”aku” yang telah merumuskan apa itu kebaikan budi. Ia bukan ”aku” di pusat situasi. Kita takjub karena ia mengatasi keterbatasan dirinya justru ketika ia merasa, di saat yang konkret itu, imbauan makhluk yang terancam itu adalah segala-galanya.

Selebihnya, juga dirinya sendiri, hanya turahan.

Goenawan Mohamad
TEMPO, 4 Januari 2010

Sunday, January 10, 2010

Gus Mus: Gus Dur Tokoh Paling Populer Abad Ini


Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 18.45 WIB Rabu (30/12/2009) yang lalu, Gus Dur sempat mengunjungi kolega lawasnya, Gus Mus, di Rembang, Jawa Tengah. Entah firasat apa yang diterima Gus Dur sehingga mendadak ingin bertemu dengan rekannya ketika masih kuliah di Kairo itu. Padahal sudah lama kedua sahabat itu tidak bertemu muka.

Bagi seorang Gus Mus, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Dalam bukunya berjudul Membuka Pintu Langit (2007) terbitan Penerbit Buku Kompas, Gus Mus menulis tentang cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari itu. Dalam tulisannya itu sangat tampak bagaimana penghargaan Gus Mus terhadap sosok Gus Dur. Gus Mus menjuliki sobatnya itu sebagai 'tokoh paling populer abad ini.'

"Lahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, nama yang sama dengan seorang tokoh dinasti Umayah yang berhasil menaklukkan Andalusia, pada 4 Agustus 1940, secara nasab Gus Dur memang tak tertandingi," demikian tulis Gus Mus.

Ayah Gus Dur adalah KH A Wahid Hasyim, putra dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU. Baik Wahid Hasyim maupun Hasyim Asy'ari merupakan pahlawan nasional. Ibu Gus Dur bernama Sholehah, putri KH Bisri Syansuri yang juga merupakan salah satu pendiri NU.


"Mereka semua adalah pejuang nasional yang diakui tidak hanya di kalangan NU. Jadi kalau Gus merupakan panggilan atau gelar anak kiai, Gus Dur boleh dikatakan adalah Gusnya Gus," tulis Gus Mus.

Selain keistimewaan dari segi nasab (keturunan) itu, Gus Dur juga dikaruniai banyak keistimewaan lain yang sulit dicari duanya, antara lain kecerdasan yang luar biasa serta bacaan dan pergaulannya yang sangat luas. Tidak aneh jika di pedesaan banyak orang menyebutnya sebagai wali, sedangkan di perkotaan orang menjulukinya sebagai jenius.

"Seandainya Tuhan tidak mengurangi potensi kekuatan hamba-Nya yang satu ini dengan mengurangi kemampuan fisiknya, entah apa jadinya. Mungkin akan lebih hebat pengaruh buruk bagi dirinya maupun bagi yang lainnya," lanjut Gus Mus.

Dengan berbagai kelebihannya itu, menurut Gus Mus, tak heran jika nama Gus Dur identik dengan NU, organisasi yang pernah dipimpinnya selama 15 tahun. NU adalah Gus Dur dan Gus Dur adalah NU. Ini mirip dengan Bung Karno yang pada tempo dulu identik dengan Indonesia. Indonesia adalah Bung Karno dan Bung Karno adalah Indonesia. Bahkan ada kalanya nama Gus Dur melebihi NU.


"Bila nama besar Bung Karno tempo doeloe —terutama di luar negeri— melebihi Indonesia atau katakanlah Indonesia adalah Bung Karno dan Bung Karno adalah Indonesia, ada saatnya nama besar Gus Dur melebihi NU atau katakanlah NU adalah Gus Dur dan Gus Dur adalah NU," kata Gus Mus.

Karena kebesarannya itulah, menurut Gus Mus, Gus Dur terlalu besar untuk ditampung di NU maupun PKB, partai yang didirikan oleh kalangan nahdliyin. Bahkan Gus Mus memperkirakan karena dinilai terlalu besar inilah para kyai tak setuju saat Gus Dur didorong untuk menjadi presiden pada 1999 lalu.

"Pendek kata, Gus Dur sudah menjadi lembaga tersendiri yang agak repot bila masuk ke lembaga lain," tulis Gus Mus.

Namun kebesaran ini bukan tanpa risiko. Gus Dur sebagai lembaga ini sering dimanfaatkan oleh mereka yang tidak punya akses ke lembaga lain.


"Mereka yang tidak punya akses ke NU, misalnya, bisa masuk lewat Gus Dur. Yang tidak punya akses ke PKB bisa melewati Gus Dur. Bahkan dukun-dukun yang kepingin laku dan tidak cukup mu’tabar di kalangan masyarakat bisa melalui Gus Dur," kata Gus Mus.

Kini kedua sahabat itu tidak bisa lagi bertatap muka secara kasat mata di alam dunia. Namun persahabatan mereka akan tetap dikenang. Sebelum 'pergi,' Gus Dur telah 'berpamitan' kepada Gus Mus.

Dalam doa usai pemakaman Gus Dur di Komplek Tebuireng Jombang, Jatim, Gus Mus memberikan doa yang paling halus dan iba kepada Allah agar mengampuni salah dan khilaf Gus Dur selama hidup di dunia. Gus Mus pun berdoa agar Gus Dur di dalam kubur mendapat rahmat dan pengampunan Allah serta mendapat tempat mulia di sisi-Nya. Amin.

Selamat jalan Gus ...

http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id=1100

Gus Dur Ingin Gus Mus Jadi Rais Aam PBNU


Banyak cerita terungkap setelah Gus Dur meninggal. Selain soal kehidupan sehari-harinya yang luar biasa, Gus Dur juga masih punya mimpi soal kejayaan NU di tahun-tahun mendatang.

Dalam beberapa kesempatan, Gus Dur mengungkapkan keinginannya soal posisi Rais Aam PBNU (semacam dewan syuro PKB). Gus Dur ingin posisi Rais Aam yang saat ini diduduki KH Sahal Mahfud yang kabarnya tidak mau dipilih kembali, dapat dilanjutkan oleh KH Mustofa Bisri (Gus Mus).

"Beberapa kali saya bertemu beliau sebelum wafat, beliau bercerita secara terbuka soal keinginannya agar Gus Mus menjadi Rais Aam PBNU. Ini mungkin termasuk wasiat beliau," kata salah satu orang yang dekat dengan Gus Dur, Imam Mudzakkir kepada detikcom, Kamis (31/12).


Gus Mus yang memang teman dekat Gus Dur sejak kecil sampai sekarang, memiliki jiwa kepemimpinan dan ketokohan yang tidak diragukan. Gus Mus yang dalam prosesi pemakaman Gus Dur didaulat membacakan doa dari pihak keluarga juga mempunyai kredibilitas dan kapabilitas yang tak perlu diragukan lagi.

"Gus Dur bilang, kalau Gus Mus jadi Rais Aam dan saya ketua dewan syuro, luar biasa mas nanti kita. Siapa yang tidak kenal kita," papar Imam menirukan Gus Dur.

Mudzakkir pun menceritakan maksud Gus Dur bersilaturahmi ke Rembang seminggu sebelum wafatnya. Selain menebus rasa kangen dengan sahabat sejatinya itu, kehadiran Gus Dur ke kediaman Gus Mus karena ingin menegaskan agar Gus Mus mau menjadi Rais Aam Syuriah PBNU.

Muhammad Nur Hayid
detikNews, 31 Desember 2009

Amien Rais Tak Terlihat Melayat Gus Dur


Pemakaman jenazah mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dibanjiri pejabat dan tokoh nasional. Tapi, ke mana Amien Rais? Mantan Ketua MPR itu tak terlihat oleh wartawan saat pemakaman Gus Dur.

Jenazah Gus Dur dimakamkan di Pemakaman Bani Hasyim di kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Kamis (31/12/2009). Pemakaman secara kenegaraan dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Wapres Boediono juga hadir. Sejumlah menteri juga hadir, seperti Hatta Rajasa, Djoko Suyanto, Agung Laksono, Sri Mulyani, Muhaimin Iskandar, Helmi Faishal, Marty Natalegawa, dan Sudi Silalahi.

Para tokoh nasional seperti Din Syamsuddin, Prabowo Subianto, Hariman Siregar, Muslim Abdurrahman, dan para ulama tenar NU juga hadir. Habibie, Wiranto dan Megawati tidak menghadiri pemakaman tapi sudah melayat Gus Dur di Ciganjur.


Hanya Amien Rais yang tak terlihat di RSCM, Ciganjur, atau Jombang. Padahal, banyak pelayat dan tokoh yang menanyakan Amien Rais.

Maklum, Amien Rais memiliki sejarah menarik dengan Gus Dur. Pada Sidang Istimewa 1999, Amien Rais-lah yang mencalonkan Gus Dur sebagai presiden. Namun, setelah terpilih, Gus Dur dilengserkan oleh Amien juga dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001.

Sebelum itu, pada tahun 1990-an, Amien dan Gus Dur juga dikenal sebagai intelektual dan cendekiawan muslim, selain Nurcholish Madjid dan BJ Habibie. Namun, Amien dan Gus Dur memang terlalu sering berbeda pendapat.

Detikcom telah menghubungi Hanafi Rais, anak Amien, Kamis (31/12/2009). Namun, saat ditanya kapan Amien akan melayat Gus Dur, Hanafi mengaku tidak tahu. "Saya tidak tahu. Saya baru saja datang dari Jakarta. Tapi setahu saya, bapak tadi pagi ke Solo," kata Hanafi.

Bagus Kurniawan
detikNews, 31 Desember 2009

Amien: Gus Dur Otomatis Pahlawan Nasional


Mantan Ketua MPR RI Amien Rais menyatakan, secara otomatis KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur harus mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah.

"Sudah sepantasnya dan selayaknya kalau Gus Dur mendapatkan gelar pahlawan nasional. Siapa pun atau pihak mana pun tidak perlu lagi mempersoalkannya," tegas Amien usai memberikan kuliah tamu kepada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (2/1/2010).

Menurut tokoh reformasi itu, separuh perjalanan hidup Gus Dur sudah didedikasikan dan diabdikan pada bangsa ini, sehingga sudah sepantasnya bahkan secara otomatis gelar pahlawan nasional diberikan kepada mantan Ketua Umum PBNU itu.

Menyinggung perbedaan pendapat antara dirinya dan Gur Dur ketika sama-sama berkecimpung dalam ranah politik, Amien menegaskan, perbedaan pendapat adalah hal biasa dalam negara demokrasi.


"Dalam berdemokrasi kami memang sering beda pendapat, namun semua itu tidak berpengaruh terhadap hubungan baik secara personal. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita memberikan sumbangsih yang terbaik bagi negeri ini termasuk buat beliau (Gus Dur)," tegasnya.

Sebelumnya pengamat politik dan tokoh NU Kota Malang Mas'ud Said mengungkapkan dukungan jika pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan presiden ke-4 Republik Indonesia itu.

Dosen FISIP UMM itu menyatakan, jasa yang dipersembahkan Gus Dur untuk bangsa Indonesia cukup banyak terutama dalam menegakkan demokrasi dan perdamaian sehingga sudah selayaknya kalau Gus Dur diberi gelar Pahlawan Nasional.

Setelah Gus Dur wafat pada Rabu (30/12/2009) sekitar pukul 18.45 di Rumah Saki Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, banyak aspirasi masyarakat untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden ke-4 RI tersebut.

ANTARA News, 2 Januari 2010

Monday, January 4, 2010

Perjalanan Karier "Sang Kiai Kontroversial" Gus Dur


Abdurrahman Wahid, presiden Indonesia periode 1999-2001 yang meninggal pada Rabu (30/12/2009), adalah putera tokoh Nahdlatul Ulama, Wahid Hasyim. Presiden yang dikenal sebagai intelektual dan "kyai kontroversial" ini menjalani pendidikan tinggi di Mesir dan Irak. Dia kerap melontarkan komentar-komentar panas dari soal sepakbola Piala Dunia sampai isu pluralisme.

Soal komentar panasnya, misalnya, dia sempat menganjurkan umat Islam Indonesia mengganti sapaan "Assalamu ‘alaikum" dengan "Selamat Pagi". Soal orang-orang yang berkukuh melakukan tindakan kekerasan untuk membela agama, dia juga berkomentar enteng. "Tuhan tidak perlu dibela."


Riwayat Singkat Gus Dur
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Dia dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu sebenarnya dihitung menurut penanggalan Islam, ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, yang merupakan bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Tepatnya ia lahir pada tanggal 4 Sya'ban yang bertepatan dengan tanggal 7 September 1940.

Ayahnya, KH Wahid Hasyim, mantan menteri Agama tahun 1949. Kakek dari jalur ayahnya adalah KH Hasyim Asy'ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dari jalur ibunya adalah KH Bisri Syansuri yang juga merupakan tokoh pendiri NU.

Setelah lulus SD di Jombang, ia lalu melanjutkan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan Yogyakarta. Sambil belajar di SMEP, Gus Dur mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta. Setamat SMEP, Gus Dur pindah ke pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Setelah 2 tahun di Tegalrejo, Gus Dur meneruskan ke Pesantren Tambak Beras di Jombang.

Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat haji dan melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir. Kemudian pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Universitas Bagdad di Irak, masuk di Fakultas Sastra, sampai tahun 1970.


Warna Budaya Gus Dur
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal. Kedua, kultur dunia Timur yang cair (manjing, ajur, ajer), kepriyayian namun juga abangan. Dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekuler.

Kesemua budaya tersebut tampak merasuki dan mewarnai dalam diri pribadi Gus Dur. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur secara tunggal. Semuanya bercampur dan berdialektika dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Berikut ini perjalanan karier bekas presiden yang dulu juga hobi menjadi komentator sepak bola itu.

Nama:
Abdurrahaman Ad-Dakhil alias Abdurrahman Wahid

Tempat Tgl. Lahir:
Denanyar, Jombang, 4 Agustus (7 September) 1940

Orang Tua:
Wahid Hasyim (Ayah), Solechah (Ibu)

Istri:
Sinta Nuriyah

Anak-anak:
Alisa Qotrunnada, Zanuba Arifah, Anisa Hayatunnufus, Inayah Wulandari (Semua Perempuan)

Pendidkan:
Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
Fakultas Sastra, Universitas Baghdad (1966-1970)


Karir:
Pengajar dan Dekan Fakultas Ushuludin, Universitas Hasyim Asy’ari
Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
Pendiri dan pengasuh pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
Ketua Umum PBNU (1984-1999)
Ketua Forum Demokrasi (1990)
Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
Anggota MPR (1999)
Presiden RI (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Ketua Dewan Syuro PKB


Penghargaan:
Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.

Wahid ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.

Ia mendapat penghargaan pula dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.

Gus Dur juga memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.

Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.


Doktor kehormatan
Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lembaga pendidikan:
• Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
• Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
• Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
• Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Sumber:
TEMPOInteraktif, detikNews, Wikipedia, VIVANews, dll.