Tuesday, November 24, 2009

Negeri Tercinta Anggodonesia


Hiruk-pikuk persoalan yang membelit Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menjerat dua unsur pimpinan nonaktif Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, menjadi isu terpopuler di sejumlah media massa selama berbulan-bulan.

Berbagai kejadian besar, mulai dari ledakan bom di JW Marriott dan The Ritz-Carlton, penyergapan teroris Ibrohim di Temanggung, Jawa Tengah, penangkapan gembong teroris Noordin M Top, hingga gempa besar di Padang Sumatera Barat, tak mampu mengalihkan perhatian publik dari perkara KPK.

Hingga kini, kepedulian publik juga terasa kental jika mengamati dunia cyber, melalui sejumlah jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter. Gerakan dukungan terhadap Chandra dan Bibit pun masih terus menggelembung.

Luapan kekritisan publik tampak nyata, natural, dan otentik di kedua jejaring itu. Sasaran kritik mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Polri, Kejaksaan Agung, dan tentu tak ketinggalan Anggodo. Pengguna Twitter juga tak ragu melemparkan kritiknya terkait masalah KPK itu ke akun Twitter milik Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring.

Kekritisan warga Facebook dan Twitter tak hanya tertuang dalam kritik-kritik pedas dan menggelitik, tetapi juga rekaan gambar hingga karikatur.


Di salah satu akun Facebook milik seorang berinisial YPT, misalnya, salah satu gambar rekaan memuat wajah Anggodo menghiasi lembaran uang kertas pecahan Rp 500.000. Di bawah gambar tersebut tertulis keterangan: ”Agar proses suap-menyuap lebih mudah pemerintah melalui Bank Indonesia mengeluarkan pecahan baru Rp 500.000,00. Jadi nyuap pejabat pemerintah gak perlu pake koper lagi”.

Anggodo tampaknya menjadi salah satu favorit sasaran komentar ataupun sindiran di dunia cyber. Seorang pemilik akun Facebook berinisial AL, misalnya, Sabtu (21/11) malam, menulis dalam statusnya, ”Negeri tercinta, Anggodonesia”.

Menanggapi serangan berbagai sindiran, pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, mengatakan, pihaknya tidak akan mempermasalahkan hal itu. ”Kami biarkan saja karena sebenarnya mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Tersinggung sih tersinggung, tapi kami maafkan. Karena seandainya mereka tahu apa yang mereka perbuat, mereka pasti tidak melakukannya,” kata Bonaran.

Di kalangan wartawan, suara Anggodo juga cukup diminati. Saat Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman sadapan pembicaraan telepon Anggodo, hampir semua wartawan yang meliput ikut merekam. Selain untuk kepentingan berita, rupanya beberapa wartawan menjadikan rekaman suara Anggodo itu sebagai ringtone telepon seluler. Bagian-bagian yang dipilih tentunya yang amat melukai hati nurani bangsa ini.

Sarie Febriane
KOMPAS, 22 November 2009

Obsesi Kebablasan


Anggodo ialah putra tokoh sakti yang mumpuni secara jasmani dan rohani. Ia sendiri juga hebat dan pemberani. Setelah ayahandanya wafat, Anggodo diasuh pamannya. Ia dimanjakan dan mendapat ”teladan” dari watak pamannya yang kasar dan tak sabaran.

Ketika ada tugas yang sulit dan berat dari atasannya, ia bersaing dengan saudara tuanya, memperebutkan misi itu. Ia menyanggupi untuk menuntaskan tugas itu dalam tiga bulan. Saudara tuanya sanggup dalam sebulan. Penasaran, Anggodo menawar seminggu, tetapi dikalahkan saudara tuanya, yang sanggup menyelesaikan tugas itu dalam sehari saja.

Anggodo jengkel dan frustrasi, tetapi ia sadar bahwa menyelesaikan misi itu dalam waktu kurang dari sehari mustahil dapat ia lakukan. Tugas itu pun jatuh ke pundak saudaranya.

Euforia sirna
Euforia saudaranya karena menang dalam persaingan itu segera sirna. Anoman, kakak sepupu Anggodo, baru sadar sekarang bahwa ia menyanggupi tugas yang melebihi kemampuannya. Namun, Anoman isin mundur. Ia malu kalau harus mengembalikan mandatnya.


Tugas itu ialah untuk memastikan bahwa Sinta, istri Rama, memang dicuri oleh Rahwana dan untuk mengetahui perikeadaan Sinta di kerajaan Alengka. Padahal, di mana letak Alengka pun Anoman tidak tahu. Namun, apa boleh buat. Ia sudah telanjur menyanggupi tugas itu, jadi ya harus dilaksanakan.

Nasib baik berpihak kepada Anoman. Ia berhasil sampai ke Alengka dan merampungkan tugasnya. Mestinya ia langsung pulang dan melapor kepada Rama. Tetapi tidak! Ia memamerkan keampuhannya dengan membakar keraton Alengka. Ambisinya untuk tampil hebat memang besar.

Karena Alengka di seberang lautan, untuk menyerbu ke sana harus dibangun dulu sebuah jembatan. Wibisana, adik Rahwana yang berbalik memihak Rama, dengan kekuatan batinnya menciptakan jembatan itu. Anoman mencurigai ketulusan Wibisana, lalu menggunakan aji Maundrinya untuk menghancurkan jembatan itu. Ia membusukkan prestasi dan reputasi Wibisana. Digenjotnya jembatan itu sampai runtuh berantakan.

Ambisi dan obsesi Anoman dalam mengemban misi itu berlanjut sampai ia madeg pandhito di pertapaan Kendalisada. Ketika Karna yang terbakar oleh amarahnya melepaskan panah pusakanya, yakni Kunta Druwasa, Anoman menangkap anak panah itu, lalu menghaturkannya kepada Begawan Kesawasidi. Ia nyolu (mencari muka) di depan Kesawasidi. Ia bangga merasa membantu Arjuna yang akan menjadi lawan Karna dalam perang Baratayuda. Dengan Kunta Druwasa di tangan Kesawasidi, pusaka itu tidak lagi mengancam Arjuna.

Namun, Anoman justru dimarahi Kesawasidi. Tindakannya dinilai sebagai kelewat getol (over-zealous). Anoman divonis Kesawasidi sebagai orang yang sok pahlawan. Anoman tidak memiliki empati, tidak merasakan betapa sedihnya Karna kehilangan pusaka andalannya.

Apa arti kepastian hukum?
Kisah dari dunia pewayangan ini serupa dengan apa yang tengah terjadi di negeri ini. Tiga lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan KPK, terkesan berlomba memamerkan kebolehannya di mata publik.


Ada isin mundur (malu surut langkahnya), ada ambisi, ada obsesi, ada pembusukan, ada pembunuhan karakter, ada perang pernyataan melalui wawancara, debat terbuka di televisi dan radio, dengar pendapat dan konferensi pers. Semua disuguhkan di depan mata dan hati rakyat dengan aksi teatrikal yang dramatis.

Kalaupun dasarnya ialah niat baik untuk menunaikan tugasnya, tidak semestinya mereka berpegang pada maksim Het doel heiligt de middelen (Tujuan menyucikan alat/cara). Apalagi, jika tujuannya memang jahat sehingga The end justifies the means sama sekali tidak berlaku!

Ada pihak yang dengan bangganya mengutip semboyan, Fiat justitia ruat caelum (keadilan hendaknya ditegakkan meski langit akan runtuh). Namun, apa gunanya penegakan hukum kalau itu harus dibayar dengan runtuhnya langit? Apa artinya kepastian hukum secara positivistik dan legal-formal kalau keadilan diinjak-injak secara imoral?

Kalau mengenai kejadian yang sama, pernyataan A bertentangan dengan pernyataan B, mungkin kedua-duanya salah. Bisa juga salah satu di antaranya benar. Namun, tidak mungkin kedua-duanya benar meskipun sama-sama dikuatkan dengan sumpah di hadirat Allah. Pengadilanlah yang harus memutuskan siapa yang benar, dan siapa yang salah dan harus dipidana.

Sementara itu, Sang Pengemban Mandat Daulat Rakyat belum juga tergerak untuk menunjukkan karisma kepemimpinannya.

Quo vadis negara Pancasila Republik Indonesia?

L Wilardjo, Guru Besar Ilmu Fisika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
KOMPAS, 21 November 2009

Saturday, November 14, 2009

Hantu-hantu Kebenaran


Sebuah rekaman pembicaraan —yang dicurigai berisi rekayasa ”kriminalisasi” Komisi Pemberantasan Korupsi— hari-hari ini layaknya ”batu bertuah” dalam cerita misteri, yang diperebutkan, didiskusikan, dianalisis, ditranskrip, digandakan, ditayangkan, dan didesiminasikan secara luas.

Rekaman itu adalah ”kunci” menuju ”kamar rahasia”, tempat ”kesaktian” tingkat tinggi diadu di antara para petinggi hukum (Polri, Kejaksaan Agung, KPK) dalam memperebutkan klaim ”kebenaran”.

Rekaman pembicaraan itu meninggalkan enigma: orisinalitas rekaman, otentisitas para aktor, kebenaran isi, pembuat rekayasa dan motif di baliknya. Apa yang kita saksikan adalah parade ”unjuk kekuasaan” dalam ”menafsir” kebenaran. Segala kapasitas ”bahasa hukum” dikerahkan; segala legitimasi digunakan, termasuk legitimasi ”Tuhan”; bahkan segala instrumen kekuasaan dipakai dalam melegitimasi ”penangkapan” dua mantan anggota KPK, Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah.

Kelak, pembuktian simulakra kriminalisasi ini merupakan cermin tragedi memalukan yang melanda dunia hukum. Penegak hukum yang mestinya menegakkan kebenaran kini justru memproduksi ”realitas palsu”: tempat, orang, motif, suap, dan transfer palsu. ”Rezim kebenaran” sebagai instrumen dan prosedur institusional dalam membangun ”ranah kebenaran” kini menjelma menjadi ”rezim simulakra kebenaran”, realitas dipalsukan, pengetahuan ”diperkosa”, informasi dilencengkan, dan kebenaran ”dibunuh”.


Simulakra kebenaran
Rezim simulakra adalah rezim yang memproduksi ”kebenaran palsu” demi sebuah kepentingan atau motif tertentu (politik, ekonomi, sosial). Di dalamnya, realitas alami dikemas menjadi barang bukti sebagai instrumen sentral dalam menghasilkan ”kebenaran” hukum. Tetapi, bila ”realitas alami” itu tak ditemukan —sementara motif penangkapan kian mendesak— diciptakan ”realitas artifisial” melalui kekuatan teknologi mutakhir. Inilah simulasi realitas.

Jean Baudrillard dalam The Gulf War did not Take Place (1995) mengatakan, simulasi adalah instrumen sosio-teknologis dalam penciptaan realitas yang sebenarnya tak ada, tetapi seolah tampak ada. Fungsi simulasi adalah penciptaan ”model palsu realitas”, kenyataan distortif, pelencengan fakta dan citra ketaknyataan. Simulasi adalah sebuah ”prostitusi citra”, karena ”citra murahan” direkayasa, untuk meyakinkan, ada realitas (penyelewengan, penyuapan, penyalahgunaan jabatan), padahal tak pernah ada.

Dalam rekaman pembicaraan, Polri dicurigai merekayasa ”simulasi realitas” —dengan melibatkan aktor, instrumen, media, dan prasarana— yang kelak akan diproduksi menjadi sebuah ”citra realitas”, di atas fondasi sebuah ”motif” (”kriminalisasi”). Namun, rencana ini tertangkap basah oleh instrumen teknologi informasi (penyadapan) sehingga citra-citra ”kriminal” (suap, penyalahgunaan wewenang) yang dituduhkan kepada mantan anggota KPK gagal diproduksi.

Kegagalan itu memaksa Polri memproduksi ”motif” baru. Polri balik menuduh, rekaman percakapan itu adalah produk rekayasa (baca: simulakra) pihak-pihak tak bertanggung jawab dalam mendiskreditkan, membunuh karakter, dan menghancurkan citra baik Polri. Tuduhan simulakra dibalas tuduhan simulakra. ”Perang simulakra” ini justru menjadikan posisi Polri kian terpojok karena tak didukung publik. Sementara ”rezim kebenaran” kian sesak kepalsuan, ilusi, dan halusinasi.

Bagaimanapun, simulakra menyuguhkan ”logika” memaknai realitas. Gilles Deleuze dalam The Logic of Sense (1990) menyatakan, simulakra sebagai sebuah realitas ”tangan kedua”, sebuah motif ”seolah”, sebuah penyimpangan. Maka, saat wacana hukum kini dibangun oleh ”realitas tangan kedua”, proses hukum digerakkan oleh aneka instrumen asumsi, konotasi, persuasi, interpretasi, dan seduksi, bukan obyektivitas dan profesionalitas.


Seduksi hukum
”Kebenaran” dalam wacana hukum adalah sesuatu yang dicari melalui ”proses hukum”, yaitu di ruang pengadilan. Namun, apa yang kini berlangsung dalam karut-marut perseteruan Polri dan KPK adalah situasi di mana ”kebenaran” dipertarungkan dalam ruang wacana: dalam pernyataan, perbincangan, opini, dialog, debat, dan konferensi pers. Di dalam media-media itulah kebenaran diperjualbelikan.

Namun, karena tak ada mekanisme hukum di ruang wacana untuk menguji obyektivitas pembicaraan, yang ada hanya ”bujukan”: cara, argumen, strategi, taktik, pencitraan, bahkan trik-trik palsu (baca simulakra) untuk meyakinkan kita bahwa apa yang dikatakan tersebut adalah ”benar”, meskipun sebenarnya palsu. Inilah medan seduksi, yaitu medan bujuk rayu kebenaran.

Dalam Seduction (1990), Jean Baudrillard mengatakan, seduksi adalah rayuan, permainan kebenaran, tantangan, duel, strategi penampakan, untuk meyakinkan bahwa yang fiktif itu ”nyata”.

Polri yang kian terpojok oleh tekanan masyarakat sipil kini memainkan ”strategi seduksi”, yaitu ”merayu” publik agar percaya bahwa Polri tak pernah merekayasa kriminalisasi. Mereka memainkan ”permainan tanda” dan pemalsuan realitas sebagai cara membangun ”citra bersih” Polri dan ”citra kriminal” dua mantan anggota KPK. Di sini, realitas hukum direduksi menjadi realitas-realitas tanda, yaitu tanda-tanda palsu, untuk melencengkan realitas sebenarnya.

Saat wacana hukum kian sesak oleh simulakra —ironisnya justru diproduksi aparat hukum sendiri— perbincangan tentang kebenaran dan keadilan kian mustahil. Dicurigai ada rahasia kebenaran yang ingin ditutupi dalam institusi hukum itu sendiri (Polri, Kejaksaan Agung), yang bila terbuka di hadapan publik akan mengancam reputasinya. Maka, untuk menyembunyikan kebenaran itu, diciptakan realitas artifisial (suap, kriminalitas), yang melibatkan pihak yang mengetahui rahasia kebenaran itu.


Hantu-hantu kebenaran
Institusi penegak hukum — khususnya Polri— kini disibukkan dengan politik menjaga citra diri, dengan melibatkan tidak saja permainan tanda, citra, dan seduksi, tetapi juga pengetahuan dan kekuasaan. Politik pencitraan menggiring pada hilangnya rasionalitas, obyektivitas, dan rasa kebenaran. Otoritas kekuasaan digunakan membabi buta tidak saja untuk menjatuhkan citra lawan, tetapi melakukan tindakan pemaksaan penangkapan.

Michel Foucault dalam Power (1981) mengatakan, dalam wacana hukum, ada relasi timbal balik antara rezim kebenaran dan instrumen kekuasaan. Realitas diterima sebagai benar oleh masyarakat bila ada check and balances dalam permainan kekuasaan dengan rezim kebenaran. Namun, bila ada ”ekses kekuasaan”, di mana sebuah komponen rezim kebenaran menggunakan kekuasaannya secara berlebihan dan mencolok dalam mendefinisikan kebenaran, yang dihasilkan adalah hantu-hantu kebenaran.

Kini, saat pemangku rezim kebenaran tak lagi dipercaya masyarakat sipil —karena dicurigai tak lebih dari rumah produksi simulakra kebenaran dan citra kepalsuan— sebuah kekuatan dahsyat masyarakat sipil terbentuk dalam membangun ”rezim kebenaran” sendiri, sebagaimana ditunjukkan oleh dukungan ratusan ribu orang terhadap Bibit-Chandra dalam Facebook.

Masyarakat sipil yang kian kritis kini tak lagi dapat dimanipulasi oleh rekayasa simulasi citra tanpa etika. Kebenaran yang tak dapat diharapkan dari institusi hukum kini dibangun di ruang-ruang publik virtual.

Yasraf Amir Piliang, Direktur YAP Institute; Pemikir Forum Studi Kebudayaan FSRD Institut Teknologi Bandung
KOMPAS, 4 November 2009

Jika Buaya Pilek ....


Seharusnya KPK tak perlu ada. Kita tahu kehadiran lembaga ini menimbulkan suasana persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga penegak hukum.

Publik mengagung-agungkan KPK, yang dianggap lebih berani, lebih transparan, lebih tegas. Perlakuan publik menunjukkan KPK sebagai pahlawan, sedangkan Kejaksaan Agung dan jajarannya dipandang sebelah mata.

Ini tentu tak mengenakkan bagi lembaga penuntut umum itu. Jasanya, pada saat sukses sekalipun, juga tak diakui. Inilah ”suasana hati” para petinggi di Kejaksaan Agung saat Jaksa Agung dijabat Abdurrahman Saleh. Saya pernah menemuinya, di kantornya, bersama beberapa teman, staf dari Partnership. Jaksa Agung menerima kami, didampingi para jaksa agung muda. Pak Hendarman Supandji, Jaksa Agung sekarang, saat itu juga hadir. Itulah keluhan mereka, yang merasa tak dianggap —terutama oleh media— dan saya turut merasakan betapa tak enak mendapat perlakuan publik seperti itu, pada saat yang lain dipuja-puja.

Kami datang bukan untuk mendiskusikan ”perasaan” seperti itu. Agenda kami membahas langkah lebih lanjut menemukan cara-cara, strategi, atau pendekatan untuk mewujudkan gagasan mereformasi Kejaksaan Agung yang belum pernah beranjak meninggalkan dokumen resmi. Maksudnya, hingga hari ini, gagasan reformasi itu masih tetap suci sebagai gagasan yang belum tersentuh apa pun.


Hasil pilihan sikap populis
Ketika KPK angkatan pertama dibentuk, Bang Dillon —Direktur Eksekutif Partnership saat itu— ikut sibuk menangani banyak masalah dasar tentang akan seperti apa KPK kelak, dengan agenda macam apa, dan bagaimana menjaring koruptor yang memiskinkan rakyat. Jangan lupa, KPK ini lembaga yang lahir dari Presiden Megawati Soekarnoputri, yang dengan tangan terbuka menerima aspirasi publik untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai program ”unggulan”. Kita tahu, kehadiran KPK juga memberi Presiden SBY kredit amat besar, bila bukan hampir tak terbatas.

KPK pimpinan Taufiequrachman Ruki itu berakhir saat saya menggantikan Dillon sebagai Direktur Eksekutif Partnership. Seperti sebelumnya, untuk memilih komisioner KPK yang baru, Presiden SBY mengeluarkan keppres, isinya menugaskan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menjadi ketua panitia seleksi. Bersama sejumlah tenaga staf, saya mewakili Partnership mendukung langkah ini dari nol.

Kami memilih tokoh-tokoh yang tak diragukan kredibilitasnya untuk menjadi anggota panitia seleksi agar kelak menghasilkan komisioner profesional, memiliki kompetensi teknis yang tinggi di bidang masing-masing, berpengetahuan luas, berpengalaman menangani korupsi, terpercaya, teruji kejujurannya, dan semua itu harus didukung data lengkap, dibuktikan lebih lanjut dalam rekam jejak riil sepanjang karier mereka.

Tanpa mereka ketahui, kami menyelidiki diam-diam untuk mengetahui siapa sebenarnya mereka. Kami mencari dukungan dari banyak pihak —terutama dari LSM— untuk memperoleh informasi otentik tentang mereka. Data yang diperoleh diuji lebih lanjut dengan wawancara mendalam, sistematis, dengan materi pertanyaan melebihi usaha menjaring calon menteri.

Untuk memilih lima komisioner itu, panitia menyerahkan dua pasang susunan komisioner sebanyak 10 orang kepada Presiden yang lalu meneruskan ke DPR. Dipilihnya Antasari Azhar sebagai ketua oleh DPR saat itu menjadi problem menjengkelkan. Orang bertanya, dengan marah, apa kepentingan politik DPR.


Model pengadilan tipikor
Sekali lagi, KPK seharusnya tak perlu ada. Ini adalah lembaga sementara, hadir dalam situasi darurat, tak dimaksudkan untuk permanen. Kita memiliki banyak komisi negara yang sifatnya sementara. Namun, KPK yang sementara bisa amat lama karena lembaga penegak hukum lain, yang sebagian peran dan fungsinya diambil, belum juga sembuh.

Komisi Kejaksaan —bertanggung jawab kepada presiden— memanggul mandat mereformasi internal kejaksaan, tetapi hasilnya belum memadai. Ibaratnya, kejaksaan belum tersentuh program reformasi. Kita memiliki Komisi Kepolisian Nasional, juga bertanggung jawab langsung kepada presiden, yang agak lebih baik dan punya hasil yang patut dihargai. Di Mahkamah Agung malah ada cetak biru reformasi, tetapi masih ”agak” macet. Mereka sibuk dengan urusan memperpanjang masa pensiun, ”menyerang” Komisi Yudisial agar, jika bisa, komisi ini mandul.

Otomatis ini semua ”memberi” hak lebih besar dan legitimasi lebih kuat terhadap kehadiran KPK. Tentu saja KPK tak mungkin lepas dari kekurangan. Namun, lembaga yang dibentuk dengan harapan menutup kekurangan lembaga lain, KPK menunjukkan hasil. Kehadirannya mengisyaratkan kita masih berhak berharap. Ada tanda-tanda, suatu saat, pelan-pelan, koruptor kita ganyang. Semua kita kubur di dalam lembaga-lembaga yang mau belajar menjadi bersih.


Tanda kita masih punya alasan berharap itu tampak pada cara kerja KPK dan kelengkapan lembaganya, pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor), yang belum pernah membiarkan koruptor lepas begitu saja. Para hakim merupakan warga negara yang memiliki kepedulian tulus. Mereka tak terperangah melihat duit. Orang-orang ini bekerja dengan kreatif, mengandalkan sikap profesional, jujur, dan memiliki seni ”menjerat” koruptor yang diadili, dengan pertanyaan yang tak dimiliki pengadilan lain.

Kemitraan memiliki catatan kinerja mereka, yang kemudian diteliti lagi oleh peneliti LIPI, yang memperteguh agar pengadilan tipikor menjadi model bagi pengadilan-pengadilan lain. Di sini jelas, KPK memberi kita alternatif mengembangkan model pengadilan bersih dari mentalitas dan sikap korup.

Jika buaya pilek ....
Negeri ini bukan milik pejabat, bukan pula milik pemerintah. Polisi milik kita, seluruh rakyat Indonesia. Kejaksaan milik kita. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan semua komisi negara milik kita. KPK mungkin betul hanya cicak. Dan jika diterkam buaya, pasti tak berdaya.

Namun, cicak ini memberi presiden ”kredit” besar. Di dunia luar, gerak kita melawan korupsi dicatat sebagai bagian ”kemuliaan” Presiden SBY dan kabinet SBY. Kemitraan yang ikut gigih membentuk KPK. Jika kemitraan boleh mengklaim ikut memiliki KPK, otomatis, KPK juga milik SBY.

Buaya menerkam cicak, apa bukan berarti buaya menerkam SBY? Tahukah implikasinya bagi karier dan jabatan bila melawan rakyat, sekaligus melawan presiden sendiri? Maka, patut dicatat, cicak dan buaya diciptakan Tuhan bukan untuk saling berhadapan sebagai musuh. Mereka saudara serumpun, yang bisa saling membantu. Bahkan, kalau buaya pilek, cicak pun bisa menggantikannya.

Mohammad Sobary, Esais
KOMPAS, 4 November 2009

Nurani Lawan Keangkuhan


Wartawan senior Kompas menilai, membeludaknya dukungan terhadap kasus penahanan Bibit-Chandra oleh kepolisian menunjukkan nurani rakyat belum mati. ”Bagi rakyat, nurani inilah harta yang tersisa,” tutur wartawan itu melalui SMS kepada saya.

Meski rakyat telah lama menjadi bulan-bulanan dan tertipu bermacam retorika politik, baik dalam format janji-janji muluk saat pemilu maupun dalam corak pencitraan diri, toh dalam masa-masa kritikal nurani mereka yang terdalam tidak dapat dilumpuhkan. Itulah milik terakhir rakyat di tengah penderitaan yang belum teratasi sejak proklamasi, lebih dari 64 tahun lalu.

Sejarah Indonesia
Sebagai seorang peminat perjalanan sejarah Indonesia, dengan prihatin saya membaca, hanya sedikit di antara pemimpin kita yang benar-benar serius mengurus masalah bangsa ini demi mencapai tujuan kemerdekaan: keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Sebagian besar adalah petualang yang tidak merasa malu mengatakan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati.

Dengan kemajuan yang telah diraih di sana-sini dalam berbagai sektor kehidupan —dan capaian itu perlu disyukuri bersama— bangsa ini tetap dilingkari gurita budaya kumuh yang dapat membawa kita pada ketidakpastian masa depan.


Hingga detik ini, kita sedang membaui aroma busuk tentang kemungkinan adanya kaitan antara kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah dan perampokan (istilah Jusuf Kalla) yang menimpa Bank Century, tetapi kita tidak tahu sampai di mana benarnya serba dugaan itu.

Saya mendapat informasi dari salah seorang pengacara Bibit-Chandra, keduanya berniat melakukan pengusutan terhadap megakasus Bank Century, akan mereka teliti, selama ini, ke mana dana haram itu mengalir. Namun, segala kecurigaan ini akan tetap menggantung di langit tinggi selama keangkuhan kekuasaan masih mendominasi sistem perpolitikan kita, meski sering dibungkus dalam jubah kesopanan lahiriah. Pragmatisme politik amat terasa dalam kultur kita, sebuah kultur tunamoral dan tunavisi.

Namun, sekiranya Bibit-Chandra tak diperlakukan dengan cara kasar melalui penahanan paksa, reaksi publik tentu tidak akan sedahsyat seperti terjadi pada hari-hari terakhir ini. Presiden yang semula terkesan tak mau campur tangan karena menilai kasus itu sebagai kasus biasa, akhirnya ”dipaksa” kenyataan untuk membentuk apa yang disebutnya sebagai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIVFPH) dengan masa kerja dua minggu, mulai Selasa (3/11/2009).

Apakah tim ini akan berhasil melakukan tugasnya, mari kita tunggu. Namun, ungkapan independen agak sedikit terganggu oleh masuknya dua pakar hukum yang sudah sedikit menempel dengan kekuasaan, meski di kawasan pinggiran.

Sebagai seorang demokrat yang tak ingin melihat demokrasi menggali makamnya sendiri untuk sekian kalinya sejak kita merdeka, prasangka semacam ini harus saya tekan sambil menanti hasil kerja tim yang baru dibentuk. Siapa tahu, semua anggota tim adalah manusia merdeka yang hanya terikat dengan filosofi, demi tegaknya kebenaran dan keadilan, tidak peduli siapa yang membentuknya.


Sulit ditaati
Seterusnya keangkuhan kekuasaan dalam masalah Bibit-Chandra ini juga disampaikan seorang petinggi Polri dalam formula ”cicak lawan buaya”, meski Kapolri telah minta maaf agar istilah itu tidak lagi digunakan. Larangan penggunaan ungkapan keangkuhan ini sulit ditaati karena orang tidak mungkin melompat ke depan dalam satu kevakuman. Mohon saya dimaafkan Pak Kapolri jika istilah ini masih saya pakai dalam artikel ini. Cicak tidak lain adalah KPK yang kecil, berhadapan dengan Polri yang kuat, yang langsung berada di bawah payung presiden yang berkuasa, sebuah posisi yang perlu dipertanyakan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Akhirnya, saya berharap agar pertarungan antara Polri melawan KPK akan dapat diselesailan secara baik, jujur, dan adil. Jangan sampai kehebohan ini membawa kita pada krisis kepercayaan pada demokrasi yang sungguh berbahaya.

Sebagai catatan kecil di ujung artikel ini, saya perlu menyebut bahwa perhatian publik demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra ini sehingga gaungannya jauh melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) ala Obama yang digagas presiden pada awal masa jabatan keduanya.

Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS, 4 November 2009

Friday, November 13, 2009

Skandal Penegakan Hukum!


Terobosan Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dan lawan bicaranya mengejutkan kita!

Pemutaran rekaman hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi atas telepon Anggodo dilakukan atas perintah majelis hakim konstitusi dalam rangka uji materi UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang diajukan Wakil Ketua (nonaktif) KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Tindakan MK bakal tercatat dalam sejarah pengungkapan skandal penegakan hukum di Indonesia.

Siaran langsung televisi terkait sidang MK selama 4,5 jam menambah efek dramatis persidangan tersebut. Emosi dan perasaan publik terlibat secara penuh saat mendengarkan percakapan Anggodo dengan sejumlah lawan bicaranya.

Banyak pihak hampir tak percaya terhadap apa yang dipercakapkan Anggodo dengan antara lain Wisnu Subroto dan penyidik, bisa terjadi dalam negara hukum Indonesia. Namun, muncul juga pertanyaan dalam hati, jangan-jangan praktik seperti itulah yang selama ini terjadi, jual beli perkara, tetapi tidak pernah terungkap.


Percakapan yang diperdengarkan itu mengkonfirmasikan kepada kita semua bahwa praktik mafia peradilan —yang selama puluhan tahun menjadi isu dan selalu dibantah penegak hukum— ternyata benar-benar hadir dan eksis dalam sistem peradilan pidana kita! Reformasi birokrasi yang selama ini menjadi agenda pemerintahan pascareformasi ternyata masih menghasilkan oknum birokrat yang korup.

Publikasi meluas dari rekaman percakapan Anggodo dan lawan bicara bisa memicu kompleksitas sosial, politik, dan ekonomi yang sangat besar. Kita berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah signifikan di bidang penegakan hukum. Selain untuk penegakan hukum, langkah signifikan Presiden juga diperlukan untuk merespons dinamika masyarakat sipil yang memprotes penahanan Bibit dan Chandra.

Kita menghargai langkah Polri sebagaimana dijelaskan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Pol) Nanan Soekarna yang segera mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Bibit dan Chandra. Meski demikian, pihak kepolisian tetap bersikeras akan meneruskan perkara Bibit dan Chandra ke pengadilan.

Demi kepentingan bangsa yang lebih besar serta tetap terjaganya asas kepastian hukum, kejaksaan bisa segera menentukan status perkara Bibit dan Chandra. Kejaksaan bisa tetap meneruskan perkara ke pengadilan atau Jaksa Agung mengesampingkan perkara tersebut demi kepentingan umum. Langkah cepat amat dibutuhkan untuk merespons dinamika sosial politik yang berkembang.

Kita berharap Presiden segera mengambil tindakan konkret terhadap siapa pun yang bertanggung jawab dalam penanganan perkara Bibit dan Chandra. Reposisi dan konsolidasi kelembagaan menjadi amat penting!

TAJUK RENCANA KOMPAS, 4 November 2009

Tragedi Hukum di Hari Pahlawan


Setiap tanggal 10 November, kita sebagai warga Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan, namun pakar Komunikasi Politik UI Effendy Ghazali mengatakan bahwa momentum peringatan hari pahlawan tahun ini tercederai dengan munculnya tragedi ketidakadilan di bidang hukum.

"Hari ini adalah hari pahlawan, namun mungkin saat ini wajah pahlawan kita seakan-akan tergantikan oleh wajah Super Anggodo," kata Effendy dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR Senayan Jakarta, Selasa (10/11).

Ia mengatakan, tercorengnya citra perjuangan para pahlawan disebabkan karena munculnya sikap ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ia menyanyangkan sikap Polisi yang tidak menahan Anggodo Widjojo, dimana yang bersangkutan jelas-jelas melakukan rekayasa dan mencatut nama presiden.

"Apakah memang Presiden mengakui keterlibatannya dengan tidak melaporkan Anggodo yang jelas-jelas mencatut namanya. Karena Presiden sebelum pemutaran rekaman meminta untuk menindak pencatut namanya," kata Effendi. Saat ini, lanjut Effendi, Anggodo seperti berada di atas hukum.

Sedangkan juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) Ray Rangkuti meminta Komisi III DPR RI mendesak Presiden SBY untuk melanjutkan keberadaan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit-Chandra agar diproyeksikan untuk menyelidiki dan memverifikasi semua fakta temuan yang terkait kasus PT Masaro Radiokom dan skandal bailout Bank Century. "Kami juga meminta komitmen DPR untuk melanjutkan Hak Angket Century," kata Ray.


Hadir sejumlah aktivis dan intelektual muda yang sudah cukup dikenal publik. Misalnya, sosiolog Thamrin Amal Tomagola, analis politik Andrinof A Chaniago, Usman Hamid (Kontras), Illian Deta Arta Sari (ICW), Benny Susetyo (rohaniwan), Frangky Sahilatua (seniman), Yudi Latif (Reform Institute), dan Ray Rangkuti (Lima). Anggota Kompak yang hadir antara lain ahli komunikasi politik Effendy Ghazali, aktivis demokrasi Fadjroel Rachman, Ismeth Hasan Putra, Faisal Basri, Sebastian Salang, Jeiry Sumampou, Johan O Silalahi, dan beberapa aktivis anti korupsi lainnya.

Acara yang dihadiri jajaran lengkap Komisi III itu dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya diiringi petikan gitar Franky Sahilatua. Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta yang dipimpin Ketua Komisi III Benny Kabur Harman.

Ray menambahkan, Komisi III harus dapat bersikap objektif, rasional, dan berpihak kepada suara rakyat. "Jangan menjadi corong suara pihak yang bersengketa, khususnya dalam memberantas korupsi dan mafia hukum," tandas Ray.

Penegasan ini terkait Raker Komisi III DPR dengan Kapolri, Kamis (5/11) malam lalu. Saat itu, muncul kesan kuat, para wakil rakyat membela Kapolri dan jajarannya.


Kaitan dengan Cak Nur
Yudi Latif menyesalkan berkembangnya spekulasi Kapolri mengenai hubungan MS Kaban dan Chandra Hamzah, yang sempat menyebut inisial N, yang diduga Nurcholish Madjid (almarhum Cak Nur), terkait kasus tersebut. Menurut Kapolri, MS Kaban pernah membantu Chandra Hamzah dalam pernikahannya dengan Nadia Madjid, putri Nurcholish Madjid. Dari sana, Chandra yang belakangan menjadi Pimpinan KPK berutang budi kepada MS Kaban. ”Pernyataan Kepala Polri bahwa proses hukum terhadap mantan Menteri Kehutanan MS Kaban dipetieskan KPK karena Chandra ada utang budi juga terlalu mengada-ada,” ujar Yudi.

Sehingga, dugaan aliran dana Masaro sebesar Rp 17,6 miliar tidak ditindaklanjuti KPK. "Mengapa nama Cak Nur (panggilan populer Nurcholish Madjid) disebut-sebut. Padahal, Kaban tidak pernah diundang dan tidak hadir dalam pernikahan itu. Persoalan ini sepele, bisa dicek datanya ke KUA, tapi tidak dilakukan Kapolri. Masalah keluarga dipakai untuk membangun asumsi hukum. Jelas ini kebohongan publik," beber Yudi dengan nada tinggi. Yudi mendesak Komisi III untuk mengklarifikasi persoalan ini kepada Kapolri.

Terkait masalah itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, seperti dikemukakan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna secara terpisah, akan mencoba meluruskan, mengklarifikasi, dan mendekati secara personal keluarga almarhum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid.


Desakan mundur
"Saat ini masih ada saja praktisi hukum yang terkena praktek makelar kasus alias markus," kata Faisal Basri pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR, Selasa (10/11) malam itu.

RDPU tersebut dilaksanakan terkait dengan persoalan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR itu Faisal Basri melontarkan kritik yang sangat pedas. Menurut dia, pejabat di luar negeri, misalnya Jepang, yang terbukti sengaja berbuat kejahatan atau kesalahan akan merasa malu. Untuk menebusnya, kata Faisal, kalau tidak bunuh diri, minimal mengundurkan diri.

Jika di luar negeri, Kepala Polri atau Jaksa Agung sudah bunuh diri atau setidaknya mundur. Saya tidak tahu seperti apa yang dimiliki pembengkok hukum di Indonesia. Namun, saya yakin, Kepala Polri dan Jaksa Agung adalah orang baik sehingga, mulai besok mundurlah,” ujar ekonom Faisal Basri. Dia menyebut aparat mulai tidak lagi menunjukkan sebagai penegak hukum, melainkan pembengkok hukum. "Mereka bekerja seperti mesin. Tidak tahu lagi hukum untuk menegakkan keadilan," tegas Faisal.


Bisa jadi bola liar
Sementara itu aktivis dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tomagola meminta Presiden untuk segera melakukan tindakan cepat dan cerdas mengatasi konflik antar-lembaga hukum agar tidak terjadi tragedi yang tidak diinginkan.

"Konflik antar-lembaga hukum ini jika tidak segera diatasi bisa bergerak cepat menjadi bola liar dan bisa menjadi tragedi yang tidak diharapkan," kata Thamrin.

Dikatakan Thamrin, keresahan masyarakat yang saat ini meluas harus segera disikapi dengan tindakan kongkrit dari pemerintah. Selama ini, katanya, masyarakat hanya diam tapi dengan munculnya konflik antar-lembaga hukum, masyarakat kini tidak lagi diam tapi memiliki sikap tersendiri yakni meminta pemerintah agar segera membenahi persoalan di lembaga hukum.

"Jika hal ini tidak segera diatasi bisa terjadi gerakan di ranah publik," katanya.


Memanas
Kembali ke rapat dengar pendapat Komisi III, setelah menyampaikan aspirasi, sekitar pukul 22.40 suasana memanas. Sejumlah anggota Kompak sempat memutuskan untuk keluar meninggalkan sidang setelah Ray Rangkuti membacakan isi kesimpulan poin ketiga hasil rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III, Selasa sore. Kesimpulan ketiga itu berbunyi: Komisi III DPR RI mendesak Kejaksaan RI untuk menangani perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Chandra Hamzah dan Bibit S Rianto.

Ray minta kebenaran isi dari kesimpulan, yang menurut Thamrin Amal Tomagola merupakan pengkhianatan terhadap hati nurani rakyat. Fadjroel juga bertanya, apakah dengan demikian Komisi III DPR tidak memerhatikan hasil kerja Tim Delapan.

Ketua Komisi III Benny Kabur Harman sempat memberikan penjelasan. Namun, dengan cepat suasana menjadi panas dan gaduh sehingga Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi III, mengetuk palu berkali-kali untuk menutup sidang dan meminta Fadjroel sebagai pimpinan rombongan Kompak bertanggung jawab. Setelah itu, Azis meninggalkan ruangan.

Fadjroel, Usman Hamid, dan Ray sempat berteriak-teriak meminta agar rapat dilanjutkan. Sekitar pukul 22.50, Kompak memutuskan untuk kembali duduk di ruang sidang menunggu sidang dibuka kembali. Namun, pimpinan Komisi III meninggalkan sidang. Hingga waktu habis pukul 23.00 ternyata pimpinan Komisi III tidak lagi hadir di ruang sidang.

Ketua Komisi III DPR-RI, Benny Kabur Harman akhirnya benar-benar kabur ….

Sumber: KOMPAS, Media Indonesia, ANTARA

Saturday, November 7, 2009

Susno Cerita Asal Muasal Cicak vs Buaya


Menurut Laporan VIVAnews

Susno Duadji diminta menjelaskan soal Cicak-Buaya yang menjadi simbol perlawanan pendukung KPK pada Polri. Sebab, simbol itu diambil dari lontarannya di media.

Dengan wajah sumringah, Susno menyambut permintaan itu. "Kesempatan inilah paling baik saya jelaskan pada seluruh masyarakat indonesia," ujar Kabareskrim nonaktif itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Jumat 6 November 2009.

Susno pun sempat berseloroh. "Setelah diributkan sekarang, jangan-jangan lima tahun lagi rebutan hak cipta," ujarnya disambut ger anggota dewan.

Rupanya suasana dengar pendapat yang hangat membuatnya tampak gembira. Berbeda saat menyampaikan bantahan dugaan masuknya 10 miliar ke kantongnya, dimana air mata meleleh di pipinya.

Menurut dia, lontaran cicak dan buaya itu keluar ketika menerima wawancara dari wartawan yang datang ke rumahnya. Dia ditanya kok tahu disadap, berarti alat yang dimiliki polisi bisa menyadap sekaligus mendeteksi bila disadap. "ya bisa," ujarnya.

Susno melanjutkan, dia membandingkan alat yang dimiliki polisi dan KPK. "Kan saya bukan orang teknologi, kira-kira perbandingannya begini. Kebetulan di akuarium ada cicak.” "Kalau iguana lawannya apa? Kalo satunya cicak, satunya apa? Staf saya bilang buaya," ujarnya.

Itulah yang kemudian memunculkan ikon terkenal kasus KPK dan Polri.

Siswanto, Suryanta Bakti Susila
VIVAnews, 6 November 2009

Ini Lho Asal Sejarah Cerita Cicak dan Buaya


Menurut Laporan Wartawan KOMPAS

Komjen Susno Duadji "ditodong" anggota Komisi III DPR RI untuk menjelaskan asal muasal cerita "cicak dan buaya" sehingga istilah tersebut seolah-olah menjadi ikon konflik antara Komisi dan Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri yang kini terasa memanas. Dengan suasana serius tapi santai, Susno pun menjelaskan bagaimana muncul istilah tersebut.

Di awal ceritanya, Susno sempat-sempatnya mengeluarkan joke segar. Katanya, kalau sekarang mencela cicak dan buaya, mungkin lima tahun lagi ini jadi perkara perdata rebutan hak ciptanya siapa. Kontan hal tersebut pun mengundang tawa ringan sejumlah anggota Komisi III dan pejabat Polri yang hadir.

Ia mengatakan, istilah tersebut berawal dari perbincangannya dengan seorang wartawan yang menanyakan jenis alat sadap Polri. "Waktu wartawan datang ke kantor saya, dia tanya, kok bisa tahu teleponnya disadap dari siapa," kata Susno memulai cerita. Susno pun menjawab, bisa dong dari alat yang dimiliki polisi.

Susno melanjutkan, lalu wartawan tersebut bertanya lagi apakah alat tersebut juga bisa menyadap. Ia pun menjawab ya. Selain itu, Susno mengaku juga sempat berujar kalau alat punya KPK mungkin nggak bisa seperti alat yang dimiliki polisi.


"Ditanya lagi kira-kira membandingkan. Kan saya bukan orang teknologi, kira-kira perbandingannya begini. Kebetulan di akuarium ada cicak. Kalau arwana lawannya apa? Kalo satunya cicak, satunya apa? Serse saya bilang buaya," jelas Susno.

Tapi, lanjut Susno, cerita tersebut masih ada sambungannya. "Sambil ngobrol-ngobrol, saya bilang... dari segi alam dan dari segi kekuasaan terbalik. Kami cicak situ buaya. Kalau situ nangkap tidak perlu izin-izinan," jelas Susno.

Jadi, ia tak menyangka kalau obrolan segar waktu itu ternyata menjadi hal yang serius kemudian hari. Jadi, apakah "cicak dan buaya" akan dipatenkan Pak?

Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
KOMPAS.com, 6 November 2009

Asal Muasal Cicak Lawan Buaya


Wawancara TEMPO dengan Susno Duadji

ISU tak sedap menerjang Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. Telepon genggamnya disadap oleh penegak hukum lain. Penyadapan itu diduga terkait dengan penanganan kasus Bank Century.

Susno menyatakan dirinya tak marah atas penyadapan itu. ”Saya hanya menyesalkan,” ujarnya. Siapa penyadapnya, ia tak mau buka mulut. Lulusan Akademi Kepolisian 1977 ini menyebut penyadapan itu sebagai tindakan bodoh. Sehingga, ujarnya, ia justru sengaja mempermainkan para penyadap dengan cara berbicara sesuka hati.

Sebelumnya, polisi memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah lantaran disebut-sebut melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Pemeriksaan Chandra dituding sebagai upaya polisi untuk melumpuhkan komisi yang galak terhadap koruptor itu. Apa yang terjadi sebenarnya? Pekan lalu, wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno Duadji di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara. Berikut petikan wawancara tersebut.

Polisi dituduh hendak menggoyang KPK karena memeriksa pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan. Komentar Anda?
Kalangan pers harus mencermati, apakah karena dia (Chandra Hamzah) pimpinan KPK lalu ada masalah seperti ini tidak disidik. Katanya, asas hukum kita semua sama di muka hukum. Jelek sekali polisi kalau ada orang melanggar undang-undang lalu dibiarkan. Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional.


Apa memang ditemukan penyalahgunaan wewenang untuk penyadapan itu?
Saya tidak mengatakan penyalahgunaan atau apa. Silakan masyarakat menilai. Menurut aturan, yang boleh disadap itu orang yang dalam penyidikan korupsi. Kalau Rhani Juliani, apa itu korupsi? Dia bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan. Kalau korupsi, korupsi apa, harus jelas.

Tapi sikap Anda ini dinilai menggembosi KPK?
Kalau kami mau menggembosi itu gampang. Tarik semua personel polisi, jaksa. Nanti sore juga bisa gembos. Lalu Komisi III nggak usah beri anggaran. Kami berteriak-teriak ini supaya baik republik ini.

Kami mendapat informasi, saat diperiksa Antasari membeberkan keburukan pimpinan KPK yang lain.
Saya tidak tahu, tanya ke Antasari. Lha, sekarang kalau pimpinannya yang mengatakan lembaga itu bobrok, berarti parah, dong. Dia kan yang paling tahu. Dia kan pimpinannya.

Ada kesan polisi dan KPK justru berkompetisi, bukan bersinergi. Benar?
Tidak, yang melahirkan KPK itu polisi dan jaksa. Saya anggota tim perancang undang-undang (KPK). Kami sangat mendukung. Tapi karena opini yang dibentuk salah, seolah-olah jadi pesaing. Padahal 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) itu kan personel polisi. Penuntutnya juga dari kejaksaan. Kalau nggak gitu, ya matek (mati) mereka. Jadi, tak benar jika dikatakan ada persaingan.

Anda, kabarnya, juga akan ditangkap tim KPK karena terkait kasus Bank Century?
Ah, ya enggak, itu kan dibesar-besarkan. Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Kalau bukan mereka, siapa yang mau nangkap? Makanya, Kabareskrim itu dipilih orang baik, agar tidak ditangkap.

Kalau penyidik KPK yang menangkap?
Mana berani dia nangkap?


Karena adanya berita itu, Anda katanya marah sekali sehingga kemudian memanggil semua polisi yang bertugas di KPK?
Tidak, saya tidak marah. Mereka kan anak buah saya. Mereka pasti memberi tahu saya. Saya cuma kasih tahu kepada mereka, gunakan kewenangan itu dengan baik.

Apa benar Anda minta imbalan untuk penerbitan surat kepada Bank Century agar mencairkan uang Boedi Sampoerno?
Imbalan apa? Apanya yang dikeluarkan? Semua akan dibayar, kok. Bank itu tidak mati, semua aset diakui dan ada. Terus apa lagi yang mesti diurus? Yang perlu diurus, uang yang dilarikan Robert Tantular itu.

Jadi, apa konteksnya saat itu Anda mengirim surat ke Bank Century?
Konteksnya, saya minta jangan dicairkan dulu rekening yang besar-besar. Kami teliti dulu. Paling besar kan punya Boedi Sampoerna, nilainya triliunan rupiah. Kami periksa dulu, kenapa Boedi Sampoerna awalnya nggak mau melaporkan.

Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?
Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.

MBM TEMPO, 20/XXXVIII 6 Juli 2009

Monday, November 2, 2009

Tikus di antara Buaya dan Cicak


Penahanan Kepolisian terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terus mendatangkan gelombang protes. Fakta menunjukkan ada yang tidak tepat dan terkesan dipaksakan. Selain itu, berbau skenario tidak sedap, sehingga kalau banyak pihak menduga ada hubungan penahanan ini dengan rekaman yang beredar, boleh jadi benar adanya.

Secara yuridis dibutuhkan syarat objektif dan subjektif dalam melakukan penahanan terhadap seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa. Secara objektif, seharusnya ada ketentuan pidana yang dilanggar dengan ancaman lebih dari lima tahun.

Boleh jadi, pasalnya memang ada. Tetapi, kelihatannya Kepolisian belum dapat membuktikan substansi tuduhan pasal tersebut. Kepolisian terlihat gagap menjelaskan tuduhan sesungguhnya pada dua komisioner KPK nonaktif ini.

Tuduhan berubah-ubah. Bahkan, tempat dan waktu pelaksanaan yang dituduhkan juga berubah mengiringi bantahan Bibit dan Chandra. Perubahan ini termasuk adanya pelanggaran kewenangan karena adanya penyuapan. Bahasa Kepolisian, kewenangan yang dilanggar itu karena KPK bersifat kolegial-kolektif dan karenanya semua keputusan harus diambil lima komisioner dan tidak boleh orang-per orang.

Kita tidak paham darimana Kepolisian mengambil pandangan hukum seperti itu. Karena, secara hukum sifat kolegial-kolektif itu terasa mustahil jika mau diterjemahkan sebagai paripurna seperti anggapan Kepolisian.

Pasal 21 Ayat (5) tentang kolektivitas KPK berbunyi "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif", mustahil diterjemahkan sebagai kewajiban untuk mengambil keputusan dengan lima orang. Apalagi, ada Pasal 36 huruf b yang memungkinkan keputusan tidak diambil secara kolektif. Pasal tersebut memungkinkan, jika komisioner mengalami konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan, maka komisioner yang dimaksud harus mengundurkan diri dari perkara tersebut dan berarti pengambilan keputusan tidak dilakukan secara lengkap oleh lima orang.


Bahkan, dalam klausula Pasal 36 huruf b ini membuka kemungkinan cuma tersisa satu orang yang mengambil keputusan. Berarti logika jumlah adalah logika yang keliru. Yang paling mungkin adalah pengambilan keputusan secara kelembagaan sebagai penerjemahan kolegialitas dan kolektivitas KPK. Sepanjang itu diambil secara lembaga, sebagai keputusan lembaga, maka walau dua orang tetap saja merupakan keputusan kelembagaan yang sah.

Tuduhan penyuapan pun terasa aneh dan ganjil. Bukan hanya karena memang ada kreasi di rekaman yang beredar perihal itu, tetapi juga karena tuduhan Kepolisian terhadap mereka sudah dibantah oleh yang bersangkutan, yakni orang yang dalam skenario Kepolisian menjadi pembawa uang suap. Ia jelas-jelas membantah dan mengatakan tidak melakukan seperti yang terskenario dalam tuduhan Kepolisian atas Bibit dan Chandra. Herannya, Kepolisian tetap "maju tak gentar", bahkan dengan fakta-fakta yang gagap untuk dijelaskan.

Hal yang sama terlihat pada alasan subjektif penahanan. Pasal 21 Ayat (1) KUHAP menyebutkan,"Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana."


Sulit untuk mengatakan Bibit dan Chandra mau melakukan satu di antara ketiga alasan subjektif penahanan tersebut. Jika ingin melarikan diri, fakta mengatakan ia sudah dicekal. Jika ingin mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti, kedua komisioner ini telah diberhentikan sementara dari KPK, sehingga jika memang tuduhan atas keduanya berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki, maka mustahil keduanya mampu mengulangi perbuatan dan menyembunyikan alat bukti dari kewenangan yang dihasilkan dengan bekerja sebagai komisioner.

Lebih lucu lagi, Kepolisian kemudian memasukkan unsur melakukan penahanan karena Bibit dan Chandra sering melakukan penggalangan opini publik. Mengherankan, dalam memperkarakan Bibit dan Chandra, Kepolisian terlihat seperti membela kepentingan koruptor yang sudah lari ke luar negeri, dan melakukan penahanan karena tak ingin Bibit dan Chandra memperjuangkan keyakinan dan kepentingannya.

Pertanyaannya, mengapa mereka tetap dipaksakan untuk ditahan? Padahal secara yuridis terasa aneh, ganjil, dan berbau tidak sedap.

Kerja Tikus
Yang paling harus kita waspadai adalah adanya kemungkinan kerja tikus di antara konflik besar buaya dan cicak ini. Rasanya terlalu aneh jika Kepolisian yang merupakan lembaga penegak hukum dengan mudah membuat kesalahan-kesalahan yuridis seperti di atas. Rasanya, agak mustahil Kepolisian tidak mengerti, tidak paham, lalu melakukan kekeliruan, sehingga gagap menjelaskan penahanan Bibit dan Chandra, kecuali ada kerja tikus yang invisible.

Apalagi, kalau memori kita susun dengan melihat secara jeli serangan-serangan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi beberapa bulan atau beberapa tahun terakhir. Tahun-tahun belakangan, banyak dihiasi upaya menghancurkan UU KPK melalui judicial review, bahkan menghalang-halangi pembentukan aturan perihal kelengkapan alat pemberantasan korupsi.


Dalam beberapa bulan belakangan, serangan tidak kalah gencar juga terjadi. Ada beberapa hal yang belum jelas dan hingga kini belum terjawab, misalnya di balik kekeuh-nya BPKP untuk masuk dan segera melakukan audit atas KPK. Hingga saat ini, kita tidak jelas, antara memang diperintahkan oleh Presiden ataukah hanya inisiatif BPKP. Ketidakjelasan itu semakin mengundang kecurigaan publik. Jangan-jangan ada peran tertentu yang dimainkan untuk mematikan pemberantasan korupsi.

Karenanya, patut diwaspadai adanya peran pihak ketiga dalam konflik yang semakin meruncing antara buaya dan cicak ini.

Sejujurnya, jika kita analisis maka yang paling diuntungkan dari konflik ini adalah para tikus-tikus koruptor. Mereka kelihatan tidak lagi terurus karena adanya konflik ini. KPK belakangan dipaksa untuk lebih sibuk dan bertahan menghadapi kemungkinan kriminalisasi terhadap dirinya. Praktis, hampir tidak ada lagi koruptor yang sedang dikejar KPK. KPK lebih banyak bertahan daripada menyerang. KPK mengalami kesulitan menghajar tikus karena terlalu banyak serangan atas dirinya.

Hal yang sama mungkin juga terjadi pada Kepolisian dan Kejaksaan. Boleh jadi, kedua lembaga ini tetap saja bekerja melakukan pemberantasan korupsi, tetapi banyak hal yang mengakibatkan kualitasnya dipertanyakan. Apalagi, jika rekaman yang beredar selama ini memang benar adanya, maka kepercayaan itu akan semakin runtuh dan boleh jadi tidak akan berbekas sama sekali.


Karenanya, sekali lagi harus diingatkan, jika analisis dengan pertanyaan, "Who got the cheese?” (siapakah yang paling diuntungkan?) dari kasus ini, sangat besar kemungkinan jawabannya adalah para tikus. Merekalah pemenangnya, jika perseteruan ini berlanjut tanpa ujung. Boleh jadi merekalah yang merekayasa perseteruan ini. Karenanya, mari kita bersatu melawan ketidakadilan bagi pelaksana pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya menggebuk tikus-tikus yang berdiri di antara buaya dan cicak.

Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
suarapembaruan.com, 2 November 2009

Sunday, November 1, 2009

KASUS CENTURY: Skandal Terbesar sejak Reformasi


Kasus Bank Century merupakan skandal terbesar sejak reformasi. Apabila kasus Bank Bali merugikan uang negara di bawah Rp 1 triliun, kasus Bank Century menyedot uang negara sampai Rp 6,7 triliun.

Calon presiden dalam Konvensi Dewan Integritas Bangsa, Yuddy Chrisnandi, mengingatkan hal itu saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat (30/10). ”Ini jelas sebuah kejahatan pemerintah,” kata Yuddy.

Sebuah bank kecil, tetapi diberikan fasilitas mendapatkan dana penyehatan Rp 6,7 triliun, menurut Yuddy, jelas menunjukkan kejanggalan. Apalagi pemberian dana yang sangat besar itu pun dilakukan tanpa melalui sepengetahuan publik, yaitu tanpa melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

Uang negara yang merupakan jerih payah seluruh rakyat tidak bisa serta-merta diserahkan pemerintah kepada bank swasta dengan cara seperti itu. Pemerintah berarti telah mengingkari adanya otoritas rakyat dan seolah-olah tidak ada rakyat.

Sejauh ini pemerintah tidak menunjukkan adanya itikad yang kuat untuk mengusut siapa saja yang terlibat dalam kasus ini, bahkan cenderung menutup-nutupi. ”Ini sebuah skandal terbesar di era reformasi,” ujar Yuddy yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009.

Kumpulkan data
Sampai kemarin Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR terus mengumpulkan data-data untuk memperkuat usulan penggunaan hak angket atau penyelidikan.

”Bahan-bahan sudah begitu banyak. Data di Komisi XI juga sudah lengkap. Banyak juga faksimile yang sudah masuk. Kami juga sudah bertemu dengan ahli perbankan, ahli ekonomi, hukum, dan lainnya. Minggu depan kami juga akan menerima para nasabah Century yang meminta bertemu,” papar Ketua F-PDIP Tjahjo Kumolo.

Dengan terkumpulnya banyak data tersebut, Tjahjo berkeyakinan sebelum masa sidang DPR berakhir, yaitu 5 Desember 2009, usulan hak angket sudah dapat disampaikan ke pimpinan DPR.


Karena syarat pengajuan angket harus diusulkan paling tidak 25 anggota DPR yang berasal lebih dari satu fraksi, maka Tjahjo Kumolo berharap fraksi lain juga turut mendukung. Dia berkeyakinan fraksi lain akan mendukung karena rakyat menghendaki kasus ini diusut tuntas.

”Semua anggota DPR itu, kan dari fraksi mana pun. Pasti punya rakyat yang diwakilinya di daerah pemilihan masing-masing,” paparnya. Penggunaan hak angket juga bukan sekedar mencari-cari siapa yang salah, tetapi justru untuk mengusut persoalan ini agar jadi lebih jelas, tidak mengambang seperti sekarang.

Rapat gabungan Century
Rapat internal Komisi III DPR, pekan lalu, mengusulkan diadakannya rapat gabungan dengan Komisi XI untuk membahas persoalan Century. Namun, dalam Rapat Badan Musyawarah, hari Kamis, hal itu belum diagendakan.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, yang terus mendorong agar kasus Century diselidiki secara tuntas pun merasa heran dengan hal itu. ”Ini aneh karena Komisi III sudah mengusulkan,” ucapnya.

KOMPAS, 31 Oktober 2009