Monday, September 28, 2009

Skandal Bank Century


Kasus skandal Bank Century semakin meruncing. Terlebih polemik setelah digelontornya Bank Century lewat Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), sebesar Rp 6,672 triliun dan perkiraan nilai saham pada saat bank harus didivestasi pada tahun 2011.

Pemerintah dan BI harus ditempatkan dalam posisi yang paling bertangung jawab karena mereka dulu yang memutuskan melakukan penyelamatan Bank Century. Dalam konteks yang demikian itu, potensi kerugian Negara yang ditimbulkan berkisar Rp 4,72 triliun.

Polemik skandal Bank Century ini mengingatkan kembali pada mega skandal BLBI yang merusak dan merongrong perekonomian Indonesia. Betapa tidak, total BLBI yang dikucurkan sedikitnya Rp 320 triliun. Terdiri dari Rp 144,5 triliun yang diterima 48 bank umum swasta nasional dan Rp 175 triliun yang diterima bank BUMN.

Dampak bagi seluruh rakyat amat besar. Karena dari kewajiban untuk melunasi obligasi BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, ternyata nilai asset yang diserahkan pemegang saham mayoritas bank penerima BLBI hanya sekitar Rp 12 triliun atau 8,5 persen saja.

Memang skandal Bank Century tidak sefantastik skandal BLBI, akan tetapi yang harus mendapat perhatian dari kalangan masyarakat adalah perlunya dipertanyakan soal legalitas penyelamatan. Kenapa? Hal ini sangatlah penting karena menyangkut persoalan kriteria bank gagal yang terjadi secara sistemik, belum lagi dihadapkan pada payung hukum yang akan digunakan untuk melindunginya.

Layak untuk dikaji secara mendalam terutama yang menyangkut tidak saja pada betapa negara harus bertanggung jawab di tengah krisis global, tapi barangkali yang menyedihkan justru pada kenapa rakyat yang akhirnya dipilih dan harus menanggung beban skandal tersebut.

Bahkan tidak tanggung-tangung Wakil Presiden Jusuf Kalla secara terus terang mengatakan masalah yang terjadi di Bank Century merupakan tindakan kriminal murni. Yaitu berupa perampokan bank oleh pemiliknya sendiri akibat lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia. Terhadap persoalan riil inilah akhirnya duit rakyat melalui pemerintah dikemas dengan bahasa penyelamatan dan upaya pengesahan perbankan yang sebenarnya sudah mau ambruk.


Sungguh bisa dipastikan skandal Bank Century menghasilkan polemik saling tuding. Yang nampak kasat mata adalah bagaimana perbedaan pandangan keras antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden. Justru yang menarik tidak sekadar polemiknya yang tajam, tetapi adalah semakin membukanya tabir skandal hingga lebih jelas dan transparan.

Maka ranah hukum sebagai pilihan untuk menyelesaikan masalah tidak boleh berhenti. Apalagi hukum nantinya tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan politik.

Tentu, kesigapan tidak hanya tertumpu pada lembaga penegak hukum baik polisi, jaksa dan lembaga peradilan, akan tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi semestinya langsung sigap dengan melakukan penyidikan. Untuk itu KPK harus melakukan kerja sama dengan aparat Kepolisian Republik Indonesia, karena kasus ini sudah terlebih dahulu ditangani oleh pihak Kepolisian, (Duta Masyarakat, Selasa, 1/9/2009).

Bahkan tidak kalah pentingnya pihak BPK harus kerja keras melakukan audit terhadap kasus Bank Century. Hal ini lantaran Komisi IX DPR sejak awal mempersoalkan suntikan dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) yang sudah dikucurkan.

Peranan BI sebagai lembaga yang melakukan Pembinaan dan Pengawasan adalah sangat dominan. Secara normatif dalam rumusan Undang-Undang Perbankan No 7 tahun 1992 dan UU No 10 tahun 1998, dalam pasal 29 disebutkan ”Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. Termasuk juga bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan bank.


Dalam ranah normatif tesebut peran BI menjadi sangat sentral dari sebuah perusahaan keuangan bidang perbankan. Karena otoritas BI inilah maka sebuah perbankan dapat menjadi sehat ataukah gagal secara sistemik. Lantaran peran dan fungsi BI tidak sekadar menunggu dan bersifat pasif tapi juga harus pro aktif.

Inilah kemudian BI dituntut untuk dapat mengetahui tentang kesehatan perbankan yang dapat ditentukan dari pertama, persoalan permodalan. Yang menyangkut modal adalah bagian terpenting untuk mengetahui lebih jauh tentang seberapa besar modal yang dimiliki oleh lembaga keuangan tersebut, tentu ini untuk lebih melindungi nasabah.

Kedua, kualitas asset dan kualitas manajemen. Dalam kontek inilah peranan aset menjadi tolok ukur yang menjadi jaminan kelangsungan usaha perbankan, termasuk juga yang menyangkut manajemen yang dikelola secara profesional serta memperhatikan nilai-nilai fundamental perbankan.

Ketiga, rentabitas, yaitu untuk lebih mengetahui tentang seberapa besar tingkat rentanya sebuah bank dalam menjalankan operasionalnya, karena hanya ukuran secarik buku tabungan seorang nasabah bank dapat percaya. Kadang tidak jarang belum mengerti seberapa besar rentabilitas sebuah bank. Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank yaitu atas dasar kepercayaan maka setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Keempat, likuiditas dan solvabilitas, dua hal yang tidak bisa diabaikan dalam rangka untuk mengerti dan sekaligus menganalisis lukuiditas serta seberapa besar kemampuan untuk solvabilitasnya.

Terhadap peranan BI yang begitu besar mestinya tidak akan terjadi persoalan skandal di Bank Century bilamana BI dapat menjalankan fungsi dan peranannya. Karena itulah perlunya pemikiran gugatan atas peran BI guna keberlangsungan kemajuan ekonomi di bidang perbankan.

Tidak sekedar menjadi alat pelengkap dari sebuah kegiatan industri perbankan tetapi juga perlunya kerja-kerja profesional dengan landasan mengutamakan kepentingan umum.

http://kabarnet.wordpress.com/2009/09/03/skandal-bank-century/

Boediono Hanya Tersenyum Soal Bank Century


Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono hanya tersenyum ketika dikonfirmasi kasus Bank Century. "Sudah nanti saja," katanya ketika dikonfirmasi ANTARA usai menghadiri acara buka puasa bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Mabes TNI Cilangkap, Jumat (11/9) malam.

Bahkan ketika didesak lebih lanjut, wakil presiden terpilih RI 2009-2014 sekali lagi hanya tersenyum sambil melepas Presiden Yudhoyono meninggalkan Mabes TNI Cilangkap.

Mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemuka dibalik penyelamatan PT Bank Century Tbk pada 21 November 2008 lalu. Kedua petinggi ekonomi negeri tersebut dinilai bertanggung jawab atas penyelamatan dan suntikan modal Century yang melonjak dari semula Rp 630 miliar jadi Rp 6,7 triliun.

Yus Ariyanto
Liputan6.com, 11 September 2009

LPS Buru Aset Bank Century


Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus memburu dana dan aset Bank Century khususnya yang berada di luar negeri meski pengadilan telah memvonis mantan pemilik bank itu, Robert Tantular selama empat tahun. "Yang penting bagi kami (selaku pemilik) adalah mengejar aset-aset dan dana khususnya yang di luar negeri," kata Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani di Jakarta, Jumat (11/9).

Ia menyebutkan, tim yang melibatkan sejumlah pihak (interdep) sudah dibentuk dan diharapkan dapat segera melaksanakan tugasnya. "Mudah-mudahan memberi hasil yang baik, kalau makin cepat dapatnya akan makin baik," katanya seperti dikutip ANTARA. Tim interdep tersebut berasal dari Bank Century, BI, Kepolisian, PPATK, Depkeu, Kejaksaan Agung, dan LPS.

Sebelumnya, Bank Indonesia mengungkapkan Bank Century memiliki dana di Dresdner Bank Swiss sebesar 156 juta dolar AS. Saat ini dana itu tengah diupayakan kembali ke Bank Century. Dana itu berasal dari jaminan surat berharga valas berkualitas rendah sebesar 203 juta dolar AS. Saat itu BI minta jaminan dengan dana cash namun Bank Century mengajukan opsi menggunakan jaminan dananya di luar negeri.

BI juga menemukan kredit ekspor (LC) fiktif sebesar 95 juta dolar AS dari enam perusahaan, di mana dua perusahaan akan melakukan restrukturisasi senilai 65,3 juta dolar AS. Selain itu, juga muncul laporan bahwa aset mantan pemilik Bank Century di Hongkong mencapai sebesar satu miliar dolar AS.

Tim Liputan 6 SCTV
Liputan6.com, 11 September 2009

Wapres: Kasus Bank Century Akan Melebar


Wakil Presiden Jusuf Kalla menengarai kasus penyelamatan bank Century akan melebar kemana-mana. Pernyataan wakil presiden tersebut disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj, usai bertemu Jusuf Kalla di Jakarta. "Wapres tadi bilang kasus bank Century kalau dibuka akan panjang dan melebar kemana-mana," kata Said Agil Siradj, Jumat (4/9).

Namun ketika ditanyakan apa yang dimaksud dengan akan panjang dan melebar kemana-mana, Said mengaku Wapres tidak meneruskan dan tidak memberikan penjelasan. "Wah apa itu (melebar kemana-mana) saya tak tahu. Wapres juga tidak menjelaskan. Keheranan kita, hari gini masih ada kasus seperti itu," katanya.

Ia menjelaskan dalam pertemuan dengan Wapres tersebut, PBNU mempertanyakan soal kasus bank Century. Menurut Said Agil, Wapres memberikan penjelasan mengenai masalah tersebut. "Wapres mengatakan, sejak awal beliau tak mau ada "bailout" bank Century, karena ini perampokan," ujarnya.

Karena itu, Said Agil menambahkan, Wapres akan tetap pada pendiriannya tidak akan menyetujui adanya "bailout" untuk bank Century. "NU akan terus merespons dan mendorong siapa saja yang ingin mengungkap kebenaran dalam kasus bank Century. Bahasanya amar ma`ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kebatilan)," katanya.


Kedatangan pengurus PBNU ke Wapres Jusuf Kalla tersebut untuk melaporkan rencana Muktamar NU ke-32 yang akan dilaksanakan di Makasar pada 25-31 Januari 2010.

Ia mengatakan dalam pertemuan tersebut Wapres menilai PBNU masih memiliki kepedulian terhadap bangsa karena mempertanyakan masalah bank Century. NU akan selalu peduli terhadap permasalahan bangsa, termasuk soal teroris. Walaupun selama ini NU kurang diajak bicara. "Kita sepakat radikalisme atau teror bukan ajaran Islam, sehingga menjadi musuh semua orang. Dan saya jamin tidak satupun santri alumni NU yang jadi teroris," katanya dengan nada tinggi.

Carlos Pardede
Liputan6.com, 4 September 2009

Catatan:
A bailout is an act of giving capital to a company in danger of failing in an attempt to save it from bankruptcy, insolvency, or total liquidation and ruin; or to allow a failing company to fail gracefully without spreading contagion.

http://en.wikipedia.org/wiki/Bailout

Sunday, September 27, 2009

Menghitung Gaji Anggota DPR-RI


Penerimaan anggota DPR terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rutin perbulan, rutin non-bulanan dan sewaktu-waktu (non-rutin).

Rutin perbulan meliputi:
Gaji pokok: Rp 15.510.000
Tunjangan listrik: Rp 5. 496.000
Tunjangan Aspirasi: Rp 7.200.000
Tunjangan kehormatan: Rp 3.150.000
Tunjangan Komunikasi: Rp 12.000.000
Tunjangan Pengawasan: Rp 2.100.000

Total Perbulan: Rp 45.456.000 (empat puluh lima juta empat ratus lima puluh enam ribu rupiah)
Total Pertahun: Rp 545.472.000 (lima ratus empat puluh lima juta empat ratus tujuh puluh dua ribu rupiah)

Sedangkan penerimaan rutin tapi non-bulanan adalah:
Dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan Juni (Gaji ke-13): Rp 16.400.000.
Dana penyerapan aspirasi (reses): Rp 31.500.000. Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses jika di total selama setahun Rp 126.000.000.
Total penerimaan rutin non-bulanan per tahun adalah: Rp 142.400.000.

Sementara itu penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu yaitu:
Dana insentif pembahasan rancangan undang-undang (RUU) dan honor melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebesar Rp 5.000.000/kegiatan. Bila rata-rata per tahun ada sekitar 20 RUU dan 5 kali fit and proper test, maka totalnya adalah Rp 125.000.000.

Dana kebijakan insentif legislative sebesar Rp 1.000.000/RUU, total selama setahun (bila ada sekitar 20 RUU) Rp 20.000.000. Jadi total penghasilan sewaktu-waktu per tahun: Rp 145.000.000.

545.472.000.
142.400.000.
145.000.000.
---------------- +
832.872.000.


Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima anggota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah. Tepatnya adalah Rp 832.872.000.00,- (delapan ratus tiga puluh dua juta delapan ratus tujuh puluh dua ribu rupiah).

Data tahun 2006 menyebutkan jumlah dana per tahun yang diterima oleh setiap anggota DPR-RI mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.

Sumber: Yayat Suratmo, kabarinews.com

Catatan:
Dari data-data tersebut, jika dianggap kenaikan gajinya linier per tahun;
Gaji tahun 2006 = 761.000.000
Gaji tahun 2007 = 787.100.000 (naik 26.100.000)
Gaji tahun 2008 = 832.872.000 (naik 45.772.000)

Anggap saja rata-rata kenaikan per tahun = 45.772.000 – 26.100.000 = 19.672.000
Maka untuk periode 2009 – 2014 terjadi 4 kali kenaikan = 19.672.000 x 4 = 78.688.000
Jadi total pendapatan masing-masing anggota DPR-RI dalam satu periode (5 tahun) = 832.872.000 x 5 = 4.164.360.000 + 78.688.000 = Rp 4.243.048.000.00,- (empat milyar dua ratus empat puluh tiga juta empat puluh delapan ribu rupiah).

Bandingkan dengan gaji seorang guru SD (sang pahlawan tanpa tanda jasa) yang rata-rata per bulan Rp 2.000.000,- Maka gaji anggota dewan yang terhormat ini setara dengan 176 tahun gaji seorang guru SD.


Jadi pantaslah bila banyak yang tergiur syahwat politiknya untuk mengadu nasib dengan segala cara dan segala daya upaya demi mengejar kursi anggota DPR-RI.

Last but not least
, itu semua pendapatan minimal bruto. Dalam hal ini belum termasuk sabetan-sabetan, side job (sampingan), amplop-amplop lain, dan dana pensiun atau pesangon yang akan mereka dapatkan ketika tidak lagi menjabat.

Wuiiih …, huebaaat bukan?!

Thursday, September 24, 2009

Cinta Tuhan Itu Cinta Sesama


Tak jarang kita mengidealkan, ketika akan memasuki hari raya Idul Fitri, kita berharap suasana hening, tenteram, dan sejahtera.

Akan tetapi, apa boleh buat, kehidupan tak dapat kita rancang seperti itu. Seperti kita alami, selama bulan suci Ramadhan, kita melihat betapa hiruk pikuknya kehidupan ini. Dalam lingkup nasional, ada heboh Bank Century, ada heboh KPK-Polri, dan kemarin perhatian kita juga tercerap lagi pada penyergapan teroris.

Ya, itulah realitas hidup, bahkan untuk berhening sebulan dari 12 bulan yang ada kita tak sanggup. Namun, kita juga mengenal metafor paradoks, ”sunyi dalam keramaian”. Selain itu, dalam hiruk pikuk pun, harapan kita masih terkandung ibadah dan kesucian. Hiruk pikuk sendiri tampaknya sudah jadi takdir kita yang masih banyak terlibat dalam urusan duniawi.

Dalam keadaan seperti itulah kita terus berharap, Allah Yang Maha Pengasih masih akan menerima amal-ibadah kita, yang boleh jadi kita wujudkan dalam jatuh-bangun bekerja setiap hari, yang kita tujukan tidak saja bagi kebaikan diri kita sendiri, tetapi juga keluarga, masyarakat luas, dan bahkan bagi umat manusia.

Bila pada awal ulasan ini disinggung keheningan, itu karena kita sering mendengar, dalam keheninganlah kita dapat melihat, merasakan, dan menyadari, hal lain di luar yang kita hadapi sehari-hari sebagai rutinitas. Kolumnis harian ini kemarin juga mengingatkan, hubungan kita dengan Tuhan acap terganggu karena pesona dunia.

Kini, ketika sinar matahari terakhir Ramadhan 1430 H semakin redup, mari kita tambahkan waktu untuk memuliakan Allah Sang Maha Pengasih, yang banyak mencurahkan berkah dan rezeki kepada kita, dan juga yang telah menciptakan alam semesta yang mahaluar biasa ini.


Pada sisi lain, kita juga diingatkan, mencintai Tuhan juga harus disertai cinta kepada manusia. Idul Fitri, inilah saatnya untuk meneguhkan cinta kepada manusia. Masih enakkah ketupat dengan opor dan sambal goreng hati itu bila di luar sana masih banyak saudara kita yang kelaparan? Atau masih nyamankah baju baru itu ketika di luar sana masih banyak pengemis yang berbaju compang-camping?

Satu hal lagi yang juga selalu diingatkan menjelang hari bahagia ini adalah saling memaafkan. Menengok kembali apa yang kita lalui, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, boleh jadi dalam hati berkecamuk seribu hal yang memasygulkan, atau bahkan menimbulkan rasa marah terhadap orang atau pihak lain. Namun, kita diajarkan, betapa pun perasaan tersebut manusiawi, ternyata memaafkan dan meminta maaf masih lebih baik.

Akhirnya, melalui bulan suci Ramadhan yang segera berakhir, juga melalui hari Idul Fitri yang kita songsong, mari kita teguhkan kembali keimanan kita kepada Allah Yang Mahakuasa, sekaligus kecintaan kita kepada sesama - dalam semangat senasib-sepenanggungan.

Selamat Idul Fitri 1430 H, minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin.

Tajuk Rencana KOMPAS, 19 September 2009

Budaya Ketupat


Fenomena kebudayaan Indonesia mendapati kekhasan dalam ketupat. Karena ketupat, ritual keagamaan tidak lagi persoalan hukum agama, tetapi telah merasuk pada kebiasaan, pranata sosial, hingga instrumen komunikasi virtual maupun aktual.

Seorang sarjana bidang kajian budaya tidak dapat dikatakan paham secara empirik latar masyarakat Indonesia jika tidak mampu membelah makna ketupat. Persoalan yang dihadapi para ahli, seberapa jauh makna ketupat relevan dalam pembentukan kebudayaan Indonesia modern?

Selama ini, kita baru tahu dari kajian antropologi struktural Claude Levi-Strauss tentang hubungan makanan dan kebudayaan. Buku Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan hasil-hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku. Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan.

Sebagai contoh, dibandingkan dengan Barat yang minim, kekayaan kosakata untuk buah kelapa kecil sampai tua menunjukkan, kebudayaan Indonesia amat terkait dengan lingkungan pantai tempat pohon kelapa tumbuh.


Fase kehidupan
Berdasar perspektif itu, tidak sulit dipahami adanya menu makanan yang berbeda untuk mengenang aneka peristiwa penting dalam hidup manusia. Kelahiran bayi ditandai menu makanan dari dedaunan hijau dan biji-bijian. Bayi itu tumbuh dan saat menyelesaikan hal-hal penting dalam fase kehidupan, acara selamatan akan digelar dengan menu makanan yang berasal dari pasar. Masyarakat kebanyakan menyebut jajan pasar.

Saat dewasa, seorang individu menyatakan lamaran dengan bahan makanan yang penuh simbol. Tebu, hasil palawija, kelapa, dan makanan pokok ditata di ruang tamu. Manakala saatnya tiba sebuah keluarga kecil sudah mampu membuat rumah, maka topping off ditandai makanan simbolik yang diletakkan di ketinggian. Padi dan ketela untuk kemakmuran, kelapa untuk kekuatan, bubur merah dan putih untuk keseimbangan, dan bendera Merah-Putih sebagai identitas kebangsaan. Akhirnya kematian ditandai dengan nasi tumpeng dibelah dua.


Semiotika ketupat
Konfirmasi atas fakta-fakta itu hendak membuktikan betapa eksistensi makanan ketupat dalam kultur masyarakat Indonesia tidak dapat diabaikan. Bila kita meminjam perangkat metode semiologi Charles Sanders Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung; lambang adalah proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.

Sebagai ikon, ketupat dideskripsikan sebagai makanan berbahan beras yang dibungkus daun muda pohon kelapa atau janur. Tidak setiap orang mampu membuat anyaman janur sebagai wadah beras. Ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme menyambut Lebaran.

Sebagai lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti, sebagian masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat adalah satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri karena hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.

Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15.

Bungkus ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.


Saling kunjung
Kebiasaan berkunjung dan bersalaman bisa dijelaskan melalui etimologi kata ketupat, yakni kupat (Jw) (Sumber: Slamet Mulyono Kamus Basa Jawa, 2008: 199). Para frase kupat adalah ngaku lepat, mengaku bersalah. Kata itu menuntut kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi diri agar bisa saling memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang hakikat manusia.

Kini, budaya ketupat tidak bisa tergantikan. Memang ada gambar ketupat di kartu pos, e-mail, SMS, MMS, dan aneka jejaring sosial. Namun, karena makan ketupat itu tidak bisa secara virtual, ketupat mengundang kita untuk hadir, bertatap muka, saling bercerita. Kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari menjauhkan kita dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita menjadi makhluk asing yang terlempar dari budaya ketupat.

Ada pula ketupat sayur di Jakarta. Namun, meski kita bisa makan kapan saja, sebetulnya menu itu ingin menghadirkan budaya ketupat dalam kehidupan sehari-hari, bukan setahun sekali.

Saifur Rohman, Peneliti Filsafat; Bekerja dan Menetap di Semarang
KOMPAS, 19 September 2009

Biarkan Ratusan Sungai Menuju Samudra


Ketika Rumi, sang sufi, meniup seruling, hatinya merasa sedih dan pilu karena yang terdengar dari seruling itu adalah tangis kerinduan untuk kembali bergabung dengan rumpun bambu tempat dia berasal.

Begitulah Rumi mengingatkan, bisikan rohani terdalam kita selalu merindukan kampung asal bersama teman-teman di surga firdaus, mirip kerinduan hati untuk pulang mudik ke kampung halaman setiap Lebaran tiba.

Entah sudah berapa juta tahun anak-cucu Adam tinggal di bumi dan berapa nabi dan agama terlahir menyampaikan panggilan dan petunjuk untuk menapaki jalan lurus menuju Tuhan. Telah muncul ratusan agama, semua menawarkan jalan terdekat menuju Tuhan. Namun, yang terkenal dan memiliki banyak pengikut saat ini mungkin hanya lima rumpun agama, Hindu, Buddha, Yahudi, Katolik/Kristen, dan Islam, meski di luar yang lima itu ada ratusan agama menurut definisi dan keyakinan pendukungnya.


Ibarat air dan sungai
Andaikan Anda tanyakan kepada air minum yang terhidang di atas meja, ke mana gerangan dia hendak bepergian, jawabnya dia sedang bergulat dengan nasib meneruskan perjalanan menuju samudra luas berkumpul dengan yang lain. Begitupun setetes embun yang menempel di daun pada pagi hari, atau air yang tergenang di kolam, mereka senantiasa damba menemukan lorong sungai yang mengantarkan pulang ke samudra. Air hujan yang tumpah ke bumi membawa berita untuk sesamanya yang sudah lama tinggal di perut bumi, di kolam dan danau, bahwa samudra, bak sang ibu, senantiasa menunggu dan merindukan kepulangan mereka untuk berkumpul kembali.


Maka muncul ribuan sungai berpawai sambil meneriakkan tangis rindu serta kegembiraan untuk kembali menyatu dengan samudra luas, jernih, dan indah tempat asal mereka. Di antara sungai-sungai itu mungkin ada yang kesal dan marah karena seribu macam kotoran dan penyakit ditimpakan kepadanya oleh manusia sehingga jalannya lamban dan menjadi cemoohan orang. Namun, banyak juga yang tertawa karena airnya yang jernih dengan ikannya yang cantik-cantik hidup berseliweran, sementara sawah yang dilewati menyampaikan terima kasih karena menjadi subur.

Namun, bagaimanapun kondisi sungai itu, semua airnya memiliki target akhir yang sama, kembali ke samudra, meski mungkin di antara serombongan air itu ada yang berputar-putar dan entah berapa ratus tahun baru sampai ke tujuan akhir.

Meski jumlah sungai mencapai ribuan, namun saat didekati, tiap sungai itu unik, masing-masing memiliki nama, kedalaman, panjang, dan wilayah sendiri. Jenis ikan dan sampahnya pun berbeda-beda. Namun, jika Anda menaiki pesawat terbang lalu berputar-putar melihat dari atas, akan terlihat semua sungai itu memiliki kesamaan, berjuang menuju samudra.

Demikianlah, mungkinkah ratusan agama yang dipeluk jutaan, bahkan miliaran penduduk bumi itu ibarat sungai-sungai yang menghimpun kerinduan rohani manusia untuk mendekat dan bergabung dengan Tuhan? Bukankah Tuhan bagai samudra kasih yang senantiasa menampung dan merindukan semua roh manusia untuk bergabung kembali dengan-Nya? Dari mana pun arahnya, apa pun yang terbawa olehnya, samudra tak pernah menolak kehadiran sungai. Berbagai virus yang dibawa bahkan dinetralisir, tetapi sebagian kotoran akan diempaskan kembali ke daratan.

Di balik keunikan tiap agama dengan segala ragam karakter, wajah, dan penampilannya -di antaranya ada yang ramah dan yang menakutkan- saat diurai, pada lapisan terbawah ada riak dan arus kerinduan tiap anak cucu Adam yang bergabung di dalamnya untuk kembali kepada Tuhan. Tiap agama mengajarkan kidung pujian pada-Nya. Dan tiap jiwa pada akhirnya akan kembali kepada-Nya.


Menuju samudra
Jika saja semua agama -sebagaimana sungai-sungai itu- dijaga kejernihannya dan ditata rapi, semua orang akan merasa senang memandangnya. Bahkan, di berbagai negara, sungai di tengah kota dipandang warganya sebagai hiasan. Sungai itu menjadi kesayangan. Warga kota ramai-ramai menjaga kebersihan dan keindahannya karena menjadi tempat rekreasi yang sedap dipandang mata.

Sekali lagi, jika ratusan agama itu bisa dianalogkan dengan ratusan sungai, biarlah semua mengalir menuju samudra dari arah berbeda-beda dengan karakter masing-masing. Biarlah para pemeluknya merawat baik-baik agar menyuburkan semua tanah yang dilalui dan indah dipandang mata.

Suka atau tidak, di muka bumi ini ada ratusan sungai -sebagaimana ratusan agama- yang semuanya menampung himpunan air, ingin kembali ke samudra.

Alangkah damainya jika kita mampu dan berlapang hati menatap keragaman itu sebagai realitas kehidupan yang pantas dirayakan. Namun, selalu saja ada orang yang bertengkar membuat kapling-kapling nama lautan, padahal saat air bertemu samudra, dia tidak memedulikan lagi apakah bergabung di Laut Jawa, Lautan Hindia, Selat Sunda, Pasifik, atau tempat lain karena hakikat samudra adalah satu. Samudra itu satu dengan beragam nama, sebagaimana esensi air sama tetapi bergabung ke sungai dengan beragam nama?

Setelah satu bulan melaksanakan ibadah puasa, semoga kita menemukan kembali kefitrian sehingga menjadi pribadi yang lapang, penyebar damai, dan bisa merayakan keragaman hidup.

Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KOMPAS, 19 September 2009

Tuesday, September 22, 2009

Idul Fitri dan Asketisme Sosial


Salah satu hari besar Islam yang paling fenomenal dan monumental adalah Idul Fitri. Secara asketis, Idul Fitri sering disebut sebagai momen penyucian diri kembali pada sifat fitri setiap manusia.

Namun, perayaan yang bersifat masif, serentak, dan penuh sukacita itu justru telah menggeser Idul Fitri dari makna transendennya. Di sini, Idul Fitri tidak lagi bermakna perayaan kemenangan dari ritual olah batin dan fisik sebagai laku asketis selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri telah masuk perangkap semiotika dalam berbagai dimensi kehidupan sosial dan kebudayaan kontemporer.

Secara sosial, Idul Fitri merupakan saat paling ditunggu-tunggu setiap orang, bahkan oleh narapidana yang berharap mendapat remisi. Idul Fitri juga mampu menggerakkan arus besar migrasi masyarakat urban, bahkan perputaran keuangan saat mudik, berlangsung secara masif sebagai suatu ritual sosial.

Tidak hanya itu, secara subtil Idul Fitri mampu mendorong pejabat membuka hati dan pintu rumahnya untuk saling memberi maaf kepada sesama dan kaum papa, dan kini menjadi tren silaturahim massal. Sedangkan dalam kebudayaan kontemporer, Idul Fitri menjadi ajang munculnya berbagai kebudayaan populer melalui penampakan tren busana yang selalu berganti setiap Lebaran atau hadirnya berbagai ragam musik dan jenis hiburan religius.


Pendek kata, Idul Fitri bukan saja sarat makna asketistik-spiritualistik yang bersifat transenden, tetapi benar-benar tumpah dalam bentangan luas fenomena sosial. Meski demikian, justru di sinilah letak paradoks makna Idul Fitri. Jika secara asketis Idul Fitri bermakna penyucian diri yang dirayakan setiap tahun, mengapa bangsa yang mayoritas berpenduduk Muslim ini belum beranjak ke arah penyucian diri sebagai sebuah bangsa?

Nafsu libidinal
Sebagai bangsa yang religius secara jujur harus mengakui, segala dimensi kehidupan kita masih menunjukkan nafsu libidinal yang tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan materiil dan imateriil. Dalam sektor politik misalnya, nafsu libidinal imateriil itu mewujud dalam praktik pencitraan atau pembentukan pesona tiada henti sehingga yang tersaji hanya kepalsuan-kepalsuan. Demikian juga dalam sektor sosial. Nafsu libidinal menampakkan bentuknya dalam konsumsi gengsi dan corak mode tingkat tinggi sehingga mampu menstrukturisasi kelas masyarakat.

Sementara dalam sektor agama, nafsu libidinal justru gamblang terlihat dalam berbagai simulasi religius sehingga yang muncul adalah spiritualisme artifisial yang semu penuh kepura-puraan. Puncak nafsu libidinal material secara nyata dapat dilihat dalam berbagai praktik korupsi yang belakangan kian merajalela menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nafsu libidinal seakan menyumbat saraf sensitivitas sosial kita. Kita tidak lagi menjadi peka terhadap penderitaan orang lain seperti fakir miskin, korban gempa, atau siapa pun yang kurang beruntung pada perayaan Idul Fitri tahun ini. Kepedulian terhadap sesama seakan selesai dan berhenti seiring ditunaikannya kewajiban membayar zakat fitrah pada malam Idul Fitri. Kesalehan individual yang dibentuk dalam Ramadhan tidak meluber dalam bentuk kesalehan sosial.


Padahal, kesalehan individual seharusnya berdiri sebangun dengan kesalehan sosial. Ketimpangan itu dimungkinkan terjadi karena puasa yang dijalankan bersifat seremonial religius sebatas menahan haus dan lapar. Jika benar, mungkin tepat sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, karena intisari dan hikmah puasa belum menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu membentuk pribadi manusia beragama/beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu, kesalehan sosial, dan kesalehan lingkungan dalam kehidupan luas.

Ritus peralihan
Falsafah ibadah puasa menegaskan perlunya dilakukan ”turun mesin” kejiwaan selama sebulan dalam setiap tahun. ”Turun mesin” merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak, serta memperbaiki total.

Saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, akuntabel, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu lalu dilakukan perbaikan.


Karena itu, kegunaan praktis ibadah puasa adalah sebagai titik balik perubahan dan ritus peralihan. Berubah dan beralih dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik sehingga terbentuk kepribadian yang memiliki cara pandang yang inspiratif (membawa ide-ide segar), inovatif (mampu memperbaiki dan memperbarui), kreatif (mampu menciptakan pilihan baru), dan transformatif (dapat mengubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Di sinilah makna keberagamaan yang sehat mewujud karena memiliki kemampuan membawa perubahan hidup yang dinamis, menggugah, dan imperatif.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, pandangan dunia, dan etos keagamaan baru setelah mengalami turun mesin sebulan adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkannya ibadah puasa. Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid (Hari raya Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan, semangat, dan etos untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik, berbangsa dan bernegara dengan landasan keagamaan yang otentik.

Nilai-nilai yang mendasar dan tujuan pokok ini sering tidak tampak di permukaan karena tertindih semangat dan sibuknya orang menyiapkan hal-hal terkait puasa berupa sahur dan berbuka pada bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa, umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan mendatang.

HM Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
KOMPAS, 19 September 2009

JK dan Gusti Allah "Ora Sare"


Tuhan tidak tidur. Bahkan, Dia tidak akan tidur. Dengan kemahakuasaan-Nya, Dia-lah yang mengatur dunia dan segala isinya, serta perputaran sistem tata kehidupan manusia. Karena ketidaktidurannya itulah Sang Khalik mengetahui pasti dan sangat detail apa saja yang telah dan akan terjadi.

Ini bukanlah cuplikan renungan puasa bulan Ramadhan. Bukan pula khotbah Idul Fitri. Ini hanya terinspirasi dari sebuah judul berita di harian ini tempo hari, ”JK: Gusti Allah ’Ora Sare’”.

Pernyataan ora sare (bahasa Jawa) Wakil Presiden itu menyentak. Selama ini, Jusuf Kalla (JK) tak pernah terdengar mengutip ungkapan Bugis walaupun ia seorang Bugis. Padahal, orang Bugis juga memiliki banyak ungkapan perumpamaan bernilai tinggi, sebagaimana bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Batak, dan bahasa lainnya.

Ketika JK mengungkapkan sesuatu dengan bahasa ”orang lain”, bukan berarti JK sudah kehilangan jati dirinya sebagai orang Bugis, ”manusia sabrang” istilah Syafii Maarif bagi JK. Jangan pula salah! Seberapa pun kadarnya, ”kejawaan” setidaknya ada juga dalam kehidupan JK. Dua menantunya orang Jawa. Istrinya adalah orang Minang. Tidak heran jika banyak orang mencap JK sebagai nasionalis tulen.

Boleh jadi, ora sare-nya JK bermakna lain, untuk menegaskan apa yang ada di benaknya, yang tidak bisa tergambarkan dan dipahami kebanyakan orang jika diungkapkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Indonesia, apalagi bahasa Bugis.

Biarlah JK sendiri yang merasakan makna ungkapan Jawa itu dari lubuk hatinya yang paling dalam. Pembaca pun tak dilarang menafsirkan lebih jauh, lebih luas, dan lebih dalam makna di balik pernyataan JK tersebut. Apakah itu sekadar lucu-lucuan menjelang buka puasa, gurauan di antara pidato resmi, letupan kekecewaan, atau kekesalan.

Kalau pembaca tak keberatan, saya hanya coba menangkap yang dirasakan maupun yang disimpan rapat dalam hati JK sehingga lahir ucapan itu.

Pertama-tama, ungkapan itu diucapkan di hadapan tim sukses dan pendukungnya yang telah bekerja keras siang dan malam. Mereka memang sering tidak tidur, ora sare, untuk memenangkan pasangan JK-Wiranto dalam pemilu presiden dan wakil presiden pada 8 Juli 2009.

Seperti ungkapannya, dan saya saksikan sendiri karena beberapa kali bertemu di rumah jabatan selama masa kampanye pilpres, JK pun kadang memang seperti ora sare, tidak tidur. Sampai larut malam, bahkan dini hari, JK belum tidur dan terus menerima kedatangan tamu yang mengalirkan pernyataan kelompoknya mendukung penuh.


Kadang hingga dini hari, JK belum juga istirahat karena masih harus rapat, menyusun strategi, dan menghitung kekurangan dan kekuatan secara cermat. Padahal, pagi buta ia dan timnya masih harus berangkat lagi ke penjuru Nusantara yang dicita-citakannya senantiasa menyatu dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak tercabik-cabik konflik akibat ketidakadilan. Harmonis dalam taraf kesejahteraan rakyatnya. Berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini.

Betapa lelah JK memperjuangkan misinya yang mulia dan terhormat itu. Bukan ambisi kekuasaannya, apalagi keserakahannya mengejar takhta dan harta. ”Eeh kalian harus tahu. Saya, walaupun tidak duduk di sini, di mana pun saya kelak, kalau bisa berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, itu sudah sangat membahagiakan saya,” kata JK dalam suatu perbincangan di ruang kerjanya.

Ia sudah cukup kaya raya untuk hidup tenang pada masa tua. Selama 40 tahun lebih jadi pengusaha, sudah cukuplah uangnya untuk membiayai kegiatan apa saja yang hendak dilakukannya. ”Kita jalan-jalan saja, tanpa protokol, tanpa ajudan, dan pengawal serta pengamanan,” katanya kepada saya dalam suatu percakapan tengah malam di rumah jabatan ketika perhitungan perolehan suara JK dan rivalnya makin timpang. ”Baik, Pak. Nanti saya jadi ajudan Bapak,” kata saya, dan dia tertawa lebar.

Kubu JK-Wiranto bukan tak berduka. Mereka kalah telak. Sangat jauh melenceng dari kalkulasi semula. Tetapi JK tak larut dalam kesedihan berkepanjangan. Seorang putrinya menyatakan, ”Kami semua bersedih. Tetapi kami malu sama Bapak (JK) karena dia tidak pernah bersedih, selalu menampakkan ketegarannya menghadapi kenyataan ini.”

Kita semua sudah bekerja keras. Allah yang Mahatahu. Allah yang mengatur dan menentukan semua ini,” kata JK.

JK memang ora sare. Tidurnya yang banyak justru ketika dalam penerbangan. Gusti Allah juga ora sare. Dia bersama JK, setiap saat, dalam penerbangan dan cuaca yang sangat buruk dan menakutkan sekalipun. Hasil kerja keras JK tidak sesuai harapannya. Dia terima semua itu sebagai takdir. Dia telah berjuang dan berupaya keras untuk menjemput takdirnya.

Sejauh yang teramati secara cermat, baru dalam pemilu kali ini terjadi semua ormas Islam bersatu padu mendukung satu orang, yakni JK. Namun, seperti dikatakan banyak orang, seolah ada pula tangan jahat turut campur sehingga hasilnya sangat mencengangkan. Ada yang mengatakan, perolehan suara JK-Wiranto tidak masuk akal. Ada pengkhianatan dan kecurangan. Namun, biarlah, Gusti Allah pasti ora sare.

Kita berharap, dengan segala pengalaman bisnisnya, memimpin Golkar dan menjadi wakil presiden yang dinamis, penuh terobosan, nyaris tak tidur untuk bekerja keras dan tulus, tetap ora sare mengoreksi hal-hal yang salah, curang, dan berbagai ketidakadilan lainnya di negeri ini.

Andi Suruji
KOMPAS, 19 September 2009

Islam Berperan dalam Transformasi Sosial di Jawa


Islam adalah agama yang paling banyak memberikan kontribusi dalam sejarah Indonesia dan mendorong transformasi dalam masyarakat Jawa sejak abad ke-17 hingga abad ke-19. Namun, Islam gagal membangun basis kekuatan politik dalam menghadapi kekuatan kolonialis Belanda.

Hermanu Joebagio, pengajar Jurusan Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Solo, memaparkan peran penguasa di Jawa -Kerajaan Mataram- menyangkut sejarah hubungan antara Islam dan Jawa, dalam diskusi Ramadhan ”Jawa, Islam, dan Transformasi Sosial” di Balai Soedjatmoko, Solo, Jawa Tengah, Senin (7/9). Pembicara lain adalah Zuly Qodir dan dalang wayang suket Slamet Gundono.

Menurut Hermanu, para penguasa Jawa dinilai tidak mampu menyinergikan kekuatan-kekuatan sosial dalam sistem politik. Mereka tidak peduli untuk membangun sistem politik yang berpijak kepada Islam sebagai kekuatan sosial. ”Waktu itu yang terjadi justru segregasi sosial, jurang yang lebar antara kalangan aristokrat, rakyat, dan ulama. Inilah penyebab kegagalan membangun basis politik Islam,” ujarnya.


Dalam sejarah Islam di Indonesia, lanjut Hermanu, pemikiran politik yang tumbuh sampai abad ke-19 lebih menempatkan Islam sebagai ”alat politik”. Pada masa Paku Buwono IV di Surakarta, dia memaksa kalangan istana untuk memeluk Islam, bahkan merangkul sejumlah ulama kharismatis. Hal ini dianggap sebagai penentangan terhadap kolonialis Belanda sehingga Belanda bertindak untuk melumpuhkannya.

Zuly Qodir dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menguraikan, Islam pada masa lalu dicitrakan amat akomodatif terhadap budaya lokal. Di Jawa, Islam hadir dalam lokalitas Jawa yang berhubungan dengan kebiasaan Hindu-Buddhisme sehingga dalam khazanah antropologi Islam di Jawa disebut sebagai ”Islam populer”.

Pada masa lalu Islam dicitrakan punya empati dan simpati kepada lokalitas, atau kondisi lokal kedaerahan. Belakangan, atau sejak akhir abad ke-19, Islam tidak lagi akomodatif. Sebaliknya, yang menguat belakangan ini adalah Islam yang formal, tetapi itu sebenarnya berkaitan dengan arah pendulum politik,” kata Zuly.

KOMPAS, 9 September 2009

Monday, September 14, 2009

Tommy Ngotot Ingin Jadi Kandidat Ketua Umum Golkar


Anak mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto menyatakan akan maju dalam ajang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional, 4-7 Oktober mendatang, di Pekanbaru, Riau. "Kondisi bangsa yang menghadapi masalah serius ini, membuat saya terpanggil," katanya dalam deklarasi Pencalonan Hutomo Mandala Putra sebagai Ketua Umum Partai Golkar di gedung Granadi, Jakarta, Kamis (10/9).

Hadir dalam deklarasi tersebut beberapa tokoh Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, yaitu Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Endang A Syarwan Hamid, Ketua Departemen Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan, Yuddy Chrisnandi dan Ari Sigit. Selain itu, juga beberapa tokoh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat provinsi dan Dewan Pimpinan Daerah tingkat kabupaten/kota, seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat dan Sukoharjo.

Tommy yang mengenakan jas warna kuning khas warna Golkar memaparkan, masalah serius yang dihadapi bangsa ini antara lain, kesemrawutan sistem ketatanegaraan, ancaman disintegrasi bangsa, rekolonisasi ekonomi, kelemahan jiwa wirausaha dan krisis kepercayaan diri, kerusakan moral elit politik dan ketergantungan asing. Kondisi ini, kata dia, akibat kegagalan partai dalam menampung aspirasi rakyat dan justru partai melakukan transaksional. "Sehingga dalam kepengurusan ke depan saya akan melakukan perubahan mendasar melalui partai yang memiliki jaringan yang kuat," katanya.

Soal persyaratan yang akan mengganjal, Tommy menyatakan hampir semua kandidat tidak memenuhi syarat. "Kandidat lain pun tidak pernah masuk kepengurusan DPP. Namun ketentuan itu juga memperbolehkan kepengurusan di kino-kino (organisasi pendiri dan organisasi sayap)," katanya.


Soal kasus hukum akan menghambat langkahnya, dia mengatakan,"Semua tahu, apakah saya benar-benar bersalah atau itu hanya permainan politik dari hukum yang dipolitisir. Biarlah DPD yang memutuskan sikap."

Tommy Soeharto pernah dipenjara 15 tahun dalam perkara pembunuhan Hakim Agung Syafruddin Kartasasmita. Berkaitan bisnis, dia menyatakan tidak akan mengganggu kiprahnya di dunia politik. "Semua bisnis sudah saya serahkan kepada profesional. Saya hanya memonitornya, tidak akan mengurangi konsen ke partai."

Ketua Tim Sukses Tommy, Saurip Kadi, purnawirawan mayor jendral, mengatakan majunya Tommy bukan untuk jabatan terutama dalam pemilihan 2014, tapi ingin memperbaiki kondisi bangsa melalui Partai Golkar. Apalagi, kata dia, dengan keterpurukan partai saat ini. "Partai ini seperti kendaraan butuh sopir dengan visi baru dan paradigma baru," katanya.

Calon kandidat Ketua Umum lainnya, Yuddy Chrisnandi mengucapkan selamat atas deklarasi pencalonan Tommy. Namun, dia membantah kehadirannya dalam deklarasi itu sebagai dukungan. "Saya mendukung semua calon yang akan maju," katanya. Endang A Syarwan Hamid, yang juga salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar pun membantah kedatangannya sebagai dukungan. "Datang ke sini hanya memenuhi undangan. Soal kandidat, biarlah mereka yang terbaik maju, pilihan biarlah munas yang memilih," kata Endang A Syarwan Hamid.

Eko Ari Wibowo
TEMPO Interaktif, 10 September 2009

Partai Golkar Dililit Lima Krisis


Partai Golkar sedang dilanda multikrisis sehingga butuh energi baru untuk memperbaikinya. Salah satu solusinya adalah dengan memberi porsi yang memadai kepada para kader mudanya.

Pengamat Politik Bima Arya Sugiarto mengatakan hal itu dalam sebuah diskusi tentang kepemimpinan muda di Bandung, Sabtu (8/8). Bima menguraikan lima krisis yang dialami Partai Golkar. Pertama, krisis elektoral, suara Partai Golkar di Pemilu 2009 paling terpuruk dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Meskipun nama JK sebagai calon presiden dan Ketua Umum Parpol Golkar bersinar, tetapi tidak mampu meningkatkan perolehan suara. "Ini karena masyarakat tidak percaya lagi dengan Partai Golkar," katanya.

Kedua, krisis orientasi. Wacana yang diembuskan Partai Golkar saat ini hanya menjadi bagian dari pemerintahan atau menjadi oposisi. Sebagai parpol besar, semestinya tidak bergantung hal itu. "Yang penting, kelembagaan parpol dan kepemimpinan parpol," ujarnya.

Ketiga, krisis kader muda. Partai Golkar tidak memberi tempat yang proporsional kepada kader mudanya. Akibatnya, mereka sulit maju secara internal. Ini ditambah dengan krisis keempat, yakni mandulnya organisasi sayap Partai Golkar. "Mereka ini hidup segan mati tak mau," kata Bima.

Krisis kelima, lanjut Bima, muncul berbagai faksi yang saling melemahkan. Faksi-faksi tersebut, bila saling mendukung, tentu suara Partai Golkar bisa lebih dari 17 persen dalam Pemilu 2009.


Bima menjelaskan, munculnya Yuddy Chrisnandi sebagai salah satu calon ketua umum Partai Golkar dapat mendobrak kultur parpol yang kurang memberi tempat terhadap anak muda. Menang atau kalah, itu tidak masalah. "Yang penting ada upaya mendobrak itu tadi," ungkap Bima.

Ia menyadari bahwa peluang Yuddy kecil bisa mengalahkan lawan-lawannya, seperti Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Sebab, dengan kultur transaksional di tubuh Golkar, sulit bagi Yuddy untuk menang karena dananya terbatas.

Namun, Bima melihat Yuddy unggul di sisi komunikasi politik. Yuddy lebih bisa bergaul dengan berbagai kalangan.

Dalam kesempatan yang sama, Yuddy mengatakan, dia sudah berkomunikasi dengan 497 DPD Partai Golkar tingkat kota/kabupaten dan semua DPD tingkat provinsi. Sudah ada sekitar 50 DPD tingkat kota/kabupaten dan lima DPD tingkat provinsi yang menyatakan dukungannya. "Saya juga meminta bantuan Indra J Piliang sebagai manajer kampanye (campaign manager)," ujarnya. Fungsi manajer kampanye mirip dengan tim sukses. Dia dibantu enam deputi manajer kampanye.

KOMPAS.com, 8 Agustus 2009

Thursday, September 10, 2009

Penghamburan Uang Rakyat


Pelantikan 692 anggota DPR dan DPD pada 1 Oktober 2009 memakan biaya Rp 11 miliar dan anggarannya diambil dari uang rakyat!

Kritik menghiasi media atas besarnya biaya pelantikan. Komisi Pemilihan Umum menetapkan anggaran sebesar itu untuk biaya hotel Rp 2,8 miliar, pengadaan jaket, baju batik, dan hem panitia pelantikan Rp 149 juta, penyediaan tas sebesar Rp 115 juta, pengadaan bus AC dan ambulans sebesar Rp 251 juta! Belum lagi uang saku bagi anggota DPR dan DPD. Pada tahun 2004, setiap anggota DPR mendapat uang saku Rp 2 juta, sedangkan DPR mengalokasikan anggaran Rp 26 miliar untuk hal yang sama.

Kita mempertanyakan besarnya biaya yang digunakan untuk pelantikan 692 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pelantikan itu bukan sebuah pesta! Itu adalah titik awal pengabdian mereka kepada rakyat, kepada bangsa ini.

Gugatan yang muncul bukan semata-mata pada besarnya biaya, tetapi apakah pantas dana sebesar itu digunakan untuk biaya pelantikan wakil rakyat? Sementara, pada sisi lain, rakyat yang mereka wakili sedang menderita, ketika korban gempa di Jawa Barat masih harus berjuang untuk bertahan hidup di tenda pengungsian.

Gugatan atas besarnya biaya pelantikan menjadi makin relevan jika kita melihat kinerja wakil rakyat. Banyaknya anggota DPR yang tidak menghadiri rapat kerja atau rapat dengar pendapat menjadi pemandangan jamak! Manajemen legislasi DPR yang tidak baik pun membuat sejumlah RUU dikebut pada saat-saat akhir, tanpa mau lagi mendengarkan keberatan publik!


Harian ini memberitakan, rapat pansus membahas RUU Peradilan hanya dihadiri tiga orang! Hingga rapat dua kali diskors, kuorum tidak tercapai! Berdasarkan daftar hadir dari 50 anggota pansus, hanya 13 yang tanda tangan. Baik mereka yang tidak terpilih kembali maupun mereka yang terpilih kembali untuk periode 2009-2014 pun tidak hadir! Pimpinan pansus pun meminta maaf kepada pemerintah.

Kita bisa memahami kegeraman anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Azlaini Agus. ”Benar-benar tidak tahu malu. Gara-gara beberapa orang, akhirnya kita semua yang terkena malu.” (Kompas, 8/9/2009)

DPR memang harus mereformasi diri. DPR harus berani mengumumkan anggotanya yang tidak pernah hadir ke sidang. Tidak menghadiri sidang DPR adalah pengkhianatan kepada rakyat yang telah memilih mereka! Itu bisa dianggap korupsi!

Dalam persepsi publik itulah kita mempertanyakan besarnya anggaran untuk pelantikan anggota DPR/DPD. Kita berharap pemimpin partai politik bisa menyelami derita rakyat dengan memerintahkan anggota DPR-nya untuk menghadiri pelantikan secara sederhana! Apakah masih diperlukan penginapan di hotel mewah jika 64 persen anggota DPR sudah tinggal dan memiliki rumah di seputar Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi?

Tajuk Rencana KOMPAS, 9 September 2009

Biaya Pelantikan Terlalu Besar


Cermin Ketidakmampuan KPU Tetapkan Prioritas

Biaya pelantikan untuk setiap calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya sosialisasi pemilu legislatif untuk setiap pemilih. Ketimpangan itu menunjukkan buruknya dan tidak adanya prioritas Komisi Pemilihan Umum dalam membuat anggaran pemilu.

Demikian diungkapkan Sekretaris Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yuna Farhan dan peneliti Indonesia Budget Centre (IBC), Roy Salam, secara terpisah di Jakarta, Selasa (8/9). Dana pelantikan calon anggota DPR/DPD mencapai puluhan ribu kali dibandingkan dengan biaya sosialisasi pemilu untuk setiap pemilih.

Untuk pelantikan 560 calon anggota DPR dan 132 calon anggota DPD, KPU menganggarkan biaya Rp 11 miliar. Jika dibagi secara kasar untuk semua calon anggota DPR/DPD, setiap calon terpilih akan menerima dana Rp 15,89 juta.

Sesuai data IBC, dana penyusunan, penyempurnaan, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) KPU tahun 2008 mencapai Rp 58,69 miliar. Sementara dana sosialisasi tahapan penyelenggaraan Pemilu 2009 dalam DIPA KPU 2009 mencapai Rp 12,92 miliar. Jika dijumlahkan, dana sosialisasi pemilu legislatif pada 2008-2009 mencapai Rp 71,61 miliar.

Jika dibagi dengan 171 juta pemilih, setiap pemilih hanya mendapat manfaat dana sosialisasi sebesar Rp 418,77.

Artinya, dibandingkan dengan dana pelantikan untuk setiap calon anggota DPR, biaya pelantikan satu anggota DPR/DPD sekitar 38.000 kali lebih besar dibandingkan dengan biaya sosialisasi untuk setiap pemilih.

”KPU tidak bisa memprioritaskan mana kebutuhan anggaran yang lebih penting, apakah untuk acara seremonial semata atau untuk meningkatkan kualitas suara pemilih,” kata Yuna. Megahnya acara pelantikan anggota DPR/DPD sebagai tahapan akhir pemilu legislatif juga dianggap sebagai upaya untuk menutupi proses penyelenggaraan pemilu lalu yang buruk.

Roy menambahkan, besarnya biaya pelantikan anggota DPR/DPD sangat ironis dibandingkan dengan kesulitan dana sosialisasi yang dikeluhkan KPU pada awal-awal penyelenggaraan tahapan pemilu lalu. Meskipun anggaran sosialisasi pemilu legislatif di daerah berbeda dengan anggaran yang digunakan KPU, KPU daerah tetap mengeluhkan kurangnya dana sosialisasi.


Dari DPR Rp 26,9 miliar
Setiap anggota DPR periode 2009-2014 yang akan dilantik 1 Oktober 2009 pun akan mendapat anggaran perjalanan dinas pindah. Total anggaran perjalanan dinas pindah untuk 560 anggota sekitar Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta per anggota.

Menurut Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Shaleh, anggaran perjalanan dinas pindah yang dikeluarkan Sekretariat Jenderal DPR ini terkait dengan seputar kegiatan pelantikan DPR 1 Oktober. Namun, anggaran untuk pelaksanaan acara pelantikan DPR sepenuhnya ditanggung KPU.

”Untuk pelantikan DPR, Setjen DPR tidak mengalokasikan anggaran karena sudah ditangani KPU,” ucapnya, Selasa.

Penjelasan itu disampaikan Nining menyusul munculnya kekhawatiran dari Roy Salam tentang kemungkinan duplikasi anggaran antara KPU, DPR, DPD, dan DPRD.

Menurut Nining, anggaran Setjen DPR sebesar Rp 26,9 miliar. Anggaran itu pun bukan untuk acara pelantikan, tetapi untuk perjalanan dinas pindah. Dasarnya adalah Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap.

”Pejabat negara dan PNS yang akan berpindah tugas diberikan anggaran pindah beserta keluarganya,” paparnya.

Namun, anggota DPR 2004-2009 yang terpilih kembali tidak mendapatkan lagi anggaran pindah tugas, yang meliputi biaya tiket, pengepakan barang-barang, dan lain-lain.


Janji efisien
Anggota KPU, Syamsulbahri, menyatakan, KPU akan berusaha lebih efisien menggunakan anggaran pelantikan yang mencapai Rp 11 miliar. KPU juga akan menghindari duplikasi anggaran dengan instansi lain yang mengurusi pelantikan anggota DPR dan DPD. ”Saya kira hingga kini belum ada duplikasi anggaran,” kata Syamsulbahri.

Rencananya, 692 anggota DPR dan DPD akan datang ke Jakarta pada 28 September untuk mengikuti stadium general yang diberikan oleh KPU, Komisi Pemberantasan Korupsi, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri. Semua anggota DPR dan DPD akan diinapkan di Hotel Sultan dengan fasilitas satu kamar untuk satu anggota. Kemudian, pada tanggal 1 Oktober, mereka akan dilantik di Gedung MPR/DPR.

Sekretaris Jenderal KPU Suripto Bambang Setiyadi mengatakan, anggaran Rp 11 miliar merupakan angka yang tercantum dalam DIPA KPU. ”Ada beberapa pengadaan yang dilaksanakan melalui lelang, kami pasti akan memilih yang lebih murah. Jadi Rp 11 miliar itu bisa saja berkurang. Rp 11 miliar itu, kan, plafon. Ya, tentu kita ada prinsip efisiensi,” katanya.

Terkait dengan derasnya kritik masyarakat terhadap besarnya anggaran pelantikan, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq meminta KPU mencermati kembali berbagai pengeluaran.

Biaya pembuatan seragam, tas, atau ongkos transportasi, menurut dia, tak perlu dianggarkan karena para anggota DPR tergolong mampu. ”Anggaran seperti itu bisa membuat masyarakat sakit hati,” ujarnya.

KOMPAS, 9 September 2009

Thursday, September 3, 2009

Belum Pernah Ada Gempa Sebesar Kemarin ....


Dae (26) mungkin tak akan pernah menyangka rumah sederhana yang dibangunnya sekitar setahun lalu harus rusak parah karena gempa berkekuatan 7,3 SR yang berpusat di Tasikmalaya.

Rumah seluas 4 x 6 meter itu nyaris tak dapat dihuni lagi. Untungnya tak ambruk. Kusen pintu masih ada, sedangkan satu dari kaca jendela di samping pintu hancur. Pemandangan di ruang dalam lebih berantakan. Setengah bagian dinding di sisi kanan rumah tampak menganga, sedangkan batu-batu yang mengisinya telah berjatuhan di lantai.

Sisi dinding yang berhadapan di pintu tampak retak, siap ambruk. Begitu pula bagian atas dinding yang berbatasan dengan sisi rumah orangtua Dae. Dae mengakui rumahnya memang ringkih karena belum diplester. Namun, peristiwa gempa yang membuat rumahnya hancur cukup menyesakkan.

"Ya karena kurang modal. Tapi pas bangun enggak kepikiran akan ada gempa. Lagian belum pernah ada gempa yang sebesar kemarin," tutur Dae di Desa Pancawati, Kampung Cipare RT 03 RW 12, Kamis (3/9).


Pada saat gempa, Dae mengatakan, dirinya sedang berladang, sedangkan istrinya, Imas (19), berada di rumah. Ketika merasakan gempa di sawah, dirinya langsung pulang. Benar saja, ketika tiba di rumah, keadaannya sudah berantakan.

Imas mengatakan, dirinya sedang memasak nasi di dapur ketika gempa terjadi. Begitu bumi bergoyang, dirinya langsung melompat ke rumah mertuanya yang berada persis di sebelah rumahnya. "Saya enggak mikir apa-apa lagi. Merasa bergetar, saya langsung lompat ke rumah Ibu," kata Imas.

Di kawasan Desa Pancawati, ada sekitar tujuh rumah yang mengalami kerusakan. Rumah Dae dan Imas yang terparah. Dae mengatakan, siang tadi Bupati Bogor sudah meninjau rumahnya.

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik, 3 September 2009