Saturday, May 30, 2009

Blangkon


Apa yang kita ingat tentang 20 Mei 1908? Potret Mas Wahidin Sudirohusodo. Sang ”dokter Jawa” ini mengenakan blangkon di atas raut mukanya yang tenang; ia lulusan STOVIA pada awal abad ke-20 yang bertahun-tahun jadi ikon kebangkitan nasionalisme Indonesia.

Tapi ingatan orang ramai tak pernah lengkap. Dalam catatan sejarah Indonesia pada masa itu disebutkan bahwa blangkon, surjan, dan kain —dan semua ”pakaian daerah” lain— dikenakan para siswa sekolah kedokteran itu praktis bukan sebagai pernyataan kebanggaan. Blangkon itu penanda ”inlander”; baju dan songkok itu atribut ”pribumi”. Peraturan sekolah menentukan, kecuali yang beragama Kristen, anak-anak muda itu dilarang mengenakan jas dan pantalon.

Mereka boleh mendapatkan pendidikan Barat, tapi tak boleh tampak seperti orang Barat. Mereka tak disebut ”dokter” penuh. Mereka hanya ”dokter Hindia” atau ”Jawa”. Gaji mereka di dinas pemerintah dan perkebunan jauh lebih rendah ketimbang para dokter Belanda. Jika bepergian, mereka tak boleh naik kereta api kelas I —sementara orang Eropa yang berpendidikan lebih rendah boleh duduk di sana.

Kolonialisme telah menggabungkan apartheid dengan dalih ”orientalisme” yang kedengarannya murah hati: penguasa Hindia-Belanda, kata mereka, hendak melindungi ke-”asli”-an para pemuda ”pribumi”.

Tapi para pemuda STOVIA itu merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati itu. Mereka pun berontak. Sebab memang tak ada diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.

Syahdan, tiap malam, di kamar-kamar asrama mereka, mereka bertemu. Di sana dengan sepenuh hati mereka nyanyikan lagu Revolusi Prancis, dan kata-kata sihir Revolusi itu agaknya telah terpahat: libèrté, égalité, fraternité ou la mort.

Mereka memang mengaduh. Mereka memang terkungkung dalam ketiadaan ”kemerdekaan, kesederajatan, persaudaraan”. Dan dari protes mereka, mereka ada: mereka jadi subyek. Mereka lemah, tapi tekad mereka sebenarnya tak mengherankan. Bung Karno berkata dua dasawarsa kemudian: ”…cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”

Nasionalisme 20 Mei 1908 adalah bagian dari subyek yang ”berkeluget-keluget” —subyek sebagai trauma karena rasa sakit, subyek yang bergerak untuk menjawab ketiadaan libèrté, égalité, dan fraternité. Dengan kata lain, subyek yang lahir karena mencoba lepas dari megap-megap oleh putusnya hubungan dengan ”yang-lain”, dengan liyan, manusia yang berbeda tapi disebut ”sesama”.

Maka nasionalisme 20 Mei itu bukanlah sebuah solipsisme; ia bukan kesibukan yang hanya mengakui diri sendiri.

Tentu, nasionalisme itu sikap yang berpihak. Ia partisan. Tapi di sebuah dunia di mana ada sesama yang diperlakukan sebagai makhluk yang tak sederajat dan bahkan disisihkan, keberpihakan itu tak terelakkan: para nasionalis itu berpihak kepada sebuah masa depan ketika tak ada seorang pun yang dihinakan.

Itu sebabnya mereka mengulangi seruan Revolusi Prancis tentang ”kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan” yang mencakup semua orang. Itu sebabnya Revolusi Indonesia melahirkan sebuah mukadimah Konstitusi yang menyebut ”hak semua bangsa” untuk merdeka.

Mereka menyuarakan tuntutan universal. Seperti kaum buruh dalam tesis Marx: proletariat adalah sebuah kelas yang, dari situasinya yang terbatas dan tertentu, mengusahakan pembebasan tanpa batas, bagi siapa saja dan di mana saja. Dalam arti ini, Marxisme adalah sebuah humanisme universal —tapi universalitas yang lahir dari konteks yang spesifik.

Semangat universal ini membuat politik, sebagai perjuangan, jadi panggilan yang menggugah. Sebab bukan ”aku berontak, maka aku ada”, melainkan, seperti tulis Albert Camus dalam l’Homme Révolté, ”aku berontak, maka kita ada”.

Dalam bahasa Indonesia, ”kita” lebih inklusif ketimbang ”kami”. Bila pengertian ”kita” lebih menggugah ketimbang ”aku” atau ”kami”, itu karena subyek, sebagai trauma, merindukan liyan sebagai saudara yang sederajat dalam kemerdekaan. Dengan kata lain, merindukan agar ”kita” ada.

Dari sini solidaritas lahir dan politik —selamanya sebuah gerak bersama— bangkit.


Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas itu bisa beragam dan berubah-ubah, sebab ”kita” adalah pertautan ”aku/kami” dengan ”engkau” dalam multiplisitas yang tak terhingga. ”Aku/kami” dan ”engkau” masing-masing hanya seakan-akan tunggal pada waktu ke waktu, tapi sebenarnya tak pernah utuh dan selesai dimaknai. ”Kita” tak bisa sepenuhnya terwakili dalam organisasi dan identitas apa pun.

Itu sebabnya dari STOVIA, pemberontakan tak berhenti. ”Budi Utomo” dibentuk sebagai ”aku/kami”, tapi sejarah pergerakan nasional berlanjut setelah itu. Sebab ”aku/kami” bukan hanya dokter-dokter yang diremehkan. Kemudian muncul juga ”marhaen”, ”proletariat”, ”pedagang kecil”, dan entah apa lagi.

Nasionalisme sebagai perjuangan pembebasan tak hanya terbatas pada satu kelompok. Bahkan ”nasionalisme” yang merupakan perlawanan terhadap imperialisme (dan di sini ia berbeda dari ”nasionalisme” Hitler) hanya bisa setia sebagai perlawanan jika ia jadi bagian dari emansipasi dunia —seperti semangat yang tersirat dalam lagu Internationale.

Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya. ”Ich bin nichts, und ich müßte alles sein,” kata Marx.

Dengan kata lain, subyek sebagai trauma yang berontak itu harus mencakup semua, siapa saja. Bukan hanya para pribumi alias inlander. Bukan hanya mereka yang harus pakai blangkon dengan wajah yang kalem.

Goenawan Mohamad, MBM TEMPO, 25 Mei 2009

Neoliberalisme


Neoliberalisme. Tiba-tiba saja istilah ini mencuat menjadi wacana hangat di tengah-tengah masyarakat. Pemicunya adalah munculnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden yang akan datang.

Menurut para penentang mantan Gubernur Bank Indonesia tersebut, Boediono seorang ekonom yang menganut paham ekonomi neoliberal, sebab itu ia sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas Boediono atau paham ekonomi yang dianutnya. Tujuan tulisan ini adalah untuk menguraikan pengertian, asal mula, dan perkembangan neoliberalisme secara singkat.

Saya berharap, dengan memahami neoliberalisme secara benar, silang pendapat yang berkaitan dengan paham ekonomi ini dapat dihindarkan dari debat kusir. Sebaliknya, para ekonom yang jelas-jelas mengimani neoliberalisme, tidak secara mentah-mentah pula mengelak bahwa dirinya bukan seorang neoliberalis.

Sesuai dengan namannya, neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi pasar liberal. Sebagai salah satu varian dari kapitalisme yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, neoliberalisme, keynesianisme, dan neokeynesianisme, maka neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme.

Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali.

Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1930-an, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan.


Depresi besar 1930-an tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.

Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rostow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon.

Sebagaimana dikemas dalam paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut:
(1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar;
(2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan
(3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).

Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes.

Seperti diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas hingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter.

Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.

Namun kedigdayaan keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagan sebagai presiden AS dan Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas.

Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.

Selanjutnya, terkait dengan negara-negara sedang berkembang, penerapan neoliberalisme menemukan momentumnya pada akhir 1980-an. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington.

Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut:
(1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi;
(2) liberalisasi sektor keuangan;
(3) liberalisasi perdagangan; dan
(4) pelaksanaan privatisasi BUMN.

Di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF.

Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID.

Menyimak uraian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, sebagai bentuk baru liberalisme, neoliberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar.

Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.

Wallahu a’lam bishawab.

Revrisond Baswir, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.
Kedaulatan Rakyat, 18 Mei 2009

Wednesday, May 27, 2009

Kuda Milik Prabowo Pernah Ikut SEA Games Bangkok 2007


Kubu capres-cawapres Megawati-Prabowo menanggapi kritikan tim sukses SBY-Boediono. 'Serangan balik' ini juga membicarakan soal 98 ekor kuda yang dimiliki Prabowo Subianto.

"Padahal, kuda-kuda itu dilibatkan juga di SEA Games Bangkok 2007. Itu untuk kepentingan nasional," kata salah satu anggota tim sukses Megawati-Prabowo, Fadli Zon, dalam jumpa pers di Mega-Prabowo Center, Jakarta Selatan, Selasa, 26 Mei 2009.

Menurut Fadli, kuda-kuda yang dipersoalkan tim sukses SBY-Boediono itu sudah dipergunakan Tim Nasional Polo Indonesia. Dan lagi, lanjut Fadli, personel Tim Polo yang dikirim ke Bangkok itu bukan aristokrat atau bangsawan. "Tapi, anak-anak petani yang dididik," jelas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Fadli pun mengklarifikasi soal ekonomi kerakyatan yang juga dikritik tim sukses SBY-Boediono. Fadli menilai, aset dan segala kekayaan yang dimiliki Prabowo tidak dalam bentuk dana tunai. Melainkan dalam bentuk aset dan bisa dipertanggungjawabkan. "Ekonomi kerakyatan itu bukan berarti harus miskin," tegas Fadli.

Menurut dia, justru yang tidak jujur bila ada calon presiden yang kekayaannya lebih tetapi yang dilaporkan hanya sedikit. Fadli menganggap, justru itu yang namanya membohongi rakyat.

Fadli kini menyerang balik. "Ada juga salah satu cawapres yang terlihat sederhana, tapi hartanya tiga kali melebihi capres-nya," kata Fadli.

Gerindra juga mengklarifikasi soal karir militer Prabowo yang berakhir sebagai mantan Komandan Jenderal Kopassus. Menurut Fadli, Prabowo bukan dipecat dari militer. "Tapi diberhentikan dengan hormat. Itupun karena kepentingan politik. Di militer itu ada dua jalur. Pertama, jenderal dari komando yang berani mengambil resiko. Dan yang kedua, jenderal dari staf yang biasanya tangannya bersih," beber dia.

Kemarin, dalam jumpa pers di Bravo Media Center, Jalan Teuku Umar, Jakarta, salah satu tim sukses SBY-Boediono, Rizal Mallarangeng, menyatakan platform ekonomi kerakyatan harus diusung oleh orang yang tidak punya kepentingan. "Yang tidak memiliki cacat dalam track record-nya," kata Rizal.

Rizal juga menyatakan "ekonomi kerakyatan" yang diusung Prabowo hanyalah retorika. "Pak Prabowo punya 98 kuda, sampai-sampai ada tiga kuda yang dibelinya seharga tiga miliar. Taruhlah Pak Boediono. Dulunya dia hidup di sebuah desa kecil di Blitar, anak seorang guru. Jadi jangan cuma retorikalah," ujar Rizal.

Sebenarnya jumpa pers Rizal ini bertujuan mengklarifikasi tuduhan ekonom Kwik Kian Gie atas calon wakil presiden Boediono. Rizal menyatakan Kwik telah berlaku tidak jujur karena menuduh Boediono sebagai antek neoliberal.

Ismoko Widjaya, Bayu Galih, VIVAnews 26 Mei 2009

Fadli Zon: Rizal Mallarangeng Kalap dan Panik


Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya, Fadli Zon, mengkritik balik pernyataan juru bicara Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Rizal Mallarangeng, soal Prabowo Subianto. Fadli menilai Rizal telah kalap dan panik.

"Saya tidak tahu Rizal kapasitasnya sebagai konsultan, tim sukses atau pemilik Fox Indonesia, tapi ada hal yang harus diluruskan," kata Fadli dalam jumpa pers di Mega-Prabowo Media Center, Jalan Prapanca, Jakarta, Selasa 26 Mei 2009.

"Pertama, tentang neoliberal dan ekonomi kerakyatan, itu suatu pilihan, tapi pemerintah sekarang memilih ekonomi liberal. Contoh impor bahan-bahan pangan tarif masuknya rendah," ujarnya. Fadli lalu melansir soal impor susu yang tarifnya dinolkan sehingga merugikan petani dan peternak Indonesia.

Fadli juga menyinggung Washington Consensus yang menginginkan penghapusan subsidi. Di Indonesia, kebijakan ini diadopsi salah satunya melalui pencabutan subsidi bahan bakar minyak. "Rizal juga dulu sangat mendukung pencabutan sehingga mengiklankan di sejumlah media," ujarnya.

Pernyataan Rizal bahwa platform ekonomi kerakyatan harus diusung oleh orang yang tidak punya kepentingan, "yang tidak memiliki cacat dalam track record-nya" diklarifikasi pula oleh Fadli. "Selama ini Prabowo berpihak pada kepentingan rakyat. Dia sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia dan Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia selalu memperjuangkan rakyat. Tidak seperti yang dituduhkan Rizal," ujar Fadli.

Jadi, kata Fadli, "Pernyataan Rizal itu seperti orang kalap dan panik. Kami merasa senang karena berarti mereka merasa ada ancaman."

Karena itu, kritik Rizal Mallarangeng kepada Prabowo seperti senjata makan tuan kepada Rizal yang pernah menyatakan calon presiden Jusuf Kalla tidak santun dalam berkampanye. "Logikanya tidak utuh. Tim kampanye lawan tidak menggunakan logika lagi. Harusnya berpolitik santun dan tidak menyerang pribadi," ujar lulusan Sastra Rusia Universitas Indonesia itu.

Arfi Bambani Amri, Bayu Galih, VIVAnews, 26 Mei 2009

Di Lapangan Gasibu, Bandung, Prabowo Bakar Emosi Massa


Pidato panjang Prabowo ini mendapat respon luar biasa dari pendukungnya. Calon presiden Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto, mengkritik keras para pejabat pemerintah. Dia menilai pejabat-pejabat itu tidak berempati kepada kepentingan masyarakat, melainkan hanya mengurusi diri sendiri.

Bangsa ini sedang sakit. Cara memimpin bangsa banyak akal-akalan. Rakyat sering dibohongi,” kata Prabowo dalam kampanye di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat.

Putra mendiang begawan ekonomi Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo itu mengatakan cara mengetahui akal-akalan itu ialah dengan melihat sumber daya alam Indonesia yang kaya. Namun, semua itu tidak dinikmati rakyat, melainkan diberikan untuk diolah bangsa lain.

Dan hasil dari penjualan kekayaan alam itu hanya sedikit sekali yang digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Menurut dia, lebih banyak untuk membangun gedung mewah, hotel mewah, pusat belanja.

“Rakyat digusur, kalian digusur,” kata Prabowo.

Prabowo terus membakar emosi massa yang memenuhi lapangan terbesar di Bandung itu.

Akibat dari perilaku para pejabat pemerintah yang hanya mengurus kepentingan sendiri, kata Prabowo, banyak rakyat jatuh miskin.

“Dan yang dihormati hanya orang-orang yang punya uang,” kata dia. “Yang tidak punya uang tidak dihormati. Padahal uang yang dicuri adalah uang kalian.”

Sambil menunjuk-nunjuk ke arah pedagang bakso, pemuda, dan ibu-ibu yang hadir, Prabowo mengatakan "Kalian punya hak hidup, pekerjaan yang baik, ibu-ibu punya hak untuk menyekolahkan anak sampai setinggi-tingginya."

Pidato panjang Prabowo ini mendapat respon luar biasa dari pendukungnya. Mereka berteriak-teriak, bahkan sebagian menangis.

Siswanto, Aries Setiawan, VIVAnews, 30 Maret 2009

Prabowo Kampanye di Makassar: Jangan Percaya Janji Elit Politik


Dalam orasinya Prabowo mengimbau kadernya untuk tidak percaya dengan janji elit politik.
Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dalam orasinya di tengah massa gabungan Gerindra dan PKB, menyatakan untuk tidak percaya dengan janji-janji elit politik Jakarta.

"Janji itu belum tentu baik, jadi jangan dipercaya," kata Prabowo di tengah-tengah massa yang memadati lapangan Matoangin, Makassar, Sulsel, Rabu 25 Maret 2009.

Kampanye Prabowo yang juga diramaikan artis Tiga Diva dan Group Band Radja ini, sempat diarak-arak ke tengah massa untuk ikut joget bersama.

Sembari diarak, Prabowo juga mengatakan, kedatangan Gerindra di kampung kelahiran Jusuf Kalla ini, bukan untuk memberi janji tetapi melakukan perubahan yang lebih baik.

Sementara orasi Yenny Wahid dalam kesempatan tersebut mengajak semua kader PKB pro Gus Dur di Sulsel untuk tidak ragu lagi memilih Gerindra dan Prabowo.

"Gus Dur sudah merestui kita untuk memilih Gerindra, dan bangsa ini akan lebih baik," ujar Yenny.

Amril Amarullah, VIVAnews, 25 Maret 2009

Tuesday, May 26, 2009

PAN Bercabang 3, Pecah atau Strategi?


Hingga kini, hanya Partai Amanat Nasional (PAN) yang masih misterius. PAN masih belum jelas mendukung ke capres mana. PAN bercabang tiga. Pecah serius atau hanya strategi?

Kubu Hatta Rajasa, yang dimotori oleh Ketua DPP PAN Patrialis Akbar dan Sekjen PAN Zulkifli Hasan berdiri di kubu duet SBY-Boediono (SBY Berbudi). Mereka hadir dalam deklarasi SBY Berbudi di Sabuga, Bandung.

Kubu Soetrisno Bachir (SB) memperlihatkan sinyal yang mendukung Megawati-Prabowo. Kelompok ini dipimpin langsung oleh SB dan sebagian jajaran fungsionaris DPP PAN. Jumat (15/5/2009) malam, SB dan kelompoknya melakukan konsolidasi di Hotel Mega Pro, Jakarta Pusat.

Sedangkan kubu Amien Rais didukung sebagian fungsionaris DPP PAN dan didukung sekitar 28 DPW PAN. Konsolidasi yang dilakukan Amien masih terus intensif dilakukan, termasuk pertemuan dengan JK di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jumat malam. Kelompok ini memberi sinyal akan mendukung JK-Wiranto.

Dari tiga kubu itu, kubu mana yang paling sah dan berhak memberikan dukungam secara resmi? Bila tanda tangan ketua umum dan sekjen PAN dibutuhkan untuk dukungan resmi capres-cawapres tertentu, maka hal itu sulit dilakukan. Ketua Umum SB akan merapat ke Mega-Prabowo, sedangkan Sekjen Zulkifli Hasan merapat ke SBY Berbudi.

Salah seorang fungsionaris DPP PAN mengatakan saat ini tiga capres yang sudah muncul tidak butuh dukungan PAN secara dejure. Tiga capres itu hanya butuh dukungan secara defacto.

“Sebab tanpa dukungan PAN, syarat wajib tiga capres untuk mendaftar ke KPU juga sudah terpenuhi. Masing-masing capres sudah memenuhi persentase kursi DPR atau suara sah nasional. Jadi tak perlu dukungan dejure dari PAN, tanda tangan ketum dan sekjen jadi tidak penting,” ungkap dia saat berbincang-bincang dengan detikcom, Sabtu (16/5/2009).

Sebagai contoh, didapuknya Hatta Rajasa sebagai ketua tim sukses SBY Berbudi. “SBY tak perlu bukti hitam di atas putih dari PAN untuk menjadikan Hatta sebagai ketua tim sukses,” kata dia.

Karena itu, dia membantah bahwa PAN pecah. “Pecah itu, kalau di antara pimpinan PAN tidak ada koordinasi. Nyatanya sampai sekarang koordinasi di tiga kubu ini masih jalan dengan baik,” kata dia.

Menurut dia, sejatinya apa yang melanda PAN ini adalah buah dari strategi The King Maker. Siapa King Maker itu? “Ya Anda tahu sendirilah,” kata dia. Apa dia adalah Amien Rais? Dia membenarkan.

Lantas apa keuntungan PAN dalam posisi ini? Apakah ini berarti PAN bermain cantik di tiga kaki? “Tebakan Anda memang tepat. Seperti itulah,” ujar dia.

Arifin Asydhad, detikPemilu, 16 Mei 2009

Permasalahan Bangsa Adalah Kebudayaan, Bukan Politik


Permasalahan bangsa ini bertitik poin pada soal budaya. Bukan pada apa yang ramai dibicarakan seluruh komponen bangsa yakni semata karena politik dan ekonomi.

"Permasalahan bangsa ini adalah kebudayaan, bukan politik, bukan ekonomi. Karena politik dan ekonomi, dan lain sebagainya bersumber dari kebudayaan," kata budayawan Sapardi Djoko Damono di sela-sela dialog capres, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta, Minggu (24/5/2009).

Menurut Sapardi, pemimpin yang mumpuni adalah pemimpin yang bisa menangani persoalan bangsa. "Pemimpin yang ideal itu yang bisa mengetahui permasalahan-permasalahan bangsa ini. Politik itu adalah budaya tingkah laku kita, ekonomi juga demikian," jelas penyair yang tenar dengan puisi 'Aku Ingin' tersebut.

Bangsa yang besar, lanjut Sapardi, yakni bangsa yang mampu mengakulturasi kebudayaan yang ada menjadi kebudayaan baru.

"Seperti halnya katakanlah Jawa dianggap sebagai suku yang berperadaban tinggi atau maju di Indonesia, tetapi budaya Jawa itu diambil dari budaya-budaya lain, seperti halnya Hindu, Budha dan Islam, mereka akulturasikan itu," terang Guru Besar Fakultas Sastra UI itu.

Bagaimana dengan penampilan pasangan Megawati dan Prabowo dalam diskusi budaya ini? "Ya jawaban-jawaban Mega dan Prabowo hanya umum saja, tetapi mereka harus demikian. Karena pemimpin tidak mungkin detail, nanti urusan staf dan menteri yang lebih detail. Secara keseluruhan bagus," jelasnya.

Hery Winarno, detikPemilu, 24 Mei 2009


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikkannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Sapardi Djoko Damono

Monday, May 25, 2009

Rendra Dukung Mega Prabowo, Ajak Lawan Kekuasaan Asing


Puisi karya Chairil Anwar, Karawang-Bekasi dibacakan WS Rendra dalam deklarasi pasangan Mega-Prabowo. Tidak lupa penyair yang dijuluki 'Si Burung Merak' ini juga menyampaikan dukungannya.

"Saya tidak masuk parpol manapun, tapi saya mendukung Mega-Prabowo. Sebab Mega-Prabowo tidak melanjutkan pemerintah yang didominasi asing," kata Rendra sebelum membacakan puisi di Bantar Gebang, Minggu (24/5/2009).

Menurut Rendra, alasan dia mendukung pasangan ini karena duet ini membuat pemerintahan mandiri yang berbasis ekonomi kerakyatan.

"Sesuai amanat pendiri negara. Karena itu saya akan bacakan sajak Chairil Anwar, Karawang-Bekasi," jelas Rendra.


Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi,
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa.
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.

Kami cuma tulang-tulang berserakan,
tapi adalah kepunyaanmu.
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa.

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata.
Kaulah sekarang yang berkata.

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.

Kenang, kenanglah kami.
Teruskan, teruskan jiwa kami.
Menjaga Bung Karno,
menjaga Bung Hatta,
menjaga Bung Sjahrir.

Kami sekarang mayat.
Berikan kami arti.
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.

Kenang, kenanglah kami,
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu.
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

Selama beberapa menit dia membacakan puisi itu dengan penuh semangat. Di akhir puisi dia mengajak ribuan pendukung Mega-Prabowo melawan intervensi dari negara lain.

"Lawan kekuasaan asing!!!" Tutupnya.

Ramadhian Fadillah, detikPemilu, 24 Mei 2009

Tangan Kosmik yang Menjangkau Cahaya


INDAH - Ketika 'bintang sekarat' bernama PSR B1509-58 beraktivitas, dan kebetulan berada di dekat awan gas bernama RCW 89, maka pemandangan indah dan menarik ini pun bisa terlihat, sebagai satu dari jutaan peristiwa di luar angkasa sana.
Foto: P. Slane, et al./NASA/CXC/SAO.

Bintang-bintang pulsar adalah bintang yang kecil dan bisa disebut hampir mati, namun masih punya kekuatan besar. Bintang-bintang jenis ini, biasanya berputar dengan kecepatan tinggi dan menerangi sekelilingnya, kerapkali dengan cahaya-cahaya indah bak tampilan siluman. PSR B1509-58 adalah nama bagi salah satu bintang jenis itu, yang diberikan oleh badan antariksa AS, NASA.

Sebagaimana ditulis Space.com beberapa waktu lalu, dan dikutip oleh Yahoo, Selasa (7/4), PSR B1509-58 sebenarnya sudah lama dianggap tidak aktif karena kehabisan "bahan bakar", dan berubah menjadi bentangan ruang udara dengan diameter sekitar 12 mil saja. Namun yang menarik, berdasarkan sebuah gambar terkini dari observatorium Chandra X-Ray milik NASA, "mantan" bintang itu baru saja menghadirkan pemandangan unik yang luar biasa.

Berkas sinar X bertenaga tinggi dari sebuah nebula di sekitar PSR B1509-58, telah menghasilkan cahaya berwarna biru, yang berkembang menjadi bentuk serupa tangan kosmik raksasa yang seolah tengah menjangkau berkas sinar kosmik merah abadi. Kini, bintang pulsar tersebut tengah berputar "gila-gilaan" dengan kecepatan tujuh putaran per detik -sebagaimana lazimnya rotasi bintang sejenis- dan melepaskan energi ke sekeliling yang akhirnya menghadirkan pemandangan itu.

Bidang magnetik yang sangat kuat, 15 trilyun kali lebih kuat daripada bidang magnetik bumi, diperkirakan juga ikut mempengaruhi. Kombinasi kekuatan itulah yang mengarahkan angin berenergi penuh elektron dan ion, bergerak menjauh dari bintang pulsar tersebut. Dan saat elektron-elektron melintasi nebula magnetik itu, mereka menyebarkan radiasi energinya dalam bentuk sinar X.

Sementara itu, cahaya merah itu sendiri sebenarnya adalah awan gas yang lokasinya cukup berdekatan, bernama RCW 89, yang diberi energi hingga berpendar oleh "jari-jari tangan"-nya nebula PSR B1509-58 tersebut. Demikian penjelasan dari para astronom sejauh ini.

Pemandangan ini membentang sepanjang kurang lebih 150 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam satu tahun yakni sekitar 6 trilyun mil atau 10 trilyun km, Red) itu, berjarak sekitar 17 ribu tahun cahaya dari bumi.

Artinya lagi, apa yang bisa terlihat sekarang itu, sebenarnya adalah apa yang terjadi pada 17 ribu tahun cahaya yang lalu, yang berkas cahaya (gambarnya) baru bisa ditangkap sekarang oleh lensa buatan manusia.

jpnn.com, 7 April 2009


A small, dense object only 12 miles in diameter is responsible for this beautiful X-ray nebula that spans 150 light years. At the center of this image made by NASA's Chandra X-ray Observatory is a very young and powerful pulsar, known as PSR B1509-58, or B1509 for short. The pulsar is a rapidly spinning neutron star which is spewing energy out into the space around it to create complex and intriguing structures, including one that resembles a large cosmic hand.

Sunday, May 24, 2009

Politisi Berguguran, Artis Bermunculan


Parpol Lakukan Kekeliruan Perekrutan Caleg

Hasil penghitungan sementara perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat menunjukkan akan banyak wajah baru menduduki DPR. Para anggota DPR yang selama ini dikenal baik dan berkualitas dalam bidang legislasi banyak yang tak terpilih.

Sebaliknya, calon anggota terpilih berlatar belakang pekerja di dunia hiburan bermunculan.

Penghitungan dari hasil rekapitulasi perolehan suara nasional yang diolah Kompas dan Centre for Electoral Reform hingga Kamis (7/5) di Jakarta menunjukkan sudah 544 kursi dibagikan. Jumlah itu hanya menyisakan pembagian kursi untuk Nusa Tenggara Timur (13 kursi) dan Maluku Utara (3 kursi).

Dari jumlah itu, Partai Demokrat diperkirakan memperoleh 145 kursi, Partai Golkar 101 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 92 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 58 kursi, dan Partai Amanat Nasional 45 kursi. Adapun Partai Persatuan Pembangunan diprediksi mendapat 37 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 28 kursi, Partai Gerindra 23 kursi, dan Partai Hanura 15 kursi.


Dari pembagian perolehan kursi berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 diketahui banyak politikus di DPR gagal masuk kembali ke DPR. Mereka antara lain Ketua DPR Agung Laksono yang maju dari Golkar untuk daerah pemilihan DKI Jakarta. Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Ferry Mursyidan Baldan (Golkar, Jawa Barat II) dan mantan Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu Saifullah Maksum (PKB, Jatim V) juga tidak mendapat kursi.

Anggota DPR lain yang gagal adalah Andi Yuliani Paris dari Komisi II DPR (PAN, Sulsel II), Lena Maryana Mukti anggota Komisi II DPR (PPP, DKI Jakarta II), dan Abdullah Azwar Anas dari Komisi V DPR (PKB, Jatim VII).

Penuh artis
Sebaliknya, para pekerja hiburan, mulai dari pembawa acara, penyanyi, model, hingga pemain sinetron dan film yang diprediksi masuk ke DPR adalah Jamal Mirdad (Partai Gerindra, Dapil Jateng I), Angelina Sondakh (Demokrat, Jateng VI), Tantowi Yahya (Golkar, Sumsel II), Miing Bagito alias TB Dedi Suwendi Gumelar (PDI-P, Banten I), dan Rachel Maryam Sayidina (Gerindra, Jabar II).


Ada pula Rieke Diah Pitaloka (PDI-P, Jabar II), Tere alias Theresia EE Pardede (Demokrat, Jabar II), Inggrid Maria Palupi Kansil (Demokrat, Jabar IV), Nurul Arifin (Golkar, Jabar VII), Tetty Kadi Bawono (Golkar, Jabar VIII), Komar alias Nurul Qomar (Demokrat, Jabar VIII), Primus Yustisio (PAN, Jabar IX), M Guruh Irianto Sukarno Putra (PDI-P, Jatim I), CP Samiadji ”Adjie” Massaid (Demokrat, Jatim II), Venna Melinda (Demokrat, Jatim VI), dan Eko ”Patrio” Hendro Purnomo (PAN, Jatim VIII).

Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay mengatakan, kegagalan anggota DPR yang cukup berkualitas dan banyaknya calon terpilih dari dunia hiburan menunjukkan kekeliruan partai dalam melakukan perekrutan calon anggota legislatif. ”Sejumlah caleg dipilih partai hanya sebagai pengumpul suara, tetapi abai dengan kualitasnya,” katanya.


Koordinator Divisi Advokasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Tommi A Legowo mengatakan, berkurangnya politisi berkualitas dan banyaknya calon terpilih artis pada DPR nanti tidak akan mengubah apa pun dari kinerja dan performa DPR selama ini. Kinerja DPR selama ini sangat ditentukan oleh partai politik, bukan oleh anggota partai di DPR. ”Kualitas DPR tidak ada relevansinya dengan kualitas anggota DPR-nya. Mau profesor, artis, atau politisi, mereka tetap utusan partai yang harus tunduk pada kebijakan partai,” katanya.

KOMPAS, 8 Mei 2009

Saturday, May 23, 2009

Indonesia Menggugat


Bandung Dijadikan Simbol Perjuangan "SBY Berboedi"

Tuntas sudah teka-teki yang selama ini beredar mengenai pencalonan Boediono sebagai calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain kepastian majunya Boediono, koalisi yang masih solid dipimpin Partai Demokrat juga menjadi alasan mengapa Kota Bandung yang dipilih sebagai lokasi deklarasi pasangan berslogan SBY Berboedi itu.

"Di awal abad kedua puluh, Bung Karno di Kota Bandung ini menyatakan Indonesia Menggugat," ujar Boediono di akhir sambutannya sebagai calon wakil presiden pendamping SBY, di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Jumat (15/5) malam.

Waktu itu, lanjut Boediono, Indonesia menggugat penjajahan yang membuat Indonesia terbelenggu dan merasa kerdil di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Menurutnya, di awal abad kedua puluh satu ini, Indonesia selayaknya menggugat kembali.

"Kini yang kita gugat kekuatan dari luar dan dari dalam yang membuat kita merasa terpuruk dan merasa tidak bisa bangkit memperbaiki diri padahal kita mampu, padahal kita sanggup," ujar Boediono.

Ia berjanji, bersama SBY, ia akan selalu bekerja untuk membuat Indonesia lebih sanggup untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterpurukan. Keyakinan Boediono didasari iklim demokrasi di Indonesia saat ini yang menurutnya sudah mendukung perekonomian.

"Bahkan, dalam situasi krisis ekonomi global saat ini, bersama China dan India, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang masih mencetak pertumbuhan positif," ungkap Boediono.

Hindra, KOMPAS.com, 15 Mei 2009


Cuaca Bandung yang sejuk saat itu mungkin tidak bisa mendinginkan kegerahan Mr. Siegenbeek van Heukelom salah satu hakim pengadilan kolonial Belanda (Landraad). Ia sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang orasi pledoi-nya begitu memukau.

Hari itu Minggu 18 Agustus 1930, tengah berlangsung pengadilan terhadap Kusno Sosrodiharjo yang lebih dikenal dengan nama Soekarno, 29 tahun, ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) atas tuduhan upaya penggulingan kekuasaan Hindia Belanda.

Itulah pidato yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia Menguggat dan merupakan salah satu mementum penting pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Jejak peristiwa sejarah ini masih bisa kita saksikan di gedung Indonesia Menggugat yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan 5 di kota Bandung.

Di ruang sempit inilah Soekarno menggagas entitas ke-Indonesiaan dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di tempat ini juga Soekarno menggelorakan semangat revolusi untuk “eine umgestaltung von grundaus” atau perubahan sampai ke akar-akarnya.


Cuplikan pledoi dalam gambar di atas ini adalah hasil desain ulang dengan sumber teks dari Gedung Indonesia Menggugat oleh Toni Wahid yang saya ambil dari mypotret.wordpress.com.

Kami berdiri di hadapan mahkamah tuan-tuan ini bukan sebagai Soekarno, Gatot Mangkoepoeradja, Maskoen atau Soepriadinata, kami orang berdiri di sini adalah sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh kesah sebagai putra-putri Indonesia yang setia dan bakti kepadanya.

(Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, 2003: 224)

Thursday, May 21, 2009

999 di Pendapa Cikeas


Ada yang tercecer di tengah kepanikan dan hiruk-pikuk yang terpusat di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Rabu malam. Yang tercecer itu hendak saya ceritakan kepada anda sekalian agar pikiran tidak tegang karena mendengar berita perceraian.

Mungkin apa yang saya lihat ini kebetulan. Tetapi saya terlanjur tidak mempercayainya. Kalau memang kebetulan, kenapa kebetulan itu selalu berulang-ulang. Karenanya, maafkan saya jika tidak percaya dengan hal-hal yang dikategorikan sebagai kebetulan.

Ini masih soal angka-angka ajaib kegemaran Pak Beye atau yang ada di sekitar Pak Beye. Ya, anda tahu semua. Pak Beye penggemar angka ganjil. Di antara semua angka ganjil itu, angka kegemarannya adalah angka Sembilan (9).

Mungkin karena bawaan lahirnya di Pacitan, Jawa Timur, yang dicatatkan di akta kelahiran dengan tanggal 9 bulan 9 tahun 1949 sehingga Pak Beye begitu gemar dengan angka 9. Soal angka-angka ganjil di sekitar Pak Beye dan Partai Demokrat sudah saya ceritakan dalam postingan sebelumnya.

Cerita kali ini adalah cerita tentang angka 9 yang baru saya dapati di Pendapa Cikeas. Dalam saat yang bersamaan, jajaran tiga angka sembilan “999” hadir dalam jumpa pers Demokrat merespon “gugatan cerai” Partai Golkar.

Saya sebut saja “999″ itu satu per satu.
9 pertama menunjuk pada Tim Sembilan yang diberi mandat Pak Beye untuk berkonsultasi dengan tim negosiasi Partai Golkar. Tim Sembilan diketuai Pak Hadi Utomo, kakak ipar Pak Beye yang juga ketua umum DPP Partai Demokrat. Delapan anggota lain adalah Pak Anas, Pak Marzuki, Pak Syarief, Pak Ruhut, Pak Hayono, Pak Max, Pak Jero, dan Pak Yahya.

Saat Pak Anas yang ditugasi Pak Beye berbicara menggantikannya untuk menjawab pernyataan Partai Golkar yang disampaikan Pak Sekjen Golkar Soemarsono, delapan anggota Tim Sembilan menungguinya.

9 kedua adalah jumlah lampu gantung yang ada tepat di atas Pak Anas. Saya semula tidak terlalu peduli. Tetapi keisengan saya sambil menunggu berlama-lama membuat saya menghitung jumlahnya. Senang mendapati sembilan adalah jumlahnya.

9 ketiga adalah jumlah rusa tutul (axis axis) dalam lukisan yang diletakkan sebagai latar belakang jumpa pers. Lukisan ini adalah lukisan yang baru diletakkan sebagai latar belakang di Pendapa Cikeas. Saya mengenalinya juga baru minggu lalu saat Pak Beye menyebut lima kriteria calon wakil presidennya.

Sebelumnya, di latar belakang pendapa adalah mozaik foto yang membentuk wajah Pak Beye dan Bu Ani. Menjelang Pemilu Presiden 2009, mozaik foto itu dipindahkan dan diganti dengan gambar sembilan rusa tutul sedang makan rumput di Istana Bogor.

Mendapati tiga angka sembilan di Pendapa Cikeas membuat saya tersenyum juga. Tradisi itu memang terjaga dan ingin diulang kesuksesannya.

Berapa angka kegemaran anda? Kalau saya 25.

Wisnu Nugroho, 23 April 2009
http://wisnunugroho.kompasiana.com/


Time Bisa aja ….

Sejak kemarin sore dan sepanjang hari ini, hati Pak Beye pasti berbunga-bunga. Bukan terutama karena Pak Beye terpilih sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh sejagad versi majalah Time.

Menurut saya, hati Pak Beye berbunga-bunga terutama karena nomor urutnya. Di antara 100 tokoh, Pak Beye masuk di nomor urut Sembilan (9). Pak Beye juga bersama dengan 20 tokoh lainnya masuk kategori pemimpin dan pembawa perubahan.

Saya tersenyum saat semalam membuka website Time. Time bisa aja .…

Anda ingat dengan angka-angka kegemaran Pak Beye kan? Untuk apresiasi Time yang “Pak Beye banget” itu, Pak Beye akan mengirimkan putra mahkotanya yaitu Mas Edhie Baskoro Yudhoyono didampingi staf khsusus Pak Beye yaitu Pak Dino Patti Djalal ke New York, Amerika Serikat. Mereka dikirim untuk hadir mewakili Pak Beye dalam jamuan makan malam Time 100-2009, edisi 5 mei 2009.

Ngomong-ngomong, kenapa bukan Bu Ani ya yang dikirim? Selamat makan.

Wisnu Nugroho, 1 Mei 2009
http://wisnunugroho.kompasiana.com/

Keganjilan Pak Beye


Seperti kebanyakan dari kita, bilangan ganjil lebih disuka Pak Beye dibandingkan bilangan genap. Untuk itu, bilangan-bilangan ganjil mewarnai hampir semua rincian, arahan, perintah, dan kebijakan Pak Beye kepada pendengarnya. Ada juga sih yang genap, tetapi tidak seberapa.

Sejak awal Pak Beye memadatkan kebijakan ekonomi pemerintahannya dalam sebutan triple (3) track strategy (waktu pertama mendengarnya, saya teringat trilogi pembangunan Pak Harto). Triple track strategy itu adalah pro growth, pro job, dan pro poor. Meskipun dalam perkembangannya Pak Beye menambahkan satu track, yaitu pro bussines, Pak Beye tetap menyebutnya secara ganjil yaitu triple (3) track plus one (1).
He… he… he… bisa aja Pak Beye persatukan, ya.

Sebagai contoh kecil lainnya. Saat panen lele di Boyolali, Jawa Tengah dan membuat Pak Ical (Aburizal Bakrie) terkagum-kagum dengan gurihnya pecel lele yang pertama kali dilihat dan dimakannya, Pak Beye menyebut tiga (3) langkah sukses bagi petani: kecukupan modal, bimbingan teknis, dan pemasaran.

Dialog dengan petani lele di tengah sawah yang berubah menjadi kolam lele itu juga hanya mempersilahkan tiga (3) petani saja untuk bertanya. ketika Pak Beye merinci indikator peningkatan kesejahteraan rakyat yang dijanjikannya, tujuh (7) hal disebutnya: cukup pangan, cukup sandang, miliki papan, pendidikan baik, kesehatan baik, lingkungan hidup baik, dan rasa aman.

Tentang arah pembangunan, Pak Beye kerap sekali merincinya menjadi lima (5) pokok pikiran: terpadu dan berdimensi kewilayahan, resources and knowledge based economy, pertumbuhan disertai pemerataan, kemandirian ekonomi dalam kerja sama internasional, dan menempatkan dunia usaha di depan.

Bagi dunia usaha yang ditempatkan di depan dalam pembangunan, agar mampu bersaing di tengah kompetisi global, Pak Beye menyebut tiga (3) acuan: better, quicker, dan cheaper.

Masih banyak bilangan ganjil yang dipakai Pak Beye untuk sejumlah rinciannya. Dan bilangan ganjil kegemaran Pak Beye adalah sembilan (9). Mungkin sesuai dengan tanggal lahir, bulan lahir, dan tahun lahirnya: sembilan (9), sembilan (9), empat sembilan (49). Nomor hape Pak Beye pun sesuai angka ganjil ini.

Mengenai bilangan ganjil itu, untuk setiap acara yang dibuka Pak Beye, gong yang disediakan juga dipukul dengan jumlah bilangan ganjil. Bukan tiga (3) kali seperti harga BBM yang dinaikkan karena tingginya harga minyak internasional dan diturunkan lagi tiga (3) kali juga karena Pak Beye yang baik hati. Bukan tiga (3) kali, tetapi lima (5) kali.
Goung, goung, goung, goung, goung.

Pak Beye pernah berujar kenapa memilih memukul gong lima (5) kali. Pak Beye ingin selalu mengingatkan tentang lima (5) sila dasar Negara Indonesia: Pancasila.

Lega saya mendengarnya karena semula saya pikir ada klenik di sana. Berapa bilangan ganjil kegemaran anda?

Wisnu Nugroho, 24 Januari 2009
http://wisnunugroho.kompasiana.com/


9+9+4+9=31

Tahun 2004 dimaknai Pak Beye dan Partai Demokrat yang didirikannya sebagai berkah. Berkah itu dirasakan datang lebih awal dari nomor urut Partai Demokrat saat Pemilu 2004. Ya, anda mungkin masih ingat. Nomornya Sembilan (9).

Sembilan memang seperti sudah identik dengan Pak Beye. Angka itu tampaknya diyakini sebagai keberuntungan. Tanggal kelahiran Pak Beye yang penuh angka sembilan adalah pertanda awal keyakinan itu. Sembilan September empat sembilan atau 9949 yang diabadikan menjadi nomor PO Box dan nomor SMS-nya di istana.

Karena kegandrungan pada angka sembilan itu, mendapatkan nomor urut 31 pada Pemilu 2009 dirasakan kurang nyaman. Susah dikaitkan dengan sinyal berkah seperti nyata dalam Pemilu 2004.

Namun, tidak demikian dengan yang selalu berpikir positif. Nomor urut 31 pun tetap dimaknai sebagai sinyal berkah juga di tahun 2009. Betapa tidak. 31 adalah jumlah angka dari tanggal lahir Pak Beye. Bukankah jika 9949 digabungkan (9+9+4+9) jumlahnya = 31?

Karena itu, selain dengan kerja keras dari banyak tim yang dibentuk terbuka dan tertutup, nomor 31 dimaknai juga sebagai sinyal awal datangnya berkah.

Dengan sinyal awal itu, capaian target 20 persen suara dalam Pemilu 2009 dianggap sebagai target moderat. Para petinggi partai yakin, Demokrat dapat meraih suara lebih dari target moderat 20 persen. 25 persen adalah hitungan mereka seperti juga nyata dalam berbagai survei yang terus dikampanyekan.

Namun, di tengah optimisme akan kesuksesan Partai Demokrat, ada yang khawatir dan tidak merasa aman juga. Hidup memang tidak bisa hanya disandarkan pada pikiran positif saja. Kekhawatiran itu setidaknya tercermin dari berubahnya kebiasaan lama. Soal memukul gong.

Kebiasaan ini sepele dan tidak penting memang. Tetapi karena blog ini memang mengulas hal-hal yang tidak penting agar yang penting tetap penting, soal gong itu saya ceritakan juga.

Sejak menjadi presiden, Pak Beye penuh dengan kegiatan seremonial. Hampir semua acara, apapun tingkatannya, kalau bisa yang membuka adalah Pak Beye. Untuk setiap acara seremonial itu, gong selalu menjadi penanda. Tentu saja dengan memukulnya.

Baru pada masa Pak Beye, kebiasaan memukul gong tiga kali diganti. lima kali adalah pilihannya. Beberapa kali sesaat sebelum memukul gong, Pak Beye berujar, pilihan lima diambilnya agar kita selalu ingat akan lima dasar negara kita, Pancasila.

Lega mendengar alasannya karena semula kami pikir ada klenik tertentu di baliknya.
Namun, sejak memasuki tahun Pemilu 2009, kebiasaan itu diubahnya. Untuk setiap acara seremonial, gong tidak lagi lima kali dipukulnya. Cukup tiga saja. Acara terakhir dengan tiga kali pukulan gong adalah di Istana Negara, selasa (17/3). Saat itu Pak Beye meresmikan dialog kesejarahan Indonesia dan Malaysia.

Saya belum mendengar alasan perubahan ini kenapa. Saya tidak ingin menyimpulkan, Pak Beye meninggalkan lima sila dari Pancasila. Bisa celaka kalau kesimpulan saya itu sampai mengemuka.

Karena perubahan baru dilakukan di tahun Pemilu, saya mengaitkannya dengan Pemilu juga. Saya mengira-ira saja, Pak Beye menghindari angka lima (5). Kalau angka tiga, mungkin masih bisa dipandang sebelah mata. Tetapi angka lima. Anda tahu kan angka lima itu nomor urut siapa?

Ya, Partai Gerindra. Partai baru seperti Partai Demokrat tahun 2004 yang lantang berwacana dan gencar mempromosikan Pak Bowo sebagai Capresnya. Pak Beye adalah salah satu yang ditantangnya.

Perkiraan ini saya dasarkan juga pada kerapnya Pak Beye memakai gong sebagai penanda untuk partainya. setelah mendapat nomor urut 31, setiap acara Demokrat yang diresmikannya ditandai dengan pukulan gong tiga kali dan satu kali setelah sesaat jeda.
Gong, gong, gong, dan gooong, = 3 … 1.

Apa kira-kira yang ada dalam pikiran anda?
Tidak mungkin kan Pak Beye meninggalkan Pancasila?

Wisnu Nugroho, 17 Maret 2009
http://wisnunugroho.kompasiana.com/

Main Angka dengan Demokrat (666)


Pak Beye menyebut diri sebagai penggagas, pendiri, pemberi ideologi atau pembuat manifesto politik, pendesain bendera dan warna partai, dan peletak dasar-dasar perjuangan Partai Demokrat. Peran sentral itu disebutkannya saat memberi pengarahan kepada 1.953 (wuih kalau digabung jadi 99 neh, he… he… he….) peserta Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Hall D1, arena Pekan Raya Jakarta, Minggu (8/2/2009).

Pak Beye berperan sangat sentral. Jejak dan arah jalan partai yang didirikan saat Pak Beye menjadi Menteri Koordiantor bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) era Presiden Megawati Soekarnoputri kental terasa sampai saat ini. Tidak hanya untuk hal-hal besar yang digariskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, pengaruh itu bahkan juga untuk hal-hal kecil. Soal angka-angka misalnya.

Hampir selalu, setiap kegiatan besar partai dilakukan di tanggal-tanggal yang ada hubungnanya dengan angka sembilan (9). Rapimnas untuk menghadapi Pemilu 2009 digelar 8-9 Februari 2009. Sebelumnya, ulang tahun ketujuh partai dilakukan di gedung yang sama pada 19 Oktober 2008.

Angka sembilan adalah tanggal lahir Pak Beye yang kemudian diacu untuk kelahiran Partai Demokrat, 9 September 2001. Ulang tahun Pak Beye tujuh tahun terakhir menjadi ulang tahun juga bagi partai yang didirikannya. Saat pendirian partai, meskipun hanya dibutuhkan 50 orang, jumlah pendirinya dilengkapi menjadi 99 orang sesuai tanggal dan bulan lahir Pak Beye.

Angka sembilan juga dipilih untuk anggota Dewan Pembina di mana Pak Beye ada di dalamnya. Sembilan pembina itu datang semua dalam Rapimnas yang dihadiri 33 ketua DPD, 33 sekretaris DPD, 33 ketua Badan Pemenangan Pemilu, dan 666 calon anggota DPR-RI 2009-2014. Selain itu, hadir juga enam (6) Tim Relawan Demokrat dan Pak Beye yaitu Tim Delta, Tim Echo, Tim Foxtrot, Tim Romeo, Tim India, dan Tim Sekoci.

Ribuan peserta Rapimnas juga diinapkan di tujuh hotel sekitar PRJ yaitu Aston Marina, Golden, Ibis Manggadua, Ibis Kemayoran, Mercure, Millenium, dan Sheraton Media. Kepanitiaan Rapimnas dibentuk dengan Surat Keputusan nomor 08/sk/dpp.pd/I/2009 tanggal 30 Januari 2009.

Angka sembilan sebagai nomor urut undian Demokrat dalam Pemilu 2004 (saat itu) dimaknai sebagai berkah. Bersama suara yang diraih Demokrat, Pak Beye bersama Pak Kalla kemudian terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun, angka 31 yang menjadi nomor urut undian Demokrat dalam Pemilu 2009 tetap dimaknai sebagai berkah.

Berkah dalam angka sembilan lantas diharapkan pada pelaksanaan Pemilu Legislatif yang dilaksanakan 9 April 2009. Semula, Pemilu Presiden 2009 direncanakan 9 Juli (putaran pertama) dan 9 September (putaran kedua). Karena sejumlah pihak mengaitkan ini dengan Pak Beye, akhirnya tanggal 8 Juli dan 8 September yang kemudian disepakati dan diputuskan.

Menegaskan nomor 31 juga sebagai berkah, Yudhoyono yang selalu memukul gong lima kali untuk membuka suatu acara, memilih memukul gong tiga kali dengan jeda sejenak untuk memukul sekali lagi saat membuka Rapimnas. Pukulan gong ini dimaknai sebagai pengingat bahwa nomor urut Demokrat saat ini adalah 31.

Usai memukul gong tiga kali dan kemudian sekali, Pak Beye pergi. Di halaman parkir, telah menunggu mobil range rover bernomor polisi B 307 YD untuk ditumpanginya. Untuk urusan nomor mobil ini, Pak Beye meninggalkan abjad ‘S’ yang semula dipakai dalam mobil pribadinya. Sebelumnya, mobil pribadi Pak Beye inisialnya adalah B (biasanya 9949) YS. Pasti bukan karena wacana ABS, maka abjad ‘S’ itu ditinggalkan. He… he… he….

Karena urusan yang dihadirinya adalah urusan partai, Pak Beye meningalkan sedan Mercedes Benz S Class bernomor polisi RI 1. Sebagai pejabat negara, Pak Beye tengah memberi contoh kepada pejabat negara lain yang kemungkinan akan menjadi pesaingnya agar meninggalkan fasilitas negara untuk urusan partai politiknya.

Range rover warna hitam dengan nomor cantik dan abjad sesuai namanya pun melaju meninggalkan arena Pekan Raya Jakarta. Sebuah teladan hendak dicontohkan meskipun untuk itu tidak mudah juga. Protokol, pengamanan, dan tim kesehatan yang melekat padanya tidak bisa dilupakannya.

Membedakan sedang bekerja untuk negara atau sedang bekerja untuk partainya, tengok saja atribut yang dikenakan Pak Beye berikut tempatnya. Meskipun kadang susah juga dipisahkan sedemikian rupa, kalau kegiatannya di Cikeas, sudah hampir pasti merupakan kegiatan untuk partai sebagai kendaraan menuju istana yang kedua kalinya.

Dari seluruh angka kegemaran Demokrat, tak satu pun disebut angka 2,5 persen yang kini bikin heboh itu.

Wisnu Nugroho, 11 Februari 2009
http://wisnunugroho.kompasiana.com/

Tuesday, May 19, 2009

Jas Merah dalam Pemilu di Indonesia


Bung Karno pernah mengatakan: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

Semenjak reformasi 1998, bangsa Indonesia sudah 2 kali menyelenggarakan pemilu, pertama tahun 1999 yang diikuti 48 parpol dan kedua tahun 2004 dengan 24 parpol.

Pada pemilu tahun 1999 partai politik yang meraih suara terbanyak adalah PDI-P, namun faktanya yang menjadi presiden bukan Megawati Soekarnoputri, akan tetapi Gus Dur dari PKB.

Kemudian pada pemilu 2004 partai politik yang meraih suara terbanyak adalah Golkar, namun faktanya bukan Wiranto -yang mewakili Golkar melalui konvensi waktu itu- sebagai pemenang pemilu presiden, akan tetapi Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang diusung Partai Demokrat.


Sekarang kita semua tahu partai politik peraih suara terbanyak adalah Partai Demokrat. Pertanyaannya, akankah fenomena Jas Merah bisa terulang lagi?

Bahan dari SMS Pak Imam Samroni

Monday, May 18, 2009

Reformasi Belum Menyentuh Polisi


Kasus Wiliardi Wizar mengukuhkan stereotip lama tentang sistem promosi. Saatnya merit system dijalankan.

Cerita tentang Wiliardi Wizar bukan sekadar kisah pelanggaran merit system dalam institusi kepolisian. Ini juga cerita tentang ambisi yang buta: yang membuat seseorang sanggup membunuh atau membantu membunuh demi naik pangkat.

Episode terakhir cerita itu: Wiliardi meletakkan diri sebagai korban. Dalam kasus pembunuhan berencana Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen -yang ramai diwarnai romansa cinta segitiga dan konspirasi politik- kita sampai pada periode manakala semua tersangka berusaha menempatkan diri sebagai korban. Menjadi korban berarti menjadi obyek solidaritas atau menjadi orang yang harus dibela, yang diharapkan berujung pada kebebasan.

Kita menyaksikan betapa gencar para pengacara ketua komisi antikorupsi, Antasari Azhar, memproklamasikan bahwa kliennya merupakan korban konspirasi orang-orang yang merasa terancam sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal yang sama dilontarkan pembela Komisaris Besar Wiliardi Wizar. Mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan ini dinilai terlalu lugu dan percaya kepada teman-temannya -kata lainnya: ia korban "nyanyian" teman-temannya.

Wiliardi, 43 tahun, tersesat -ia diduga kuat menyiapkan eksekutor dalam pembunuhan itu- karena yakin kerja keras dan kinerja baik saja tak cukup membawanya ke puncak karier. Wiliardi, yang telah bertahun-tahun menjabat komisaris besar polisi dan merasa kariernya mandek di situ, lantas menempuh jalur alternatif: koneksi. Lelaki yang kehilangan kepercayaan pada penerapan merit system ini cepat mengangguk ketika Antasari Azhar, yang akrab dengan Kepala Kepolisian, berjanji akan mempromosikan kenaikan pangkatnya kepada bos nomor satu.

Wiliardi adalah korban lingkungan yang menempatkan tokoh, atasan -bahkan dalam hal ini kenalan atasan- di atas prestasi kerja. Tentu saja kisah tentang jalan sesat yang ditempuh Wiliardi membangkitkan stereotip yang selama ini melekat pada kepolisian. Apalagi kasus Wiliardi muncul tidak sampai sebulan setelah mutasi Komisaris Polisi Theresia -Kepala Kepolisian Sektor Johar Baru yang dipindahtugaskan secara misterius setelah sukses membongkar praktek aborsi. Dan tak ada momentum yang lebih tepat untuk menyingkirkan citra buruk itu selain sekarang. Soalnya, seandainya kasus ini tidak terbongkar, Wiliardi atau oknum dengan pikiran sejalan dengannya akan semakin percaya jalur alternatif inilah yang paling bisa diandalkan.

Jalur alternative -yang tidak selalu berarti membunuh atau melayani order tindak kekerasan- sebenarnya bisa hilang bila merit system diberlakukan ketat dan transparan. Tapi sistem barangkali juga tak akan memuaskan perwira yang tak punya kesabaran cukup untuk menunggu.

Tak lengkap jika Wiliardi tak dilukiskan sebagai korban ambisi yang tak tertahan. Tapi ia tak mewakili gambaran umum. Banyak perwira menengah yang senasib -kariernya mandek sebagai komisaris besar dan tak berlanjut- yang bisa menahan diri.

Kini bisa kita bayangkan sebuah lembaga yang penilaian jenjang kariernya sangat ditentukan oleh perkenan atasan atau teman atasan. Intrik menjadi begitu sentral. Kesetiaan pada lembaga dan tugas digantikan dengan kesetiaan pada tokoh -termasuk tokoh di luar lembaga kepolisian.

Apa boleh buat, warisan dari masa otoritarian ini rupanya sulit diakhiri. Kalau sudah begini, kita pun ragu apakah reformasi sempat mampir di lembaga kepolisian negeri ini.

Editorial Koran Tempo, 18 Mei 2009

ICW: Banyak Kasus Macet di KPK


Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan sejumlah kasus dugaan korupsi yang penanganannya hingga kini dinilai macet di Komisi Pemberantasan Korupsi. "Banyak kasus yang dibongkar tapi tak dituntaskan," kata Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho di Jakarta kemarin.

Emerson menyebut setidaknya ada lima kasus yang kini mengendap, antara lain dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom yang dilaporkan Agus Condro Prayitno, skandal dana Bank Indonesia yang diduga mengalir ke pejabat kejaksaan, dan dugaan korupsi pengadaan mesin jahit di Departemen Sosial.

Selain itu, kata Emerson, ada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Bank Dagang Negara Indonesia milik Sjamsul Nursalim dan kasus penyimpangan biaya perkara di Mahkamah Agung.

Anton Septian, Koran Tempo

Boediono Janji Bebaskan Indonesia dari Kemiskinan


"I promise to work to make Indonesia free from poverty"

Calon wakil presiden (cawapres) pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, berjanji untuk membebaskan Indonesia dari kemiskinan.

"Saya berjanji untuk membebaskan Indonesia dari kemiskinan. Dan saya siap bekerja mulai hari ini," janji Boediono, saat membacakan deklarasi pasangan SBY-Boediono, di Gedung Sabuga, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/5/2009).

Menurutnya, Indonesia saat ini sudah seharusnya bangkit dari keterpurukan dan segera memperbaiki diri agar kemiskinan tersebut sedikit demi sedikit bisa dihilangkan.

Selain itu, dia memuji pemerintahan SBY yang menurutnya bersih dan bisa membangkitkan perekonomian Indonesia di tengah situasi ekonomi dunia yang sedang gunjang-ganjing. Bahkan menurutnya, pekerjaan tersebut belum selesai dan masih banyak PR yang harus dikerjakan.

Di sisi lain, dia menilai, saat ini Indonesia sudah menjadi salah satu negara di Asia yang mempunyai kebebasan berdemokrasi. Tentunya hal tersebut berada di bawah kepemimpinan SBY.

Bahkan, dalam pidatonya, dia sempat menyindir bahwa pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang tidak mencampuradukkan negara dengan bisnis keluarga.

Taufik Hidayat, Okezone


Pidato Boediono
Cespleng dengan Tutur Bahasa yang Menyihir

Dengan mimik yang tenang, Boediono berpidato dengan menyihir banyak orang. Calon wapres SBY ini berpidato tanpa membaca teks. Kalimat-kalimat simbol yang menegaskan bahwa dia muslim yang baik juga ia ucapkan. Bantahan sebagai penganut neoliberalisme juga ia sampaikan dengan kalimat yang datar, tapi mengena.

Boediono, yang saat ini menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) itu memperlihatkan sebagai orator ulung saat berpidato sebagai cawapres SBY dalam deklarasi SBY-Boediono di Gedung Sabuga, Bandung, Jumat (15/5/2009) malam. Dia yang mengenakan peci dan berbaju batik warna merah menyala dan berkacamata itu berpidato dengan didampingi SBY yang mengenakan pakaian yang sama.

Pemantauan detikcom, selama hampir 20 menit, Boediono berpidato secara memukau. Semua orang di dalam ruangan utama Sabuga mendengarkan dengan seksama dan memberikan tepukan berkali-kali.

Memulai pidatonya, Boediono membaca basmallah. Fasih! Setelah itu, Boediono mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Fasih! Saat berpidato, Boediono juga mengucap Allah SWT beberapa kali.

Kalimat-kalimat yang diucapkan pria bergelar profesor doktor ini seakan menegaskan isu yang berkembang bahwa Boediono adalah seorang muslim, tapi abangan. Sebelumnya, dalam pidatonya, SBY juga menegaskan bahwa Boediono adalah muslim yang lurus.

Tutur kata Boediono dalam pidatonya itu juga terlihat teratur dengan bahasa yang sangat mudah dipahami. Dia merendah, tapi memperlihatkan tekad yang kuat untuk menjadi wakil presiden 2009-2014.

"Sejak merintis karir sebagai seorang ekonom dan guru, saya tidak pernah bercita-cita memegang jabatan puncak di republik yang kita cintai ini," kata Boediono.

Dengan kalimat-kalimat sederhana, Boediono juga menyinggung banyak hal dengan santun. Dia membantah sebagai penganut neoliberalisme, meski tidak dengan kalimat yang langsung. "Butuh peran negara, tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke pasar bebas. Selalu diperlukan intervensi dengan aturan main yang jelas dan adil, untuk itu perlu lembaga pelaksana yang efektif. Itu yang harus dilakukan negara," kata Boediono.

Boediono yang berpeci hitam itu juga memuji SBY dalam memimpin Indonesia lima tahun terakhir. Dia siap bekerja sama dengan SBY, dengan modal tiga tahun menjadi menteri perekonomian SBY. Dia juga memuji SBY yang membuat Indonesia memiliki kebebasan berpendapat dan tidak menolerir pelanggaran HAM.

Di depan ribuan orang itu, Boediono juga memperlihatkan kepada publik bahwa dia piawai dalam berpidato. Dia seakan membantah kesan selama ini bahwa dia kurang bisa berorasi. Tepuk tangan berkali-kali saat pria kelahiran Blitar 66 tahun lalu itu berpidato makin memperlihatkan bahwa Boediono juga bisa menyihir banyak orang.

Di forum yang dihadiri pimpinan parpol dan tokoh-tokoh penting Jawa Barat, seperti mantan Gubernur Jabar Solichin GP, Boediono juga memperlihatkan tentang pentingnya keluarga. "Saya sangat berterima kasih kepada istri saya yang telah memberikan persetujuan atas tugas saya yang baru ini," ujar dia.

Boediono juga menutup pidatonya dengan kalimat yang pas. "Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim saya siap bekerja mulai hari ini," tutup dia. Selama berpidato, Boediono juga selalu memperlihatkan senyuman.

Menyebut Presiden SBY
Meski begitu, dalam pidatonya, ada sesuatu ucapan Boediono yang terdengar aneh. Dalam deklarasi capres-cawapres, yang seharusnya bukan acara kenegaraan, dan posisi SBY juga bukan sebagai presiden, tapi sebagai capres, Boediono beberapa kali mengucapkan Presiden SBY.

"Izinkalah saya mengucapkan rasa terima kasih yang dalam kepada Bapak Presiden SBY yang telah menunjuk saya untuk mendampingi beliau dalam Pemilu Presiden Juli nanti. Penunjukan diri saya sebagai cawapres merupakan suatu kehormatan yang amat besar bagi saya dan keluarga," kata Boediono

Acara deklarasi SBY-Boediono ini dihadiri kalangan pemerintah dan pengusaha. Pengusaha papan atas tampak terlihat. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan istri juga hadir.

Anwar Khumaini, detikPemilu

Friday, May 15, 2009

Antara Boediono dan Budi Anduk


Dr. Boediono (lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943; umur 66 tahun) adalah Gubernur Bank Indonesia sekarang ini. Sebelumnya Boediono menjabat Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu. Boediono juga pernah menjabat Menteri Keuangan Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong (2001–2004). Sebelumnya pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono adalah Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Saat ini ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Boediono beristrikan Herawati dan memiliki dua anak, Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan.

Pendidikan
Ia memperoleh gelar Bachelor of Economics (Hons.) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Kemudian pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania.

Karir di pemerintahan
Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional. Oleh BusinessWeek, ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam kabinet tersebut.Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang yang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Menurut laporan, Boediono sebenarnya telah diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk bertahan, namun ia memilih untuk beristirahat dan kembali mengajar.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Indikasi Boediono akan menggantikan Aburizal Bakrie direspon positif oleh pasar sejak hari sebelumnya dengan menguatnya IHSG serta mata uang rupiah.

Pada tanggal 9 April 2008, DPR mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah.

Boediono diisukan menjadi calon wakil presiden 2009-2014 mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah namanya muncul sebagai calon wakil presiden, berbagai suara pro dan kontra muncul. Para pengkritiknya terutama mengaitkannya dengan berbagai kebijakannya yang dinilai pro-neoliberalisme.

Kwik Kian Gie pernah menilai bahwa Boediono bertanggung jawab terhadap berjalannya program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) usulan IMF, yang pengembaliannya bermasalah. Isu penentangan lain yang dimunculkan adalah bahwa ia tidak mewakili tokoh partai, ia bukan representasi tokoh Islam, dan ia adalah orang Jawa, sama dengan SBY.

Karya
Mubyarto, Boediono, Ace Partadiredja. 1981. Ekonomi Pancasila. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 2001. Indonesia Menghadapi Ekonomi Global. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 1986. Strategi Industrialisasi: Adakah Titik Temu ? Prisma Tahun XV, No.1.

http://id.wikipedia.org/wiki/Boediono


Budi Anduk, Berkah dari Menderita

Awalnya Budi Anduk tertarik terjun ke dunia hiburan lantaran ingin menjadi pencipta lagu. Pada 1996, Budi, yang mahir bermain gitar, diajak bergabung dengan acara komedi situasi Ngelaba, yang dimotori grup lawak Patrio. "Kenapa saya mau ikut, karena saya ingin ketemu penyanyi-penyanyi terkenal," katanya.

Tapi, setelah bergabung, cita-citanya ingin mengembangkan talenta bermain musik buyar. Budi malah asyik dengan dunia barunya: komedi. "Saya ini jadi komedian karena 'dijorokin'," ujar Budi, yang kini terkenal lewat serial Tawa Sutra XL, yang ditayangkan stasiun ANTV.

Selepas Ngelaba, Budi makin mantap dengan dunia komedi yang digelutinya. Ia sempat ikut terlibat dalam beberapa serial komedi situasi, mulai jadi pemain hingga penulis naskah.

Lama-kelamaan, Budi pun menemukan ciri khasnya di dunia humor: seni mencela diri sendiri. Ia menyebutnya sebagai gaya mengebom diri sendiri. Seperti ketika Tempo hendak mewawancarainya, seorang rekannya berseloroh, "Bud, bedakan dulu sono." Dengan santai ia menjawab, "Halah, bedak nggak dibedakin nggak jauh bedanya."

Menurut Budi, tiap orang punya jalan yang bisa dikembangkan sendiri. "Wajar saja dalam dunia komedi ada pihak yang menyerang, ada yang defensif," katanya. "Nah, saya tipe orang yang gemar mengebom diri sendiri," katanya. Misalnya saat ada yang mengatakan dirinya bertampang seperti setan, "Saya bilang, saya bukan setan, tapi genderuwo, he-he-he...."

Soal nama belakangnya, Anduk, tutur Budi, dia punya kisahnya sendiri. Nama Anduk adalah julukan yang diberikan teman-temannya karena kegemarannya berkalung handuk ke mana pun ia pergi. "Habis saya gampang keringatan," dia menerangkan.


Meski seorang komedian, dalam keseharian Budi bukan tipe yang gemar melempar guyonan di setiap kesempatan. Malah ia mengaku cenderung tak suka orang yang gemar bercanda secara berlebihan. "Tapi kalau dibayar gila, ya, gila dah. Ini pekerjaan saya," katanya serius.

Dalam melempar humor, pria berdarah Jawa ini merasa lebih akrab dengan ungkapan-ungkapan Betawi sebagaimana ia dibesarkan. "Mungkin karena Betawi lebih dekat ke Melayu hingga lebih mudah diterima orang, ya."

Yang jelas, Budi berharap suatu saat namanya bisa dikenang orang karena ciri khas yang membedakannya dengan komedian lain, seperti halnya Djodjon atau Bolot. "Mereka dikenang bukan hanya karena antik secara fisik, kan?" katanya.

Budi tak menampik kenyataan dalam dunia komedi Indonesia yang masih sering main fisik. Ini tak terhindarkan, tapi justru jadi ciri khas komedi Indonesia. "Seperti Warkop DKI atau Mr. Bean yang sampai sekarang masih digemari. Nggak lucu kalau tidak ada slapstiknya," Budi menjelaskan.

Meski bagi sebagian orang slapstik bikin menderita, Budi menggangapnya sebagai harga yang harus dibayar untuk sebuah kelucuan. Sebagai sosok yang selalu jadi obyek penderita dari adegan-adegan slapstik, Budi punya resep sendiri: "Jalani penderitaan dengan ikhlas."


Data Pribadi
Nama: Budi Prihatin; Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 8 Februari; Tinggi/berat: 161 cm/62 kg.

Filmografi
Sinetron Azab Ilahi, Ngelaba, Lesehan, OK OK Boss, Klinik 24 Jam, Capeee' Deeeh, Tawa Sutra, Dangdut.com, Tawa Sutra XL, Tiren, Tulalit.

Utami Widowati, TEMPO Interaktif, 26 Januari 2009


Fenomena Bernama Budi Anduk!

Dunia komedi Indonesia kembali diramaikan oleh pendatang baru. Setelah sekian episode komedi situasi Tawa Sutra di AnTV terlewati, wajahnya kini sudah tak asing lagi di kalangan pemirsa televisi.

Budi Anduk memang memikat, setidaknya bagi para fansnya yang tersebar di berbagai jejaring sosial dunia maya. Terutama Facebook dan Friendster. Mengawali karier sebagai figuran pada sitkom ‘Ngelaba’ tahun 1996, pria kelahiran jakarta 8 Februari 1968 ini meraih sukses besar ketika perannya di Tawa Sutra disambut baik oleh pemirsa.

Perawakan tubuhnya yang gemuk, agak menonjolkan postur pendek, kulit hitam (maaf bukan rasisme) rambut keriting serta banyolannya yang ceplas-ceplos terbukti berhasil menjadi jurus ampuhnya yang laris-manis hingga kini. Tawaran yang datang kini tak hanya berupa peran komedi namun juga merambah ke dunia iklan dan presenter.

BuDuk, Budi Anduk, atau juga sering dipanggil Andre memang fenomenal. Terbukti dari sekian banyak berita tentangnya di internet, selalu ada komentar positif diselingi foto-foto lucunya. Foto-foto hasil edit tersebut mengidentikkan Budi Anduk dengan tokoh-tokoh kondang. Mulai dari Obama, Che Guevara, dan lain-lain.

Saya sendiri mulai memperhatikan BuDuk saat seorang teman yang ‘ngiri’ pada foto BuDuk versi Che Guevara, sampai ingin dieditkan serupa dengannya. Dan ternyata hingga Sekarang saya masih senang menyaksikannya di layar kaca. Meskipun saya tidak terlalu suka penampilannya terkesan ‘terlalu dipaksa produser’ dalam acara terbarunya Untung Ada Budi.

Apapun itu, semoga tetap low profile ya, Om BuDuk!

http://ummaymochil.wordpress.com/


Budi Anduk coooy ....

Wakaka…. sumpah gw ngakak pas pertama kali liat ni foto. Lo pasti tau kan ni siapa? Yups, Budi Anduk (Budi Prihatin), seleb (yaelah seleb coy) yang sekarang mulai terkenal sejak penampilannya di acara komedi Tawa Sutra. Tadinya si Budi masi dapet predikat skuter (selebriti kurang terkenal), tp sekarang jangan salah, ni orang banyak penggemarnya, malahan banyak yg mo bikin Budi Anduk Fans Club, wakaka… kalo dah ada ikutan ah gw.


Menurut gw si Budi Anduk tampangnya lebih orisinil ketimbang tukul, becandanya kocak, kalo ngomong sekenanya tp bikin kita ketawa, walaupun perannya di tipi sering di hina dina. Pokoknya ni orang kocak abis coy, top lah, sampe2 sepupu gw yg masi tk aja nge fans ma Budi Anduk. Ga kebayang kalo ni orang jadi presiden, wakakaka…. rakyatnya bakalan ngakak terus. Btw dulunya susah banget nyari foto ni org, makanya mo posting ga jd2, ni foto paling top yg bs gw cari.


Buat Budi Anduk sukses coy, moga tetep lucu n kocak, n moga cepet dibikin fans club nya, wakaka…. (perasaan gw ngakak mulu, abis lucu ni orang). Cletukan Budi Anduk : halo coy, oke coy, bukan begitu coy, songong lu, mana bisa begetooooo!, gledek lu. Masi ada lg ga yang tau cletukan Budi Anduk? kalo tau bs komen disini, oke coy?


http://aryajenar.wordpress.com/