Tuesday, March 31, 2009

Karnivalesk


SEORANG pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing bergambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Tangerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan sedang cari duit derma; ia, seorang pengamen, sedang berkampanye.

Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada sebuah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar. Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.

Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan dengan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a plane. It is not Superman. It is…well, dia calon wakil rakyat, pembuat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain memperkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai ”papinya si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beckham, pemain bola tersohor itu….

Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum 2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.

Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya.

Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jorjoran di sepanjang jalan -dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekat, atau yang rapor masa lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?

Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasaannya yang malas dan serampangan….

Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan ”tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, ”golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti.

Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain -misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?

Tapi ”ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermiliar-miliar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekadar masuk hitungan dalam daftar yang umurnya tak lebih dari tiga bulan.

Tapi kata ”ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin ”lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri.

Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam Pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para ”pemerhati politik” yang prihatin: ini sebuah karnaval, Bung!

Keramaian ”karnivalesk” mengandung sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin produktif. Seperti dikatakan Mikhail Bakhtin, yang carnivalesque ”menangguhkan untuk sementara waktu semua perbedaan hierarkis dan tanggul batas antara manusia”.

Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai komoditas. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemuan yang universal. Ia melawan monolog.

Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang tampaknya berlebihan itu: sebuah ekspresi menertawakan diri sendiri.

Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu. Lucu yang sehat, lucu yang mencemooh wajah (juga wajahku) yang sok-penting.

Goenawan Mohamad

Monday, March 30, 2009

G-20 Meltdown April 1st 2009


Come to London’s biggest ever street party!

On Financial Fools Day, The City of London will form the backdrop forthe biggest mobilisation of the people since more than a million marched against the illegal invasion and occupation of Iraq.

Thousands and tens of thousands are expected to take to the streets to coincide with the G20 summit of world leaders who are flying into London. The same bastards who got us into this mess are trying to pull the biggest April Fools trick in history – to pretend that the globaleconomic meltdown can be fixed and they are the ones best qualified to do the fixing. To get away with this effrontery, these bankers will do all they can to mask themselves with the charisma of Barack Obama, due to arrive here that morning. We’re not fooled.

We have global economic and environmental meltdown. We have home repossessions and unemployment spiraling out of control. We have unjust wars. And for what? Presidents and premiers are plotting to shore up the tottering capitalist system to ensure business as usual and wealth creation for the few, at the expense of the many.

That’s why a lot of angry people, hardworking taxpayers, activists, pensioners, the unemployed, people who’ve lost their homes and savings, small business and shop workers, and all manner of victims of the economic collapse are joining forces in new and powerful coalitions to express their rage. On Financial Fool’s Day, we will take our protest to the belly of the beast: the Bank of England in London’s financial square mile.

April Fools Day is hereby declared a public holiday!

On 1st April at 11 a.m. parades will join up at four railway stations around the edge of the square mile – Liverpool St, London Bridge, Cannon St and Moorgate – and snake their way though the City to converge at the Bank of England for 12 noon. Each procession will be headed by one of the Four Horsefolk of the Apocalypse, commanding their forces against
1) Climate chaos (Green horse, Liverpool St),
2) War (Red horse, Moorgate),
3) Job/savings/pensions losses (Silver horse, London Bridge) and
4) Home repossessions (Black horse, Cannon Street).

G20 Meltdown calls for as many people as possible to join us for Banquet at the Bank, bring food, fun and games to share – a very rare delicacy will be served, bankers brains! If you want to Eat the Bankers join the Silver horse in a zombie block!

The Trial of Capitalism, for crimes against the planet – send’em to the gallows, politicians, war criminals and bankers hanging from every lamppost! If you want to press the charges for war crimes join the Red horse!

The Rainforest arrives in the City, Giant anacondas up the pillars, macaws shitting on the statues, polar bears on melting icebergs. Join the Green horse in animal mask or bring greenery for gorilla invasion of the urban jungle!

The World Turns Full Circle, The 360th anniversary of the Diggers, English Revolutionaries for the Earth, a ‘Common Treasury for All’. Join the Black horse with diggers’ spades to celebrate!

Can we overthrow this corrupt and despised government? Yes, we can!
Can we live sustainably and avert climate chaos? Yes, we can!
Can we defy the database police state and restore our ancient freedoms? Yes, we can!
Can we make capitalism history? Yes, we can!

Source: http://www.g-20meltdown.org

Berakhirnya Ekonomi (The End Of Economics)


Salah satu instrumen yang digunakan dalam sistem perdagangan internasional adalah menggunakan instrumen mata uang dollar AS. Setelah krisis ekonomi global terjadi usai Perang Dunia II, melalui pertemuan Bretton Woods dirancanglah sebuah sistem mata uang dollar sebagai mata uang utama dalam perdagangan dunia, sekaligus menjadikan World Bank, International Monetary Fund (IMF) sebagai pengendali sistem keuangan internasional.

Namun perjanjian Bretton Woods pada tahun 1973 kemudian dihapuskan ketika Amerika Serikat secara unilateral memutuskan bahwa Dollar Amerika tidak perlu lagi didukung oleh emas. Sejak itulah Dollar Amerika tidak bedanya dengan lembaran kertas saja.

Dengan mata uang dollar AS, Amerika Serikat memegang kekuasaan luar biasa yang sangat tidak proporsional. Dengan kertas yang disebut Dollar AS, mereka bisa membeli berbagai komoditi seperti minyak, gas, aluminium, emas, dll. dari negara-negara lain di dunia. Jika mereka perlu lebih banyak komoditi, mereka tinggal mencetak saja lagi. Jadi sistem semacam ini amatlah tidak adil dan tak bermoral.

Hal ini telah mengeksploitasi model perdagangan dengan sistem pembagian kerja internasional. Surplus ekonomi bagi sekutu-sekutu Amerika terus terjadi, yang berdampak pada ketidakseimbangan perdagangan global. Negara-negara miskin tidak mampu melakukan ekspor tanpa didukung impor sehingga negara-negara miskin mengalami ”a vicious circle of import”.

Akibatnya negara-negara miskin memiliki tingkat ketergantungan yang begitu kuat terhadap negara-negara maju. Sistem keuangan internasional yang dirancang pasca Perang Dunia II dalam Bretton Woods telah melahirkan ketidakadilan neraca keuangan global. Defisit terus menimpa negara-negara miskin dan surplus keuangan terus ditarik ke negara-negara maju.

Dunia kini dibanjiri terlalu banyak dollar. Dalam pasar-pasar uang saja terdapat gelembung dollar AS yang berjumlah 80 triliun dollar AS pertahun. Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia yang jumlahnya sekitar 4 triliun dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan sebanyak 20 kali lipat dari kenyataan yang ada.

Gelembung ini tentu akan terus membesar dan membesar. Anda tidak perlu terlalu bijak untuk memahami bahwa gelembung itu suatu saat akan meledak dan pecah, dan terjadilah keruntuhan ekonomi global yang niscaya lebih buruk daripada depresi ekonomi tahun 1929.

Sebagai perbandingan yang kontras, emas adalah logam yang berharga. Nilainya tidak bergantung pada negara mana pun, bahkan tidak bergantung pada sistem ekonomi mana pun. Nilainya adalah intrinsik dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, emas adalah mata uang yang dapat menjamin kestabilan ekonomi dunia.

Sistem keuangan global sudah berkembang melebihi batas. Dengan perdagangan ”kertas berharga yang turunan sekunder” (secondary derivatives papers), sistem keuangan dunia menjadi tidak ”favorable” kepada sektor riil karena ”money makes money” lebh tinggi hasilnya.

Maka, kalau anda punya uang niscaya anda akan lebih tertarik untuk memainkannya di bisnis keuangan ketimbang membangun bisnis di sektor riil. Padahal sejatinya, perdagangan kertas berharga tersebut adalah barang maya, hanya ilusi, tidak nyata, karena tidak terkait dengan bisnis riil. Ini yang menyebabkan terjadinya gelembung ekonomi dunia.

Apa akibatnya? Sektor riil lambat bergerak, kecuali di China yang menganut paham berbeda, tidak berdasar ”supply and demand”. China tetap memproduksi walau tidak ada permintaan. Alasanya adalah stabilitas keamanan sehingga tidak ada penduduk China yang menganggur, semua bekerja, memproduksi apa saja, mulai dari peniti sampai komponen pesawat terbang. Manajemen 1 miliar penduduk yang ternyata membawa China kepada kekuatan ketiga di era kini.

Sejarahnya, emas dan perak adalah mata uang dunia paling stabil yang pernah dikenal. Sejak masa awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang Islam dwilogam itu secara mengejutkan tetap stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumsi. Misalnya seekor ayam pada zaman Nabi Muhammad saw. harganya satu dirham, hari ini -1400 tahun kemudian- pun harganya kurang lebih masih satu dirham. Dengan demikian, selama 1400 tahun, inflasi adalah nol persen.

Dalam jangka panjang, mata uang dwilogam telah terbukti menjadi mata uang dunia paling stabil yang pernah dikenal. Mata uang tersebut telah dapat bertahan, meskipun terdapat berbagai upaya untuk mentransformasi dinar dan dirham menjadi mata uang simbolik dengan cara menetapkan suatu nilai nominal yang berbeda dengan beratnya.

Kita harus kembali kepada sistem perekonomian berbasis komoditi riil, dimana dinar dan dirham hanyalah salah satu komponen penting. Ada “5 pilar sistem ekonomi berbasis emas” yang akan menjadi solusi masa depan dunia yang tidak terelakkan. Pertama, “Money (Freely Chosen)” yaitu mata uang harusnya bebas ditentukan oleh masyarakt penggunanya. Kedua, “Open Markets Infrastructure” yaitu infrastuktur pasar terbuka dimana setiap orang mempunyai hak, seperti mesjid. Ketiga, “CaravansOpen Distribution and Logistic Infrastructure” yaitu jaringan logistik dan distribusi yang terbuka bagi siapa saja. Keempat adalah “GuildsOpen Production Infrastructure” yaitu sentra-sentra produksi kerakyatan harusnya mendapat perhatian dari pemerintah untuk menjadi tempat yang layak untuk berproduksi sebagaimana standard global yang berlaku. Kelima adalah “Just Contractual Legal Frameworks (Syirkah dan Qirad). Kelima infrastruktur tersebut haruslah dimiliki oleh publik.

Teknologi informasi merupakan sarana yang dapat mengkudeta fungsi perbankan atau istilahnya ”coup de banque”. Anda bisa bayangkan, sebenarnya fungsi perbankan itu amat sederhana, hanya mengadministrasi pencatatan plus dan minus saja dengan sedikit variasi perhitungan, namun mengapa akhirnya justeru menjadi raja yang mengatur dan menentukan sektor-sektor lain. Pasti ada yang salah kan?

Jaman Nabi dulu, para pedagang lah yang berada di gedung mewah, sementara rentenir itu yang berada di jalanan. Sekarang yang kita lihat terbalik. Para bankir duduk-duduk di gedung mewah, sementara para pedagang kaki lima berceceran di sepanjang jalan, malah kena gusur tramtib-tibum segala.

Maka, jangan salahkan orang lain kalau Indonesia masih miskin, karena sampai kini memang belum mau mengikuti ajaran-Nya. Terutama dalam bidang muamalah ekonomi seperti yang pernah dicontohkan Nabi 1400 tahun yang lalu. Padahal Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia yang penduduknya percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Liem Siok Lan alias Justiani, Alumni Teknik Informatika ITB Angkatan 1981

Sinyal dari Sektor Properti


Kinerja sektor properti melemah. Permintaan kredit perumahan melamban, sementara kredit bermasalah cenderung meningkat.

Berita (Kompas, 23/3) tersebut kita percaya karena diungkapkan Direktur Utama Bank Tabungan Negara Iqbal Latanro. Apalagi, bank pelat merah itu dominan menguasai pasar kredit perumahan nasional.

Hal itu juga kita terima sebagai pesan atau sinyal dari sektor properti sebagai konfirmasi kondisi yang selama ini mencemaskan kita, yakni semakin memburuknya perekonomian nasional. Daya beli masyarakat semakin menurun, terkait dengan semakin banyaknya pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau kontrak.

Kalaupun masih ada sisa daya beli, kemungkinan konsumen juga menahan diri untuk belanja. Mereka tentu mengutamakan daya tahan kebutuhan harian yang tidak bisa ditunda ketimbang misalnya membeli rumah, meskipun rumah juga kebutuhan primer.

Akan tetapi, hal yang dikhawatirkan dan patut diwaspadai adalah memburuknya kemampuan pekerja kelas menengah ke bawah untuk tetap memenuhi kewajiban cicilan rumahnya.

Pengalaman krisis finansial 1998 menunjukkan banyak pekerja kelas menengah ke bawah yang baru mulai mencicil rumah terpaksa kehilangan rumah satu-satunya karena melemahnya kemampuan bayar akibat PHK. Saat bersamaan, suku bunga juga memang melonjak. Mereka gagal bayar, dan rumah pun disita bank.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi juga mengutarakan kecemasannya melihat kondisi dunia usaha yang semakin merosot di berbagai sektor lainnya. Kondisi itu tentu memengaruhi kemampuan perusahaan untuk terus mempertahankan pekerja.

Sektor pertekstilan, misalnya, kini memasuki era banting-bantingan harga, jual rugi produk, untuk melawan produk Vietnam yang lebih murah. Banyak di antara perusahaan yang sudah tidak bisa membayar pokok utang meskipun masih berupaya keras untuk memenuhi kewajiban cicilan bunga kreditnya.

Bukan bermaksud mendramatisasi suasana dan kondisi dunia usaha itu. Persoalan ini diungkapkan, diketengahkan, supaya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pemburukan kondisi ekonomi domestik bergerak terasa relatif lebih cepat. Koreksi asumsi makro perekonomian kian tertekan ke bawah. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 4 persen tahun ini. Lapangan kerja kian sempit.

Pada sisi lain, upaya penanggulangan persoalan krisis terasa sangat lamban. Penyerapan anggaran negara saja masih minim, apalagi stimulus yang dijanjikan belum juga kunjung terealisasi.

Oleh karena itu, dalam hiruk-pikuk kampanye partai politik —yang efektivitasnya juga digugat melalui forum ini kemarin— kita dan seperti juga pengusaha kembali bertanya, siapa lagi yang peduli soal pemburukan ekonomi ini? Pemerintah mesti punya sense of crisis.

Tajuk Rencana KOMPAS, 24 Maret 2009

Sunday, March 29, 2009

About The Bible and The Land


"When the missionaries came to Africa they had the Bible and we had the land. They said, ‘Let us pray.’ We closed our eyes. When we opened them we had the Bible and they had the land."

"I would hope they would begin to say, 'lets to do something about subsidies'. You ask the so-called-developing world, 'Why can't you people produce more?' - and they produce - and then they find that the markets have barriers that are put down or are clobbered twice over."

Desmond Mpilo Tutu, South African cleric and activist

Saturday, March 28, 2009

Tanggul Itu Pun Jebol ....


Putut, menahan sedih yang mendalam. dia kehilangan anak semata wayangnya, Zahra yang baru berusia 6 bulan serta istri dan pembantunya.

Tak ada yang menyangka tanggul Situ Gintung akan jebol, memunculkan luapan air bah amat dahsyat seperti tsunami. Namun, itulah yang terjadi. Bencana pada Jumat (27/3) dini hari menjelang subuh itu terjadi amat sangat cepat. Hanya dalam tempo 10 menit, tetapi melumat ratusan rumah beserta isinya dan menewaskan sedikitnya 100 orang warga. Menyisakan duka mendalam bagi para keluarga korban bencana itu.

Masih segar dalam ingatan Chandra (42), warga RT 01 RW 08 Kampung Gintung, Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan.

Bunyi krek-krek-krek membangunkan tidurnya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00. Setelah membangunkan istrinya, Karti (40), empat anak, menantu, dan satu cucu, dengan mata masih terkantuk ia berlari menuju bukit sekitar tanggul Situ Gintung.

”Saya sengaja berdiri di atas jembatan. Di bawah jembatan ada tanggul jembatan,” ujar Chandra yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi.

Setelah memastikan bunyi itu berasal dari sekitar tanggul, beberapa menit kemudian ia berlari membangunkan warga sekitar bukit itu. ”Bangun, bangun, tanggul mau jebol...,” ujar Chandra yang tinggal di tempat itu sejak tahun 1986.

Selanjutnya, ia menuju rumahnya untuk menyuruh semua keluarganya lari mengungsi ke bagian atas rumah. Ia juga berlarian ke seberang kali melalui jalan raya Ciputat-Cirendeu, membangunkan beberapa warga yang dikenalnya, termasuk pemilik galeri barang antik, Maimun.

”Saya bilang kepada suami-istri yang tinggal di warung dekat galeri untuk segera mengungsi. Mungkin karena tidak percaya, suami-istri itu sempat hanyut ketika tanggul jebol. Suaminya selamat, tetapi istrinya yang sedang mengandung belum ditemukan,” ujar Chandra.

Setelah azan subuh, cerita Chandra, tanah mulai longsor. Jembatan ambruk dan tanggul dari beton ikut hancur. ”Tanggul jebol,” paparnya.

Chandra termasuk beruntung karena menyimak tanda-tanda bencana sehingga bisa menyelamatkan keluarga dan tetangganya. Namun, banyak korban warga RT 03 dan 04 di RW 08 sama sekali tak siap dan akhirnya hanyut terbawa air bah.

Haji Dahroni, warga RT 04 RW 08, mengakui, banyak korban tewas berasal dari RT-nya yang berpenduduk 300 warga. ”Korban meninggal terutama perempuan dan anak-anak. Ini karena begitu air datang, kami semua kaget. Sebagian tak sempat menyelamatkan diri,” kata Dahroni yang hanya membawa baju di badan.

Bencana di pagi buta, kata para korban, amat luar biasa. ”Air tiba-tiba datang amat kencang dan setinggi lebih dari 8 meter. Keponakan saya, Fahruz, langsung membawa Bambang, ayahnya, ngungsi. Ia lalu kembali mengambil keponakannya, Adinda Nur Syifa, tetapi keduanya tak mampu menyelamatkan diri,” kata Hajjah Lala, bibi Fahruz yang sedang menunggui jasad Adinda dan Fahruz di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan.

Sekitar dua jam setelah kejadian, tim SAR berhasil mengevakuasi jasad Fahruz yang sedang menggendong Adinda di dalam rumah penuh air.

Derai air mata sepanjang pagi hingga sore kemarin tumpah di gedung STIE Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, tempat lebih dari 50 jenazah disemayamkan. Di sisi luar garis batas persemayaman jenazah, ratusan warga yang kehilangan anggota keluarga kebingungan mencari informasi keberadaan keluarganya. Ny Sri bersama dua saudaranya lari ke tempat jenazah saat ada jasad baru datang.

”Benar dia Puji?” tanyanya kepada dua saudaranya. Saat dijawab bukan, rombongan kecil itu pindah lagi ke posko PMI untuk melapor. Menurut Sri, Puji yang sedang hamil delapan bulan terbawa arus.

Di antara kesedihan, ada yang bersyukur. Nanang (26) bersama istrinya, Sri Utami (22), dan anak mereka, Alfa (6 bulan), akhirnya selamat setelah bertahan dari terpaan air setinggi 6 meter. Sri Utami dan Nanang yang menggendong Alfa berdiri di atas tembok berpegangan pada sebatang besi cor di dekat rumah kontrakan mereka selama dua jam.

Saat banjir mulai surut, Nanang menurunkan istri dan anaknya yang kedinginan dan mulai kaku. ”Alhamdullilah, mereka selamat walau harta habis,” kata lelaki muda itu.

Seto Mulyadi atau Kak Seto juga termasuk beruntung walau mengaku sangat terkejut dan matanya sempat berkaca-kaca. Apalagi saat kejadian ia berada di Payakumbuh, Sumatera Barat. ”Anak-anak menelepon pagi-pagi buta. Mereka panik dan menangis. Saya ikut bingung, tetapi saya tidak bisa langsung pulang karena harus hadir di seminar,” kata Kak Seto.

Psikolog ini bersyukur keempat anaknya selamat walau rumah porak-poranda. Surat-surat penting dan data di komputer rusak. Selain itu, mobil Toyota Avanza-nya juga nyangkut di ayunan di taman.


Tragedi Situ Gintung

"Tsunami” lokal akibat jebolnya tanggul Situ Gintung menyentak kita semua. Tragedi di pinggir Ibu Kota itu menyita perhatian di tengah hiruk-pikuk kampanye.

Sebanyak 65 orang dilaporkan ditemukan tewas. Adapun sebanyak 98 orang lainnya dilaporkan hilang dan masih dalam pencarian Tim SAR. Ratusan rumah hancur. Kerugian harta benda belum terhitung jumlahnya.

Sejumlah warga di lokasi bencana menuturkan, datangnya air bah di pagi buta itu sungguh mengejutkan mereka dan membuat mereka tak bisa menyelamatkan diri. Siaran media televisi mengingatkan kita akan terjadinya tsunami di Aceh tahun 2004.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri datang ke Situ Gintung memastikan penanganan korban bencana itu. Setelah itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke lokasi. Presiden memastikan sistem penanggulangan bencana berjalan. Pemerintah pun berjanji akan membantu korban. Bendera partai berkibar. Posko partai didirikan. Sejumlah aktivis partai membagikan kaus partai mereka seraya memberikan bantuan.

Kita mengapresiasi langkah sigap pemimpin bersimpati kepada korban. Komitmen dan kepedulian sosial seharusnya terus ditumbuhkembangan kapan dan di mana saja, terlebih di tengah situasi krisis seperti sekarang ini.

Kita terkejut karena musibah terjadi di kawasan Situ Gintung yang dikenal sebagai danau alam, sebuah tempat wisata di kawasan Tangerang, Banten. Ada usaha restoran di sana, ada pula kawasan yang digunakan sebagai wisata berbasis alam dan air. Situ itu dibangun tahun 1933.

Namun, tetap menjadi pertanyaan, mengapa tanggul itu bisa jebol memuntahkan air yang volumenya mencapai 2 juta meter kubik? Apakah jebolnya tanggul itu betul-betul tiba-tiba dan tidak pernah terantisipasi sebelumnya?

Berdasarkan laporan Mitigasi Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ditemukan adanya rekahan di tanggul sejak November 2008. Upaya revitalisasi dilakukan, tetapi belum tuntas. Penurapan tanggul belum sempat dilaksanakan, sampai akhirnya tanggul itu jebol.

Situ Gintung merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan. Sejalan dengan perkembangan permukiman di Jabodetabek, terjadi perubahan daerah tangkapan yang semula dapat menyerap air hujan (infiltrasi) menjadi aliran permukaan (excess run-off) yang membebani daya tampung sungai. Perubahan itu ikut memengaruhi debit aliran sungai yang semula kecil menjadi makin besar sehingga terjadi luapan yang akhirnya membuat tanggul jebol. Itu problem perilaku manusia!

Apa yang terjadi di Situ Gintung mengingatkan kita akan model pembangunan yang kurang memperhitungkan daya dukung lingkungan. Kita juga diingatkan bahwa tugas pemeliharaan merupakan satu hal penting, tetapi itu justru yang sering terlupakan! Yang perlu menjadi perhatian adalah masih ada situ yang statusnya kritis seperti Situ Gintung. Itu menuntut penanganan cepat!

KOMPAS, 28 Maret 2009

Friday, March 27, 2009

Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan


Tiba-tiba menjadi sorotan publik. Atau, sebagian publik di tanah air ini digiring untuk menatap. Itulah bidikan media massa terhadap kader PKS, Rama Pratama (RP), yang kini masih duduk di Senayan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Arah nadanya -meski bersifat informatif- mendestruksikan citra. Adakah media punya agenda menjatuhkannya, baik secara pribadi atau institusi (Partai Keadilan Sejahtera)?

Terlalu vulgar dan -boleh jadi berlebihan- jika kita menuding adanya ''main mata" (konspirasi) antara media dan kalangan politisi yang berpretensi menjatuhkan lawan politiknya (RP), setidaknya institusi partainya (PKS). Tapi, satu hal yang tak bisa diabaikan, media tampaknya melihat daya magnet RP karena institusi partainya (PKS) yang selama ini dikumandangkan bersih.

Setidaknya, karakter ''bersih" itulah yang sering ''dijual" ke tengah publik dalam menghadapi Pemilu 2009 ini. Sementara itu, kasus yang menimpa Abdul Hadi Jamal dari FPAN itu menyebut-nyebut RP ikut terlibat. Setidaknya, dalam konteks kenaikan anggaran dari Rp 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun untuk proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. Paradoksalitas itulah yang tampaknya menggring media menilai sangat menarik atas kemungkinan keterlibatan RP.

Yang perlu kita ulas lebih jauh adalah, partai mana pun kini merasa terpanggil untuk menjaga citra bersihnya. Refleksinya, pimpinan partai merasa perlu mengambil tindakan tegas (memecat) para kadernya yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang dengan tujuan memperkaya diri.

Seperti kita saksikan, ketua umum PAN demikian responsif dan sangat cepat mengambil tindakan (memecat Abdul Hadi Jamal) dari status pengurus DPP, bahkan keanggotaannya. Meski tidak secepat PAN, DPP PPP pun mengambil tindakan tegas (memecat kepengurusan dan keanggotaan Al-Amin Nasution) sejalan dengan proses hukum yang dijalaninya akibat dugaan suap atas proyek pengalihan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Menyalahi
Dalam perspektif hukum, tindakan indisipliner DPP PAN dan PPP terhadap kadernya itu jelas menyalahi prosedur hukum. Posisi hukumnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan asas praduga tak bersalah, seharusnya para petinggi partai menghormati hak-hak hukum para kadernya. Bagaimanapun, mereka pernah ''berjasa" terhadap keberadaan partainya.

Namun, kita dapat memahami mengapa petinggi partai menindaknya. Secara politik, pembiaran partai terhadap kadernya yang dinilai bermasalah secara hukum akan berdampak destruktif terhadap citra partai. Dan hal ini cukup membahayakan bagi perolehan suara, baik pemilu legislatif ataupun tahap berikutnya: pilpres.

Untuk kepentingan citra positif partai itulah, para petinggi partai merasa terpanggil untuk menindak meski harus menelan korban tanpa mempertimbangkan kontribusi sang kader selama ini terhadap partainya.

Kiranya, publik sepakat dan sangat menghargai jika tindakan petinggi partai tersebut merupakan komitmen kuat antikorupsi. Persoalannya, mengapa tindakan tegas itu baru dilakukan menjelang pemilu, padahal indikasi tindakan koruptif sudah ada jauh sebelum Pemilu 2009 ini? Variabel ini menggiring publik menilai bahwa partai sejatinya tidak begitu committed terhadap cita-cita pemberantasan korupsi. Proporsi sifat reaktif menggambarkan tiadanya rencana dan kristalisasi sikap antikorupsi. Ada dusta -setidaknya ketidakseriusan- di sana yang kian terbaca jelas.

Di sisi lain, publik pun dapat bertanya lebih jauh, ada misi apakah di balik tindakan KPK menjelang pemilu ini? Pertanyaan kian menguat, mengapa partai-partai besar seperti PDIP, PD, bahkan PG relatif tak terjamaah KPK menjelang pemilu ini? Tindakan yang ada terkategori ''masa lalu", sebagaimana yang kita saksikan pada kasus BLBI yang menyeret beberapa kader dari PG, minus PD dan PDIP.

Sulit disangkal indikasi diskriminasi itu. Namun, hal ini pun dapat dipahami. Fakta politik menunjukkan, proses kehadiran KPK dan para personel intinya tak lepas dari dukungan politis beberapa partai besar yang eksis di Senayan.

Karena itu, publik yang cerdas tentu memahami sikap politik-hukum KPK yang relatif ''tebang pilih". Tapi, inilah ironi penegakan hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi, bukan hanya statusnya sebagai negara hukum, tapi spirit reformasi yang dicitakan sebelum menumbangkan Orde Baru.

Namun, tindakan KPK -meski terkandung nuansa diskriminasi dan cukup politis proporsinya- perlu kita acungi jempol sebagai upaya penegakan supremasi hukum. Harapan kita, tindakan hukum itu membuahkan sikap para kader dari partai mana pun, yang telah dan belum masuk lembaga dewan, untuk menjauhi praktik penyalahgunaan kekuasaan: bersifat langsung (korupsi), atau tak langsung (kolusi).

Sangat diharapkan, gebrakan hukum KPK tersebut membuat para pihak sadar untuk tidak bermain ''api" karena berpotensi ''mempesantrenkan" dirinya di balik jeruji besi.

Harapan publik, proyek ''bersih" (citra positif kader dan partai) tidak hanya sebatas menjelang pemilu. Proporsinya harus menjadi komitmen, sekaligus panggilan nurani dan menjadi sikap serta perilaku politiknya. Kita yakin, kepribadian konstruktif itu akan berimbas positif bagi kepentingan publik yang kini masih merana. Haruslah muncul empati. Inilah potret wakil rakyat atau pejabat publik yang kini ditunggu.

Mudah-mudahan, publik pun cerdas untuk tidak memilih potret para calon legislatif (caleg) dan calon pemimpin nasional yang sudah terindikasi kotor (busuk). Tidak mudah memang mengedukasi publik, apalagi para caleg dan calon-calon pemimpin nasional kini sedang ''obral" untuk mendapatkan suaranya sehingga penghalalan segala cara tidak dipersoalkan.

Obral itu pun menggiring massa bersikap pragmatis. Saling menguatkan untuk sebuah potret politik kotor. Akhirnya, kata ''bersih" dalam panggung politik hanyalah slogan. Semoga slogan ini dibumikan: menjadi perilaku politik di ruang mana pun dan bagi siapa pun.

A.M. Saefuddin, cendekiawan muslim
Jawa Pos, 25 Maret 2009

Wednesday, March 25, 2009

Who Are We Fighting For?


3. It must be noted that men with bad instincts are more in number than the good, and therefore the best results in governing them are attained by violence and terrorisation, and not by academic discussions. Every man aims at power, everyone would like to become a dictator if only he could, and rare indeed are the men who would not be willing to sacrifice the welfare of all for the sake of securing their own welfare.

6. Political freedom is an idea but not a fact. This idea one must know how to apply whenever it appears necessary with this bait of an idea to attract the masses of the people to one's party for the purpose of crushing another who is in authority. This task is rendered easier if the opponent has himself been infected with the idea of freedom, SO-CALLED LIBERALISM, and, for the sake of an idea, is willing to yield some of his power. It is precisely here that the triumph of our theory appears; the slackened reins of government are immediately, by the law of life, caught up and gathered together by a new hand, because the blind might of the nation cannot for one single day exist without guidance, and the new authority merely fits into the place of the old already weakened by liberalism.

Protocols of The Meetings of The Learned Elders of Zion, Protocol I: 3 and 6

Intervensi Politik Ancam KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai kritik tajam. Lembaga ini dinilai berhasil membongkar kasus, namun tak kuasa menuntaskannya. Intervensi politik disebut-sebut sebagai kendala utama bagi KPK untuk menuntaskan sejumlah kasus korupsi.

Benarkah demikian? Sekadar menyebut contoh kasus yang kini masih menjadi sorotan publik, adalah kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) senilai Rp 100 miliar yang mengucur dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke sejumlah anggota DPR dan penegak hukum. Kasus tersebut telah disidangkan di Pengadilan Tipikor, bahkan sebagian telah divonis.

Pertanyaan yang muncul, ketika di pengadilan terbukti ada dana sekitar Rp 31,5 miliar mengucur ke Komisi IX DPR periode 1999-2004, mengapa hanya dua orang anggota DPR (Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu) yang harus menanggung akibat hukum ? Di pengadilan juga terungkap dana tersebut digunakan untuk kepentingan pembahasan RUU BI. Logika hukumnya, pembahasan tersebut tidak mungkin hanya melibatkan dua orang, namun seluruh anggota Komisi IX DPR waktu itu.

Meski KPK mengatakan tak tertutup kemungkinan kasus tersebut akan menyeret anggota Dewan lainnya, namun kita tak terlalu yakin KPK bakal maksimal. Terlebih, masih banyak kasus korupsi besar yang belum diselesaikan. Lantas kita teringat pada kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang divonis bersalah melakukan korupsi karena telah merugikan keuangan negara dalam perkara dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Di persidangan terungkap bahwa dana tersebut mengalir ke mana-mana. Bahkan, si penerima dana telah mengakui terus terang (termasuk Amien Rais sebagai capres 2004). Namun, KPK tak menindaklanjutinya dan merasa ‘cukup’ dengan mengantarkan Rokhmin Dahuri sebagai pesakitan.

Dugaan intervensi politik pun tak terhindarkan. KPK dianggap tebang pilih dalam penegakan hukum. Aroma tebang pilih ini makin dirasakan ketika KPK menghadapi laporan politikus dari PDIP Agus Condro tentang adanya dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Agus Condro secara terang-terangan mengakui menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta pasca terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Ia pun telah menyerahkan sejumlah bukti ke KPK. Bahkan Agus Condro juga menyebut sejumlah nama yang ikut menerima dana serupa.

Pada saat hampir bersamaan, KPK juga menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya aliran 400 cek perjalanan ke Komisi IX DPR periode 1999-2004. Rata-rata tiap cek perjalanan senilai Rp 50 juta. Data tersebut sebenarnya cukup lengkap, termasuk nama siapa saja yang menerima cek perjalanan tersebut. Sayangnya, lagi-lagi KPK tak juga mengumumkan siapa saja anggota DPR penerima cek.

Sejak saat itu (sekitar bulan September 2008), KPK terlihat gigih mengusut kasus Agus Condro. KPK pun menetapkan penanganan kasus tersebut ke tahap penyelidikan. Namun apa hasilnya sekarang ? KPK terkesan jalan di tempat. Sampai saat ini KPK belum juga menetapkan tersangka, dan belum menaikkan penanganan status dari penyelidikan ke penyidikan.

Walau KPK membantah ada intervensi politik dalam penanganan kasus Agus Condro, hemat kita, wajar bila publik tetap mempertanyakan mengapa tak juga menaikkan status tersebut ke tingkat penyidikan ? Adakah hal ini terkait dengan ‘politik balas budi’ KPK terhadap DPR terutama yang duduk di Komisi Hukum -yang notabene dulu menyeleksi calon pimpinan KPK ? Kecurigaan itu akan tetap muncul bila KPK tetap jalan di tempat.

Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2009

Tuesday, March 24, 2009

Bentangkan Optimisme Bangsa


Para pemuda yang berkumpul di Jakarta tanggal 28 Oktober 1928 memiliki kesadaran bersama tentang masa depan. Mereka menyadari transformasi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern mulai terjadi di Nusantara.

Pendidikan sebagai kendaraan menuju kemajuan mulai menyebar di bangsa ini. Para pemuda sadar, mereka masih tersekat kebhinekaan. Tantangan mereka adalah meruntuhkan sekat-sekat pembeda. Kebhinekaan disatukan dalam basis yang lebih luas, basis kebangsaan.

Ada kesadaran baru, suku-suku bangsa di Nusantara ini akan meraih masa depan gemilang jika mereka bisa menemukan rumus sederhana untuk semua. Persatuan dan kebersamaan adalah rumusan itu. Keputusan untuk menggunakan bahasa bersama, yaitu bahasa Indonesia, adalah keputusan jenius. Hingga hari ini, banyak urusan bangsa menjadi sederhana karena bahasa yang diterima seluruh rakyat.

Dunia internasional sering terpukau menyaksikan pluralitas bangsa penghuni sekitar 5.000 pulau yang merentang sepanjang khatulistiwa, yang memiliki 250 lebih bahasa dan dialek, terdiri 1.000 lebih etnis dan subetnis. Sebuah bangsa yang hiperplural, tetapi bisa hidup berdampingan secara —relatif— damai.

Polarisasi, friksi, bahkan konflik antara berbagai komponen bangsa memang tidak absen. Konflik sering terjadi. Meski demikian, seburuk-buruknya konflik di Indonesia, pada saat harus duduk semeja berdialog dan merundingkan kepentingannya, mereka berkomunikasi tanpa penerjemah, duduk menyelesaikan konflik dengan menggunakan bahasa bersama, bahasa Indonesia. Sebuah bukti kesadaran sebangsa yang luar biasa, sebuah bukti kejeniusan para pemuda di tahun 1928.

Di berbagai belahan dunia lain situasi ini absen. Bahkan, di negara-negara maju dan modern yang mengalami proses federalisasi atau unifikasi, salah satu problem utama yang sulit diselesaikan adalah kesepakatan rakyat (bukan kesepakatan formal negara) atas sebuah bahasa bersama.

Kesadaran perlunya instrumen pemersatu kebhinekaan adalah fondasi terwujudnya satu negara. Kemampuan membaca perubahan zaman itu diterjemahkan dengan besarnya optimisme anak-anak muda tentang masa depan bangsanya. Diperlukan 17 tahun, sejak deklarasi sebangsa 28 Oktober 1928 hingga deklarasi Republik Indonesia. Selama 17 tahun itu, usaha meraih kemerdekaan dipertahankan dengan optimisme kolektif. Optimisme bahwa kemerdekaan akan tercapai dan menjadi jembatan emas menuju Indonesia yang adil dan makmur.

Optimisme bangsa
Saat meraih kemerdekaan, mereka dihadapkan kenyataan menyesakkan, kemelaratan merata dan keterbelakangan di segala sektor. Negara tidak punya anggaran. Infrastruktur ekonomi runyam. Melihat potret bangsa dan negara yang parah itu, persyaratan untuk pesimistis menjadi lengkap dan sah. Namun, anak-anak muda dan pendiri republik justru optimistis, bangsa ini bisa meraih janji kemerdekaannya, menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera. Optimisme itu digelorakan dan dibentangkan sehingga menular menjadi optimisme kolektif bangsa. Rakyat seluruh negeri —meski melarat dan tak terdidik— ikut optimistis atas masa depan, sebagaimana optimisme para pemimpinnya.

Kini, 80 tahun setelah deklarasi Sumpah Pemuda, ada keprihatinan atas melorotnya optimisme kolektif bangsa. Belakangan ini diskusi tentang Indonesia sering diwarnai perasaan suram. Dalam berbagai forum, di hotel berbintang hingga obrolan di warung kopi, diwarnai keluh kesah.

Gelembung semangat yang dulu dikagumi di Asia bahkan dunia, kini seolah kempes. Bangsa ini sedang dilibas pesimisme kolektif. Bahasa bersama adalah bahasa pesimistis. Kondisi ini benar-benar tidak sehat.

Kini, meski persyaratan untuk optimistis tersedia, tetapi bangsa ini justru tenggelam dalam pesimisme. Pesimisme kolektif itu muncul dan subur, antara lain disebabkan krisis ekonomi, krisis politik dan transisi politik berkepanjangan. Ditambah minimnya teladan pemimpin membuat bangsa ini serasa disoriented.

Sebagian media —sadar atau tidak— menjadi mesin pengganda opini yang menciutkan optimisme. Berita televisi menghujani berbagai masalah, dan masalah-masalah menjadi bertambah ketika tersebar ke seluruh negeri. Padahal, berita televisi itu powerful dalam memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku kolektif.

Sadar atau tidak, bangsa ini merusak diri sendiri, ada semacam self-defeating mechanism. Bahkan, self-fulfilling profecy, kegagalan terjadi karena secara kolektif kita memprediksi akan gagal.

Situasi pesimistis juga muncul karena kegagalan membedakan sikap kritis dengan sikap pesimistis, juga gagal membedakan sikap optimistis dengan sikap mendukung pemerintahan. Ada kesan jika optimistis, berarti mendukung pemerintah. Sebaliknya, jika pesimistis berarti kritis kepada pemerintah. Menyamakan sikap pesimistis dengan kritis adalah kekeliruan fatal.

Harus berubah
Dalam kondisi demikian, bangsa Indonesia harus berubah, harus bisa kritis sekaligus tetap optimistis. Bangsa ini perlu fokus pada inspirasi tentang kemajuan, bukan ilustrasi kegagalan dan kekacauan. Bangsa Indonesia perlu memiliki perasaan kolektif positif untuk maju dan berkembang. Di sinilah pentingnya pemuda dan pemimpin bangsa sadar pentingnya optimisme.

Pesimisme harus dikubur, munculkan optimisme.

Anak-anak muda dan pemimpin di berbagai sektor dan segala strata harus menjadi motor tumbuhnya optimisme. Sudut pandang dalam setiap realita yang dihadapi harus diubah. Realitas bangsa harus dipandang dengan kacamata optimisme. Hadapi tantangan sebagai peluang untuk kemajuan, bukan masalah untuk keluh kesah dan mencari kambing hitam. Media pun perlu menggandakannya agar menjadi optimisme kolektif.

Janji kemerdekaan telah lunas dibayar pada sebagian bangsa Indonesia. Tetapi itu bukan berarti segala keluh kesah bagi yang belum menerima janji kemerdekaan seperti kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan sudah lunas semua. Kini saatnya Bangsa Indonesia bekerja lebih keras lagi untuk melunasi janji kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumpah Pemuda 1928 membalikkan semangat kesukuan menjadi kebersamaan sebuah bangsa. Delapan puluh tahun kemudian, bangsa ini harus membalikkan pesimisme menjadi optimisme. Masa depan gemilang seperti janji kemerdekaan hanya bisa diraih melalui optimisme kolektif.

Kini saatnya membentangkan kembali optimisme kolektif bangsa ini.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina
KOMPAS, 27 Oktober 2008

Nia, Butet, Anies, Yeni dan Silverius Terpilih Sebagai Pemimpin Muda 2009


LIMA tokoh muda Indonesia yakni Anies Baswedan, Nia Dinata, Butet Manurung, Yeni Wahid dan Silverius Oscar Unggul memperoleh penghargaan internasional sebagai pemimpin muda 2009 (Young Global Leader Honorees 2009) dari organisasi terkemuka di dunia "World Economic Forum (WEF)".

"Kami sangat bersyukur atas prestasi baru lagi bagi Paramadina setelah tahun lalu Pak Anies menjadi satu-satunya orang Indonesia yang mendapatkan penghargaan sebagai salah seorang di antara 100 tokoh intelektual paling berpengaruh di dunia." kata Direktur Humas dan Pemasaran Universitas Paramadina, Syafiq Basri Assegaff MA, di Jakarta, Rabu (4/3).

Anies Baswedan Ph.D, lulusan Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois, Amerika Serikat, adalah rektor Universitas Paramadina di Jakarta, Nia Dinata (sutradara film), Butet Manurung (pendidik dan konservasionis), Yeni Wahid (direktur Wahid Institut) dan Silverius Oscar Unggul (pendiri organisasi JAUH = JAringan Untuk Hutan).

Jurnal Nasional, 4 Maret 2009

Monday, March 23, 2009

Bernard Madoff Terancam Dibui Seumur Hidup


Mantan Pialang Wall Street yang bermasalah Bernard Madoff menyatakan mengaku bersalah terhadap penipuan multi miliar dolar yang dilakukannya. Penuntut mengatakan ia harus mendekam di penjara seumur hidup.

Setelah sebulan spekulasi. Madoff menyatakan bersalah dalam ruang persidangan melalui pengacaranya, Ira Sorkin pada sesi dengar.

Ketika ditanya apakah Madoff, 70 tahun, akan mengaku bersalah terhadap 11 dakwaan penipuan, Sorkin menjawab ya. Penuntut mendakwa Madoff dengan skema yang telah menipu para kliennya.... dengan mengumpulkan dana miliaran dolar dengan cara berbohong. Menurut penuntut ia terancam dipenjara 150 tahun.

“Tidak ada perjanjian untuk mengajukan banding untuk mengurangi hukuman terhadap Madoff,” kata penuntut kepada hakim,” Rabu (11/3). Menurut penuntut, Madoff harus mengaku bersalah terhadap 11 dakwaan yang dihadapkan kepadanya.

Madoff ditangkap Desember lalu setelah mengaku menipu kliennya US$ 50 miliar (Rp 595 triliun).

Pengacara para korban penipuan Madoff percaya sekitar tiga juta orang, termasuk beberapa bank terkenal dan selebritas telah kehilangan uangnya. Itu setelah mereka menginvestasikan uangnya kepada Madoff di mana dirinya menggunakan dana itu untuk membayar keuntungan yang palsu, sementara di lain pihak pria itu mendapatkan keuntungan dari dana tersebut.

TEMPO-Interaktif, 11 Maret 2009


Tiga Fantasi

WAJAHNYA seorang bapak Yahudi yang kalem. Tapi sebenarnya ia penipu terbesar dalam sejarah modern—dan sekaligus aktor dalam kapitalisme Amerika sebagai dunia Harry Potter.

Dari luar, Madoff, menjelang 71 tahun, memang tampak dapat diandalkan. Ia suami yang tetap dalam hidup perkawinan sejak menikahi pacar masa remajanya; mereka punya dua putra yang baik. Ia mendirikan Madoff Family Foundation dan memberi dana buat pendidikan, riset kesehatan, rumah sakit, dan teater.

Filantropi itu bagian dari posisi sosialnya—sebagaimana benda-benda yang dimilikinya: rumah seharga 11 juta dolar di Palm Beach, apartemen seharga 7 juta dolar di Manhattan, New York, sebuah lagi di Prancis…. Pendek kata, Madoff adalah gaya hidup yang tak sembarangan. Potong rambut $ 65; cukur janggut $ 40; merapikan kuku kaki $ 50; mengatur kuku tangan $ 22.

Demikianlah ia meletakkan diri, dan meyakinkan dunia, sebagai orang yang berpunya (yang dalam bahasa Indonesia juga berarti ber-”ada”) dan sebab itu terhormat: ia mantan Ketua Bursa Saham Nasdaq yang pernah menyatakan bahwa aturan yang mengawasi dunia persahaman Amerika begitu rapi hingga mustahil dikibuli.

Maka siapa akan menyangka ia pencoleng? Madoff pernah jadi bendahara American Jewish Congress. Sampai ia ditahan baru-baru ini, ia bendahara Dewan Penyantun Universitas Yeshiva, perguruan tinggi Yahudi yang telah 122 tahun berdiri di Amerika. Dengan jabatan dan kekayaan itu ia yakinkan orang agar menanamkan uang ke usahanya, dengan janji akan ada perolehan yang besar dan ajek tiap tahun.

Semuanya akhirnya hanya kebohongan: Madoff membayar ”perolehan” itu bukan dari hasil investasi, melainkan dari uang yang ditanam investor baru. Pada akhirnya, uang yang dipercayakan kepadanya ia tilep—entah untuk apa saja.

Ada lebih dari 13 ribu rekening di pelbagai negara yang jadi korban. Universitas Yeshiva sendiri kehilangan $ 110 juta. Madoff juga memusnahkan dana The Elie Wiesel Foundation for Humanity, yang didirikan Elie Wiesel, pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan penulis buku Malam, karya terkenal tentang pengalaman hidup dalam kamp konsentrasi Nazi. Sebesar $ 15 juta lebih—atau hampir seluruh aset yang dipunyai yayasan itu—raib.

Bahkan para tetangganya di Palm Beach, kebanyakan orang tua Yahudi yang berpunya, kena tipu. Termasuk Carl Shapiro, seorang jutawan umur 95 yang telah menganggap Madoff sebagai anak; $ 400 juta uang pribadinya hilang.

Kenapa itu bisa terjadi? Keserakahan dan kelicikan Madoff tentu jadi pangkalnya. Juga kemampuannya meyakinkan orang. Tapi tak dapat diabaikan: suasana optimisme yang melonjak-lonjak, ketika keadaan investasi cerah, dan orang mau percaya apa pun agar uang jadi pohon buah yang subur. Euforia itu ruang bagi fantasi. Dan kapitalisme Amerika pun berkembang jadi kisah ala Harry Potter tanpa (atau dengan) Lord Voldemort.

Di situlah Madoff, sang ilusionis alias juru sulap, membangun tiga lapis fantasi dengan sempurna.

Yang pertama fantasi bahwa dana itu hidup dan bergerak sendiri, seakan-akan sejumlah makhluk rahasia dari Hogwart yang bekerja untuk membawa kekayaan. Dengan kata lain, dana itu seakan-akan punya daya lebih ketimbang manusia—seperti sudah tersirat dalam cerita pendek Mark Twain, The One Million Banknote.

Alkisah, Henry Adams, seorang Amerika, terdampar di London dalam keadaan compang-camping dan lapar. Tapi tiba-tiba ia jadi alat taruhan dua jutawan kakak-beradik. Sang kakak mengatakan, bila seorang jembel dipegangi selembar mata uang bernilai sejuta pound sterling selama 30 hari, orang itu akan mati kelaparan. Untuk beli makanan, ia harus menukarkan mata uang segede itu agar jadi recehan. Tapi orang tak akan percaya dan ia pasti akan ditangkap. Sang adik sebaliknya menebak: si jembel akan berhasil.

Maka Adams pun jadi kelinci percobaan. Taruhan dijalankan—dan ternyata si adik yang benar. Si Yankee jembel bisa meyakinkan orang, cukup dengan menunjukkan kertas bertanda 1.000.000 pound itu, bak paspor seorang jutawan. Toko dan restoran akan melayaninya bagai raja.

Artinya, kertas berangka itu telah jadi jimat. Orang hidup dengan ”fetisisme” itu. Dalam hubungannya dengan komoditas lain, uang kertas itu bukan lagi terpacak di bumi, melainkan, untuk memakai kata-kata Marx, ”berdiri di atas kepalanya”, tumbuh keluar dari sifatnya sebagai kertas. Ia jadi sesuatu yang ”jauh lebih hebat ketimbang seandainya ia harus menari menurut iramanya sendiri.”

Dengan itu lahirlah lapisan fantasi kedua: Madoff bukan hanya menampakkan selembar kertas sejuta dolar, tapi lebih. Dan para pemilik jutaan dolar pun menerimanya sebagai kawan sekaum. Bila si Henry yang rombeng itu bisa meyakinkan dunia, apalagi Madoff yang tinggal di Palm Beach.

Tapi fantasi itu tak berhenti di sini. Ada fantasi lapis ketiga. Shapiro mengira hubungannya dengan Madoff adalah hubungan antarmanusia. Ternyata bukan. Madoff memompa fantasi itu, meskipun baginya hubungan antarmanusia cuma sebuah medium pertukaran uang. Sebab dengan fantasi Shapiro-lah transaksi kapitalisme mungkin.

Memang akhirnya hati Shapiro tertusuk. Kini kita, yang terjebak, bertanya bisakah hidup sosial kita tak lagi bertolak dari tiga fantasi yang dipupuk Madoff.

Kenapa tidak? Kalaupun kita tak mampu membunuh kapitalisme, setidaknya kita bisa membangun wilayah, mungkin kecil, di mana uang tak jadi jimat. Kita bisa melawan fetis itu, dan membuat seorang Shapiro tetap mempercayai sesamanya.

Meskipun tak mudah.

Goenawan Mohamad
MBM-TEMPO, 23 Maret 2009

Saturday, March 21, 2009

Supersemar, Keris Mpu Gandring dan Presiden Ketujuh


Pepatah Perancis berkata, historie se repete, yang artinya sejarah selalu berulang. Tikaman keris ampuh buatan Mpu Gandring oleh Ken Arok di abad ke 13 berulang tujuh kali dalam nuansa dendam maupun hukum karma. “Tikaman politik” Soeharto kepada Soekarno dengan Supersemar terbukti -32 tahun kemudian- menorehkan sejarah serupa. Soeharto terpaksa lengser dalam latar demo massif mahasiswa dan membawanya ke sudut fait accompli persis yang dialami Soekarno. Dan para presiden sesudahnya?

Identifikasi Supersemar dengan keris Mpu Gandring maka itu bukanlah fiksi melainkan analogi, pelukisan pengetahuan melalui perbandingan guna memetik kemiripan dan kesetaraannya.

Dan kesetaraan tematiknya ialah keduanya mewujudkan wahana kepolitikan bagi gapaian kepentingan mahkota kerajawian. Buhul kecocokannya adalah unsur keterpaksaan dan keteraniayaan Mpu Gandring untuk keris pesanan Ken Arok maupun Soekarno untuk Supersemar (pesanan?) Soeharto. Hikmahnya adalah pembelajaran kebangsaan character building di mana antara tujuan dan cara pencapaiannya mesti konsisten dan runtut bermoral jangan asal sampai.

Pesan (message) ini penting bagi kaum muda, juga penting dicamkan dalam masa-masa ketika banyak tokoh kini baku rebut kedudukan politik. Entah caleg, capres-cawapres serta sekian pihak sebagai makelarnya. Dalam pelajaran sejarah di Sekolah Rakyat atau SD tempo dulu dikisahkan Ken Arok merebut keris pesanannya dari tangan pembuatnya, Mpu Gandring. Pemuda berandal itu tidak sabar menunggu kesempurnaan sepuhan keris dan saat sang empu mendadak tewas dia tusuk dengan keris itu konon terdengar ujaran "Hee, Ken Arok awaslah kamu, keris itu akan memakan tujuh korban.”

Soekarno dengan kesaksian eks Dubes Kuba Hanafi, Kol CPM Maulwi Saelan, AKBP Mangil, Letkol Ali Ebram -pengetik draft Supersemar, eks Menlu Dr Soebandrio, apalagi Kol TNI Sukarjo Wilarjito- dipaksa, setidaknya terpaksa memberikan surat perintah kepresidenan 11 Maret 1966 itu kepada Soeharto. Keterpaksaan yang mirip dengan apa yang diderita Mpu Gandring.

Yang tercatat dalam sejarah Tumapel dan Singasari di abad ke-13, selain Mpu Gandring berturut-turut tewas ditikam keris yang sama yakni Tunggul Ametung, Ken Arok sendiri yang naik tahta bergelar Sri Rajasa, Anusapati dan Rangga Tohjaya.

Di sinilah analogi bisa dipatok, adakah Supersemar bakal menelan “tujuh korban” seperti tikaman dahsyat keris Mpu Gandring?

Dalam pada itu idiom “korban” bisa dinafaskan secara simbolik melalui cermatan sejarah suksesi kepresidenan negeri ini, yang ternyata tidak terlepas dari nuansa ketakwajaran. Analisis Contour, Content, Conduct agaknya bisa menerangkan sekilas-pintas dimana baik Supersemar maupun keris Mpu Gandring akan membentangkan kelindan artian khasnya seperti berikut.

Content atau wadah narasi keduanya memang berbeda; Supersemar berwadah sejarah sedangkan keris ampuh tadi berwadah Babad Pararaton yang, notabene ditulis baru di abad ke 15 -tiga abad setelah masa hidup awal kerajaan Singasari. Jika sejarah menarasikan realitas dengan metodologi rasional, babad lebih bermuatan mitos dengan cara kisahnya yang irasional.

Namun, jangan dikira nisbah keduanya adalah mutlak. Berhubung dengan tingkat emosionalitas tinggi kaum elite politik, sejarah kebangsaan sering duplikatif di antara history dan his story.

Irasionalitas pun memang bukan monopoli sebuah legenda semacam riwayat keris Mpu Gandring. Bukankah hilang misteriusnya dokumen Supersemar memberitahukan irasionalitas sekaligus kejanggalan yang setinggi-tingginya?

Betapa mengharukan, menjengkelkan dan menerbitkan air mata tuturan sejarah Mpu Gandring oleh guru SD masa silam saat mengisahkan terbunuhnya sang empu oleh kerisnya sendiri.

Ini bukankah mirip kisah prolog dan epilog Supersemar yang mengaduk emosionalitas khususnya pengagum dan pendukung Bung Karno, sipil dan ABRI -atas perlakuan aniaya yang diderita sang proklamator?

Modalitas keteraniayaan yang dalam kompleksitasnya berbaur dengan rempah kesewenangan, khianat dan jurus watak cerdik julig inilah menjadi content atau isi dan makna dari produk legendaris historis keris Empu Gandring dan Supersemar.

Kedua tokoh pemberinya adalah korban-korban, semisal pada epilog Supersemar yang segera sesudah Bung Karno menerbitkannya justru digelandang dalam status tawanan. Salah seorang isteri setianya, Hartini, mendengar sendiri gerundelan Bung Karno: ”Penderitaan saya di jaman Belanda tak seberat yang saya alami sekarang.” (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2000).

Korban-korban tusukan keris yang dirintis oleh tangan cerdik Ken Arok atas diri Mpu Gandring yang justru kepadanya dia berutang budi jelas menunjukkan sifat durhakanya seorang manusia dengan dampak keteraniayaan pada korban keburukan wataknya. Ketika Megawati bertanya adakah Supersemar telah dimanipulasi, Bung Karno menjawab : “Wah, Dis (panggilan akrab Mega) mereka benar-benar keterlaluan.” Saat Mega bertanya kenapa bapak pilih Pak Harto jadi presiden dijawab pula: ”Wong... Soeharto yang mau..” (A. Pambudi, 2006; 296).

Presiden Soekarno bukan Mpu Gandring yang sakti mandraguna, namun keteraniayaan yang merasuki rasa kalbunya sulit dipungkiri sebagaimana keteraniayaan pada Mpu Gandring.

Supersemar menjadi jalur tol peminggiran Soekarno dari praksis kepresidenan bahkan berujung pada paradoks moral menyangkut penahanan tanpa proses hukum seorang kepala negara dalam sebuah negara yang dia sendiri mendirikannya.

Bila Ken Arok sukses merekayasa dan mengelabui publik Tumapel yang mengira Kebo Ijo pembunuh Tunggul Ametung, Soeharto didakwa oleh sementara kalangan telah menyertakan unsur rekayasa pula dalam terbitnya Supersemar, meski pelaku Supersemar Jendral Amirmachmud menyebutkan sebaliknya. Katanya, Supersemar lahir tidak pernah direncanakan, sebagai “mukjizat” Tuhan untuk bangsa Indonesia.

Versi lain menyatakan bahwa pada 9 Maret 1966 Jendral Alamsyah Ratuprawiranegara mengutus pengusaha Hasjim Ning dan Dasaad agar menghadap Bung Karno guna membujuknya bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto. Untuk misi itu Soeharto membuat surat pengantar yang diberikan kepada Hasjim Ning. Keduanya menemui Bung Karno di Istana Bogor. Ternyata Bung Karno marah kepada ke dua utusan tersebut, dilemparkannya asbak yang nyaris mengenai wajah Hasjim Ning yang dalam biografinya masih menyimpan asbak istimewa itu.

Inilah yang menjadi conduct atau tatalaku kemiripan Supersemar dengan keris Mpu Gandring. Yakni, tatalaku perekayasaan yang berujung pada lepasnya keris dari tangan Mpu Gandring dan raibnya Supersemar yang membuat kadar misterinya kian dalam.

Bisakah disimpulkan sesuatu, yakni antara Supersemar dan keris Mpu Gandring memiliki korelasi tertentu melalui analogi tersebut? Terlebih-lebih dalam content atau isi dan maknanya yang telah dijelaskan, yakni fatsal keterpaksaan dan keteraniayaan yang melekat pada kedua entitas sejarah dan babad tersebut.

Mengapa judul tulisan ini menyertakan “presiden ke tujuh?” Presiden Soekarno dijatuhkan melalui wahana keteraniayaan; dan Presiden Soeharto pun memutuskan undur diri setelah 14 menteri notabene, murid dan anak-anak didiknya menyatakan mundur yang ditafsirkan Soeharto sebagai pengkhianatan.

Presiden berikutnya, B J Habibie pun tak terlepas dari keteraniayaan tertentu. Tak sedikit orang mencibirkannya bahkan saat dia menggantikan Soeharto.

Dalam memoirnya, Habibie sangat masgul kenapa Soeharto tak menegurnya di saat-saat menjelang pengunduran dirinya. Beberapa menit sebelum pernyataan “berhenti” nya, Habibie selaku wapres mencegat Soeharto keluar dari ruang Jepara istana menunju ruang pengumuman. Tak sedikit pun presiden menoleh kepada wapresnya itu sebagai suatu keteraniayaan serius di kalbu Habibie.

Setelah naik ke kursi presiden, para pemimpin militer dan sebagian besar teknokrat memang memberi toleransi terhadapnya, tetapi tidak memberi respek kepadanya. Bahkan dalam reputasinya 20 tahun sebagai menteri riset disusul dengan tekadnya membangun industri pesawat terbang telah menghasilkan sebutan “reputasi sebagai pembual.” (Anderson, et.al,1999).

Pada gilirannya voting pertanggunganjawabnya di depan MPR ternyata berbuah penolakan terhadap kinerja kepresidenan BJ Habibie. Padahal siapapun tahu bahwa Habibie adalah presiden yang berani mendekonstruksi bangunan psiko-politik Orba, betapapun dia adalah murid kinasihnya Soeharto. Dia membuka kran HAM dan demokratisasi, dia melepaskan tapol-tapol penting dari ruang tahanan yang tak berkesudahan.

Dan Presiden Abdurrahman Wahid? Bukankah dia jatuh setelah sengaja ditelikung oleh DPR/ MPR yang ditopang pula oleh sikap ABRI yang tidak mau patuh pada Dekritnya? Presiden berikutnya, kekalahan Presiden Megawati pada pilpres 2004 jauh lebih wajar dari para presiden pendahulunya. Namun, bukankah Mega pun lagi-lagi merasa terkhianati oleh SBY?

Dengan demikian “keris Supersemar” pun kurang lebihnya sudah “bekerja” sampai lima kali sejak Soekarno hingga Megawati -yakni dalam wahana keteraniayaan, pengkhianatan, kelicikan atau setidaknya membuhulkan ketidaksportifan proses suksesi kepresidenan itu.

Kalau ujar Mpu Gandring berlaku pula bagi negeri kita, masih akan ada presiden yang akan terguling secara kurang lebih teraniaya -dan biarlah para analis politik yang membuktikan kebenaran atau kekeliruan analogi tulisan ini. Jangan lupa pula keamburadulan tertentu kinerja KPU bisa menjadi faktor penopang bagi validitas “keris Supersemar” tersebut.

Toh, yang sebaliknya bisa saja terjadi dimana bukan presiden yang teraniaya melainkan para capres. Camkan kepala berita ini “DPT Direkayasa Sistematik” (Kompas, 6 Maret 2009). Ada indikasi DPT direkayasa sangat sistematik oleh pemegang otoritas, dengan skala besar.

Depdagri menjadi institusi politik untuk memenangkan pihak tertentu, "demikian sinyalemen Hasto Kristianto, anggota DPR/MPR F PDI-P setelah mengecek daftar pemilih tetap di Ponorogo, Ngawi, Pacitan dan Trenggalek baru-baru ini.

Wah..wah..; akankah Orba reinkarnasi melalui pemilu 2009?

Drs Slamet Sutrisno MSi, Dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM
Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2009

Benny dan Mice Capres Independen


“Tadinya kami sempat berpikir mendirikan Partai Kartunis Indonesia (PKI), tapi nanti menyinggung kelompok tertentu. Beberapa nama parpol lainnya juga urung dipakai, seperti Golongan Kartunis (Golkar), Partai Kartun Banget (PKB), dan Partai Kartunis Sejahtera (PKS)."

Benny Rachmadi [Benny] dan Muhammad Misrad [Mice], dua kartunis harian Kompas edisi Minggu, mendeklarasikan niat mereka untuk maju sebagai calon Presiden RI pada Pemilu 2009 dari jalur independen. “Kami berdua tidak mencalonkan diri, masyarakat yang mencalonkan kami,” kata Benny saat deklarasi pencalonan di Gramedia Matraman, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Menurut salah seorang penggemar mereka, Indonesia saat ini membutuhkan calon pemimpin alternatif yang benar-benar independen alias bukan berasal dari parpol. Benny dan Mice pun menerima tawaran penggemar mereka, dan keduanya sudah sepakat untuk berpasangan pada Pilpres mendatang.

Selain di Kompas, Benny juga bekerja di tabloid Kontan sebagai penggambar kartun editorial, dan menjadi ilustrator untuk perusahaan periklanan. Sedangkan Mice sehari-harinya juga mengerjakan grafis untuk kaus (T-shirt). Benny lahir tahun 1969, Mice kelahiran 1970.

Benny & Mice adalah judul sebuah komik strip yang menggambarkan keadaan kota Jakarta yang Metropolitan. Komik yang dikarang oleh Muhammad Misrad dan Benny Rachmadi ini banyak melakukan kritik sosial kepada penduduk Jakarta untuk kalangan Menengah-Kebawah dengan menggunakan dua tokohnya, yaitu Benny & Mice yang merupakan gambaran mereka sendiri. Komik ini telah diterbitkan dalam edisi buku dan juga terbit setiap minggu di harian Kompas.

Sumber: KOMPAS dan Blogberita.Net

Friday, March 20, 2009

Tiket Palsu Politik


DALAM seminar Pengawasan Pemilu dalam Perspektif Hukum dan Budaya yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY di Yogyakarta (10/3), di mana saya menjadi salah satu nara sumber, mencuat keprihatinan soal suap politik alias politik uang. Jika suap politik itu dilakukan para oknum caleg, hal itu dianggap ‘biasa’. Namun menjadi hal yang kurang biasa jika suap politik justru diinginkan para calon pemilih (konstituen). Repot.

Ketidakjujuran justru dikehendaki sebagian anggota masyarakat. Mereka punya dalih: jika lolos, para caleg itu kelak akan mendapatkan gaji besar dan berbagai fasilitas, maka sudah sewajarnya jika mereka membeli suara untuk menjadi anggota legislatif. Dan harga ‘tiket’ menjadi wakil rakyat itu, bisa ratusan juta. Hitung saja, jika setiap suara itu harganya Rp 50.000 dan dikalikan jumlah peserta pemilu dalam setiap daerah pemilihan (dapil).

‘Legalisasi’ atas suap dalam pemilu menunjukkan jebloknya moralitas para pelaku politik (caleg) dan konstituen. Ini sangat bertentangan dengan hakikat pemilu yang secara kebudayaan dapat diartikan sebagai wahana untuk membangun civil society (masyarakat/bangsa yang beradab) melalui demokrasi. Dan salah satu ciri civil society adalah menjunjung etika dan moral. Etika memberi orientasi kepada moralitas untuk mampu membedakan nilai baik-buruk. (Franz Magnis Suseno: 1989).

Membunuh Demokrasi
Suap politik baik yang dilakukan caleg maupun konstituen yang menginginkannya, sama-sama berpotensi membunuh demokrasi. Demokrasi akan kehilangan orientasi nilai perjuangannya dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Akibatnya, demokrasi hanya dinikmati kalangan yang berduit dan mampu membeli kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya. Pemilu, akhirnya menjadi ‘teater semu’ alias menjadi sekadar memenuhi syarat demokrasi. Ia tidak memiliki makna apapun untuk seluruh rakyat.

Suap politik dalam pemilu merupakan bentuk penyimpangan etika dan moral yang melahirkan tiket palsu politik untuk memasuki kekuasaan. Persoalan ini menjadikan pemilu, sebagai sebuah kerja kultural, kehilangan nilai-nilai substansialnya, yakni (1) etika-moral, (2) keadilan, (3) partisipasi, dan (4) transparansi.

(1) Etika-moral merupakan komitmen nilai peradaban bangsa yang tidak dapat ditawar. Etika-moral yang berorientasi pada nilai luhur semestinya menyifati setiap tindakan (politik) warga negara.

(2) Keadilan merupakan dasar-dasar objektif untuk memilih caleg dengan kriteria kualitatif: memiliki kemampuan, komitmen dan integritas. Munculnya para pembeli tiket palsu (politik uang) dalam pemilu, menggugurkan kriteria itu. Karena kriteria yang ada hanyalah kemampuan finansial. Praktik kotor ini berakibat pada tergusurnya sejumlah tata kelola politik dan dapat juga berujung pada peminggiran sejumlah potensi yang memenuhi syarat.

(3) Partisipasi terkait dengan keterlibatan publik secara aktif. Artinya pemilu harus terbuka bagi seluruh warga negara, tanpa deskriminasi suku, agama, ras, golongan dan budaya. Di sini, publik merupakan subjek politik, bukan objek politik. Rakyat bukan hanya menjadi stake-holders politik demokrasi melainkan pemilik sah kedaulatan. Suap politik atau tiket palsu politik menjadikan pemilu tidak lagi berwatak partisipatif, melainkan elitis dan eklusif (tertutup).

(4) Transparansi terkait dengan seluruh mekanisme pemilu yang harus terbuka (dapat diakses publik), jujur (terikat etika dan moral) dan adil (objektif).

Rakyat mestinya sadar, bahwa pemilu merupakan jalan untuk meraih kekuasaan yang akan langsung berdampak pada dirinya. Jika dukungan atau legitimasi itu ‘dijual’ secara material (uang, sembako dan lainnya) maka sesungguhnya rakyat telah menggadaikan hak kedaulatannya kepada mereka yang berduit.

Bawaslu dan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) tentu telah memiliki pasal-pasal hukum untuk menindak praktik suap politik. Yang menjadi masalah, tidak semua praktik penyimpangan itu gampang dideteksi, diidentifikasi dan diatasi (ditindak) secara yuridis administratif.

Hukum hanya berbicara ‘kebenaran’ material berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi dan tidak mampu menyentuh kebenaran substansial yang terkait dengan etika dan moral. Suap politik tidak selalu bisa diatasi dengan tindakan yuridis, karena saksi dan bukti bisa dengan gampang dimanipulasi. Ini menunjukkan, suap politik telah memasuki wilayah mental, etika dan moralitas serta mindset bangsa dan hal itu juga berarti telah memasuki wilayah kebudayaan.

Pertanyaannya, bisakah mindset yang mengidentikkan pemilu adalah uang itu diubah?
Mengubah mindset masyarakat tidak dapat dilakukan secara instan, karena terbangunnya mindset juga tidak seketika dan berdiri sendiri. Mindset tersebut terkait dengan materialisme dan pragmatisme politik. Artinya, rakyat sesungguhnya merupakan pihak yang menjadi korban dari menguatnya dua hal di atas.

Dalam politik uang, rakyat dididik para elite politik untuk membuang idealisme politik. Demi pragmatisme politik, para elite politik membujuk rakyat untuk menjual dukungan suara dan legitimasinya. Di tengah kemiskinan yang akut, iman rakyat pun akhirnya goyah dan ambrol. Ini diperparah dengan tingkah polah elite sosial (tokoh-tokoh masyarakat, agama, budaya, politik) yang justru menghalalkan politik uang. Rakyat pun pada akhirnya kehilangan ketauladanan.

Jika mindset rakyat yang mengidentikkan pemilu adalah uang mau diubah, maka cara mendasar yang harus ditempuh adalah menghilangkan pragmatisme politik. Jagat politik (baca, pemilu) harus dikembalikan kepada idealisme: jujur, adil, partisipatif dan transparan. Selain itu negara dan perangkat-perangkat demokrasi harus mampu menciptakan pemilu yang berkualitas dan bersih, sehingga melahirkan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang berkualitas pula.

Jika hal-hal itu tidak terwujud, maka suap dalam pemilu dan munculnya banyak tiket palsu, akan terus terjadi. Akibatnya, bukan hanya pemilu buruk yang dilahirkan tapi jebloknya mentalitas dan moralitas bangsa. Bangsa ini akan mengalami dekadensi dan degradasi secara nilai dan kultural.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
Kedaulatan Rakyat, 18 Maret 2009

Thursday, March 19, 2009

Merajut Harapan dari Pemilu


Sebanyak 44 partai politik menandatangani deklarasi antikorupsi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa waktu lalu. Pada hari yang sama, sejumlah tokoh lain mendeklarasikan ”blok perubahan” di sebuah hotel di Jakarta. Apakah ada maknanya?

Tentu tak ada yang salah dengan semakin banyaknya deklarasi yang berisi komitmen para elite politik membenahi bangsa kita menjadi lebih baik. Hanya, jika deklarasi demikian muncul setiap menjelang pemilu, sementara perilaku korup dan penyalahgunaan kekuasaan para elite yang dihasilkan pemilu tak berubah, yang berlangsung tidak lebih dari sekadar upacara.

Sebagai upacara, hampir tidak ada yang diperoleh rakyat melalui deklarasi-deklarasi demikian. Ia sekadar ”tontonan” yang tidak memiliki makna apa pun saat pemilu menjadi arena pertukaran kepentingan antara politisi dan parpol.

Pembacaan yang sama dapat diberikan pada pameran bisu ribuan foto diri para calon anggota legislatif (caleg), poster, spanduk, dan baliho parpol yang mengepung seantero negeri dewasa ini. Alih-alih menawarkan program, para caleg parpol justru mohon ”doa restu”, padahal kita tak pernah tahu dan diajak bicara tentang mereka.

Akibatnya, pemilu yang seharusnya merupakan arena penawaran ide terbaik untuk membenahi kehidupan kolektif akhirnya menjadi ajang mematut diri bagi para elite yang mempertahankan posisi di satu pihak dan mereka yang kebelet berkuasa di pihak lain.

Fenomena serupa tampak pada para calon presiden (capres) yang sibuk bersilaturahmi dan saling menjajaki koalisi, tetapi tak pernah jelas apa agenda mereka untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman krisis keuangan global serta kehancuran lingkungan atau bencana banjir yang bisa menenggelamkan Pulau Jawa. Belum lagi soal kemiskinan, pengangguran, serta krisis energi dan pangan yang menghantui bangsa ini akibat akumulasi ”salah urus” negara yang tak berkesudahan.

Rakyat ”komoditas”
Pemilu sebenarnya merupakan momentum bagi suatu bangsa untuk merefleksikan kembali pencapaiannya selama lima tahun terakhir. Pemilu juga memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kembali prestasi para pejabat publik hasil pemilu sebelumnya. Namun, rakyat acap tak bisa merebut kesempatan itu karena hegemoni elite politik atas ruang publik menjelang pemilu melalui berbagai ritual yang tak terkait langsung dengan nasib rakyat. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, nasib rakyat masih sebagai ”komoditas” untuk memperbesar suara caleg, parpol, atau capres.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kini antusiasme rakyat terhadap pemilu cenderung menurun. Masalahnya, meningkatnya perkembangan demokrasi ternyata berbanding terbalik dengan tegaknya pemerintahan yang bersih. Deklarasi antikorupsi yang kian intens juga berbanding terbalik dengan maraknya kasus suap dan korupsi yang dilakukan anggota parlemen di pusat dan daerah serta para pejabat publik lainnya.

Di sisi lain, membengkaknya jumlah partai, caleg, dan capres justru berbanding lurus dengan kian miskin dan dangkalnya ide-ide tentang perubahan. Akibatnya, janji-janji perubahan yang ditawarkan para elite cenderung artifisial, tak lebih dari gincu politik yang akhirnya luntur bersamaan dengan usainya pemilu.

Mengapa demikian? Secara kultural, penjelasannya mungkin bisa dicari dalam tradisi berbagai masyarakat Nusantara yang sarat rangkaian ritual dan upacara. Akan tetapi, upacara seharusnya berhenti sebagai aktivitas privat dan komunal yang tak berhubungan dengan urusan publik.

Ketika ritual komunal ditransformasikan sebagai standar perilaku dalam relasi politik yang bersifat publik, yang berlangsung adalah praktik demokrasi yang primitif. Artinya, praktik demokrasi memang marak, tetapi sering sekadar bingkai untuk mengemas syahwat politik liar yang absen dari komitmen etis terhadap kemaslahatan kolektif.

Tidak inspiratif
Oleh karena itu, yang sebenarnya diperlukan bangsa ini bukan parpol atau caleg yang sekadar pintar membuat deklarasi. Juga bukan para capres yang hanya sibuk wira-wiri mencari pasangan atau menunggu pinangan. Kita membutuhkan parpol, caleg, dan capres yang bisa berbagi ide tentang persoalan kolektif bangsa dalam ruang publik yang memperlakukan pemilih sebagai ”warga negara”, bukan ”massa” yang mudah dikelabui, dibodohi, dan diprovokasi melalui janji-janji kosong pemilu.

Sudah terlalu banyak pidato dikumandangkan, visi dan misi dipaparkan, serta komitmen diucapkan dan dideklarasikan. Akan tetapi, hampir tidak ada inspirasi baru yang bisa membesarkan harapan serta membangkitkan optimisme publik akan masa depan yang lebih baik.

Para elite politik fasih bicara tentang kemiskinan, penderitaan rakyat, dan keterpurukan bangsa kita, tetapi pada umumnya sebatas jargon untuk meraih simpati dan dukungan ketimbang suatu terobosan gagasan genuine dan jernih untuk mengatasinya. Pada saat yang sama, ironisnya, media cetak dan elektronik, yang seharusnya mengawal hati publik, pun acap kali turut terperangkap kecenderungan parsial yang sama.

Kondisi ini diperburuk oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum yang jauh dari menggembirakan. Komisi yang seharusnya bisa meyakinkan publik akan keberhasilan pemilu justru terperangkap pada produksi wacana yang tak perlu, prioritas kerja yang tak jelas dan jauh dari fokus, serta sosialisasi pemilu ke luar negeri yang urgensinya rendah.

Lalu, ke mana bangsa ini akan menuju jika karut-marut pemilu seperti ini terus berulang? Mengapa kita harus bangga dengan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia -sesudah India dan Amerika Serikat- jika semua itu semu belaka?

Dari hari ke hari, rakyat merajut harapan akan hidup lebih layak dan sejahtera. Namun, dari pemilu ke pemilu pula harapan itu hanya menggantung di bibir para wakil dan pejabat publik terpilih. Barangkali, inilah utang politik terbesar dan tak ternilai para elite politik menjelang dan usai pemilu yang digarisbawahi artikel pendek ini.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
KOMPAS, 11 Maret 2009

Tuesday, March 17, 2009

100 Tahun Sjahrir: Inspirator untuk Bangsanya


Sudah banyak ulasan dan karya mendalam tentang tokoh Sutan Sjahrir (1909-1966). Atributnya beragam, mulai dari kontroversial, jauh dari ingar-bingar di atas panggung, dipuja pengagum, hingga dihujat lawan-lawan politiknya.

Dibanding Soekarno dan Mohamad Hatta, ketokohan Sjahrir menyimpan lebih banyak tanda tanya, apalagi termasuk salah satu tokoh yang sengaja dilupakan, padahal pada era awal persiapan proklamasi kemerdekaan Sjahrir merupakan satu dari triumvirat Indonesia di samping Soekarno dan Hatta.

Tanda tanya-tanda tanya itu justru merangsang minat orang untuk menguak harta karun seorang beretnis Minang tetapi terbang tinggi melewati batas-batas etnis primordialnya. Setelah 100 tahun ”terkubur”, di saat mencari-cari tokoh panutan dan apresiasi sosok-sosok terlupakan, muncul di antaranya nama Sutan Sjahrir.

Di antara upaya mengais-ngais warisannya, melesat spontan genealogi cara berpikir Sjahrir, di antaranya intelektualitas, kedalaman hati, kebebasan batin, dan komitmen pada keluhuran martabat manusia—sifat-sifat adiluhung umumnya elite negeri ini di awal-awal kemerdekaan.

Panelis Herry Priyono membuat metafor cara berpikir either-or (salah satu dari dua). Ada dua ciri either-or, pertama yang bersifat praktis, lainnya eksistensial. Sjahrir menempatkan either-or sebagai cara menghidupi realitas, ketegangan antara aksi dan refleksi, individualitas dan sosialitas.

Cara berpikir ”salah satu dari dua” itu diamini penanggap Jakob Oetama. Sosok Sjahrir yang tidak hitam putih, tetapi either-or menunjukkan ia seorang pemikir yang tidak terbatasi ada di sana dan tidak ada di sini. Sjahrir menghadapi dilema yang kemudian dicoba diatasi dengan mendukung sosialisme kerakyatan yang intinya negara kesejahteraan. Kesejahteraan untuk seluruh rakyat dengan kebebasan yang manusiawi yang dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan fleksibilitas.

Either-or, mirip istilah berpikir nggiwar (lateral thinking)-nya Mangunwijaya, yang jika dikembangkan bisa berpengaruh lebih luas dalam mencari jalan keluar membangun kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Sosok Sjahrir sebagai pemikir sekaligus politisi merupakan inspirator seumur-umur bagi bangsanya, Indonesia.

Kematangan dalam hidup nasional di bidang politik, ekonomi, dan budaya tergantung dari seberapa besar kemampuan merangkul dan menghidupi ketegangan eksistensial ini tidak sebagai problem, tetapi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Dan inilah harta karun warisan terbesar Sjahrir, yakni kita tidak terjebak dalam dikotomi kapitalisme atau komunisme, individualitas atau kolektivitas, deregulasi atau regulasi.

Ketika kedalaman dan kematangan berpikir Sjahrir ditempatkan dalam kondisi Indonesia saat ini, sebulan menjelang Pemilu 2009, terlihat perbedaan mencolok dalam cara berdemokrasi di tingkat elite Indonesia. Kata panelis Rocky Gerung, ada instalasi politik modern seperti partai, parlemen, pemilu, MA, tetapi sesungguhnya yang mengalir dalam instalasi itu adalah politik demagogi. Para demagog bekerja keras merebut, memperbesar, dan melanggengkan kekuasaan—persis petuah Niccolo Machiavelli abad XVI.

Menurut Sjahrir, analisis politik perlu daya pikir yang kuat sekaligus keteguhan hati pada keadilan. Dengan daya pikir itu politik merupakan pendidikan demokrasi, bukan perburuan, pembesaran, dan pelanggengan kekuasaan.

Humanis Indonesia
Sjahrir dalam konteks perjuangan sebuah bangsa tidak bisa disejajarkan dengan Nehru, kata panelis Budiman Sudjatmiko, tapi mungkin dengan Ali Jinnah dari Pakistan atau seagung Mohamad Iqbal. Begitu juga menempatkan Sjahrir hanya sebagai pendiri Partai Sosialis Indonesia atau pimpinan partai sosialis, atribut itu terlalu kecil bagi Sjahrir.

Dia seorang humanis Indonesia, yang muncul tidak hanya dengan tesis antifasisme dan kolonialisme, tetapi membangun nasionalisme Indonesia. Karena itu, dalam beberapa hal terjadi persentuhan dan pertemuan cara berpikir Sjahrir dengan sosok Tan Malaka—rekan dan pesaingnya di bawah permukaan, tetapi sama-sama bernasib dilupakan. Humanisme Sjahrir, konon, tidak semenukik Tan Malaka, menonjol dalam cara menyampaikan. Di antaranya Sjahrir menulis, ”...aku cinta negeri ini dan orang-orangnya... terutama barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang kalah. Jadi biasa saja, simpati kepada orang-orang yang ditindas.”

Sebagai sosialis, didefinisikan panelis Fadjroel Rachman, sebagai sosialisme berdasarkan kerakyatan (menyitir rumusan Lindsay Rae), Sjahrir menganjurkan dicapai tidak dengan kekerasan seperti Tan Malaka, tetapi dengan cara demokratis, yakni lewat partai tidak dengan kriteria ukuran jumlah pemilih, tetapi dengan perjuangan sosial demokrasi. Gagasan Sjahrir lebih tepat dikelompokkan sebagai gagasan filosof, filosof Indonesia, sebagaimana dicita-citakan Mohamad Iqbal bahkan Plato yang mengandaikan pemahaman ideal demokrasi bagi tumbuhnya kehidupan demokratis suatu negara atau kota (polis).

Diterapkan untuk Indonesia saat ini, dalam kondisi perpolitikan tereduksi sebagai perebutan kekuasaan, masih relevankah pemikiran dan cara berpikir Sjahrir? Masih, kata panelis Rachman Tolleng, ketokohan sentral Sjahrir berdasarkan data sejarah menonjol paling tidak dalam dua tahun pertama republik ini.
Bahkan orang-orang Partai Sosialis Indonesia tidak bosan-bosan mengatakan seandainya Sjahrir tidak ada, apakah Indonesia bisa merdeka. Sjahrir adalah ”kekecualian”, sosok serba kontroversial—mungkin wajar setiap manusia berprinsip biasanya kontroversial—dan telanjur dimarginalkan republik ini, sambung panelis Daniel Dhakidae yang menegaskan jasa Sjahrir dalam membela politics of value dengan memunculkan gerakan-gerakan antifasisme dengan alamat Jepang.

Peranan diplomasi
Ketersingkiran Sjahrir bersamaan dengan pengelabuan sejarah, menurut istilah Daniel Dhakidae, kemerdekaan merupakan hasil perang. Diplomasi adalah ”kecelakaan sejarah” sehingga sejak 1959—kembalinya ke UUD 1945—ditabalkan seruan rediscovery of our revolution, diplomasi adalah ”politik menyerahkan diri kepada kepentingan asing”; sesuatu yang kemudian diperkuat oleh berkuasanya Orde Baru yang dengan otomatis menempatkan militer sebagai pemilik terbesar kenikmatan dan privilese politik yang menentukan kehidupan negeri ini.

Padahal senyatanya diplomasi semacam komplemen, semacam pelengkap yang tidak kalah penting dibanding peranan militer. Tesis George MT Kahin membuktikan besarnya peran diplomasi itu dalam membangun citra Indonesia. Perlu dimunculkan ketokohan orang-orang seperti Sjahrir atau Amir Sjarifuddin—menyebut dua nama sebagai sosok-sosok yang sengaja dilupakan.

Di samping diplomasi dan politics of value, masih adakah kemungkinan menawarkan alternatif lain untuk negeri ini? Tantangan-tantangan yang dihadapi negeri ini, di tengah karut-marutnya perpolitikan dan merosotnya fatsoen politik—menurut istilah Budiman Sudjatmiko, ”Indonesia berada di atas panggung yang diretakkan” dan ”disorganisasi sosial”, eksistensi pemikiran seharusnya menjadi bahan merajut ke-Indonesia seperti awal negeri ini diciptakan.

Dengan peran aktif sepintas Sjahrir sebagai rujukan yang tidak sempat meluas, perjalanan Indonesia mau dibawa ke mana? Pilihlah di antara dua kemungkinan, kata panelis Rosihan Anwar. Belajarlah dari China dan India! China berhasil membangun negeri miskin jadi kaya raya, India sukses membangun sumber daya manusia—tentu dengan sisi-sisi negatifnya—merupakan bahan belajar dan tempat menengok.

Memungut istilah agama, diperlukan satu pertobatan—dalam arti sekuler sebagai kemauan eksistensial untuk memungut sisi-sisi baik-positif dari warisan tokoh-tokoh besar semacam Sutan Sjahrir. Selintas bagaimana tokoh-tokoh besar sosialis semacam Soedjatmoko mewarnai pergulatan pemikiran humanistik untuk negeri ini, tetapi privilese pemegang kuasa yang antifasis dan militeristik cenderung ”memuntes”-nya. Perlu dimunculkan buku-buku sejarah yang benar, semacam real history dan bukan unreal his story seperti yang diharapkan penanggap Rais Abin.

Singkat kata, demikian panelis Sabam Siagian, ketokohan Sjahrir menjadi inspirator bagi bangsa ini, yang menawarkan pemahaman politik sebagai nilai luhur mewujudkan kesejahteraan rakyat dan bukan berburu kekuasaan. Perjuangan kemanusiaan memang tidak semudah caleg mengumpulkan suara terbanyak untuk beringsut posisi dari caleg menjadi anggota legislatif! Tobat! Tobat! Tobat!

ST SULARTO
KOMPAS, 13 Maret 2009


Sutan Syahrir atau Sutan Sjahrir atau Soetan Sjahrir, negarawan, Perdana Menteri Indonesia pertama (Padangpanjang, 5 Maret 1909–Zürich, Swiss, 9 April 1966).

"Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

"Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita."