Thursday, February 19, 2009

Keedanan Republik Baliho


Saat ini gairah politik terasa bagaikan gelombang tsunami yang siap melanda republik. Riuh-rendah, tak ada ruang yang lolos dari sergapan baliho politik yang betul-betul menunjukkan gairah meluap. Namun, dalam seluruh kegairahan itu, tampak dunia politik republik ini tanpa tujuan dan tenggelam dalam ruang kosong.

Saya sempat mengunjungi Provinsi Aceh, Papua, Jawa Barat, dan tak terkecuali tentu Jakarta. Di empat provinsi ini, ke mana pun mata mengarah, senyum kenes menggoda para politikus yang dipantas-pantaskan langsung menyergap. Dari semua baliho politik itu, wajah politik republik ini betul-betul kosong dan banal, karena kebanyakan pesannya berupa bujukan "pilih saya, pilihlah saya”.

Baliho-baliho itu, jika dinilai dari kacamata estetika dan grafis, sungguh amburadul. Pilihan huruf, komposisi, warna, dan figur tampak tak saling mendukung. Selain itu, dipasang serampangan tanpa mempertimbangkan sudut pandang. Bahkan bertumpuk dengan spanduk obat batuk, atau iklan rumah dan pulsa.

Akibatnya, pesan dan image politik yang hendak dibangun si calon legislator hilang dari cercapan mata pemirsa, karena kalah indah oleh spanduk barang jualan. Alih-alih mendatangkan simpati, baliho dan spanduk-spanduk itu malah membuat jengkel dan menjadi sampah yang mengotori serta merusak keindahan kota. Sementara itu, dari kacamata politik, baliho dan spanduk-spanduk tersebut tidak mengandung cita-cita politik, gagasan lokal, apalagi gagasan kebangsaan. Bisa dikatakan bahwa dalam membuat dan memasang spanduk, para calon betul-betul telah kehilangan urat malu.

Semua bentuk dan isi spanduk para calon legislator kebanyakan sama. Pertanyaannya, di mana masyarakat (pemilih) mengetahui kelebihan si calon dan partainya dibandingkan dengan calon dan partai yang lain? Apa program kerja si calon dan partainya di daerah pemilihan itu jika kelak mereka terpilih? Bagaimana dan apa metode kerja yang akan dipakai si calon dan partainya dalam mengimplementasikan visi, misi, dan program partainya? Persoalan apa dari daerah yang hendak diperjuangkan si calon di level nasional? Serta masalah nasional apa yang hendak dicarikan dukungannya di daerah oleh si calon?

Padahal di Aceh, misalnya, daerah yang baru saja memasuki situasi damai, tentu banyak persoalan yang bisa diangkat menjadi tema program kerja si calon anggota DPR RI kelak. Misalnya, program kerja sama dengan partai lokal, pembenahan lebih jauh hubungan pemerintahan provinsi dengan pusat dalam kerangka daerah berpemerintahan sendiri (self-governing territory), proses perdamaian eks-kombatan dan kompensasi untuk korban konflik, kelanjutan program rehab-rekon yang telah dilakoni oleh BRR, pemajuan ekonomi di daerah tengah dan pantai barat, serta artikulasi yang lebih tajam dan mangkus tentang implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sayangnya, tidak ada satu pun calon anggota DPR RI di Aceh yang mencantumkan soal-soal serius ini. Lantas, untuk apa rakyat Aceh memilih Anda menjadi legislator?

Lalu Jawa Barat, provinsi yang paling dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yang akan memiliki kontingen anggota DPR RI paling banyak, yaitu 99 orang, anggota DPR dari Jawa Barat akan menjadi kaukus terkuat di DPR. Maka, program pembentukan kaukus Jawa Barat untuk memperjuangkan perbaikan infrastruktur ekonomi di wilayah selatan Jawa Barat bisa menjadi isu sentral. Wilayah selatan Jawa Barat adalah kantong kemiskinan dengan jumlah penduduk yang besar.

Jakarta lebih edan lagi. Persoalan ibu kota negara yang selalu diteror banjir setiap tahun serta diintai oleh urbanisasi setiap hari, dan kemacetan lalu lintas yang terus menggila, absen dari spanduk para calon legislator. Jakarta seakan tanpa masalah di mata calon legislator.

Singkatnya, sesuai dengan sistem politik sekarang ini, DPR RI memiliki kekuasaan legislasi dan anggaran. Jika pimpinan parpol dan calon legislatornya menyatu dalam visi, misi, dan program, kampanye spanduk bisa mengusung beberapa RUU yang akan diperjuangkan si calon jika ia terpilih. Termasuk jumlah anggaran yang akan mereka perjuangkan untuk mengatasi isu-isu pokok.

Mengapa keedanan politik dengan baliho yang seragam ini terjadi di empat provinsi yang berbeda?

Pertama, partai politik tempat si calon legislator bernaung gagal menginternalisasi visi, misi, dan program partai kepada kadernya. Ketika kegagalan itu mewabah, para calon yang dihadapkan pada sistem sabung politik (pemilu) terbuka menjadi mengalami disorientasi. Akibatnya, di mata calon legislator, ikut serta dalam pemilu menjadi semata-mata urusan individual dan pencapaian ambisi individual pula. Partai hanya loket tempat ambil formulir. Kondisi ini kian mendapat legitimasi dari Mahkamah Konstitusi yang menetapkan sistem suara terbanyak.

Kedua, kecenderungan watak calon legislator adalah kelanjutan dari watak partai politik itu sendiri. Watak partai politik di Indonesia saat ini adalah personal party (partai milik individu sang ketua umum), yang berciri mengabdi kepada si ketua umum demi mencapai kehendak pribadinya. Pengurus partai adalah kepanjangan tangan si ketua umum, bukan pengemban visi, misi, atau program partai. Jadi, hubungan calon legislator dengan partai lemah, sementara keterkaitan dengan ketua umum lebih kuat. Sebagian besar partai politik peserta Pemilu 2009 menunjukkan ciri ini.

Ketiga, pimpinan partai tidak mengenali karakter dan permasalahan di setiap daerah pemilihan. Implikasinya, partai juga gagal mendidik para calon legislatornya mengenali masalah di daerah pemilihannya masing-masing. Tradisi calon instan dan drop-dropan menjadi salah satu faktor penyebab hal ini.

Keempat, partai tidak memiliki analisis perkembangan masyarakat dan blue print pembangunan politik secara nasional serta regional. Akibatnya, partai politik tidak mampu menyiapkan gagasan dan program yang bisa diadu oleh si calon dengan calon lain kecuali tampang. Akibatnya, wajah politik kian pragmatis, transaksional, dan berjangka pendek. Sikap "pokoknya terpilih dulu, urusan belakangan" mewabah.

Amiruddin al-Rahab, peneliti politik dan hak asasi manusia di Jakarta
TEMPO Interaktif, 18 Februari 2009

1 comment:

Anonymous said...

Tidak hanya jalanan, bahkan portal berita di internet pun tak kalah ramai diserbut partai politik bahkan para caleg. Sebuah euphoria demokrasi.

Dukung Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009!