Sunday, October 26, 2008

Rumuskan Dulu Etik Islam


Rasulullah Muhammad SAW menegaskan bahwasanya beliau diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Juga banyak ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hal itu. Pengertian akhlaq sendiri amat luas sekali. Karena itu yang penting bagi kita adalah bagaimana melihat dan menerangkan isi al-Quran itu secara keseluruhan. Jangan hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi harus kita tatap dalam satu keutuhan ajaran.

Kita akan keliru manakala mendekati al-Quran dari ayat ke ayat, sepotong sepotong. Dengan cara itu, sesungguhnya kita sedang mengeksploitir al-Quran untuk kita gunakan dalam rangka mengaplikasikannya dalam pemikiran kita. Cara itu tidak adil.

Baru dapat dikatakan adil, apabila kita memperlakukan al-Quran dan mendekatinya secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan ajaran. Dengan jujur bisa kita katakan, cara ini belum dilakukan. Bahkan sampai hari ini methodologinya pun belum dirumuskan. Asumsi-asumsi dasarnya perlu dirumuskan terlebih dahulu sehingga dapat menjadi satu sistem yang dapat dipraktekkan.

Dalam rangka ini dapat kita pertanyakan, apakah Islam mempunyai sistem pandangan tersendiri. Kalau memang kita yakin bahwa Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap seluruh aspek hidup dan kehidupan ini, maka kita dapat menyusun satu "Etik Islam". Apabila kita sudah dapat menyusun Etik Islam, maka persoalannya akan lebih mudah untuk menyusun sistem apa pun. Tetapi secara jujur memang harus kita akui bahwa sudah seribu tahun kita berhenti berfikir.

Pada beberapa buku klasik dikatakan bahwa pintu ijtihad itu sudah ditutup, sehingga kita tidak berhak lagi untuk memformulasikan apa pun di bidang hukum di bidang yurisprudensi. Kita harus mengikuti apa yang telah diputuskan dulu. Padahal apakah salahnya jika kita pun merumuskan hal yang sama. Kenapa tidak berhak. Apa bedanya kita dengan para Imam dulu. Sehingga sesungguhnya kita pun dapat menyusun Syari'ah sebagaimana para Imam dulu, sebab bukankah Syari'ah yang dirumuskan para Imam itu pun merupakan hasil ijtihad mereka. Para yurist pada abad IX dan X Hijriah, tentu sifat ijtihadnya pun terikat oleh masanya, oleh tantangan-tantangan sejarahnya.

Soalnya sekarang adalah, mari kita pertanyakan apakah kita pada abad XV Hijriah ini sudah mempunyai methodologi untuk merumuskan Sistem Nilai Islam yang bersumber pada al Quran yang dapat kita namakan pandangan bersama tentang Islam, sehingga di atas itu kita dapat membangun segala macam sistem.

Jika kita bicara tentang rekonstruksi masyarakat Islam, rekonstruksi tata politik Islam, kesemuanya tidak akan mungkin apabila "the world view" itu belum dibuat secara sistematis.

Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 menegaskan bahwa pintu ijtihad terbuka untuk dapat menginterpretasikan al-Quran. Karena jika kita terus menerus mengikuti para yurist yang dulu-dulu, maka Islam akan cenderung untuk begitu begitu saja. Kita hanya bangga dalam bayang bayang, tetapi dalam kenyataan kita hidup dalam kegetiran yang luar biasa.

Kita harus melakukannya sekarang. Jika tidak, kita akan dalam kebingungan intelektual keagamaan terus menerus sampai hari kiamat nanti.

Sumber: Dr. A Syafi’i Ma’arif, dalam Mencari Sistem Ekonomi Islam, editor: Djawahir Thontowi, SH dan Lukman Hakiem. Penerbit: LPPM UII, Yogyakarta. Cetakan I, 1985. Hal. 25 – 26.

Technorati Profile

Tuesday, October 21, 2008

Mas Bowo di Gang Madrasah


Budiono Darsono, mantan Redpel Tabloid DeTik, sekarang mengelola media internet detik.com atau the_tik.com, menulis kesaksiannya bertemu dengan Prabowo Subianto dalam Tabloid Adil, No. 45 Tahun ke-66, Agustus 1998, di bawah judul “Mas Bowo di Gang Madrasah.”

Gang Madrasah sempit. Tidak memungkinkan dua mobil jalan berpapasan, terjepit di kawasan mahal, Kemang, Jakarta Selatan. Di gang Madrasah itulah, di rumah konglomerat muda pemilik imperium bisnis Ika Muda Group, Soetrisno Bachir, saya, juga Zaim Uchrowi (Direktur Utama PT Adil) bertemu Mas Bowo.

Tanggal tepatnya saya lupa. Yang pasti bulannya Februari tahunnya 1991. Mas Bowo, begitu kami memanggil Prabowo Subianto. Waktu itu ia baru menyandang pangkat Letnan Kolonel. Siang itu ia tampil kelewat sederhana. Mengenakan blue jeans dan polo shirts bercorak garis-garis warna biru muda. Mas Bowo datang lebih cepat 5 menit dari waktu perjanjian pukul 13.00.

Sebagai menantu presiden, sebagai prajurit pasukan elit yang berjejuluk Kopassus, Mas Bowo membuat saya begitu kagum pada detik pertama, saat menjulurkan tangannya, menyalami saya. Kalem, sederhana, ganteng, dan sorot matanya menyiratkan kecerdasan. Tak terbersit sama sekali Mas Bowo seorang tentara.

Pertemuan siang itu, hanyalah pertemuan biasa. Adalah Soetrisno Bachir, yang punya janji sekaligus tuan rumah, dan mengajak saya dan Zaim bertemu Mas Bowo. Kami hanya sekedar bertukar pikiran. Tepatnya, kami menghibur diri sendiri, lantaran baru saja kena musibah. SIUPP Harian Berita Buana yang kami kelola diminta kembali oleh yang punya.

Tema obrolan pun ngalor-ngidul. Yang sampai kini saya masih heran, Mas Bowo begitu fasih membedah Pancasila, P-4, bahkan ajaran-ajaran Islam. Sampailah kemudian Mas Bowo melontarkan sebuah gagasan besar: ... bagaimana Indonesia menjadi bangsa besar yang sejajar dengan Amerika Serikat, sejajar dengan super power-super power lainnya.

Bagaimana agar Indonesia tidak menjadi negara kelas embek, yang jatahnya hanya untuk didikte-dikte, disuruh manut-manut saja, atau ditekan-tekan. “Presidennya kelak harus Habibie. Habibie sosok yang paling tepat menggantikan Pak Harto,” begitu kata Mas Bowo dengan penuh keyakinan. Habibie identik dengan teknologi tinggi, dan itulah syarat yang menyempurnakan sosok pemimpin masa depan.

Dengan penguasaan teknologi tinggi, Mas Bowo yakin, Habibie akan bisa mewujudkan kekuatan militer mutakhir: senjata nuklir. Senjata nuklir menjadi kata kunci untuk memenangi persaingan global. Dengan senjata nuklir, Mas Bowo yakin, Indonesia tidak lagi dilihat dengan sebelah mata. Nilai tawar pun kian tinggi. Dengan nuklir pula Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani. Bangsa yang tidak sekadar jadi mangsa negara-negara Barat. Mas Bowo yakin seyakin-yakinnya. Dahsyat!

Imam Yudotomo, Ketua Gerakan Mahasiswa Sosialis (Germasos), punya pengalaman lain yang diungkap dalam Adil No. 13, Tahun ke-67, Desember 1998, dalam laporan berjudul “Si Pelopor Gerakan LSM.”

Sekretariat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) cabang Yogyakarta, pada awal 1970 silam, kedatangan seorang pemuda dari Jakarta. Pria yang mengaku baru lulus SLTA itu menawarkan ide tentang perlunya membuat sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial, tapi memiliki dampak politik yang besar.

Ide tersebut ditanggapi dingin oleh para aktivis mahasiswa yang masih getol berdemonstrasi. Namun begitu, mereka sempat mempertemukan si pemuda yang belum dikenal itu dengan Imam Yudotomo. Lagi-lagi remaja berwajah bersih itu mengutarakan maksud kedatangannya. “Tampaknya dia diilhami oleh gerakan Marthin Luther King,” cerita Imam Yudotomo.

Tak lama kemudian, pemuda itu membentuk sebuah wadah dengan nama Lembaga Pembangunan. Lembaga ini berpusat di Jakarta, memiliki cabang di Yogyakarta dan Bandung. Beberapa tokoh mahasiswa Jakarta seperti Syahrir, Rahman Tolleng dan Suripto, turut membidani pendiriannya. Di Yogyakarta, lembaga ini dipimpin oleh Isti Sumardi. Sedangkan Imam Yudotomo, entah dengan alasan apa tidak dilibatkan.

Lembaga tersebut sedikit banyak dapat berjalan seperti yang diharapkan. Sejumlah aktivitas berhasil mereka lakukan. Misalnya, cabang Yogyakarta berhasil menyelenggarakan kegiatan pengobatan massal dan pembagian obat di daerah Wonosari, Gunungkidul. Kegiatan yang sasarannya meningkatkan kualitas hidup kaum miskin itu dapat berjalan atas bantuan pemerintah Australia.

Siapa pemuda yang mempelopori lembaga itu? Dialah Prabowo Subianto. Apa yang dulu dia lakukan adalah sesuatu yang kini dikerjakan oleh para aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Tak berlebihan jika Rahman Tolleng, menjuluki Prabowo sebagai pelopor gerakan LSM di Indonesia. Karena sejak awal 1980-an itulah, gerakan LSM tumbuh menjamur bagaikan cendawan di musim hujan.

Prabowo, putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo yang lahir di Jakarta 17 Oktober 1951 ini, memang berbakat menjadi seorang pemimpin. Semasa SMA, Prabowo pernah aktif di KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Di sinilah dia bergaul dengan tokoh-tokoh angkatan ‘66 yang tergabung dalam KAMI. Selepas SMA, dia diterima di tiga universitas terkenal sekaligus; George Washington University, Colorado University, dan sebuah universitas di Rhode Island.

Namun Prabowo yang pernah lama melanglang buana bersama ayahnya di luar negeri, memilih kembali ke Tanah Air, lalu membentuk Lembaga Pembangunan. Sayang, belum setahun, pendiriannya berubah. Dia tinggalkan begitu saja lembaga yang sudah berjalan itu. Dan, secara mengejutkan, Prabowo mendaftar ke Akademi Militer, Magelang. “Kalau ingin mengadakan perubahan di Indonesia harus melalui militer,” katanya pada beberapa kesempatan.

Prabowo akhirnya diterima menjadi taruna Akabri tahun 1970. Kendati sempat tinggal kelas, dia berhasil lulus pada 1974. Sejak itulah oleh para pengamat militer dia dijuluki sebagai The Golden Boy dan karena karier militernya meroket meninggalkan kawan-kawannya seangkatan di Akmil, ia mendapat tambahan predikat sebagai The Rising Star.

Prestasi Prabowo memang membanggakan. Keberhasilan Tim Kopassus mencapai puncak Everest di pegunungan Himalaya, 26 April 1997, adalah salah satunya. Saat itulah untuk pertama kalinya, takbir Allahu akbar dikumandangkan di pucuk gunung tertinggi di muka bumi ini.

Di bawah kepemimpinannya, Kopassus bukan saja menjadi pasukan elite yang amat solid. Tapi sekaligus bertabur prestasi. Bahkan sebuah koran asing, The Times, menyejajarkan Kopassus dengan pasukan elit terkemuka di dunia, SAS Inggris dan Special Force Israel. Ini menyusul keberhasilan korps baret merah tersebut membebaskan Tim Ekspedisi Lorentz (yang bekerja untuk World Wildlife Fund) yang disandera gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka) pimpinan Kelly Kwalik di Mapenduma, Irian Jaya, Mei 1996.

Bukan rahasia lagi kalau selama ini Prabowo dikenal dekat dengan kalangan Islam. Sejumlah tokoh dan organisasi Islam ‘garis keras’, mulai KISDI, ICMI, DDII, didekati. Julukan ABRI hijau akhirnya tak terelakkan. Lebih-lebih Prabowo kabarnya pernah mengklaim sebagai tentara Islam. Bukan itu saja. Prabowo juga diisukan anti Cina. Bahkan, ketika kerusuhan anti Cina 13-15 Mei 1998 meletus, Prabowo dituding sebagai dalangnya.

Selamat Ulang Tahun yang ke-57 buat Mas Bowo, semoga kesabaran dan kesyukuran selalu menyertai setiap derap-langkah Mas Bowo menuju Indonesia Raya tercinta di bawah lindungan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

NUR dari TIMUR


Ia yang pernah hidup di Barat tahu kalau berbicara itu amat penting. Dibandingkan kehidupan di Timur, lebih banyak hal di Barat yang diekspresikan dengan kata-kata.

Fight, argue, dan complain, itulah ciri-ciri manusia yang disebut "hidup" di Barat. Tanpa perlawanan, tanpa adu argumentasi, orang dianggap "tidak hidup" di Barat. Intinya, melawan itu kuat, diam itu lemah, melawan itu cerdas, dan pasrah itu tolol.

Dengan latar belakang berbeda, pola hidup ala Barat ini menyebar cepat melalui televisi, internet, radio, media, dan lainnya. Dengan bungkus seksi demokrasi, hak asasi manusia, semua dibawa ke Timur sehingga dalam banyak keadaan (angka bunuh diri naik di Jepang, Thailand mengalami guncangan politik, Pakistan ditandai pembunuhan politik), banyak manusia di Timur mengalami kebingungan roh Timur dengan baju Barat.

Perhatikan kehidupan desa sebagai barometer. Tanpa banyak berdebat siapa yang akan menjadi presiden, ke mana arah masa depan, partai apa yang akan menang. Di desa yang banyak burungnya, tetapi manusianya banyak menonton televisi (sebagai catatan, realita di desa amat sederhana, tontonan di televisi amat menggoda), tema hidup setiap pagi adalah "burung menyanyi, manusia mencaci".

Berhenti melawan
Bayangkan seseorang yang tidak bisa berenang lalu tercemplung ke sungai yang dalam. Pertama-tama ia melawan. Setelah itu tubuhnya tenggelam. Karena tidak bisa bernapas, meninggallah ia. Anehnya, setelah meninggal tubuhnya mengapung di permukaan air. Dan alasan utama mengapa tubuh manusia meninggal kemudian mengapung karena ia berhenti melawan.

Ini memberi inspirasi, mengapa banyak manusia tenggelam (baca: stres, depresi, banyak penyakit, konflik, perang) karena terus melawan. Yang menjadi guru mau jadi kepala sekolah. Orang biasa mau jadi presiden. Pegawai mau cepat kaya seperti pengusaha. Intinya, menolak kehidupan hari ini agar diganti kehidupan yang lebih ideal kemudian. Tidak ada yang melarang seseorang jadi presiden atau pengusaha, hanya alam mengajarkan, semua ada sifat alaminya Seperti burung sifat alaminya terbang, serigala berlari, dan ikan berenang.

Suatu hari konon binatang iri dengan manusia karena memiliki sekolah. Tak mau kalah, lalu didirikan sekolah berenang dengan gurunya ikan, sekolah terbang gurunya burung, sekolah berlari gurunya serigala. Setelah mencoba bertahun-tahun semua binatang kelelahan. Di puncak kelelahan, baru sadar kalau masing-masing memiliki sifat alami. Dalam bahasa tetua di Jawa, puncak pencaharian bertemu saat seseorang mulai tahu diri.

Meditasi tanpa perlawanan
Nyaris semua manusia begitu berhadapan dengan persoalan, penderitaan langsung bereaksi mau menyingkirkannya. Bosan lalu cari makan. Jenuh kemudian cari hiburan. Sakit lalu buru-buru mau melenyapkannya dengan obat. Inilah bentuk nyata dari hidup yang melawan sehingga berlaku rumus sejumlah psikolog what you resist persist. Apa saja yang dilawan akan bertahan. Ini yang menerangkan mengapa sejumlah kehidupan tidak pernah keluar dari terowongan kegelapan karena terus melawan.

Berbeda dengan hidup kebanyakan orang yang penuh perlawanan, di jalan meditasi manusia diajari agar tidak melawan. Mengenali tanpa mengadili. Melihat tanpa mengotak-ngotakkan. Mendengar tanpa menghakimi. Bosan, sakit, sehat, senang, dan sedih semua dicoba dikenali tanpa diadili. Ia yang rajin berlatih mengenali tanpa mengadili, suatu hari akan mengerti.

Dalam bahasa Inggris, mengerti berarti understanding, bila dibalik menjadi standing under. Seperti kaki meja, kendati berat menahan, ia akan berdiri tegak menahan meja. Demikian juga dengan meditator. Persoalan tidak buru-buru dienyahkan, penderitaan tidak cepat disebut sebagai hukuman, tetapi dengan tekun ditahan, dikenali, dan dipelajari. Setelah itu terbuka rahasianya, ternyata keakuan adalah akar semua penderitaan. Semakin besar keakuan semakin besar penderitaan, semakin kecil keakuan semakin kecil persoalan. Keakuan ini yang suka melawan.

Indahnya, sebagaimana dialami banyak meditation master, saat permasalahan, penderitaan sering dimengerti dalam-dalam sampai ke akar-akarnya, diterangi dengan cahaya kesadaran melalui praktik meditasi, ia lalu lenyap. Ini mungkin penyebab mengapa Charlotte JokoBeck dalam Nothing Special menulis, "Sitting is not about being blissful or happy. It's about finally seeing that there is no real difference between listening to a dove and listening to somebody criticizing us". Inilah berkah spiritual meditasi. Tidak ada perbedaan antara mendengar merpati bernyanyi dan mendengar orang mencaci. Keduanya hanya didengar. Yang bagus tak menimbulkan kesombongan. Yang jelek tak menjadi bahan kemarahan. Pujian berhenti menjadi hulunya kecongkakan. Makian berhenti menjadi ibunya permusuhan.

Saat melihat hanya melihat. Ketika mendengar hanya mendengar. Perasaan suka-tidak suka berhenti menyabotase kejernihan dan kedamaian. Meminjam lirik lagu Bob Marley dalam Three little birds: don’t worry about the things, every single thing would be allright. Tidak usah khawatir, semua sudah, sedang, dan akan berjalan baik. Burung tak sekolah, tak mengenal kecerdasan, tetapi terhidupi rapi oleh alam, apalagi manusia. Inilah meditasi tanpa perlawanan. Paham melalui praktik (bukan dengan intelek) jika keakuan akar kesengsaraan. Begitu kegelapan keakuan diterangi kesadaran, ia lenyap. Tidak ada yang perlu dilawan.

Seorang guru yang telah sampai di sini berbisik: the opposite of injustice is not justice, but compassion. Selama ketidakadilan bertempur dengan keadilan, selama itu juga kehidupan mengalami keruntuhan. Hanya saling mengasihi yang bisa mengakhiri keruntuhan. Sejumlah sahabat di Barat yang sudah membadankan kesempurnaan meditasi seperti ini kerap menyebut ini dengan Nur dari Timur. Cahaya penerang dari Timur di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, dan kebodohan. Seperti listrik bercahaya karena memadukan positif-negatif, meditasi hanya perpaduan kesadaran-kelembutan, membuat batin bisa menerangi diri sendiri.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
KOMPAS, 18 Oktober 2008

Di Mana dan ke Mana Indonesia?


Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat. Tahun 2015 penduduk bumi naik menjadi delapan miliar. Indonesia sekarang sekitar 225 juta orang, naik lebih tiga kali lipat saat kita menyatakan kemerdekaan tahun 1945.
Optimisme untuk melawan kemiskinan global kian kuat. Angka statistik sebagaimana dikutip Fareed Zakaria dalam buku terbaru, The Post-American World (Mei 2008) dan sumber lain menjelaskan semua itu. Tahun 1981 ada sekitar 40 persen penduduk dunia dengan penghasilan hanya satu dollar AS per hari, tahun 2004 tinggal 18 persen. Diharapkan pada tahun 2015 akan menurun sampai 12 persen. Terorisme juga akan jauh berkurang dalam beberapa tahun mendatang karena rakyat telah semakin membencinya. Dengan demikian, ketakutan kaum neokons AS, termasuk McCain, terhadap bahaya teror kian kehabisan alasan.

Kelompok neokons tidak saja cemas terhadap bahaya teror yang dapat mengancam negerinya, mereka juga amat khawatir bahwa AS akan kian kehilangan wibawa global, bahkan keruntuhan, sebagaimana penulis Perancis Emmanuel Todd telah mengatakan demikian sejak tahun 2002 dalam buku terkenal: After the Empire: The Breakdown of the American Order. Todd juga yang pernah meramalkan kehancuran Uni Soviet tahun 1975, jauh sebelum perestroika Mikhail Gorbachev dilancarkan.

Saya sendiri saking marah terhadap Bush pernah terpukau oleh Todd bahwa nasib AS tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Namun dengan karya Fareed Zakaria itu, saya harus bersikap lebih berhati-hati tentang hari depan AS. Yang akan terjadi bukan hancurnya AS sebagai bangsa dan negara, tetapi dalam ungkapan Zakaria adalah karena the rise of the rest (munculnya pusat-pusat kekuatan baru) yang dapat menyaingi, bahkan mengalahkan AS, khususnya di bidang ekonomi dan investasi. Bukankah sekarang dana investasi terbesar di planet bumi ada di Abu Dhabi, pusat industri film terbesar dunia adalah Bollywood (Mumbai, India), bukan lagi Hollywood? Gedung tertinggi kini di Taipei, sebentar lagi di Dubai. Perusahaan publik terbesar ada di Beijing, bukan di New York. Pesawat penumpang terbesar dibuat di Eropa, bukan di AS.
Dengan demikian, AS sebagai adikuasa satu-satunya pasca-Perang Dingin telah berakhir. Meski dari segi militer, AS masih kuat, hulu ledak nuklirnya berjumlah 830, dibandingkan China hanya 20, tetapi sudah tidak bisa lagi mendikte dunia, seperti dilakukan selama lebih dari setengah abad terakhir. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika kini berlomba bangkit.

Indonesia 2015
Berbagai kekuatan baru itu sebenarnya sudah dikenali, yaitu: China, India, Brasil, plus Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Cile, Afrika Selatan, Malaysia, Argentina, dan Rusia. Pertanyaannya, di mana dan ke mana Indonesia tahun 2015? Brasil yang dulu sarat korupsi, dengan kepemimpinan visioner, segalanya mulai berubah secara fundamental. Negeri jiran Malaysia, meski terjadi keretakan politik domestik, toh fundamental ekonominya lebih tertata.

Di Indonesia, dalam tenggang 10 tahun reformasi belum terjadi perubahan yang mendasar di bidang ekonomi. Birokrasi kita masih korup dan tidak efisien. Kita tetap rentan menghadapi gejolak pasar dunia; bukan saja rentan, bahkan sering lingkung. Apakah negeri kita terlalu luas dan sulit diatur? Inilah yang memprihatinkan, mengapa negeri kepulauan ini belum melahirkan negarawan yang siuman dan paham betul bagaimana memperbaiki keadaan agar bangsa ini lebih bermartabat dan punya kebanggaan diri.

Memang ada administrator di posisi bagian puncak yang cakap dan berani, tetapi sungguh sulit untuk dijual di pangsa pasar politik. Polling-polling yang ada tetap menyudutkan tokoh ini, padahal dialah pemain sebenarnya di balik keberhasilan negara ini dalam mengatasi masalah Poso dan Aceh.

Adapun di bidang ekonomi, kita masih rapuh. Resep-resep IMF dan Bank Dunia untuk perbaikan fundamental ekonomi sejak beberapa tahun ini adalah cerita kegagalan meski ada saja ekonom kita yang tercuci otaknya oleh resep itu.

Pemimpin visioner
Fareed Zakaria tentu belum akan memasukkan Indonesia dalam kategori the rise of the rest karena argumen dan data statistik untuk itu belum tersedia. Inilah sebuah negeri yang sebenarnya tidak terlalu miskin dalam sumber alam, tetapi amat sulit menemukan pemimpin visioner yang berani ambil risiko untuk kepentingan lebih besar: bangsa dan negara.

Politisi jangan ditanya lagi. Prioritas utama mereka umumnya adalah bagaimana menggerogoti harta negara untuk kepentingan sesaat. Sungguh tragis, lingkungan kultur kita tetap kumuh. Dengan tingkat kemiskinan sekarang berdasar standar dua dollar AS per hari per kepala, angkanya pasti di atas 100 juta warga negara atau sekitar 40 persen yang masih berkubang dalam kemiskinan.

Mati karena berebut zakat beberapa waktu lalu adalah salah satu indikator tentang keadaan riil masyarakat kecil kita. Drama ini amat menyakitkan. Namun, itulah realitas kita. Saya tidak tahu berapa jumlah elite politik kita yang benar-benar punya keprihatinan tentang bangsa ini?

Jika pada tahun 2015, angka kemiskinan dunia akan turun menjadi 12 persen, bagaimana Indonesia tahun 2014 saat pemilu kita laksanakan lagi? Proses demokratisasi yang tidak punya dampak positif bagi perbaikan gizi rakyat adalah sebuah malapetaka meski peradaban manusia belum menemukan sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Di sinilah dilemanya, di sinilah tantangan besar itu sedang berada di depan bangsa kita. Bahwa kita bisa bangkit, saya tidak meragukan, tetapi itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan siap berkorban, dimulai dari pemimpin sebagai pelayan publik.

Ahmad Syafii Maarif
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah
KOMPAS, 18 Oktober 2008

Friday, October 3, 2008

Krisis Keuangan Global



Banyak warga kaya, yang mempunyai uang lebih, menanamkan dana lewat lembaga keuangan asing. Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam memilih produk investasi asing lewat agen asing adalah brand, yang dianggap jaminan mutu.

Di Indonesia, Citibank misalnya, dipersepsikan sebagai jaminan mutu di tengah rimba kegelapan, akibat minimnya pengetahuan warga kaya soal keamanan investasi. Postulat ini telah gugur, setidaknya untuk sementara dan setidaknya di mata sejumlah nasabah Citibak yang termakan “rayuan” untuk membeli surat-surat berharga terbitan Lehman Brothers.

Tigor M Siahaan, Direktur Pelaksana dan Manajer Bisnis Citibank Indonesia, mengatakan, Citibank bukan penjamin, tetapi hanya sebagai penjual produk Lehman (Kompas, edisi 24 September).

Ke depan, penyandaran kepercayaan yang didasarkan pada citra tidak bisa dilakukan lagi tanpa reserve. Bukti sudah banyak, citra, brand tidak lagi bisa dipakai secara membabi buta. UBS, Societe Generale, Lehman Brothers, AIG, Merrill Lynch, terbukti terjebak dalam investasi di sektor perumahan Amerika Serikat.

Nama-nama besar itu, kampiun keuangan dunia, tidak lagi bisa dipercayai begitu saja. Para nasabah dunia juga sudah ada yang menarik sebagian dananya dari pasar. Financial Times edisi 24 September, dengan mengutip Citigroups, menyebutkan 600 miliar AS dana telah ditarik pemiliknya dari pasar. Hal ini akan berdampak pada terganggunya aktivitas perekonomian global.

Kini pemodal hanya menanamkan dana di produk yang dianggap sebagai super aman karena tidak ada jaminan keamanan investasi.

Mengapa tak ada jaminan?
Sebuah revolusi ekonomi, dimulai dari era almarhum Presiden Ronald Reagan. Presiden ini meyakini, sesuai dengan opini Chicago boys (alumnus University of Chicago), pasar akan bergerak lebih dinamis dan fleksibel jika tidak diatur. Dengan kata lain, peran dan keberadaan birokrasi justru menjadi beban dan penghambat fleksibilitas pasar dan ekonomi.

Opini ini mengalahkan pandangan para ekonom MIT, yang memilih regulasi pasar. Alasannya, ada premis-premis yang tidak dipenuhi oleh pasar, yakni unsur kerakusan, yang bisa membuat pelaku pasar, termasuk pelaku di sektor keuangan, mengumbar nafsu, ingin meraup untung dengan berjudi di produk-produk spekulatif. Hal seperti ini dengan jelas pernah dikritik Joseph E Stiglitz, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, ketika berbicara soal kemunafikan AS di pasar uang.

Muncullah dotcom-dotcom di akhir era 1990-an, yang dibuat jadi tambang untung, ternyata kemudian membuat dana-dana buntung. Lalu muncullah sektor perumahan AS, yang sejak 2001 dipoles sedemikian rupa seolah-olah menjadi sarana investasi paling menggiurkan. Terlalu banyak dana dialokasikan ke sektor perumahan hingga akhirnya jenuh. Harga rumah anjlok dan sebagian dana yang dialokasikan barangkali tak akan pernah kembali dan kemudian menjadi pemicu krisis.

Menurut Gubernur Bank Sentral Italia Mario Draghi, perbankan dunia membutuhkan suntikan modal sekitar 350 miliar dollar AS karena kerugian di sektor perumahan AS. Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss Kahn mengatakan, perbankan dunia membutuhkan suntikan modal baru sekitar 500 miliar dollar AS.

Menurut Draghi, tak semua bank berhasil mendapatkan dana tersebut. “Sejumlah perbankan akan bangkrut dan mungkin ada yang berhenti beroperasi,” kata Strauss Kahn.

Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan besar nasabah, termasuk nasabah di Indonesia juga akan menjadi korban, sebagaimana korban Lehman Brothers.

Pilihannya adalah, pikirkan kembali keamanan investasi Anda, atau tariklah dana-dana itu jika masih mungkin untuk sementara, dan relalah mendapatkan keuntungan yang lebih kecil, tetapi yang pasti dana selamat.

Alasannya, otoritas Indonesia juga tidak mengatur produk-produk, yang oleh media asing disebut sebagai toxic. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman Hadad, mengatakan, BI segera menerbitkan peraturan soal produk asing yang akan memberi panduan. Namun jangan lupa, BI hanya sebatas melakukan itu, bukan menjamin.

Jerman berang
Bukan hanya nasabah korban, Jerman pun berang dan menyalahkan AS yang dituding menyebabkan krisis keuangan global. AS membiarkan keserakahan demi meraup untung besar tanpa kontrol lewat pengaturan di pasar uang, yang menyebabkan praktik penipuan bermunculan.

“Krisis telah menyebabkan dua sisi Atlantik terjebak,” kata Menkeu Jerman Peer Steinbrueck seraya menambahkan, krisis itu akan membuat AS kehilangan status sebagai superpower sektor keuangan. Dia juga meramalkan, yen, euro, yuan akan menandingi reputasi dollar AS.

Begitu goyah dan rapuhnya sektor keuangan, sehingga Gedung Putih buru-buru mengajukan paket penyelamat sektor keuangan, dengan menyuntikkan dana 700 miliar ke korporasi keuangan AS yang sakit-sakitan. Hal ini mendapatkan perlawanan keras di Kongres AS, yang seharusnya segera melahirkan undang-undang untuk peluncuran penalangan itu.

Lagi, di harian Financial Times, edisi 24 September, George Soros, menulis secara terang-terangan, bahwa penalangan jangan diberikan begitu saja. Harus ada kejelasan bahwa korporasi keuangan tidak lagi melakukan kesalahan lama. Juga harus ada kejelasan bahwa dana talangan itu harus kembali suatu saat di kemudian hari.

Simon Saragih
KOMPAS, 28 September 2008