Sunday, September 28, 2008

Amerika Serikat Dorong Penjualan Senjata


Harian The New York Times, Minggu (14/9/2008), memaparkan rencana pemerintahan Presiden Amerika Serikat George W Bush mendorong lebih aktif penjualan persenjataan dan perlengkapan militer, seperti tank, helikopter, pesawat jet, kapal perang, pesawat tanpa awak, hingga peluru kendali.

Penjualan senjata itu dilaporkan terkait dengan perang di Irak dan Afganistan. AS berencana meningkatkan kekuatan yang ada di dua wilayah itu. AS mendorong pembelian senjata untuk tujuan militernya di luar negeri. Namun, AS juga berupaya mendorong penjualan senjata kepada negara lain.

Harian The New York Times juga mengungkapkan, senjata dan berbagai macam perlengkapan militer itu untuk mengantisipasi ancaman serangan dari Korea Utara dan Iran. Khusus untuk tahun ini, penjualan persenjataan dan perlengkapan militer yang lain buatan AS mencapai sekitar 32 miliar dollar AS, tahun 2005 penjualan mencapai 12 miliar dollar AS.

Penjualan senjata meluas
Selama ini fokus penjualan AS adalah ke Timur Tengah, kini meluas ke Afrika Utara, Asia, Amerika Latin, Kanada, dan Eropa. “Ini bukan perdagangan senjata ilegal, tetapi membangun dunia yang lebih aman,” sebut The Times yang mengutip komentar Wakil Komandan Angkatan Udara Bruce Lemkin.

Dua tahun terakhir Irak telah menyepakati pembelian lebih dari 3 miliar dollar AS dan akan membeli lagi perlengkapan militer hingga 7 miliar dollar AS. Dalam tiga tahun terakhir ini Pemerintah AS juga sepakat membeli senjata dan peralatan militer sekitar 10 miliar dollar AS terkait ketakutan pada Iran.

Departemen Pertahanan menyebutkan, Argentina, Brasil, India, Irak, Pakistan, Azerbaijan, Maroko, dan Georgia adalah pelanggan senjata AS yang baru. Uni Emirat Arab berencana membeli antirudal AS seharga 16 miliar dollar AS. Arab Saudi dan Israel -pelanggan tetap AS- juga meningkatkan pesanan. Ketua Komite Luar Negeri di DPR AS Howard Berman mengkhawatirkan peningkatan transaksi senjata justru mengancam perdamaian dunia.

KOMPAS, 15 September 2008

Wednesday, September 24, 2008

Umat Islam Harus Tawarkan Solusi


Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Tanah Air selalu dapat perhatian dari pimpinan negara Islam. Bahkan, dunia Islam menaruh harapan besar bagi kepeloporan Indonesia untuk membangun peradaban Islam menyeluruh dan memainkan peran bagi kemajuan dunia Islam. Itu sebabnya umat Islam harus menawarkan solusi bagi permasalahan yang ada. Hal ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan sambutan dalam tasyakur 75 tahun Pondok Pesantren as-Syafi’iyah dan 27 tahun Badan Kontak Majelis Taklim di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (10/8/2008).

Menurut Yudhoyono, untuk dapat memainkan peran bagi kemajuan Islam, membangun Islam yang baik, Islam harus mampu menawarkan solusi bagi berbagai permasalahan yang ada. Perbedaan yang ada dalam umat Islam harus dianggap sebagai keniscayaan dan rahmat. “Islam itu damai, teduh, cinta keadilan, dan antikekerasan. Islam harus membangun persatuan dan menjauhi perpecahan,” ujarnya. Ia mengajak para tokoh agama, ulama, dan umat untuk membimbing dan membina umat agar tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji. “Ulama harus bisa mencontoh sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW, yang terus berjuang tiada henti untuk membangun umat agar senantiasa berada di bawah naungan al-Quran,” ujarnya.

Umat Islam, menurut Yudhoyono, harus menjalani Islam sebaik-baiknya, patuh pada ajaran, dan menjalankan Islam secara benar sesuai dengan al-Quran dan sunah. Selain itu, ulama jangan mengajarkan Islam yang keliru, apalagi menyiarkan ajaran keliru tersebut, karena akan merugikan umat Islam. Yudhoyono juga berharap ulama dapat menyelesaikan perbedaan yang timbul dan membimbing umat yang tersesat, serta jangan membiarkan saja. “Membiarkan saja, itu kekeliruan. Jadi, selamatkanlah yang tersesat,” ujarnya.

Sebelumnya Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim Tuti Alawiyah mengingatkan, Islam Indonesia bisa berperan pada percaturan dunia Islam. Apalagi negara-negara Islam juga telah memberikan perhatian yang besar pada umat Islam Indonesia. Secara terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam tablig akbar di Masjid Agung Ciputat mengingatkan umat Islam Indonesia agar senantiasa dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapi umat dan bangsa Indonesia. Umat Islam Indonesia, menurut Din, baru besar dalam jumlah, tetapi belum optimal sebagai penyelesai masalah bangsa.” Artinya, umat Islam baru menjadi bagian dari masalah dan belum menjadi bagian penyelesai masalah,” ujarnya.

KOMPAS, 11 Agustus 2008
Technorati Profile

Waspada Merapi


Lukisan karya Heri Suyanto

Sunday, September 21, 2008

Ekonomi Global di Tepi Jurang


Pengumuman kebangkrutan Lehman Brothers Holdings Inc, Senin (15/9/2008), sepertinya telah memojokkan perekonomian global ke bibir jurang. Kini situasinya menjadi sangat kritis.
Bayangkan, bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat, yang sudah teruji selama 158 tahun, dengan aset 639 miliar dollar AS, bisa bangkrut. Padahal, bank ini pernah berhasil melewati masa-masa sulit saat terjadi kebangkrutan perusahaan kereta api di AS tahun 1800-an, depresi dunia tahun 1930-an, serta runtuhnya hedge fund Long-Term Capital Management (LTCM) pada tahun 1998. Kini semua kehebatan itu tak berbekas.

Meski krisis subprime mortgage sudah berlangsung sejak Juli 2007 dan beberapa bank investasi besar sempat mengumumkan kerugiannya, termasuk Citigroup dan Merrill Lynch, tetapi berita bangkrutnya Lehman Brothers merupakan hal yang mengejutkan. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, kasus kerugian bank investasi biasanya berakhir dengan solusi bail out, yakni penyuntikan dana untuk menambah modal. Akhir-akhir ini, investor dari Timur Tengah (sovereign wealth fund) terlihat amat aktif memborong aset-aset perusahaan AS terkemuka. Investor Timur Tengah bahkan menyuntikkan dana puluhan miliar dollar AS ke Citigroup, bank universal yang menjadi salah satu ikon terpenting sektor finansial AS.

Kini, yang menjadi masalah adalah, banyak yang meyakini, kebangkrutan Lehman Brothers bukan kasus terakhir. Masih ada sejumlah kasus lain menyusul, yang antara lain disebabkan oleh risiko sistemik (systemic risk) karena Lehman Brothers memiliki banyak kewajiban kepada banyak kreditor. Seluruh utang Lehman Brothers mencapai 613 miliar dollar AS. Jumlah ini sedikit lebih rendah daripada asetnya yang diklaim 639 miliar dollar AS. Namun, apakah angka-angka itu valid? Kalaupun valid, berapa lama aset-aset itu bisa dicairkan?

Dua kreditor besar Lehman Brothers adalah Citibank dan Bank of New York Mellon, yang memegang obligasi 138 miliar dollar AS. Jika aset-aset itu tidak tertagih, bank-bank ini akan terkena dampak risiko sistemik. Seberapa parah kondisi ini akan menyeret perekonomian global ke jurang krisis atau resesi? Bagaimana implikasinya terhadap perekonomian Indonesia?

Tiga ”jurus”
Dalam menghadapi ancaman resesi ini, pemerintah federal AS setidaknya mengandalkan pada tiga ”jurus”, yang merupakan kombinasi kebijakan (policy mix) antara moneter, fiskal, dan penyelamatan korporasi finansial. Kebijakan moneter yang bisa dipilih adalah menurunkan suku bunga. Pada saat ini, suku bunga bank sentral (Fed funds rate) adalah 2,0 persen. Pilihan bagi Fed hanya dua: menurunkan suku bunga, misalnya menjadi 1,75 persen atau 1,50 persen, atau menahannya di level 2,0 persen. Kebanyakan analis ekonomi di AS, menurut survei Bloomberg, Selasa (16/9), berpendapat, The Fed cenderung akan menurunkan suku bunganya.

Memang hal ini berisiko. Inflasi year on year (12 bulan terakhir) AS kini sudah tinggi, 5,6 persen. Penurunan suku bunga akan memicu inflasi lebih tinggi. Namun, dengan harga minyak yang meluncur turun ke level 91 dollar AS per barrel, yang berarti bisa menekan inflasi, maka diduga The Fed akan memilih kebijakan ini. Penurunan suku bunga juga bisa membantu bursa saham mengalami rebound (memantul ke atas) karena dana akan mengalir dari pasar uang ke pasar modal.

Sementara itu, penurunan suku bunga AS juga akan menyebabkan mata uang dollar AS melemah terhadap euro dan poundsterling. Ini akan menjadi berita buruk bagi Eropa dan Inggris, yang selama ini sudah amat tertekan neraca perdagangannya akibat mata uangnya terlalu kuat. Mereka juga akan menurunkan suku bunga. Kawasan lain, misalnya Australia, juga menurunkan suku bunganya agar mata uangnya tidak menjadi terlalu kuat sehingga bisa memperbaiki neraca perdagangannya.

Sedangkan kebijakan stimulus fiskal dilakukan pemerintah federal melalui pengembalian uang pajak kepada masyarakat (tax refund) agar dapat dibelanjakan, sejumlah 157 miliar dollar AS. Kebijakan ini lumayan sukses, buktinya sisi konsumsi AS cukup tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi masih positif (sekarang 2,2 persen), yang berarti belum resesi. Para ekonom biasanya mendefinisikan resesi sebagai situasi pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berurutan.

Yang agak membingungkan adalah kebijakan penalangan (bail out). Menteri Keuangan Henry Paulson menolak untuk menyelamatkan Lehman Brothers karena tidak mau menginjeksinya dengan dana yang berasal dari pajak yang dibayar masyarakat. Sikap ini juga dimaksudkan sebagai terapi kejut agar pengelola bank lebih berhati-hati (Jakarta Post, 16/9). Sikap ini agak aneh karena sebelumnya pemerintah mau menalangi Bear Stearns, Fannie Mae, dan Freddie Mac. Apa bedanya? Saya menduga penyebabnya karena kasus Lehman Brothers berskala jauh lebih besar. Jika ditalangi, bisa menimbulkan moral hazard. Ini tidak baik dari sisi tata kelola perusahaan (corporate governance). Namun, membiarkan Lehman Brothers mati sungguh berisiko. Bank-bank lain bisa berguguran terkena efek domino. Bisakah Menkeu Paulson berubah pikiran?

Meredakan kepanikan
Indonesia tidak bisa menghindar dari dampak negatif kejadian ini. Karena sedikitnya 50 persen investor di Bursa Efek Indonesia adalah pemain asing, maka kepanikan di New York serta-merta juga diekspresikan di Jakarta. Akibatnya, bursa efek kita kalang kabut dan indeks harga jatuh ke 1.700-an atau kembali ke level akhir 2006.

Secara teknis, agak sulit mencegah para investor asing tidak menarik dananya dari Jakarta. Mereka sedang berusaha mengurangi kerugian di New York dengan melepas aset di Jakarta. Namun, bagi investor domestik, otoritas bursa harus berusaha meyakinkan mereka bahwa seharusnya tidak ada hubungan langsung antara kepanikan sektor finansial di New York dan di Jakarta. Karakteristik bank-bank investasi AS berbeda, mereka memiliki exposure di kredit perumahan yang kurang berkualitas (subprime mortgage) dan produk turunannya. Sedangkan bank-bank di Indonesia, tidak memiliki exposure semacam itu. Bank-bank kita lebih banyak bermain di kredit konsumen dan komersial, yang relatif lebih aman. Justru dengan harga saham yang sedang rendah di Jakarta, inilah saatnya membeli, bukan menjual.

Secara fundamental, perekonomian Indonesia sebenarnya sedang baik-baik saja meski tidak terlalu impresif. Pertumbuhan ekonomi semester I-2008 sebesar 6,39 persen termasuk baik dan di luar dugaan. Industri perbankan juga mencatat kinerja yang mengejutkan. Ekspansi kredit mencapai 35 persen, suatu level yang tak terbayangkan sebelumnya. Akibatnya, indikator loan to deposit ratio (LDR) atau rasio antara kredit berbanding dana pihak ketiga mencatat rekor tertinggi sejak krisis 1998, yakni 76 persen. Artinya, industri perbankan sedang berakselerasi.

Memang ada masalah inflasi (y-o-y) yang kini 11,85 persen. Namun, itu bisa dipahami karena kenaikan harga BBM domestik yang tak terhindarkan akibat harga minyak dunia yang pernah mencapai 147 dollar per barrel (11/7). Bahkan negara Singapura pun, yang mestinya gampang menangani inflasi, ternyata gagal (inflasi 6,5 persen). Inflasi yang jauh lebih tinggi dialami Pakistan (23 persen) dan Vietnam (27 persen). Masalah lain adalah surplus perdagangan yang menipis menjadi tujuh miliar dollar AS (Januari-Juli 2008), jauh menurun dibandingkan hampir 40 miliar dollar AS di sepanjang 2007. Melemahnya surplus perdagangan ini ikut memberi andil penurunan cadangan devisa Bank Indonesia, dari 60 miliar dollar AS menjadi 57 miliar dollar AS.

Semua gambaran fundamental itu sebenarnya tidak perlu membuat panik bursa efek kita. Terlebih dengan harga minyak yang kini 91 dollar per barrel, mestinya menimbulkan optimisme bahwa ancaman inflasi dari faktor eksternal (imported inflation) dapat dikendalikan. Jadi, kunci solusi dari gonjang-ganjing ini adalah apakah kepanikan dapat dikendalikan?

Mudah-mudahan para pelaku bursa segera kembali menemukan rasionalitasnya, dan memborong kembali saham-saham yang kini berharga murah. Kerja sama bank sentral negara-negara maju untuk memasok likuiditas juga akan menjadi faktor kunci. Di Indonesia, upaya Departemen Keuangan untuk mencairkan dana Rp 120 triliun dari rekeningnya di Bank Indonesia, untuk dibelanjakan secara efektif bisa menjadi stimulus fiskal yang bisa meredakan ketegangan likuiditas, yang akhir-akhir ini sedemikian ketat.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI
KOMPAS, 17 September 2008

Tuesday, September 9, 2008

Inspirasi Amerika Latin


Derasnya arus neososialisme yang merambah Amerika Latin kian menjadi perhatian dunia. Bisa saja hal itu dilihat secara miris, sekadar reaksi atas gembosnya roda kapitalisme.
Namun, bila pengaruhnya sudah menggurita mencakup Kuba, Venezuela Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan kini Paraguay, hal itu bukan lagi kebetulan.


Pesimisme
Awal abad XX dengan janji kesejahteraan menyeluruh, disambut penuh antusias di Amerika Latin dan diakui para uskup AL dalam Dokumen Medellin (1968). Ada optimisme bakal terwujudnya emansipasi total, pembebasan dari segala bentuk perbudakan, kemantangan pribadi, dan integrasi kolektif.
Dalam kenyataan, harapan itu cepat sirna. Optik desarrollista (asal dianggap maju) yang mengandalkan pinjaman luar negeri, dengan cepat diketahui kedoknya. Kesejahteraan yang dijanjikan berubah wajah menjadi seram. ”Bantuan” telah menggiring negara miskin ke jalan buntu. Mereka terus ”dibuntuti” untuk melunasi utang luar negeri.
Oleh Leonardo Boff (Pasado y Futuro de la Teologia de la Liberacion, 1987) kenyataan ini dilihat sebagai produk logika pasar (logica del mercado). Di sana modal dibiarkan bergerak semau gue. Sementara itu, gerakan ke arah pendistribusian kekayaan demi meratanya kesejahteraan dibendung.
Bukan itu saja. Kemiskinan menjadi awal dari serentetan kekerasan baru. Konflik, pertentangan, peperangan, kelaparan, dan kematian menjadi wajah baru. Oleh José Comblin (Liberación y Cautiverio, 1976), fenomena ini disebut kekerasan yang terinstitusionalisasi (violencia institucionalizada). Hal ini memprihatinkan. Hidup seakan tidak berharga karena begitu mudah dimangsa kematian oleh perebutan makanan.

Logika kehidupan
Jeratan neokapitalisme yang dipromotori oleh saudara sebenua AS dengan cepat disadari. Tawaran memperbanyak senjata dan menggandakan militer demi mengatasi konflik dipahami sebagai taktik licik. Di sana, atas ”nama keamanan”, sejumlah negara miskin (tetapi kaya sumber alam) dipaksakan memiliki delapan kali lipat tentara daripada jumlah dokter (R Ruiz, El Paiz, 1992). Padahal, masalah yang dihadapi adalah ancaman kematian oleh kelaparan.
Kuba yang cukup mahir mempelajari gelagat ”sang tetangga”, menawarkan jalan keadilan sosial. Kekayaan bersama dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama dan menjamin hak hidup masyarakat. Tak pelak, puluhan rumah sakit dibangun. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba yang hanya berpenduduk 10 juta jiwa memiliki 4.000 tamatan dokter spesialis setiap tahun. Sebanyak 30.000 dokter bekerja di jaringan rumah sakit (red de hospitales), 20.000 lebih sebagai dokter keluarga. Yang lain sebagai peneliti dan pengajar di berbagai tempat. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba telah menjadi pionir dalam pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran di seluruh Amerika Latin (Gianni Mina, Habla Fidel, 1987). Seluruh dokter tamatan Kuba kini melayani hampir 70 juta penduduk dunia.
Venezuela dengan keunggulan sumber daya alam tidak kurang keterlibatan sosialnya. Pada saat dunia menjerit akibat kenaikan harga BBM, Chavez menawarkan ”harga berdamai” kepada sesama negara di Amerika Latin. Ia bahkan menawarkan harga 100 dollar AS per barrel kepada pemerintahan sosialis Spanyol. Di Bolivia, bertepatan dengan hari Buruh 1 Mei 2006, Evo Morales memulai program reapropiación social de la riqueza pública dengan menasionalisasi semua perusahaan migas. Baginya, perwujudan keadilan sosial adalah harga mati.

Harapan
Gelombang sosialisme yang menyebar di Amerika Latin menjadi inspirasi bagi kita.
Pertama, butuh komitmen pada keadilan sosial sebagai pijakan awal. Ia bukan sekadar ekspresi aksi karitatif yang mungkin dilakukan dengan motif politis sekunder. Tidak. Keadilan sosial dipahami secara komutatif demi terpenuhinya kebutuhan dasar dan terjunjungnya harkat dan martabat semua manusia.
Kita masih jauh dari idealisme ini. Kelangkaan kebutuhan dasar, melambungnya harga BBM dan gas, kian sulitnya mendapatkan beras murah, selain orang miskin yang ”dilarang untuk sakit” (karena itu berarti ajal) adalah tanda betapa jauhnya kita dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, butuh gerakan sosial yang kompak. Untuk ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia bersyukur punya Ramadhan, bulan penuh rahmat. Di sana pembaruan sosial berawal dari pengekangan nafsu badaniah perlahan dibatinkan untuk kemudian hadir sebagai gerakan sosial demi membarui negeri ini.
Pembaruan seperti ini bersifat menyeluruh karena mencakup dimensi transenden sekaligus imanen, demikian Boff dalam El águila y la gallina (1989). Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Kalau proses ini dijalani, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.

Robert Bala
Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid.
KOMPAS, 9 September 2008

Wednesday, September 3, 2008

Berani BERUBAH Berani BERUBAH berani

Di hari-hari sekitar peringatan Hari Kemerdekaan ini, saya sempat membuka sebuah buku lama. Buku itu berisi perdebatan para tokoh bangsa di tahun 1935-36, di berbagai media yang ada saat itu. Sutan Takdir Alisjahbana yang memulainya hingga mengundang reaksi dari berbagai tokoh. Sanusi Pane, dr Sutomo, hingga Ki Hadjar Dewantoro ikut menanggapinya. Para pemerhati menyebutnya sebagai "Polemik Kebudayaan". Sastrawan besar yang juga penulis Atheis Achdiat K Mihardja mengumpulkannya menjadi buku. Balai Pustaka menerbitkannya di tahun 1949.
Polemik itu berpangkal dari kerisauan Sutan Takdir yang melihat betapa lemah bangsa ini dalam peradaban dunia. Saat itu, bangsa ini tampak begitu statis, begitu pasrah pada alam dan nasib, dan terkungkung oleh budaya feodal. Ia ingin mengajak bangsa ini keluar dari keadaan. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari berbagai keterbelengguan itu. Ia ingin membuat gerakan semacam Restorasi Meiji yang membangkitkan Jepang menjadi bangsa maju. Maka, Sutan Takdir mengajak semua untuk mengadopsi budaya Barat. Budaya yang bukan pasrah pada alam, melainkan yang bertekad untuk mampu mengendalikan alam. Budaya yang bukan statis, melainkan dinamis. Budaya yang bukan mematikan hasrat pribadi, melainkan justru mendorong setiap diri untuk tegak memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Lontaran itu semula sempat dicurigai sebagai ajakan merendahkan budaya Timur. Bahkan, mengusik nilai-nilai keislaman. Takdir memang tak setuju pada kepatuhan umat pada kiai dan tokoh agama. Apalagi tak sedikit pula tokoh agama yang terus memupuk kepatuhan itu untuk menyalahgunakannya. Bagi Sutan Takdir nilai Islam yang diturunkan sejak masa Nabi Ibrahim tidak seperti itu. Rasulullah SAW pun telah menegaskan bahwa tak ada kerahiban dalam Islam. Tak ada 'orang suci' yang harus 'dibongkok-bongkoki' atau "diciumtangani". Islam mengharuskan umatnya untuk menghormati orang tua. Juga orang-orang yang lebih alim. Namun, penghormatan itu tidaklah dengan merendahkan diri sendiri.
Takdir mengajak untuk mengambil nilai Islam yang asli. Yakni, Islam yang meneladani Nabi Ibrahim yang mengajak semua manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Manusia yang tidak terjajah oleh apa pun, termasuk oleh jabatan, harta, maupun pikiran dan kekhawatirannya sendiri, karena meyakini bahwa cuma Dia yang layak diagungkan. Nilai Islam itulah yang akan menjadikan manusia rasional, teguh, tenang, tidak khawatir pada apa pun, serta siap mengelola dan bukan dikelola oleh alam ini. Sayangnya nilai Islam seperti itu sudah terlalu terselaputi oleh pendekatan formalistik fikiyah. Bahkan, budaya feodal yang entah mengapa tumbuh subur di lingkungan umat Islam. Takdir menyalahkan budaya India telah membelokkan nilai-nilai ideal itu.
Tak semua setuju tentu dengan pandangan Sutan Takdir. Maka, reaksi pun bermunculan. Tapi, jika kita simak umat dan bangsa ini sekarang, keadaannya tak banyak bergeser dari masa 'Polemik Kebudayaan' dulu berlangsung. Persoalan Indonesia yang dikemukakan Sutan Takdir sebelum kemerdekaan, masih menjadi persoalan Indonesia sekarang. Masa setelah 62 tahun merdeka. Kemiskinan bukan teratasi melainkan malah beranak pinak dengan kecepatan luar biasa. Budaya feodal bukan menghilang melainkan malah terlestarikan lewat format barunya. Kemampuan mengelola dan mengendalikan alam bahkan tererosi menjadi kemampuan menguras dan merusak alam. Sikap statis justru semakin mengental lewat kegemaran kita pada 'kemapanan'. Baik kemapanan pada posisi agar terus dikasihani, maupun kemapanan hal-hal yang tak benar, seperti korupsi.
Umat dan bangsa besar bukan umat dan bangsa yang mapan pada nasib. Baik pada nasib susah maupun nasib yang tampak baik (padahal belum tentu, atau bahkan tidak). Umat dan bangsa besar adalah yang berani berubah. Yakni, seperti yang diajarkan Nabi, yang selalu mengoreksi diri sendiri. Juga yang selalu menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Masihkah kita merasa sebagai umat Nabi jika merasa nyaman dengan keadaan sekarang dan tak berusaha keras buat berubah? Apa artinya memperingati Indonesia merdeka jika tak mau mengubah diri sendiri agar menjadi manusia yang benar-benar merdeka?

Oleh : Zaim Uchrowi
REPUBLIKA, 31 Agustus 2007